Subscribe

Minggu, 19 Juli 2009

Ungkapan Rasa dlm Pantun Melayu



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me






Ungkapan Rasa dan Pikir dalam Pantun Melayu
Abstrak
Pantun sebagai salah satu genre sastra tradisional Melayu sudah berkembang lama sebelum Hindu dan Islam masuk dan menjadi ideologi orang-orang di Nusantara. Pantun adalah wadah yang digunakan oleh orang Melayu untuk mengungkapkan pikiran dan rasa hatinya tentang makna kehidupan, tentang kelakukan manusia dan hubungannya dengan alam sekitar. Hasil perenungan ini lahirlah mutiara hati, rasa jiwa, dan akal, tercurah dalam bentuk puisi yang sangat kreatif dan halus sekali seninya. Pantun merupakan salah satu aspek utama dalam memahami peradaban Melayu karena pantun biasanya memaparkan karakter khas mengenai alam, lingkungan, pemikiran, dan kehalusan rasa yang dimiliki orang Melayu. Selain itu, pantun Melayu di Kalimantan Barat memiliki kepelbagaian dalam aspek linguistik, bunyi pantun daerah yang ada di Kalimantan Barat ini menunjukkan kepelbagaian dalam pengucapannya. Kepelbagaian yang dimaksud ialah adanya keragaman dialek lokal dalam mengucapkan untaian kata-kata oleh seorang pemantun. Hal ini terjadi karena latar belakang bahasa Ibu pemantun. Hal demikian tidaklah mengherankan karena sudah diakui oleh ramai sarjana luar negeri bahwa Kalimantan Barat dikenal memiliki diversitas yang cukup tinggi dalam konteks pemakaian bahasa daerah.
Bagatah si akar tela
Sa ikat si daun gama
Minta tuah ka Jubata
Minta untuk ka Daniak
(Pantun Orang Kanayatn)
Ikan gabus ikan sembilang
Patin besa‘ di teluk melano
Dengan bismilah awal bebilang
Nande ilmu dalam tuah talino
Mukadimah
Pantun sebagai salah satu genre sastra tradisional Melayu sudah berkembang lama sebelum Hindu dan Islam masuk dan menjadi ideologi orang-orang di Nusantara ini (lihat Al-Attas 1972; Piah 1989; Hamid 1990). Memang, tidak diketahui secara pasti, sejak kapan pantun pertama kali mulai diciptakan, karena pantun merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang sudah dituturkan orang-orang Austronesia jauh sebelum mereka mengenal keberaksaraan. Berdasarkan catatan yang ada, pantun pada mulanya adalah senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Abdullah Munsyi dalam Pelayaran ke Kelantan mencatat cara-cara pantun dinyanyikan, misalnya Lagu Dua, Lagu Ketara, Ketapang atau Dendang Sayang, dan lain-lain (Liaw Yock Fang 1993:195).
Menurut pakar perbandingan bahasa-bahasa Polynesia-Austronesia Brandstetter, kata “Pantun” berasal dari akar kata tun yang terdapat juga dalam bahasa-bahasa di Nusantara, misalnya bahasa Pampanga tuntun, yang berarti teratur; dalam bahasa Tagalog tonton, mengucapkan sesuatu dengan susunan yang tertentu; dalam bahasa Jawa Kuno tuntun berarti benang, atuntun, teratur, dan matuntun, berarti memimpin. Dalam bahasa Bisaya, panton bermakna mendidik; bahasa Toba, pantun adalah kesopanan atau kehormatan. Ringkasnya akar kata tun dalam bahasa-bahasa Nusantara merujuk pada sesuatu yang teratur, yang lurus, baik secara konkret atau abstrak (lihat Piah 1989:105—106; Liaw Yock Fang 1993:195).
Banyak pakar juga yang mengaitkan kata tun dengan arti sebagai kiasan atau perumpamaan dengan maksud mengandung unsur-unsur pepatah dan peribahasa. Bahkan dalam Kamus Besar Melayu Nusantara (2003:1981) pengertian yang kedua entri kata pantun adalah sejenis peribahasa yang digunakan sebagai sindiran. Sesungguhnya pengertian pantun sebagai pepatah atau peribahasa ada kaitannya dengan perkataan dan pengertian yang sama dalam bahasa-bahasa Nusantara yang lain. R. Hoesein Djajadiningrat, memetik keterangan Winter dalam Javaansche Zamenspraken bahwa pari yang berarti basa, babasan, yaitu peribahasa atau perbandingan; dan peribahasa itu dipakai bagi orang yang suka membuat perbandingan untuk mengolok-olok. Dalam bahasa Jawa, kata pantun itu adalah bentuk krama dari kata pari, yaitu bentuk pendek dari kata paribahasa atau pribha‘sja‘ dalam bahasa Sanskrit. Artinya, kata pantun berarti juga paribasa atau peribahasa dalam bahasa Melayu. Bahkan dalam bahasa Dayak Suhaid di Kapuas Hulu Kalimantan Barat, ada satu tradisi yang disebut Sandai, yaitu sejenis puisi tradisional yang memiliki bentuk dan struktur yang mirip dengan Pantun Melayu. Sandai ini dalam tradisi lokal Dayak Suhaid disamakan maknanya dengan perumpamaan, kiasan atau peribahasa. Perhatikan contoh berikut.
Abis pehame‘ kami-kami de bahe‘
Baju yang gahe‘ sama-sama sepakai
Lain de lage‘ kami-kami de bahe‘
Daun de munte‘ pakai-pakai belambai
Ante kunyahuk jadi-jadilah sampuk
Udahlah kutebuk de tiang pelempai
Antelah ante setahun lage
Ngante behue betubah jadi huai
Perbincangan mengenai pantun menarik untuk digambarkan apatah lagi tradisi pantun yang berkembang di Kalimantan Barat. Catatan tentang tradisi pantun di Kalimantan Barat masih minim dan memerlukan tinjauan yang lebih mendalam lagi. Tulisan ringkas ini berusaha untuk memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan tradisi pantun yang berkembang di Kalimantan Barat. Perbincangan dalam tulisan ini diantaranya membahas struktur pantun dan kepelbagaian pantun daerah di Kalimantan Barat sebagai sarana untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan si pemilik pantun.
Sekilas Struktur Pantun Melayu Kalimantan Barat
Pada dasarnya Puisi Melayu tradisional tersusun dari baris-baris atau urutan-urutan perkataan yang berulang-ulang dalam kedudukan yang sejajar. Menurut Piah (1989:124) kesejajaran dalam pantun itu lebih jelas terlihat dengan adanya baris-baris yang berpasangan, semukur (symmetrical), yaitu suatu bagian secara fisik mempunyai ciri yang sama dengan yang lain. Sesuai dengan skema rima a-b-a-b dan adakalanya memiliki variasi a-a-a-a, baris pertama berpasangan dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat. Dengan demikian, sebuah pantun yang baik akan mempunyai pasangan-pasangan yang sempurna bukan saja dari segi rima dan jumlah suku katanya, melainkan juga perkataan-perkataan yang mungkin berpasangan. Perhatikan contoh berikut.
Asam pauh asam golna a
Asam bubok mntama luka b
Diam jauh saat mana a
Bekas dudok tid k lupa b
(Pak Bujang, Sekadau)
Kapal dibajak bidar pembajak a
Awak bidar merampas melapah b
Akal bijak berpikir bijak a
Akal akar berpulas tak patah b
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Berangkat pankalan judah a
Sujud samah makaa madinah a
Sudah dialal hatabah nikah a
Dikalo akan dalan kalimah a
(Pak Cel, Sekadau)
Berkumpul kancil dan rusa a
Membuat lebar ayunan kera a
Kerja betul hasilpun ada a
Ingat antar belum kena a
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Berdasarkan pantun di atas, terdapat rima akhir a-b-a-b yang sempurna, yaitu /gelenang-mengenang/ dan /luka‘-lupa‘/ atau /pembajak-bijak/ dan /melapah-patah/. Dan ada juga variasi lain dengan rima akhir a-a-a-a yang juga sempurna /judah-nikah/ dan /m«dinah-k«limah/ atau /rusa-ada/ dan /kera-kena/ Pantun-pantun tersebut juga memperlihatkan adanya hubungan makna antara pasangan pembayang (sampiran) dengan pasangan maksud (isi), yaitu hubungan konkret dan abstrak atau melalui lambang-lambang.
Berdasarkan bentuk dan strukturnya, pantun dapat dikelompokkan atas dasar jumlah baris serangkap, yaitu dengan mengelompokkan pantun menjadi pantun dua baris (pantun kilat), pantun empat baris, enam baris, delapan baris, pantun sepuluh baris, pantun empat belas baris, pantun enam belas baris, dan pantun berkait. Dengan penjenisan tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek bentuk yang terdapat dalam pantun adalah jumlah baris, teknik berkait, dan kelainan rima (lihat Daillie 1988; Piah 1989). Pantun–pantun yang lebih dari empat baris tidak begitu populer, dikarenakan sukar dalam penciptaannya. Hasil kajian menunjukkan bahwa pantun empat baris merupakan satu bentuk pantun yang par excellence atau yang paling baik, mudah, dan paling sesuai untuk dinyanyikan.
Salah satu bentuk pantun yang juga sangat populer dalam masyarakat Melayu adalah pantun berkait. Pantun berkait adalah pantun yang terdiri dari beberapa rangkap yang kait-mengait atau sambung-menyambung, misal baris (larik) kedua dan keempat dalam bait pertama diulang semula pada baris-baris pertama dan ketiga dalam bait yang berikutnya (Daillie 1988:48; KBMN 2003:1981). Dari segi persambungan ide, pantun berkait hampir menyamai syair. Sifat dan ciri pantun berkait pada dasarnya sama dengan pantun empat baris dengan skema rima a-b-a-b. Namun, pemantun harus merangkai pantun menjadi jalinan cerita atau persambungan ide. Perhatikan pantun berkait berikut.
Dari Sibu ke pulau Kelapa
Layang Jinak jatuh tenggelam
Ibu dan bapa sayangkan anak
Jagalah dia siang dan malam
Layang jinak jatuh tenggelam
Singgah sebentar rumah mbok Ijah
Jagalah dia siang dan malam
Jangan sampai terpengaruh ganja
Singgah sebentar rumah mbok Ijah
Taruh besi di atas meja
Kalau sudah terpengaruh ganja
Rosak sudah generasi muda
Taruh besi di atas meja
Dibawa pergi ke desa
Kalau sudah rosak generasi muda
Siapa lagi harapan bangsa
(Abror 2003:121—122).
Kepelbagaian Pantun Melayu di Kalimantan Barat
Pantun Melayu di Kalimantan Barat sudah dikumpulkan oleh beberapa sarjana lokal dan luar negeri, sebut saja misalnya Dedy Ari Asfar (2001, 2002), Abdurahman Abror (2003), Yusuf Olang (2005), dan dari luar seperti Prof. James T. Collins (1996). Harus diakui penelitian pantun ini pun masih terbatas pada pengumpulan data pantun saja. Namun, penelitian pantun Melayu di Pontianak sudah diteliti dengan baik oleh Abror (2003). Penelitian pantun Melayu di Pontianak ini dapat dikatakan sebagai sebuah penelitian yang mengagumkan karena penelitiannya menggambarkan aspek-aspek penting pantun sebagai bagian dari tunjuk ajar kehidupan dan budaya Melayu di Pontianak.
Berdasarkan kajian pantun yang telah dilakukan oleh para sarjana tersebut, bunyi pantun daerah yang ada di Kalimantan Barat ini menunjukkan kepelbagaian dalam pengucapannya. Kepelbagaian yang dimaksud ialah adanya keragaman dialek lokal dalam mengucapkan untaian kata-kata oleh seorang pemantun. Hal ini terjadi karena latar belakang bahasa Ibu si pemantun.
Hal demikian tidaklah mengherankan karena sudah diakui oleh ramai sarjana luar negeri bahwa Kalimantan Barat dikenal memiliki diversitas yang cukup tinggi dalam konteks pemakaian bahasa daerah (lihat Hudson 1970; Collins 1987, 1999; Adelaar 1994; Nothofer, 1996). Bahkan keberagaman tersebut menunjukkan wujudnya suasana multilingualisme dalam masyarakat Kalimantan Barat ini. Keberagaman etnisitas dan bahasa di kawasan ini juga bermakna bahwa dalam menyampaikan atau menuturkan sastra lisan akan digunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa penutur sastra lisan itu—umumnya, jikalau penutur dan masyarakat pendengar tersebut berasal dari Suku Melayu maka penuturan sastra lisan tentunya akan dilantunkan dalam bahasa Melayu.
Kecenderungan untuk menuturkan sastra lisan sesuai dengan bahasa yang dipakai dalam komunitas pemilik teks sastra lisan tersebut berkaitan erat dengan lingkungan pertuturan atau latar belakang pendengar teks lisan tersebut, serta adanya rasa kepemilikan dan identitas etnisitas masyarakat tempat teks lisan itu berkembang dan dituturkan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra lisan secara alami memang dituturkan dalam bahasa daerah tertentu. Namun demikian, penuturan sastra lisan ini tidak selalunya ingin mengidentifikasikan secara mutlak etnisitas tertentu karena dalam sastra yang paling diutamakan adalah seni. Ini bermakna bahwa kalau seni dan estetika menuntut perubahan bahasa maka berubahlah bahasa, walau seloyal apapun penutur tersebut terhadap etnisnya (lihat Dedy Ari Asfar 2005c). Perhatikan pantun-pantun berikut.
Pantun Melayu pada masyarakat Suku Mùayan di kampung Benuis
Kalau nuan jalan dulu
ega ke aku daun kamboja
Kalau nuan mati dulu
Nantikan aku di pintu surga
Ikan gurami nesi aman
Cempaka putih bekebun ditun
Nesi amay nesi aman
Jantuh ati nesi ditun
Pantun Kampung Daup, Sambas, Kalimantan Barat
Kaccik-kaccik kuda gareta
Sudah bassar kuda tunganan
Agi‘ kaccik bermaen mata
Sudah bassar menjadi petunanan
Pantun Melayu di Kampung Cupang Gading, Sekadau
Kapal aji pogi aji
Sidah bertamat pankalan jodah
Menemu jodoh kedlaan jaøi
Sudah dialal hathbah nikah
Anak-anak manis bersabutn
Setengah manis sabun ku hilak
Anak manumpas kekasih emutn
Datak panas emutn melayak
Pantun Melayu di sekitar Sungai Laur bagian hilir, Ketapang
Bunga cina jamban cina
Mari kubunkus dalam kertas
Biarpun tuan di mana-mana
Di pintu hati haram tak lepas
Kaen adon tepian adon
Kaen pelekat di dalam peti
Kenal bolom biasa pun bolom
Sudah terekat di dalam ati
Dalam pantun-pantun tersebut dapat dilihat perbedaan bunyi vokal /e/. Pantun dari kampung Benuis menunjukkan bunyi vokal depan /e/ pada posisi praakhir kata sedangkan pada masayarakat Melayu di Cupang Gading dan Laur bagian hilir memperlihatkan bunyi vokal tengah /«/ pada posisi praakhir sedangkan pada pantun Melayu di Sambas pada posisi praakhir menunjukkan vokal tengah rendah /a/. Ciri-ciri linguistik dalam pantun di atas lebih lengkapnya dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel
Ciri-Ciri Lingusitik dalam Pantun
Nama Daerah Ciri-Ciri Linguistik yang Khas
Suku M:ayan Kampung Benuis 1. Penggunaan bunyi vokal depan /e/ pada posisi praakhir.
2. Penggunaan konsonan geseran lelangit lembut /.
Daup, Sambas 1. Penggunaan bunyi vokal tengah rendah /a/ pada posisi praakhir.
2. Penggunaan konsonan getar /r/.
3. Adanya bentuk geminasi konsonan, misal /bassar/ dan /kaccik/.
Cupang Gading, Sekadau 1. Penggunaan bunyi vokal tengah pada posisi praakhir.
2. Penggunaan konsonan geseran lelangit lembut
3. Adanya penggunaan diftongisasi nasal atau disebut juga dengan istilah preplosif nasal atau homorganics stop atau occlusive nasal cluster, contoh /hilak/, /emutn/.
Laur hilir, Ketapang 1. Penggunaan bunyi vokal tengah pada posisi praakhir.
2. Penggunaan konsonan geseran lelangit lembut


Ungkapan Rasa dan Pikir Melayu dalam Pantun
Pantun merupakan wadah yang digunakan oleh orang Melayu untuk mengungkapkan pikiran dan rasa hatinya tentang makna kehidupan, tentang kelakukan manusia dan hubungannya dengan alam sekitar. Hasil perenungan ini lahirlah mutiara hati, rasa jiwa, dan akal, tercurah dalam bentuk puisi yang sangat kreatif dan halus sekali seninya (lihat Noriah Mohamed 2006:37). Daillie (1988) berpendapat bahwa jikalau ingin mengkaji dunia Melayu maka pantun merupakan salah satu aspek utama dalam memahami peradaban Melayu karena pantun biasanya memaparkan karakter khas mengenai alam, lingkungan, pemikiran, dan kehalusan rasa yang dimiliki orang Melayu.
Pada dasarnya amat banyak unsur alam Melayu tradisional yang digunakan dalam pantun seperti sungai, pukat, tilan, air, burung, sampan, pantai, asam pauh, getah, mengetah, ulu, ilir-mudit, akar, dan punai yang merupakan kosa kata khas Nusantara. Hal tersebut menjadikan pantun sebagai representasi sebuah ilmu lokal yang mengandung pengetahuan persekitaran yang dimiliki oleh orang Melayu. Oleh karena itu, pantun mewakili tamadun dan kosa kata dasar yang khas kehidupan Melayu sehari-hari atau meminjam istilah Noriah Mohamed (2006:40) dapat dikatakan bahwa sebuah pantun Melayu tidak akan tercabut dari akar Melayunya karena pantun adalah “getar rasa dan pikir Melayu”. Perhatikan pantun dari kampung Cupang Gading berikut.
Nanak pukat lawat kuali
Bulih seekor tilan balaban
Sudah diikat dimana lagi
Ibarat air sudah di telan
Muslip bunong di pantay
Saat pengam di pucok pauh
Ayo hai kawan mudit siaimay
Sampan jalan diberil jauh
Mentah ku ulu suday
Ujon dililit akar tegapur
Itu getah lawan ka punay
Badan tak dapat lulur bedebur
Pengetahuan lokal yang tersimpan dalam pantun-pantun di atas banyak memuat pengetahuan mengenai alam sekitar, nama tumbuhan, nama binatang, sistem perairan, dan cara menangkap ikan yang kemudian melahirkan simbolisme makna yang mendalam mengenai kehidupan manusia. Hal tersebut dilakukan secara sengaja oleh si pemantun dalam mengungkapkan rasa dan pikir tentang kekayaan alam Melayu yang memang dimiliki oleh masyarakat sekitar pemantun.
Kenyataan ini menunjukkan sebuah kelaziman dalam tradisi pantun karena pantun Melayu banyak menggunakan nama-nama binatang, ikan sungai, ikan laut, burung, buah-buahan, sayur-sayuran dan tumbuh-tumbuhan dalam menggambarkan ungkapan rasa dan pikir mengenai pengetahuan lokal yang ada di sekitar kehidupan mereka (lihat Daillie 1988:136—137). Selain itu, dalam pantun juga banyak mengandung tunjuk ajar Melayu, sebagai suatu wujud dari pemikiran dan perasaan orang Melayu. Perhatikan contoh berikut.
Pukat bawal dapat tenggiri
Pancing terubuk pancing gelama
Jangan bawa adat sendiri
Asing lubuk asing ikannya
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Berdasarkan pantun di atas, dapat dipahami isi nasehat yang disampaikan bahwa merantau ke tempat lain dan hidup dalam masyarakat yang berbeda adat dan budaya hendaklah tidak mementingkan diri sendiri, yaitu dengan sewenang-wenang menerapkan perilaku dan budaya diri sendiri dalam masyarakat yang memiliki adat budaya tersendiri. Beradaptasilah dengan adat budaya setempat untuk menghindari konflik dan ketakberterimaan yang dapat mengakibatkan permusuhan. Oleh karena itulah, selalu dipesan kepada sesiapa saja yang hendak merantau, agar pandai-pandai membawa diri karena setiap lubuk (daerah) memiliki adat budaya tersendiri yang harus dihormati dan diapresiasi dalam hidup bermasyarakat. Budi bahasa, adab yang baik, dan menghormati adat setempat pasti membawa keuntungan diri, demikian ungkapan rasa dan pikir dalam pantun di atas. Masih banyak lagi ungkapan rasa dan pikir dalam pantun yang dapat dijadikan tunjuk ajar dan renungan dalam kehidupan sehari-hari. Perhatikan pantun-pantun berikut.
Sejak pagi hingga petang
Pergi memancing rencah ilalang
Tamak rakus tabiat orang
Seperti anjing mengunyah tulang
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Sudah lebat taman dahulu
Nampak di hilir lebat buhana
Apay dikenan jaman dahulu
Nesal ini tidak berguna
(Pak Cel, Cupang Gading)
Panjat batang sampai ke dahan
Tupai maling labu air
Akal jahat panjang tangan
Bagai anjing bertemu pasir
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Berkumpul kancil dan rusa
Membuat lebar ayunan kera
Kerja betul hasilpun ada
Ingat antar belum kena
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Pantun-pantun di atas memperlihatkan ungkapan rasa dan pikir mengenai manusia, mitos, dan alam yang dimiliki oleh masyarakat Kalimantan Barat. Pantun pertama menggambarkan mengenai orang rakus yang tidak pernah merasa puas dengan yang dimilikinya dengan larik-larik pantun yang mengesankan dengan menggunakan perumpamaan tamak rakus tabiat orang, seperti anjing mengunyah tulang. Pantun kedua mengungkapkan sebuah rasa penyesalan manusia yang selalu datang terlambat atas kesalahan dan kebodohan yang pernah dilakukannya. Pantun ketiga menggambarkan sifat manusia yang selalu ingin mengambil hak milik orang lain walau sedikit, misal dengan melakukan korupsi. Pantun keempat memberi renungan kepada manusia untuk menggunakan akal dan hati dengan benar ketika bertindak atau melakukan sesuatu. Artinya, dalam konteks pantun tersebut, sebelum mengerjakan sesuatu seyogianya direncanakan terlebih dahulu.
Penutup
Pantun Melayu merupakan warisan nenek moyang yang tak lekang oleh panas dan hujan. Pemikiran dan perasaan yang terungkap dalam untaian bait-bait pantun Melayu sangat memikat dan estetis untuk dinikmati dan dihayati. Pantun Melayu tersebut menunjukkan ketinggian akal-budi dan imajinasi pengarangnya dalam mengekspresikan kehidupan sehari-hari orang Melayu dan menjadikan pantun Melayu sebagai milik bersama yang mewariskan pemikiran dan perasaan kolektif orang Melayu.
Daftar Rujukan
Abd. Rachman Abror. 2003. Nilai-Nilai Islam yang Terkandung dalam Pantun Etnik Melayu di Pontianak. Tesis Doktor Falsafah. Kuala Lumpur: Universiti Malaya.
Adelaar, K.A. 1994. The Classification of the Tamanic Languages. In Language Contact and Change in The Austronesian World, T. Dutton and D. Tryon (Eds.), pp.1-41. Berlin, New York: Mouton de Gruyter.
Dedy Ari Asfar. 2001. Sastra Lisan Masyarakat Lembah Sungai Sekadau. Borneo Homeland Data Paper Series, No. 21. Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Dedy Ari Asfar. 2002. Sastera Lisan Melayu Sungai Laur. Borneo Homeland Data Paper Series, No. 25. Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Dedy Ari Asfar. 2005a. Sastera Lisan Iban Sarawak: Ilmu Lokal dan Perkamusan. Makalah yang disampaikan dalam konferensi The Languages and Literatures of Western Borneo: 144 Years of Research, pada 31 Januari s.d. 2 Februari 2005 di Universiti Kebangsaan Malaysia.
Dedy Ari Asfar. 2005b. Identitas Lokal dan “Ilmu Kolonial” di Kalimantan Barat. Dalam Yusriadi, Hermansyah, dan Dedy Ari Asfar. Etnisitas di Kalimantan Barat. STAIN: Pontianak Press.
Dedy Ari Asfar. 2005c. Etnopuitika: Ilmu Linguistik dan Sastra Lisan di Pulau Kalimantan. Makalah yang disampaikan dalam Kongres Linguistik Nasional di Padang, pada 18--21 Juli 2005.
Dedy Ari Asfar. 2005d. Islamic and Pre-Islamic Culture: The Data of Malay Oral Tradition in Cupang Gading, West Kalimantan. Makalah yang disampaikan dalam konferensi Internasional di Imperial Mae Ping Hotel, Chiang Mai, Thailand pada 7—8 Desember 2005.
Atkinson, Paul. 1992. Understanding Ethnographic Texts. Newbury Park, California: Sage Publications.
Bauman, Richard. 1978. Verbal Art as Performance. Rowley, Massachusetts: Newbury House Publishers.
Collins, James T. 1987. Dialek Melayu Sarawak. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Collins, James T. 1999. Keragaman Bahasa di Kalimantan Barat. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Festival Budaya Nusantara Regional Kalimantan. Pontianak, 22 September 1999.
Collins, James T. 2002. Tinjauan Pengkajian Bahasa dan Dialek Melayu se-Nusantara. Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu.
Daillie, Francoise-Rene. 1988. Alam Pantun Melayu: Studies on The Malay Pantun. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Fadzil, Sidek dkk (Ed.). 2001. Persuratan Melayu dari Lontar ke Layar. Bangi: Jabatan Persuratan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Foley, John Miles (Ed.). 1981. Oral Traditional Literature: A Festschrift for Albert Bates Lord. Ohio: Slavica Publishers, Inc.
King, Victor T. 1993. The Peoples of Borneo. Oxford: Blackwell Publishers.
Liaw Yock Fang. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.
Lord, Albert B. 1971. Singer of Tales. Cambridge: Harvard University Press.
Noriah Mohamed. 2006. Sentuhan Rasa dan Fikir dalam Puisi Melayu Tradisional. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Nothofer, Bernd. 1996. Migrasi Orang Melayu Purba: Kajian Awal. Sari 14:33--53.
Yusuf Olang. 2005. “Kajian Struktur dan Fungsi Pantun dalam Masyarakat Desa Benuis Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu.” Skripsi. Pontianak: FKIP Untan.
Ong, Walter J. 1982. Orality and Literacy: The Technologizing of the World. New York: Methuen & Co.Ltd.
Harun Mat Piah. 1989. Puisi Melayu Tradisional: Satu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Skeat, W.W. 1953. Reminiscences of the Expedition. The Cambridge University Expedition to The North-Eastern Malay States and to Upper Perak 1899-1900. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 26 (4):9-147.
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in The Malay World. Berkely: University of California Press.



Read More...

Tinjauan Sastra Indonesia



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me






Tinjauan Sejarah Sastra Indonesia

Kepulauan Nusantara yang terletak di antara dua benua dan di antara dua samudra, yaitu Benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Hindia (yang sekrang disebut Samudra Indonesia) dan Lautan Teduh, dihuni oleh beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejrah, kebudayaan, adat-istiadat, dan bahasa sendiri-sendiri.

Abad yang silam di beberapa tempat di kepulauan Nusantara berdiri kerarajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit dan Pajajaran (Jawa), Sriwijaya (Sumatra, serta Malaka dan Pasai (Semenanjung). Pada abad yang silam kerajaan-kerajaan itu memililki pengaruh yang cemerlang di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan sampai daratan Asia.

Namun, pada abad ke-16 dan 17 kerajaan-kerajaan itu satu demi satu menjadi daerah jajahan bangsa Eropa yang pada mulanya datang untuk mencari rempah-rempah, seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda. Filipina jatuh ke tangan orang Spanyol. Semenanjung Malaka akhir abad ke-17 jatuh ke tangan orang Inggris. Sedangkan kepulauan yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia jatuh pula ke tangan orang Belanjda. Beberapa kerajan yang masih berdaulat, setapak demi setapak ditaklukan orang Belanda. Dan pada awal abad ke-20 dengan berakhirnya Perang Aceh, seluruh kepulauan Nusantara semuanya menjadi daerah taklukan Kerajan Belanda.

Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat.



Perasaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.

Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, yang mengaku:

Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indoesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Kalau dicermati, tampak dengan jelas yang dimaksudkan dengan "Indonesia" oleh sumpah itu melingkupi seluruh wilayah yang pada masa itu dikenal sebagai Nederlandsch Indie, yaitu wilayah Hindia yang dijajah oleh Belanda.

Politik Belanda dalam menjajah sangat keras. Mereka melakukan segala cara dan paksa untuk mengangkut kekayaan daerah jajahannya. Baru pada awal abad ke-20, poltik Belanda agak lunak, yaitu sebagai reaksi terhadap politik cultuurstelsel (tanam paksa) yang telah sangat merusak kehidupan kaum bumi putra. Dan sebagai gantinya dianutlah politik etis atau etische politiek.

Politik etis dalam kenyataannya tidaklah mengurangi ketamakan penjajah dalam mengeksploitaasi daerah jajahanya, tetapi sebagai "balas jasa" mereka mulai memperhatikan nasib anak negri. Kemungkinan untuk bersekolah, untuk mendapatkan pendidikan, untuk maju bagi orang-orang bumi putera mulai agak leluasa.

Dan sebagai reaksi terhadap perkembangan itu, para pemimpin nasional Indonesia seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul Muis, Tan Malaka, Semaun kian giat memperjuangkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa nasional. Terutama Soekarno telah membuat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang hidup, lincah, lentuk, dan populer.

Perkembangan Sastra

Sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu.
Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849).
Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat.
Perasaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.

Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.

Sejarah Sastra Indonesia

Beberapa penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi) sejarah sastra Indonesia. Meskipun di antara para ahli dan sarjana itu ada persamaan-persamaan yang dalam membagi-bagi babakan waktu sejarah sastra Indnesia, kalau diteliti lebih lanjut akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang mencolok baik istilah maupun konsepsinya.
Dalam ikhtisar ini akan diikuti pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:

I. MASA KELAHIRAN (1900-1945) yang dapat dibagi menjadi:
1. Periode awal hingga 1933;
2. Periode 1933-1942;
3. Periode 1942-45.

II. MASA PERKEMBANGAN (1945-sekarang) meliputi:
1. Periode 1945-1953;
2. Periode 1953-1961; dan
3. Periode 1961- sekarang.

Dalam pembabakan ini digunaan istilah "periodisasi" dan bukan "angkatan" karena angkatan dalam sastra Indonesia telah menimbulkan berbagai kekacauan. Pembedaan antara periode yang satu dengan periode yang lain berdasarkan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman. Sedangkan pembedaan antara angkatan yang satu dengan yang lain sering ditekankan pada adanya perbedaan konsepsi masing-masing angkatan. Dalam satu periode mungkin saja kita menemukan aktivitas lebih dari satu golongan pengarang yang mempunyai konsepsi yang berbeda-beda; sedangkan munculnya periode baru tidak pula usah berarti munculnya angkatan baru dengan konsepsi yang baru. Perbedaan norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi suatu zaman mungkin menimbukan suasana baru dalam kehidupan sastra tanpa melahirkan suatu konsepsi sastra baru yang dirumuskan oleh seseorang atau sekelompok sastrawan.


Read More...

Tekhnik Membaca Cepat



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me






BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata / bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan sekilas, dan agar makna kata-kata secara individual akan dapat diketahui. Kalau hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat dan yang tersirat tidak akan tertangkap atau dipahami, dan proses membaca itu tidak terlaksana dengan baik (Hodson 1960 : 43-44).

Membaca cepat adalah membaca yang mengutamakan kecepatan dengan tidak mengabaikan pemahamannya. Biasanya kecepatan itu dikaitkan dengan tujuan membaca, keperluan, dan bahan bacaan. Artinya, seorang pembaca yang baik, tidak menerapkan kecepatan membacanya secara konstan di berbagai cuaca dan keadaan membacanya. Penerapan kemampuan membaca cepat itu disesuaikan dengan tujuan membacanya, aspek bacaan yang digali (keperluan) dan berat ringannya bahan bacaan (Tampubolon, 1990). Membaca cepat bukan berarti asal membaca cepat saja, sehingga setelah selesai membaca tidak ada yang diingat dan dipahami. Dua hal pokok yang harus diperhatikan ketika membaca cepat adalah tingkat kecepatan dan presentase pemahaman bacaan yang tinggi.











BAB II
LAPORAN PENELITIAN


A. Pengertian Membaca Cepat
Membaca cepat dan efektif bukan berarti asal membaca cepat saja, sehingga begitu selesai membaca tidak ada yang diingat dan dipahami. Dua hal pokok yang harus dicamkan dalam membaca cepat adalah tingkat kecepatan dan persentase pemahaman bacaan yang tinggi.

Membaca cepat adalah kecakapan membaca dan memahami teks dalam tingkatan tinggi. Anda dikatakan sebagai pembaca cepat yang baik bila mampu mengatur irama kecepatan membaca sesuai dengan tujuan, kebutuhan, dan keadaan bahan yang dibaca, serta dapat menjawab sekurang-kurangnya 60 persen dari bahan yang dibaca. Untuk tingkat pemula, kecepatan membaca diharapkan dapat mencapai 120-150 kpm (kata per menit). Kecepatan tersebut diupayakan terus meningkat seiring dengan latihan membaca cepat yang dilakukan. Kecepatan membaca yang dilakukan pasti tidak monoton/konstan. Artinya, pada saat membaca bagian yang tidak diperlukan kecepatan harus terus melaju tetapi pada bagian yang dibutuhkan kecepatan membaca dikurangi.

Kecepatan membaca harus diimbangi dengan pemahaman terhadap bacaan tersebut. Sebagai pembaca yang efektif dan kritis harus mampu menemukan bagian penting dari bahan bacaan tersebut secara cepat. Dan sebaliknya, harus membiarkan, bahkan melewati bagian yang kurang penting bila memang tidak diperlukan.



B. Mengukur Kecepatan Efektif Membaca
Pengukuran kecepatan efektif membaca adalah mengukur kedua aspek tersebut, yaitu dengan cara berikut ini :

a. Mengukur kecepatan membaca (KM) dengan cara menghitung jumlah kata yang terbaca tiap menit. Prosesnya yaitu :

KM = Jumlah kata yang dibaca x 60 detik
Jumlah waktu (menit)

b. Pemahaman isi bacaan (PI) secara keseluruhan dengan cara menghitung persentase skor jawaban yang benar atas skor jawaban ideal dari pertanyaan-pertanyaan tes pemahaman bacaan. Prosesnya dapat digambarkan sebagai berikut.

PI = Skor jawaban yang benar x 100%
Skor jawaban ideal




Sebagai pembanding dengan melihat table di bawah ini yang menjelaskan perbandingan antara kecepatan membaca dan kemampuan menyerap isi bacaan berikut penilaian kemampuan membaca.



Jumlah kata/menit Pemahaman Isi Profil Pembaca
110 kata/menit 50 persen Kemampuan kurang
240 kata/menit 60 persen Kemampuan rata-rata
400 kata/menit 80 persen Kemampuan baik
1000 kata/menit 85 persen Sempurna








C. Hasil Penelitian

a. Tabel
Tabel berikut berisikan hasil yang diperoleh oleh para siswa kelas VIII SMP Swasta Mulia Pratama Medan terhadap suatu teks dari bahan bacaan yang telah kami ujikan kepada siswa pada sekolah tersebut.
Daftar nilai sebagai berikut :

No Nama PI WAKTU(s) KM KEMAMPUAN BACA
1 Reza Taufik 80% 140 107 KURANG
2 Nurhayati 50% 100 150 KURANG
3 Febri Antonius Barus 60% 160 94 KURANG
4 Dewi Ariyani 70% 120 125 KURANG
5 Amsal Hutagaul 90% 150 100 KURANG
6 Atman Jeremian Barus 60% 110 136 KURANG
7 Lia Silviana 70% 150 100 KURANG
8 Sri Fuji 70% 170 88 KURANG
9 Rudi Keke Manik 80% 180 83 KURANG
10 Adi Syahputra 70% 160 94 KURANG
11 Muhammad Azri 60% 135 111 KURANG
12 Nurdiansyah 70% 110 136 KURANG
13 Agus Budi Utama 60% 90 116 KURANG
14 Ade Prayogi 60% 120 125 KURANG
15 Muhammad Sunaryo 50% 150 100 KURANG
16 Anita 60% 130 115 KURANG
17 Mawardah 70% 120 125 KURANG
18 Feri Idamansyah 70% 150 100 KURANG
19 Bayu Pratama 70% 120 125 KURANG
20 Tri Widya Sari 90% 170 89 KURANG





JUMLAH KATA = 250 Kata

Rumus :

PI = Jumlah jawaban yang benar x 100%
Skor jawaban yang ideal


KM = Jumlah kata yang dibaca x 60 detik
Jumlah waktu























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah kami melakukan penelitian mengenai keterbacaan suatu teks becaan untuk siswa sekolah menengah yang kami uji keterbacaannya yaitu teks bacaan atau wacana “Kerang Hijau Selamatkan Hidup Warga Kali Baru” yang kami ambil dari buku teks bacaan Bahasa Indonesia siswa sekolah menengah pertama dan diujikan pada siswa kelas VIII SMP Swasta Mulia Pratama Medan, kami dapat menyimpulkan.
1. Teks “Kerang Hijau Selamatkan Hidup Warga Kali Baru” tersebut mendapat penilaian sebagai teks bacaan yang sulit dipahami siswa.


B. SARAN
Setelah meneliti dan mendapatkan kesimpulan dari penelitian keterbacaan suatu teks bacaan siswa sekolah menengah. Kami menyarankan adanya minat yang lebih dari siswa untuk lebih sering dan sedapat mungkin meningkatkan penguasaan untuk dapat membaca dan memahami suatu teks dengan baik dan sempurna, sehingga dengan mudah dapat mengerti dan melakukan proses pembelajaran dengan mudah dan tanpa halangan, terlebih pada penguasaan kata – kata yang sukar dan jarang di dengar.












DAFTAR PUSTAKA

Tukan, Paulus 2005. Mahir Berbahasa Indonesia 1B. Bogor: Yudhistira
Tarigan, Henry Guntur. 1985b. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Penerbit Angkasa




























Nama :
Kelas :

Kerang Hijau Selamatkan Hidup Warga Kali Baru

Matahari pagi belum juga menampakkan diri. Cuaca tampak bersahabat. Pada salah satu rumah di kelurahan Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara, Bejo (57 tahun) bersama beberapa orang rekannya tengah sibuk berkemas, menyiapkan segala sesuatu keperluan untuk memanen kerang hijau di laut.
Dengan menggunakan beberapa keranjang, pahat, selang, masker, dan sedikit bekal makanan dan minuman serta rokok, Bejo dan beberapa rekannya turun ke laut. Hampir setiqap warga RT 10/04 Kelurahan Kali Baru itu melakukannya. Mereka selesai pada pukul 13.00 WIB.
Kerang hijau, hewan yang biasanya menempel di dinding-dinding batu karang dan batu-batuan di pantai, memang telah menjadi gantungan hidup Bejo selama hampir 10 tahun. Tekadnya yang membaja serta kemauan kerja kerasnya yang tak kunjung lelah membuat para laki-laki tua ini terus bertahan membudidayakan kerang hijau. Ia hanya dengan menggunakan sebuah rakit yang terbuat dari bamboo untuk mendukung kerjanya.
Menurut Bejo, kerang hijau dapat dengan cepat berkembang biak di rakit-rakit bamboo yang berlumut. Ia semula nelayan. Akan tetapi, itu 10 tahun yang lalu. Ia lebih akrab dengan budidaya kerang hijau.
Bejo kini hidup berkecukupan. Akan tetapi, itu setelah ia puluhan tahun bergelut dengan air laut. Jika hasil panen kerang hijau melimpah ruah, ia bisa merekrut tenaga kerja, bahkan sampai 30 orang guna membantunya bertugas membersihkan kerang hijau tersebut.
Setiap pekerja yang membersihkan seember ukuran sedang. Bejo memberi upah Rp 5.000. Kerang hijau yang telah dibersihkan kemudian direbus. Setelah itu dijual ke tempat pelelangan pasar ikan seharga Rp 3.000 per kilogram. “Kadang pembeli juga dating langsung ke rumah,” ujar Bejo. Ia menjual dengan harga Rp 2.000 per kilogram jika pembeli datang langsung dan membeli partai besar. Partai besar 50 kg ke atas.

Pertanyaan dari Bahan yang Dibaca


1. Berapa tahun umur Bejo
a. 56 Tahun
b. 57 Tahun
c. 58 Tahun
d. 59 Tahun


2. Dengan menggunakan alat apa Bejo ke laut
a. Keranjang, pahat, selang dan masker
b. Cangkul
c. Pancingan
d. Palu, Gergaji, dan Paku


3. Dimana kerang hijau menempel
a. Di dinding batu karang dan batuan di pantai
b. Di dasar laut
c. Di permukaan air laut
d. Di tepian sungai


4. Dimanakah berkembang biaknya kerang hijau
a. Di dasar laut
b. Di tepian sungai
c. Di rakit-rakit bambu yang berlumut
d. Di tepian pantai


5. Pukul berapa para pekerja kerang hijau selesai
a. 14.00 WIB
b. 13.00 WIB
c. 12.00 WIB
d. 11.00 WIB


6. Dengan menggunakan apa Bejo untuk mendukung kerjanya
a. Sebuah rakit yang terbuat dari bambu
b. Sebuah parang dan pisau
c. Sebuah cangkul
d. Sebuah kayu


7. Berapa tahun Bejo membudidayakan kerang hijau
a. 8 tahun
b. 7 tahun
c. 9 tahun
d. 10 tahun


8. Jika panen berapa tenaga kerja direkrut untuk membantunya memanen
a. 40 orang
b. 30 orang
c. 50 orang
d. 60 orang

9. Berapa upah pekerja bila membersihkan seember ukuran sedang kerang hijau
a. Rp 5.000
b. Rp 4.000
c. Rp 6.000
d. Rp 7.000

10. Berapa harga kerang hijau dijual di pasar ikan
a. Rp 5.000 per kilogram
b. Rp 3.000 per kilogram
c. Rp 4.000 per kilogram
d. Rp 6.000 per kilogram





Read More...

Sastra Nias



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me






BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tradisi pola perilaku yang sudah mapan yang diwariskan turun-temurun merupakan bagian penting dari kebudayaan. Kebudayaan kita dan tradisi yang terkait membantu membangun rasa identitas diri dan memenuhi kebutuhan pokok manusia untuk memiliki masa depan yang lebih baik.
Nias, sebuah pulau yang indah dan nyaman dan sejahtera. Jauh dari ibu kota negara. Sekalipun orang berkata Nias itu miskin, namun bagi saya tidak demikian karena Tuhan sudah menetapkan masa depan setiap suku-suku bangsa di dunia.
Sekali lagi, banggalah jika kita berasal dari Nias, dan tunjukkan tata krama Nias yang tinggi karena warisan budaya yang baik dari nenek moyang kita. Kita bukan suku bangsa yang rendah, tetapi terhormat dan memiliki harga diri, artinya tidak berperi laku rendahan seperti orang yang tidak berpendidikan, kita harus mempertahankan budaya leluhur kita karena mereka tidak berlaku tidak senonoh di depan umum. Selayaknya nga’oto mbalugu, sangi’ila huku ba goi-goi hada satulo.
Kalau melihat kehidupan yang sesungguhnya di tengah-tengah masyarakat Nias, ada beberapa tradisi yang mungkin saja sudah dilupakan dan perlu dilestarikan, antara lain:
1. Fame Fegero (Membagi Makanan), arti sesungguhnya adalah membagi makanan sebagai bukti kepedulian dan menyatakan kasih kepada tetangga atau saudara baik yang dekat maupun saudara yang jauh sekalipun. Ketika saya pulang kampung, maka semua sanak saudara berkerumun dan berbondong-bondong menyambut kedatangan saya yang pulang dari rantau, tentu harus membawa buah tangan berupa oleh-oleh. Tentu membagi-bagikannya dengan mereka semua, hal ini biasa terjadi. Namun, Fame Fegero bukan demikian, yaitu ketika ada acara sebuah keluarga dan memotong ayam atau ternak lainnya dalam acara tersebut, maka tradisi membaginya ke tetangga (saudara) sebagai bukti pengikat persaudaraan yang dalam. Sekalipun hanya sedikit sekali bagian yang bisa di bagi, namun tetap harus ada. Suatu waktu kelak keluarga yang lain juga membalasnya sedemikian rupa. Jika tidak, berarti itu tandanya sudah mulai ada keretakan di antara mereka.
2. Lae-lae Balo Mbanua, artinya ketika ada pesta di desa itu maka tentu ada jamuan makan dan memotong ternak untuk merayakannya. Tradisi Nias, semua keluarga wajib membaginya sesuai porsi kedudukan adat secara adil dan tidak boleh ada keluarga yang terlewatkan. Lae-lae Balo Mbanua itu adalah tradisi yang menghargai semua sesama warga sebagai anggota dalam komunitas di desa itu. Jika, Lae-lae balo Mbanua untuk keluarga kami tidak ada, tentu saya akan pertanyakan, jika tidak bisa dipertanggungjawabkan maka akan menjadi sumber perpecahan (Aboto Mbanua haboro Lae-lae Balo Mbanua). Dalam membagi makanan juga harus berurut dan tidak boleh salah panggil nama.
3. Tradisi Seni yang sudah pudar seperti “Tari Maena”, disebabkan oleh kegemaran para pemuda Nias (sejak tahun 2000 an) senang mendengar lagu-lagu irama melayu pesisir timur. Atau alunan lagu yang berirama dangdut. Pesta pernikahan di Nias telah digantikan oleh organ tunggal sehingga tradisi itu akan segera hilang ditengah-tengah masyarakat Nias.
4. Huo-huo hada, tata krama berbicara adat yang sopan santun dan penuh dengan wibawa. Orang Nias sudah meniru gaya pidato dalam menyampaikan sambutannya dalam setiap pesta apapin di Nias. Seharusnya tata caranya dirubah dan tetap mempertahankan gaya HUO HUO HADA NIAS, NIFAEMA-EMA LI. Pantun Nias sangat indah dan mengandung ilmu pengetahuan sosial, budi pekerti yang tinggi, namun tradisi itu akan segera hilang.









BAB II
PEMBAHASAN

A. Mite Siraso Dewi Bibit
Banyak cerita tentang Siraso, versinya pun bervariasi. Dari Ama Waögo Waruwu, Ama Zaro Baene, dan Ama Rozaman Mendröfa diketahui Siraso tiba di tiga tempat berbeda di pulau Nias. Fenomena ini menunjukkan bahwa Siraso cukup dikenal masyarakat, terutama masyarakat Nias tempo doeloe, di kawasan yang relatif luas di Tanö Niha.
Menurut Ama Waögo Waruwu dari kecamatan Lölöfitu Moi, Siraso datang dari seberang, terdampar di teluk Nalawö. Dalam perjalanan ke pedalaman dia beristirahat di hulu sungai Nalawö. Persis di tempat itu akhirnya didirikan desa Nalawö (Hämmerle, 2001: 169).
Sedang menurut Cosmas S. Baene (Ama Zaro) dari desa Hililaora-Hilidohöna, kecamatan Lahusa, Siraso mendarat di muara Susua, kemudian menelusuri sungai Susua ke hulu dan tiba muara sungai Gomo. Dari muara itu beliau menelusuri sungai Gomo, akhirnya tiba di Börönadu (Hämmerle, 2001: 59).
Lain lagi cerita versi Sökhiaro Welther Mendröfa (Ama Rozaman), puteri Buruti Siraso diturunkan di bumi Tanö Niha, jatuh di muara sungai Oyo di sebelah Barat Tanö Niha. Setelah mengasoh sebentar di tempat itu, puteri Buruti Siraso meneruskan perjalanan ke hulu sungai Oyo dan tiba di suatu dataran rendah yang kemudian bernama Hiyambanua. Bermukimlah puteri itu di sana (Mendröfa, 1981: 162).
Masing-masing cerita di atas masih berupa sepotong cerita. Belum dapat dinilai apakah ketiga cerita tersebut merupakan mite yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci, meski beberapa kalangan mungkin mengklaimnya sebagai tradisi lisan (oral tradition) tentang Siraso.
Tradisi lisan merupakan salah satu genre (bentuk) dari folklor. Folklor berasal dari kata-majemuk folklore (Inggris: folk dan lore). Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan (misalnya: warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, agama), sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Mereka memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah diwarisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang diakui sebagai milik bersama. Sedang lore adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984: 1-2).
Mengacu Alan Dundes, dalam mengkaji tradisi lisan mite, Victor Zebua menggunakan batasan unsur-unsur pokok mite Nias, khususnya mite asal-usul, yaitu: cerita lisan berbentuk hoho atau prosa tentang asal-usul, dianggap benar-benar terjadi dan suci oleh sekelompok orang Nias, telah diwariskan minimal dua generasi, pewarisan melalui praktek kebudayaan Nias misalnya: fondrakö, acara kelahiran, pesta perkawinan, acara kematian, pesta budaya, pertunjukan budaya, dan lainnya (Zebua, 2006: 76).

Dewi Bibit
Sejauh ini cerita lengkap tentang Siraso ditemukan dalam buku Fondrakö Ono Niha, Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias (1981) karya Sökhiaro Welther Mendröfa (Ama Rozaman). Dalam bab IV buku tersebut diceritakan tentang Atumbukha Ziraha Wangahalö (Lahirnya Dewa Dewi Pertanian) dalam bentuk narasi dan hoho.
Buruti Siraso (Siraso) adalah putri dari Raja Balugu Silaride Ana’a di Teteholi Ana’a. Balugu Silaride Ana’a adalah keturunan lebih dari sepuluh setelah Balugu Luo Mewöna. Siraso memiliki saudara kembar (putra) bernama Silögu Mbanua (Silögu).
Di Teteholi Ana’a, Siraso rajin mendatangi rakyat saat penaburan bibit sehingga tanaman subur dan berbuah lebat. Sedang Silögu gemar mendatangi rakyat saat panen sehingga bulir-bulir panenan banyak dan bernas.
Ketika memilih jodoh, Siraso mengidamkan suami yang mirip kembarannya, demikian pula Silögu ingin beristri seorang wanita persis Siraso. Untuk mencari jodohnya, Silögu pergi berkelana. Sementara Siraso diturunkan ayahnya ke muara sungai Oyo. Anak kembar itu dipisah agar tidak terjadi incest (kawin sumbang). Dari muara sungai Oyo, Siraso meneruskan perjalanan ke hulu, tiba di suatu dataran rendah yang kemudian bernama Hiyambanua, dan bermukim di situ.
Setelah setahun berkelana Silögu pulang. Di rantau dia tidak menemukan idamannya, di Teteholi Ana’a dia juga tidak bertemu kembarannya. Menurut ayahnya, Siraso telah meninggal dunia. Betapa gundah-gulana hati Silögu. Akhirnya, Silögu mohon diturunkan ke bumi. Silögu kebetulan diturunkan di muara sungai Oyo. Dia berjalan ke hulu sungai, dan tiba di Hiyambanua. Di sana dia bertemu seorang wanita yang mirip adik kembarnya. Sang wanita itu juga melihat Silögu mirip abang kembarnya.
Dua insan itu akhirnya kawin. Setelah menjadi pasutri (pasangan suami-istri) barulah Silögu dan wanita itu (yang ternyata adalah Siraso) mengetahui bahwa mereka saudara kembar. Apa boleh buat, Maha Sihai Si Sumber Bayu telah menjodohkan mereka.
Di bumi Nias Siraso dan Silögu tetap gemar mengunjungi para petani. Doa dan berkat mereka dibutuhkan untuk bibit dan untuk panen. Setelah mereka meninggal dunia, orang-orang membuat patung Siraso (Siraha Woriwu) dan patung Silögu (Siraha Wamasi) untuk memanggil arwah mereka pada waktu para petani turun menabur bibit dan panen. Siraso dikenal sebagai Dewi Bibit (Samaehowu Foriwu), Silögu dikenal sebagai Dewa Panen (Samaehowu Famasi).
Pada waktu mulai menabur bibit, masing-masing petani membawa bibit tanaman, diserahkan kepada ere (ulama agama suku) agar bibit tersebut diberkati oleh Dewi Bibit. Upacara pemberkatan ini mengorbankan babi. Ere memimpin doa pemujaan Siraha Woriwu. Syair hoho Memuja Dewi Bibit (Fanumbo Siraha Woriwu) diawali:
He le Siraso samo’ölö, he le Siraso samowua;
soga möi moriwu tanömö, möiga mangayaigö töwua;
mabe’zi sarasara likhe, matanö zi sambuasambua.

(Hai Siraso Sumber hasil, hai Siraso sumber buah.
Kami tiba, menyemai bibit, kami tiba menyemai tampang.
Kami semai tunggal berlidi, kami semai biji satuan.)

Setelah itu syair hoho berisi harapan agar bibit tanaman:
1. diberi akar menembus bumi, diberi batang naik mengatas
2. mayangnya dimatangkan oleh terik, buahnya dimatangkan oleh panas
3. terlindung dari serangan: tikus, walang sangit, celeng, monyet, hama, pipit
4. tidak diganggu arwah orang mati dan tidak dihanyutkan banjir
Selain harapan, syair hoho juga berisi janji (ikrar) yang harus ditepati:
Mabé wabaliwa mbalaki, mabé wabaliwa zemoa;
sumange woriwu tanömö, sumange woriwu töwua.
Andrö faehowu ya mo’ölö, andrö faehowu ya mowua.

(Akan kami bayar emas murni, dan kami membayar emas perada.
Persembahan bagi Dewi Bibit, persembahan bagi Dewi tampang.
Berkatilah agar ganda hasil, berkatilah agar berganda buah.)

Tidak dijelaskan bagaimana janji tersebut dilaksanakan, namun dalam pemujaan Dewa Panen disebutkan bahwa sebagian hasil panen harus dibagikan kepada: kaum miskin atau melarat, janda, anak yatim, dan anak yatim-piatu. Bila dilanggar akan membuat dewa marah dan merusak hasil pertanian.
Demikianlah cerita Dewi Bibit (dan Dewa Panen) dalam buku Ama Rozaman. Kisah Siraso dan Silögu ini pada zamannya merupakan mite. Para ahli menyebutnya mitos teogonis (mite terjadinya dewa-dewi), dianggap benar-benar terjadi, dianggap suci (sakral), dan diwariskan turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Nias tempo doeloe.

Keturunan Siraso
Mitos teogonis dewa-dewi pertanian kini menjelma menjadi legenda (dianggap benar-benar terjadi, tapi tidak sakral). Ketika agama modern datang, terjadi iconoclasm (pemusnahan patung-patung berhala) di Nias. Masyarakat diharamkan menyembah patung (fanömba adu), sehingga mite dewa-dewi pertanian kehilangan sarana pewarisannya. Dewa-dewi pertanian tidak dianggap sakral lagi oleh orang Nias, kini diganti mitos modern bertema teknologi: traktor, pestisida, pupuk, dan bibit unggul.
Bagi folk (orang Nias zaman sekarang) cerita itu bukan lagi sebuah lore (kebudayaan yang diwariskan). Cerita itu hanyalah sebuah mite kuno (mite milik orang Nias kuno, bukan milik orang Nias kini) yang lambat-laun kian dilupakan. Namun keturunan Siraso yang telah tersebar di Tanö Niha tentu tidak mudah dilupakan.
Generasi ketiga dari Siraso-Silögu adalah anak kembar: Silaheche Walaroi dan Silaheche Walatua. Mereka pindah dari Hiyambanua ke Gomo. Hanya Silaheche Walaroi (Falaroi) yang selamat sampai di Börönadu Gomo. Falaroi menetap di sana bersama keturunan Hia Walangi Adu. Dia mendapat gelar Sebua Moroibalangi. Dari nama gelar itulah asal mado Zebua yang dipakai keturunannya (Fries, 1919: 106-8; Zebua, 1996: 6).
Menurut Faondragö Zebua (Ama Yana), anak Falaroi bernama Lari SumölaIagö Tanö mempunyai anak dua: dan Börödanö. Iagö Tanö berputera Ba’usebua. Ba’usebua kawin dengan Buruti Lama, saudari baginda Gea (keturunan Daeli) di Tölamaera, anaknya empat: Lafoyolatio, Lanö, Hinou Manofu, Manofugabua. Keturunan mereka menyebar: Lafoyolatio tinggal di Ononamölö, Lanö kembali ke Hiyambanua dan sebagian keturunannya pergi ke Laraga, Hinou Manofu dan Manofugabua berdomisili di Luaha Moro’ö mendirikan Ononamölö dan Mazingö. Sedang Börödanö menjadi leluhur mado Zebua di Tetehösi Idanögawo (Zebua, 1996: 16-7).
Cerita versi Faogöli Harefa agak berbeda. Cucu Siraso-Silögu yang tinggal di Hiyambanua bernama Lari Sumöla mengembara hingga ke Tölamaera. Di sana dia kawin dengan Buruti Lama, anaknya dua: I’agötanö dan Börönadö. Anak I’agötanö bernama Ba’u Sebua mempunyai anak empat: Lafoyo Latio, Lanö, Manofu Gobua, Hino Manofu. Keturunan mereka menyebar: Lafoyo Latio tinggal di Ononamölö, Lanö pergi ke Oyo, Manofu Gobua pergi ke Luaha Moro’ö, Hino Manofu pergi ke Sowu. Cucu dari Ba’u Sebua menjadi asal-usul mado Zebua (Harefa, 1939: 18).
Dalam kedua cerita tersebut tersimpan sebuah misteri. Suami Buruti Lama menurut Faondragö Zebua (1996) adalah Ba’usebua, sedang Faogöli Harefa (1939) mengatakan Lari Sumöla. Untuk menyingkap misteri tersebut, tampaknya perlu penelusuran yang lebih luas dan teliti terhadap silsilah keluarga (zura nga’ötö) para keturunan Sang Dewi Bibit, meliputi: Zebua, Zega, Zai, Ziliwu, Hawa, dan lainnya.

B. Maena, Tarian Khas Dari Nias
Muda-mudi mari bersukaria, dengan tarian yang kita punya,
Ini tak kalah dengan poco-poco.....
Satu tarian di Tanah Nias,
Mari tari Maena’e…..

Lihat ini bukan gaya sajojo, juga bukan gaya poco-poco,
Tapi tarian asli di Nias.....
Jangan…jangan hilangkan budaya kita…..
Mari lestarikan ini sekarang, datalau famaena zisiga-siga!

Penggalan bait diatas adalah penggalan dalam sebuah lagu berjudul tari maena, yang dinyanyikan oleh Agus Heumasse.

Maena sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara.

Dibandingkan dengan tari moyo, tari baluse/tari perang (masih dari Nias), maena tidak memerlukan keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua orang bisa melakukannya.

Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai dengan event dimana maena itu dilakukan.

Pantun maena (fanutunõ maena) biasanya dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut sebagai sanutunõ maena, sedangkan syair maena (fanehe maena) disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena/ono maena. Syair maena bersifat tetap dan terus diulang-ulang/disuarakan oleh peserta maena setelah selesai dilantunkannya pantun-pantun maena, sampai berakhirnya sebuah tarian maena.

Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertuntun bahasa Nias (amaedola/duma-duma), namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan moderen, pantun-pantun maena yang khas li nono niha sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya, ini bisa kita dengarkan kalau ada acara-acara maena dikota-kota besar.

Maena boleh dibilang sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan goyangan (fataelusa) maenanya.

Maena biasanya dilakukan dalam acara perkawinan (fangowalu), pesta (falõwa/owasa/folau õri), bahkan ada maena Golkar pada pemilu tahun 1971 (niasonline.net), menandakan betapa tari maena sudah membudaya dan fleksibel, bisa diadakan dalam acara-acara apa saja.

Tidak salah lagi maena merupakan tarian khas yang mudah dikenali dan dilakukan oleh ono niha maupun oleh orang diluar Nias yang tiada duanya dengan tarian poco-poco (Sulawesi) atau tarian sajojo (Irian), yang telah memperkaya panggung budaya nasional.

Di Nias maupun di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Bandung, Padang, Sibolga dsb, kita sering menjumpai maena pada acara pernikahan orang-orang Nias, dan kitapun kadangkala ambil bagian didalamnya "tetapi hanya sebatas" sebagai sanehe maena.

Maena, tari moyo, tari baluse, hombo batu, li niha, amaedola adalah merupakan kekayaan budaya ono niha yang seharusnya terus dilestarikan, agar jati diri kita sebagai ono niha tidak menghilang dan ke-Indonesiaan kita tetap terjaga oleh pengaruh budaya dari luar yang semakin kuat menghimpit budaya-budaya lokal.

Maena harus kita gaungkan lebih keras lagi, bila perlu bukan hanya maena Golkar pada tahun 1971. Kita juga seharusnya membuat dan menyiapkan maena-maena yang lain dalam berbagai bidang seperti "Maena Pemekaran", supaya Nias bisa berada di garis depan.
Berikut 2 (dua) contoh maena dalam acara perkawinan (fangowalu), ini hanya beberapa dari kekayaan fanehe ba fanutunõ dalam tarian maena. Apa yang tersajikan semoga bermanfaat untuk kita semua ono niha, dan menjadi semangat dalam penggalian budaya Nias yang bermanfaat bagi banyak orang (sanehe maena). TEHE MAENA !


1. MAENA FANGOWAI

Fanehe maena (syair maena)

He Ama He Ina Tomema Zalua
Dama’owai Ami Fefu Badõi Maena

Fanutunõ maena (pantun maena)

Ira ama ira ina sowatõ sonuza
Taosaraõ dõdõda bawanemaõ ndra tomeda

Ira ama ira ina sowatõ sonuza
Taowai fefu domeda ya’ahowu walukhata

Oi omuso sa dõdõda meno falukha ita
Me’oi ngaõtõ zalawa me’oi ngaõtõ duha

Da ta’andrõ saohagõlõ khõ Lowalangi Ama
Meno itimba de’ala irege no faondra ita

Nadali wa’abõlõda nadali wa’a niha
Lõtola falukha ita bazimaõkhõ da’a

Siofõna mafaolagõ khõu numõnõ solemba
Ba walõ hulõ-hulõu we hulõ-hulõu dema-dema

Batõinia zilõ satua lõmendrua zilõ ama
Bayomo barõ gosali we yomo barõ ledawa

Duhu so yomo ninada inada bõrõ zatua
Si teduhõ-duhõ tõdõ numana wangera-ngera

Duhu so ndra tana nama talifusõ lõbada’a
Bõrõ halõwõ negara walõ a’oi so ira

No faduhu i dõdõda wa faomasi Zoaya
Watola fatalifusõ ita zidombua banua

Heumõnõ hetomema sino alua baolayama
Batema bologõdõdõ melõ sumange-mi khõma

Databato khõda maena tandregegõ ua da’a
Meoya lala halõwõ bazimaõkhõ da’a


2. MAENA FANEMA MBOLA

Fanehe maena

Yae Mbola Numõnõ Simõi Molemba
Sumange Ndra Inada Sumange Zonuza

Oi Nihaogõ Wama’anõ Nõsi mbola Laoda
Tandra Wasi’oroi Dõdõ Mõi Umõnõ Ninada

Fanutunõ maena

Ba databõrõtaigõ khõda dõi maena
Maena fanema mbola nibee zonuza

Hezasa lafa’anõ nafo ndra inada
Ba mbola niohulayo bola niotarawa

Tengasa bawa’aõsõ tenga bawehufa
Wolalau niohulayo bola niotarawa

Halõwõ danga zonekhe uwu duru zodoma
Oi nihaogõ wolalau nihaogõ niera-era

Hadia nõsi mbelu hadia nõsi mbola
Yaia lala zumange afo silima endronga

Ba da tazara-zara nõsi mbola laoda
Ae batenga amaedola nituhoi fangombakha

Ba yaia dawuo sini daõ tawuo lara
Ba yaia gambe nilõwõ gambe bakha ba mbola

Yaia wino mazagi daõ mazaga
Fino nitutuyu fino sandrohu boha

Yaia mbetua uto betua uto ziwae lõnga
Yaia mbago siriri bago sihola

Daõ mbago nikhõ-khõ ba galo kola
Daõ mbago nifoe ba galo manawa

Meno ahori so nafo silima endronga
Daõ zumange mbanua zumange mbõrõ zonuza

Ba no ibee bazuzu wangera-ngera
Mbola sumange nuwu sumange zibaya

Meno serege dõdõmi zumangema
Omuso gõi dõdõma wonganga ya'ia

Tabato khoda maena fanema mbola
Bologõ dõdõ na ambõ tõra wangombakha




























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tradisi pola perilaku yang sudah mapan yang diwariskan turun-temurun merupakan bagian penting dari kebudayaan. Kebudayaan kita dan tradisi yang terkait membantu membangun rasa identitas diri dan memenuhi kebutuhan pokok manusia untuk memiliki masa depan yang lebih baik.
Nias, sebuah pulau yang indah dan nyaman dan sejahtera. Jauh dari ibu kota negara. Sekalipun orang berkata Nias itu miskin, namun bagi saya tidak demikian karena Tuhan sudah menetapkan masa depan setiap suku-suku bangsa di dunia.
Sekali lagi, banggalah jika kita berasal dari Nias, dan tunjukkan tata krama Nias yang tinggi karena warisan budaya yang baik dari nenek moyang kita. Kita bukan suku bangsa yang rendah, tetapi terhormat dan memiliki harga diri, artinya tidak berperi laku rendahan seperti orang yang tidak berpendidikan, kita harus mempertahankan budaya leluhur kita karena mereka tidak berlaku tidak senonoh di depan umum. Selayaknya nga’oto mbalugu, sangi’ila huku ba goi-goi hada satulo.

Ya’ahowu Nias yang tercinta












DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, J., Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain, Grafiti Press, 1984.
Fries, E., Nias. Amoeata Hoelo Nono Niha, Zendingsdrukkery, 1919.
Hämmerle, J.M., Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi, Yayasan Pusaka Nias, 2001.
Harefa, F., Hikajat dan Tjeritera Bangsa serta Adat Nias, Rapatfonds Residentie Tapanoeli, 1939.
Mendröfa, S.W., Fondrakö Ono Niha, Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias, Inkultra Fondation Inc, 1981.
Zebua, F., Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli, 1996.
Zebua, V., Ho Jendela Nias Kuno – Sebuah Kajian Kritis Mitologis, Pustaka Pelajar, 2006.

http://niasonline.net
http://NiasIsland.Com


Read More...

Sastra Melayu



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me






Adat Perkawinan Melayu

1. Konsep Perkawinan Melayu
Perkawinan merupakan fase kehidupan manusia yang bernilai sakral dan amat penting. Dibandingkan dengan fase kehidupan lainnya, fase perkawinan boleh dibilang terasa sangat spesial. Perhatian pihak-pihak yang berkepentingan dengan acara tersebut tentu akan banyak tertuju kepadanya, mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari perkawinan, hingga setelah upacara usai digelar. Yang ikut memikirkan tidak saja calon pengantinnya saja, baik laki-laki maupun perempuan, tetapi yang paling utama juga termasuk orang tua dan keluarganya karena perkawinan mau tidak mau pasti melibatkan mereka sebagai orang tua-tua yang harus dihormati.
Adat perkawinan dalam budaya Melayu terkesan rumit karena banyak tahapan yang harus dilalui. Kerumitan tersebut muncul karena perkawinan dalam pandangan Melayu harus mendapat restu dari kedua orang tua serta harus mendapat pengakuan yang resmi dari tentangga maupun masyarakat. Pada dasarnya, Islam juga mengajarkan hal yang sama. Meski tidak masuk dalam rukun perkawinan Islam, upacara-upacara yang berhubungan dengan aspek sosial-kemasyarakatan menjadi penting karena di dalamnya juga terkandung makna bagaimana mewartakan berita perkawinan tersebut kepada masyarakat secara umum. Dalam adat perkawinan Melayu, rangkaian upacara perkawinan dilakukan secara rinci dan tersusun rapi, yang keseluruhannya wajib dilaksanakan oleh pasangan calon pengantin beserta keluarganya. Hanya saja, memang ada sejumlah tradisi atau upacara yang dipraktekkan secara berbeda-beda di sejumlah daerah dalam wilayah geo-budaya Melayu.
Sebenarnya jika mengikuti ajaran Islam yang murni, tahapan upacara perkawinan cukup dilakukan secara ringkas dan mudah. Dalam ajaran Islam, perkawinan itu sudah dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Ajaran Islam perlu diterapkan di berbagai daerah dengan menyertakan adat-istiadat yang telah menjadi pegangan hidup masyarakat tempatan. Dalam pandangan Melayu secara umum, prinsip (syariat) Islam perlu “dikawinkan” dengan adat budaya masyarakat. Sehingga, integrasi ini sering diistilahkan sebagai “Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah”, atau “Syarak mengata, adat memakai” (apa yang ditetapkan oleh syarak itulah yang harus digunakan dalam adat).
Dalam pandangan budaya Melayu, kehadiran keluarga, saudara-mara, tetangga, dan masyarakat kepada majelis perkawinan tujuannya tiada lain adalah untuk mempererat hubungan kemasyarakatan dan memberikan kesaksian dan doa restu atas perkawinan yang dilangsungkan. Perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan pada adat Melayu setempat akan menyebabkan masyarakat tidak merestuinya. Bahkan, perkawinan yang dilakukan secara singkat akan menimbulkan desas-desus tidak sedap di masyarakat, mulai dari dugaan kumpul kebo, perzinaan, dan sebagainya.
Menurut Amran Kasimin, perkawinan dalam pandangan orang Melayu merupakan sejarah dalam kehidupan seseorang. Rasa kejujuran dan kasih sayang yang terbangun antara suami-istri merupakan nilai penting yang terkandung dalam makna perkawinan Melayu. Untuk itulah, perkawinan perlu dilakukan menurut adat yang berlaku dalam masyarakat, sehingga perkawinan tersebut mendapat pengakuan dan restu dari seluruh pihak dan masyarakat.

2. Proses Perkawinan
Ketika seorang laki-laki atau perempuan hendak menikah tentu diawali dengan proses yang panjang. Proses paling awal menuju perkawinan yang dimaksud adalah penentuan siapa jodoh yang cocok untuk dirinya atau yang dalam adat Melayu biasa disebut dengan istilah merisik dan meninjau. Setelah jodoh yang dirasa sesuai sudah dipilih, maka kemudian dilakukan tahap kegiatan merasi, yaitu mencari-cari tahu apakah jodoh yang telah dipilih itu cocok (serasi) atau tidak. Jika kedua tahapan tersebut dirasa sesuai dengan harapan diri orang yang akan menikah maka kemudian dilakukan tahapan melamar, meminang, dan kemudian bertunangan. Setelah kedua calon tersebut bertunangan, maka upacara perkawinan dapat segera dilangsungkan.

2. 1. Merisik dan Meninjau
Merisik adalah kegiatan memilih jodoh yang dilakukan orang tua untuk mencarikan calon istri bagi anak laki-lakinya. Kegiatan merisik biasanya dilakukan apabila seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang gadis tetapi belum mengenali jati diri gadis tersebut atau jika sudah kenal namun baru sebatas kenal sekilas saja. Tujuan dari kegiatan merisik adalah untuk memastikan apakah gadis tersebut sudah memiliki pasangan atau belum. Tentunya, jika gadis tersebut telah memiliki tunangan maka laki-laki tersebut tidak bisa lagi berniat untuk menikahinya. Sebab, dalam hukum Islam seseorang itu dilarang untuk meminang tunangan orang lain.
Para orang tua biasanya mulai berpikir jika anak laki-lakinya dipandang sudah siap untuk berkeluarga mereka akan mencari dan memperhatikan beberapa gadis yang dikenalinya. Di samping sebagai jalan untuk mencari jodoh, kegiatan merisik juga dimaksudkan untuk mengetahui latar belakang calon menantu perempuan, kesuciannya, dan juga kepribadiannya. Kegiatan merisik juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan keterampilan rumah tangga, adab sopan-santun, tingkah laku, bagaimana paras wajahnya, dan juga pengetahuan gadis tersebut tentang agamanya.
Secara prinsipil, kegiatan ini sebenarnya positif saja dilakukan agar para orang tua tidak salah dalam upaya mencari calon istri yang terbaik untuk anak laki-lakinya. Namun, kegiatan seperti ini lambat laun jarang dilakukan mengingat zaman sekarang yang sudah begitu modern, sehingga anak laki-laki pada masa kini lebih suka memilih sendiri jodoh yang diharapkannya. Pada masa lalu, orang tua sering khawatir jika anak lak-lakinya hendak menikah dengan seorang gadis yang tidak diketahui bagaimana latar belakangnya. Artinya bahwa pada masa lalu kegiatan merisik lebih dimaksudkan untuk mengantisipasi agar anaknya tidak salah memilih orang.
Adat merisik biasanya dilakukan oleh pihak laki-laki, sedangkan adat meninjau dilakukan oleh kedua pihak. Setelah kegiatan merisik dapat menentukan bahwa gadis tersebut belum memiliki pasangan, selanjutnya dilakukan tahapan meninjau. Kegiatan ini kadang dilakukan sekaligus dengan kegiatan merisik. Kegiatan meninjau dimaksudkan untuk mengetahui tempat asal calon yang akan dinikahi. Kegiatan meninjau dilakukan oleh seorang wakil yang dipercaya dapat melakukannya. Kegiatan meninjau akan dirasa mudah jika wakil tersebut sudah mengenal gadis tersebut. Jika belum mengenalnya maka diperlukan waktu untuk melakukan tahapan peninjauan.
Apa saja yang perlu ditinjau? Aspek-aspek yang ditinjau biasanya berkenaan dengan kepribadian perempuan, termasuk kesopanan tingkah laku dan bahasanya. Selain itu juga perlu diperhatikan bagaimana cara dia berbicara. Sebagai contoh, bagaimana cara dia menghindangkan makanan dan minuman kepada tamu. Aspek-aspek yang berkaitan dengan bagaimana cara dia membersihkan dirinya, seperti berpakaian dan berhias juga perlu diperhatikan untuk menilai apakah gadis tersebut berkepribadian baik atau tidak. Sebenarnya masih banyak aspek lain yang perlu ditinjau, di antaranya adalah soal pendidikan, seluk beluk tentang siapa saja orang-orang dalam keluarga intinya, dan juga latar belakang ekonomi keluarganya. Pada masa lalu, ketika memilih calon istri aspek yang lebih diutamakan adalah latar belakang pengetahuan agama, tata susila, dan kesantunan dalam berbahasa.
Kegiatan meninjau juga dapat dilakukan oleh pihak perempuan. Bapak dan ibu pihak perempuan misalnya bisa meninjau keadaan sesungguhnya seputar diri dan keluarga calon suami dari anak gadisnya. Kegiatan peninjauan ini biasanya dimaksudkan untuk memastikan status bujang laki-laki tersebut dan bagaimana latar belakanng ekonominya. Orang tua pihak perempuan biasanya perlu memastikan bahwa calon suami dari anaknya mampu membiayai hidup rumah tangga yang kelak dibangun.

2. 2. Merasi
Kegiatan merasi sudah sangat jarang dilakukan dalam masyarakat Melayu. Tujuan merasi adalah untuk memastikan apakah pasangan yang hendak dijodohkan itu sebenarnya cocok atau tidak. Artinya, merasi adalah kegiatan meramal atau menilik keserasian antara pasangan yang hendak dijodohkan. Kegiatan ini biasanya dilakukan melalui perantaraan seorang ahli yang sudah terbiasa bertugas mencari jodoh kepada orang yang hendak menikah. Pencari jodoh tersebut akan memberikan pendapatnya bahwa pasangan tersebut dinilai cocok (sesuai) atau tidak.
Pada masa lalu, masyarakat adat mempercayai bahwa kegiatan ini dirasa penting karena kerukunan rumah tangga ditentukan oleh adanya keserasian antara pasangan suami-istri. Jika hasil keputusan merasi adalah bahwa pasangan tersebut tidak cocok, maka biasanya orang tua dari masing-masing pasangan akan membatalkan rencana perkawinan anak-anak mereka. Alasannya, jika mereka tetap dijodohkan maka konsekuensinya akan berdampak pada ketidakharmonisan, ketidakrukunan, dan keutuhan rumah tangga mereka akan hancur. Masyarakat pada masa lalu percaya bahwa pasangan yang tidak serasi akan didera dengan kemiskinan, perceraian, dan bencana lainnya.

2. 3. Melamar, Meminang, dan Bertunangan
Setelah dirasa bahwa pasangan yang akan menikah sudah cocok, langkah kemudian adalah tahapan melamar dan meminang. Sebelum meminang, keluarga pihak laki-laki melamar terlebih dahulu gadis yang akan dinikahi. Maksud dari kegiatan melamar adalah menanyakan persetujuan dari pihak calon pengantin perempuan sebelum dilangsungkannya acara meminang. Jika masih dalam tahap melamar, maka rencana perkawinan belum dapat dipastikan. Artinya, meskipun pihak calon pengantin laki-laki telah merisik dan meninjau latar belakang perempuan yang akan dinikahi, namun dalam tahap melamar jawaban yang akan diterima darinya masih belum bisa dipastikan. Lain lagi jika telah perempuan tersebut telah dipinang, maka jawaban darinya bisa diakatakan telah pasti.
Lamaran dilakukan oleh pihak calon pengantin laki-laki, yaitu dengan cara mengantarkan beberapa wakil yang terdiri dari beberapa orang yang percaya dapat memikul tanggung jawab tersebut. Dalam pertemuan tersebut terjadi pembicaraan untuk mendapatkan jawaban yang pasti dari pasangan yang akan dijodohkan. Biasanya pihak perempuan akan memberikan jawaban dalam tempo beberapa hari. Adanya tenggat waktu adalah agar perempuan tersebut tidak dianggap “menjual murah” yang begitu mudah langsung menerima lamaran. Masa tenggang tersebut juga difungsikan untuk berunding dengan keluarga dan saudara pihak perempuan, di samping juga untuk menyelidik latar belakang laki-laki secara teliti dan hati-hati.
Setelah calon laki-laki disetujui oleh keluarga pihak perempuan, mereka kemudian menemui wakil pihak laki-laki untuk memberitahukan keputusan tersebut. Dalam adat Melayu, biasanya pihak laki-laki sendiri yang akan datang ke rumah pihak perempuan untuk menanyakan keputusan tersebut. Setelah kedua pihak berbincang dan bersepakat, utusan dari wakil pihak laki-laki akan datang lagi untuk menetapkan kapan hari pertunangan. Dalam pertemuan ini juga diperbincangkan seputar jumlah barang antaran dan jumlah rombongan pihak laki-laki yang akan datang secara bersama. Hal itu dimaksudkan agar pihak perempuan mudah membuat persiapan dalam menerima kedatangan mereka.
Istilah “meminang” digunakan karena buah pinang merupakan bahan utama yang dibawa saat acara meminang beserta daun sirih dan bahan lainnya. Buah pinang adalah lambang untuk laki-laki karenanya bentuknya yang keras. Sirih adalah lambang untuk perempuan. Buah pinang dan sirih adalah lambang laki-laki dan perempuan yang bersatu dan tidak dapat dipisahkan. Artinya bahwa seseorang itu tidak mungkin makan sirih tanpa pinang. Dalam perkembangan adat Melayu saat ini, buah pinang tidak lagi sebagai satu-satunya bahan yang dibawa untuk meminang, namun dibelah-belah secara halus dan diantar beserta dengan daun sirih sebagai pelengkapnya.
Tidak ada masa atau waktu tertentu yang ditetapkan dalam tradisi perkawinan Melayu. Biasanya adat ini dilakukan pada Bulan Maulud (Rabiulawal), yaitu saat petang atau malam hari. Jika dilakukan pada malam hari karena banyak orang yang bekerja pada siang hari, sehingga malam hari dipilih sebagai waktu yang tepat. Pada saat acara meminang, rombongan pihak laki-laki beserta antarannya akan disambut oleh keluarga pihak perempuan. Antaran diletakkan di tengah majelis yang disaksikan di depan para hadirin. Sebelum memulai adat meminang, biasanya wakil pihak perempuan duduk berhadapan dengan ketua wakil pihak laki-laki. Sirih junjung diletakkan di hadapan mereka berdua.

Bukan uang dibilang, bukan emas-berlian dipandang, namun
ketulusan hati membalut barang antaran sebagai wujud kasih sayang.

Mereka kemudian memulai acara meminang dengan saling berkenalan terlebih dahulu. Setelah berkenalan wakil pihak perempuan memulai adat ini dengan bertanya kepada wakil pihak laki-laki tentang siapa yang memiliki sirih tersebut. Wakil pihak laki-laki akan menjawab dengan menyebutkan nama laki-laki diwakilinya dan juga nama perempuan yang hendak dipinang. Mereka juga menyatakan maksud kedatangan mereka. Setelah itu tepak sirih yang diterima oleh wakil pihak perempuan kemudian dikembalikan kepada wakil pihak laki-laki sambil mengatakan bahwa pinangan mereka diterima atau ditolak. Wakil pihak laki-laki kemudian mendatangi calon pengantin perempuan untuk mengenakan cincin di jari manisnya. Perempuan tersebut biasanya berada di balik bilik yang telah berpakaian indah. Dengan demikian, calon pengantin perempuan tersebut telah resmi bertunangan dengan calon pengantin laki-laki. Setelah itu calon pengantin perempuan bersalaman dengan para hadirin, terutama dengan beberapa orang perempuan yang mewakili rombongan pihak laki-laki.


3. Persiapan Menuju Hari Perkawinan
Hari perkawinan merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh semua anggota masyarakat yang berkenaan dengan perhelatan acara ini. Pada hari itu semua keluarga, saudara, termasuk tetangga berkumpul dalam satu majelis. Untuk menyambut hari perkawinan diperlukan persiapan yang sungguh matang. Persiapan yang dimaksud biasanya mencakup kegiatan bergotong-royong, pembacaan barzanzi, dan persediaan jamuan.
Tugas utama yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan kegiatan-kegiatan tersebut adalah dengan cara membangun bangsal penanggah terlebih dahulu. Bangsal ini nantinya digunakan untuk kegiatan masak-memasak. Di daerah pedalaman, bangsal penanggah biasanya terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari daun nipah atau rumbia. Di samping bangsal, yang juga perlu disediakan adalah tungku-tungku dapur yang diperlukan untuk alat memasak.

3. 1. Gotong-Royong
Sebelum datangnya hari perkawinan perlu dilakukan acara gotong-royong atau rewang (jw). Pihak tuan rumah perlu menyediakan berbagai macam kue Melayu untuk mereka yang bergotong-royong. Kegiatan gotong-royong biasanya dilakukan hingga larut malam sambil menikmati kue-kue yang dihidangkan. Kue yang tahan lama biasanya disediakan oleh tuan rumah melalui pertolongan tetangga terdekat, yaitu beberapa hari sebelum berlangsungnya majelis perkawinan. Sedangkan kue yang tidak tahan lama disediakan sehari menjelang perhelatan majelis. Kue-kue ini juga diantarkan kepada mereka yang memberikan sumbangan tetapi tidak bisa datang.
Kegiatan gotong-royong ini dimulai dengan membagi aktivitas yang perlu dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Pada pagi harinya, pihak perempuan biasanya sibuk menyediakan berbagai keperluan dalam rumah, sedangkan pihak laki-lakinya mengeluarkan semua alat yang diperlukan, seperti piring, tempat penyajian makanan, gelas, dan sebagainya yang tersusun secara rapi. Pada petang harinya, dilakukan penyembelihan ayam, kambing, atau lembu. Setelah disembelih, sebagian dari pihak laki-laki membuang kulit, membersihkan dan memotong daging sesuai urutan yang dikehendaki. Sebagian yang lain mencabut bulu ayam dan kemudian menyerahkannya kepada petugas yang sudah terbiasa memotong dagingnya. Tukang masak akan menggoreng daging yang telah dipotong agar keesokan harinya dapat dimakan.

3. 2. Pembacaan Barzanzi dan Persediaan Jamuan
Kegiatan (majelis) membaca barzanzi dilakukan selepas shalat isya. Majelis ini biasanya diikuti oleh mereka yang telah melakukan kegiatan gotong-royong selama sehari-semalam, juga diikuti oleh keluarga dan saudara dari tuan rumah, termasuk para jemputan yang diundang secara khusus pada majelis ini. Pada masa kini, kegiatan ini tidak populer lagi. Untuk mengadakan kegiatan ini masih diperlukan usaha gotong-royong sebagaimana dilakukan sebelumnya. Dalam kegiatan pembacaan barzanzi juga dihidangkan jamuan, yang biasanya terdiri dari nasi beserta lauk-pauknya. Setiap hidangan disediakan untuk empat atau lima orang.
Persediaan jamuan biasanya ditentukan secara berbeda-beda, tergantung pada bagaimana keinginan keluarga dari tuan rumah. Seorang ayah yang hanya mempunyai anak tunggal atau tingal satu anaknya yang belum menikah, maka dia biasanya akan mengadakan majelis perkawinan secara besar-besaran, meski di luar kesanggupan keuangannya sendiri. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang kemudian rela berhutang hanya untuk memenuhi keinginan besarnya itu.

Dalam acara gotong royong selalu tersedia juadah khas Melayu,
seperti, khasyidah, pelita daun, bolu kembojo, wajit dan nasi
kunyit, serta rendang atau panggang ayam.

Untuk melakukan kegiatan persediaan jamuan, biasanya dipilih terlebih dahulu ketua panitia yang banyak berhubungan secara intens dengan tuan rumah berkenaan dengan segala sesuatu hal yang berhubungan dengan jamuan. Ia juga bertanggung jawab membeli bahan-bahan keperluan di pasar. Ia perlu berkoordinasi dengan anggota panitianya yang dibagi berdasarkan tugasnya masing-masing, ada yang bertugas menyambut tamu, mengatur tempat duduk tamu, menyediakan air minum, dan mencuci piring atau gelas yang telah digunakan. Di samping ada yang bertugas memasak, juga ada yang bertugas menyediakan makanan yang dibawa pulang oleh hadirin yang datang. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan secara sukarela karena merupakan adat dalam budaya Melayu untuk hidup saling bergotong-royong.

4. Upacara Perkawinan
Setelah melalui proses dan tahapan yang begitu panjang, maka kini saatnya melangsungkan upacara perkawinan. Istilah upacara perkawinan dapat juga disebut dengan istilah lain, seperti “upacara nikah kawin”, “upacara helat jamu pernikahan”, dan “upacara perhelatan nikah kawin”. Upacara ini merupakan hari “H” yang ditunggu-tunggu oleh siapa saja yang berhubungan dengan perkawinan ini, baik bagi calon pengantinnya sendiri maupun seluruh keluarga dan saudara-saudaranya. Dalam adat Melayu, upacara perkawinan biasanya dilakukan secara amat terinci, lengkap, dan bahkan tidak boleh ada yang tertinggal satupun.

4. 1. Upacara Menggantung-Gantung
Upacara ini dilakukan dalam tenggang waktu yang cukup panjang, biasanya 3 hari sebelum hari perkawinan. Bentuk kegiatan dalam upacara ini biasanya disesuaikan dengan adat di masing-masing daerah yang berkisar pada kegiatan menghiasi rumah atau tempat akan dilangsungkannya upacara pernikahan, memasang alat kelengkapan upacara, dan sebagainya. Yang termasuk dalam kegiatan ini adalah: membuat tenda dan dekorasi, menggantung perlengkapan pentas, menghiasi kamar tidur pengantin, serta menghiasi tempat bersanding kedua calon mempelai. Upacara ini menadakan bahwa budaya gotong-royong masih sangat kuat dalam tradisi Melayu.
Upacara ini harus dilakukan secara teliti dan perlu disimak oleh orang-orang yang dituakan agar tidak terjadi salah pasang, salah letak, salah pakai, dan sebagainya. Ungkapan adat mengajarkan hal ini sebagai berikut:

Pengantin ibarat raja dan ratu sehari, maka untuk keduanya
disiapkan pelaminan yang megah bak singgasana.

Adat orang berhelat jamu
Menggantung-gantung lebih dahulu
Menggantung mana yang patut
Memasang mana yang layak


Sesuai menurut alur patutnya
Sesuai menurut adat lembaga

Supaya helat memakai adat
Supaya kerja tak sia-sia
Supaya tidak tersalah pasang
Supaya tidak tersalah pakai

4. 2. Upacara Berinai
Adat atau upacara berinai merupakan pengaruh dari ajaran Hindu. Makna dan tujuan dari perhelatan upacara ini adalah untuk menjauhkan diri dari bencana, membersihkan diri dari hal-hal yang kotor, dan menjaga diri segala hal yang tidak baik. Di samping itu tujuannya juga untuk memperindah calon pengantin agar terlihat lebih tampak bercahaya, menarik, dan cerah. Upacara ini merupakan lambang kesiapan pasangan calon pengantin untuk meninggalkan hidup menyendiri dan kemudian menuju kehidupan rumah tangga. Dalam ungkapan adat disebutkan:
Malam berinai disebut orang
Membuang sial muka belakang
Memagar diri dari jembalang
Supaya hajat tidak terhalang
Supaya niat tidak tergalang
Supaya sejuk mata memandang
Muka bagai bulan mengambang
Serinya naik tuah pun datang



Berinai bukan sekadar memerahkan kuku, namun memper-
siapkan pengantin agar dapat menjalani pernikahan
tanpa aral halangan.

Upacara ini dilakukan pada malam hari, yaitu 3 hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan. Bentuk kegiatannya bermacam-macam asalkan bertujuan mempersiapkan pengantin agar tidak menemui masalah di kemudian hari. Dalam upacara ini yang terkenal biasanya adalah kegiatan memerahkan kuku, tetapi sebenarnya masih banyak hal lain yang perlu dilakukan. Upacara ini dilakukan oleh Mak Andam dibantu oleh sanak famili dan kerabat dekat.
Upacara berinai bagi pasangan calon pengantin dilakukan dalam waktu yang bersama-sama. Hanya saja, secara teknis tempat kegiatan ini dilakukan secara terpisah, bagi pengantin perempuan dilakukan di rumahnya sendiri dan bagi pengantin laki-laki dilakukan di rumahnya sendiri atau tempat yang disinggahinya. Namun, dalam adat perkawinan Melayu biasanya pengantin lak-laki lebih didahulukan.

Seri kecantikan diperoleh melalui kesabaran. Pengantin harus
berdiam diri sabar menanti, agar inai yang dipasang di jemari
tangan dan kaki menghasilkan warna cerah yang berseri.

4. 3. Upacara Berandam
Upacara berandam dilakukan pada sore hari ba‘da Ashar yang dipimpin oleh Mak Andam didampingi oleh orang tua atau keluarga terdekat dari pengantin perempuan. Awalnya dilakukan di kediaman calon pengantin perempuan terlebih dahulu yang diringi dengan musik rebana. Setelah itu baru kemudian dilakukan kegatan berandam di tempat calon pengantin laki-laki. Sebelum berandam kedua calon pengantin harus mandi berlimau dan berganggang terlebih dahulu.
Makna dari upacara berandam adalah membersihkan fisik (lahiriah) pengantin dengan harapan agar batinnya juga bersih. Makna simbolisnya adalah sebagai lambang kebersihan diri untuk menghadapi dan menempuh hidup baru. Sebagaimana disebutkan dalam ungkapan adat:
Adat Berandam disebut orang
Membuang segala yang kotor
Membuang segala yang buruk
Membuang segala sial

Membuang segala pemali
Membuang segala pembenci

Supaya seri naik ke muka
Supaya tuah naik ke kepala
Supaya suci lahir batinnya



Kecantikan budi mestilah yang utama, namun keelokan paras
tiada boleh terlupa. Untuk itulah, Mak Andam merias calon
pengantin agar kemolekan makin ternampak nyata.

Berandam yang paling utama adalah mencukur rambut karena bagian tubuh ini merupakan letak kecantikan mahkota perempuan. Di samping itu, berandam juga mencakup kegiatan: mencukur dan membersihkan rambut-rambut tipis sekitar wajah, leher, dan tengkuk; memperindah kening; menaikkan seri muka dengan menggunakan sirih pinang dan jampi serapah.
Setelah berandam kemudian dilakukan kegiatan “mandi tolak bala”, yaitu memandikan pengantin dengan menggunakan air bunga dengan 5, 7, atau 9 jenis bunga agar terlihat segar dan berseri. Kegiatan ini harus dilakukan sebelum waktu shalat ashar. Mandi tolak bala kadang disebut juga dengan istilah “mandi bunga”. Tujuan mandi ini adalah menyempurnakan kesucian, menaikkan seri wajah, dan menjauhkan dari segala bencana. Dalam ungkapan adat disebutkan:

Mandi Bunga atau Mandi Tolak Bala bukan sekadar untuk meng-
harumkan raga, namun agar jiwa bersih suci, jauh dari iri dengki.

Hakekat mandi tolak bala
Menolak segala bala
Menolak segala petaka
Menolak segala celaka
Menolak segala yang berbisa

Supaya menjauh dendam kesumat
Supaya menjauh segala yang jahat
Supaya menjauh kutuk dan laknat

Supaya setan tidak mendekat
Supaya iblis tidak melekat
Supaya terkabul pinta dan niat
Supaya selamat dunia akhirat

4. 4. Upacara Khatam Qur‘an
Pelaksanaan upacara khatam Qur‘an biasanya dilakukan setelah upacara berandam dan mandi tolak bala sebagai bentuk penyempurnaan diri, baik secara lahir maupun batin. Upacara khatam Qur‘an sebenarnya bermaksud menunjukkan bahwa pengantin perempuan sudah diajarkan oleh kedua orang tuanya tentang bagaimana mempelajari agama Islam dengan baik. Dengan demikian, sebagai pengantin perempuan dirinya telah dianggap siap untuk memerankan posisi barunya sebagai istri sekaligus ibu dari anak-anaknya kelak. Di samping itu tujuan lainnya adalah untuk menunjukkan bahwa keluarga calon pengantin perempuan merupakan keluarga yang kuat dalam menganut ajaran Islam, sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan adat:

Pendidikan boleh tiada tamat, ijazah boleh tiada dapat, tetapi
khatam Al Qur‘an tiada boleh terlewat.

Dari kecil cincilak padi
Sudah besar cincilak Padang
Dari kecil duduk mengaji
Sudah besar tegakkan sembahyang
Upacara ini dipimpin oleh guru mengajinya atau orang tua yang ditunjuk oleh keluarga dari pihak pengantin. Upacara ini khusus dilakukan oleh calon pengantin perempuan yang biasanya perlu didampingi oleh kedua orang tua, atau teman sebaya, atau guru yang mengajarinya mengaji. Mereka duduk di atas tilam di depan pelaminan. Mereka membaca surat Dhuha sampai dengan surat al-Fatihah dan beberapa ayat al-Qur‘an lainnya yang diakhiri dengan doa khatam al-Qur‘an.

4. 5. Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan dilakukan secara berurutan. Artinya, upacara ini tidak hanya mencakup upacara akad saja tetapi juga mencakup kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan proses akad nikah, baik sebelum maupun sesudahnya. Kegiatan dalam upacara ini biasanya diawali dengan kedatangan calon pengantin laki-laki yang dipimpin oleh seorang wakilnya ke rumah calon pengantin perempuan. Calon pengantin laki-laki biasanya diapit oleh dua orang pendamping yang disebut dengan gading-gading atau pemuda yang belum menikah. Rombongan pihak pengantin laki-laki datang menuju kediaman pihak calon pengantin perempuan dengan membawa sejumlah perlengkapan atau yang disebut dengan antar belanja.
4. 5. a. Upacara Antar Belanja atau Seserahan
Antar belanja atau yang biasanya dikenal dengan seserahan dapat dilakukan beberapa hari sebelum upacara akad atau sekaligus menjadi satu rangkaian dalam upacara akad nikah. Jika antar belanja diserahkan pada saat berlangsungnya acara perkawinan, maka antar belanja diserahkan sebelum upacara akad nikah.

Beramai-ramai, beriring-iringan, kerabat calon pengantin
laki-laki membawa antara belanja kepada calon pengantin wanita.

Konsep pemikiran dari upacara antar belanja adalah simbol dari peribahasa-peribahasa seperti “rasa senasib sepenanggungan”, “rasa seaib dan semalu”, dan “yang berat sama dipikul yang ringan sama dijinjing”. Makna dalam upacara antar belanja ini adalah rasa kekeluargaan yang terbangun antara keluarga pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Oleh karena makna dan tujuannnya adalah membangun rasa kekeluargaan, maka tidak dibenarkan jumlah seserahan yang diantarkan menimbulkan masalah yang menyakiti perasaan di antara mereka. Ungkapan adat mengajarkan:
Adat Melayu sejak dahulu
Antar belanja menebus malu
Tanda senasib seaib semalu
Berat dan ringan bantu-membantu.

4. 5. b. Upacara Akad Nikah
Ketika rombongan calon pengantin laki-laki Upacara akad nikah merupakan inti dari seluruh rangkaian upacara perkawinan. Sebagaimana lazimnya dalam adat perkawinan menurut ajaran Islam, upacara akad nikah harus mengandung pengertian ijab dan qabul. Dalam ungkapan adat disebutkan bahwa:
Seutama-utama upacara pernikahan
Ialah ijab kabulnya
Di situlah ijab disampaikan
Si situlah kabul dilahirkan
Di situlah syarak ditegakkan
Di situlah adat didirikan
Di situlah janji dibuhul
Di situlah simpai diikat
Di situlah simpul dimatikan

Tanda sah bersuami isteri
Tanda halal hidup serumah
Tanda bersatu tali darah
Tanda terwujud sunnah Nabi



Dengan terucapnya ijab dan kabul, tanggung jawab ayah atas
anak gadisnya beralih sudah kepada menantu laki-laki.

Pemimpin upacara ini biasanya adalah kadi atau pejabat lain yang berwenang. Setelah penyataan ijab dan qabul telah dianggap sah oleh para saksi, kemudian dibacakan doa walimatul urusy yang dipimpin oleh kadi atau orang yang telah ditunjuk. Setelah itu, baru kemudian pengantin laki-laki mengucapkan taklik (janji nikah) yang dilanjutkan dengan penandatanganan Surat Janji Nikah. Penyerahan mahar oleh pengantin laki-laki baru dilakukan sesudahnya.
Ungkapan pada upacara akad nikah klik di sini :
4. 5. c. Upacara Menyembah
Setelah upacara akad nikah selesai dilakukan seluruhnya, kedua pengantin kemudian melakukan upacara menyembah kepada ibu, bapak, dan seluruh sanak keluarga terdekat. Makna dari upacara ini tidak terlepas dari harapan agar berkah yang didapat pengantin nantinya berlipat ganda. Acara ini dipimpin oleh orang yang dituakan bersama Mak Andam.

Sembah sujud kepada orang tua tiada boleh lupa, agar tuah
dan berkah turun berlipat ganda.


4. 5. d. Upacara Tepuk Tepung Tawar
Setelah upacara menyembah selesai, kemudian dilanjutkan dengan upacara tepuk tepung tawar. Makna dari upacara adalah pemberian doa dan restu bagi kesejahteraan kedua pengantin dan seluruh keluarganya, di samping itu juga bermakna sebagai simbol penolakan terhadap segala bala dan gangguan yang mungkin diterimanya kelak. Upacara ini dilakukan oleh unsur keluarga terdekat, unsur pemimpin atau tokoh masyarakat, dan unsur ulama. Yang melakukan tepung tawar terakhir juga bertindak sebagai pembaca doa.

Tepuk Tepung Tawar hakikatnya adalah pertanda, bahwa
para tetua melimpahkan restu dan doa, bahwa marwah
pengantin kekal terjaga.

Dalam ungkapan adat disebutkan bahwa makna dari Tepuk Tepung Tawar adalah “menawar segala yang berbisa”, “menolak segala yang menganiaya”, “menepis segala yang berbahaya”, “mendingin segala yang menggoda”, dan “menjauhkan dari segala yang menggila”. Jadi, upacara Tepuk Tepung Tawar bermakna sebagai doa dan pengharapan. Dalam pantun nasehat disebutkan: “Di dalam Tepuk Tepung Tawar, terkandung segala restu, terhimpun segala doa, terpateri segala harap, tertuang segala kasih sayang”. Dalam pantun lain disebut juga bahwa: “Tepung tawar untuk penawar, Supaya hidup tidak bertengkar, wabah penyakit tidak menular, Semua urusan berjalan lancar”.
Kegiatan ini dilakukan dengan rincian: menaburkan tepung tawar ke telapak tangan kedua pengantin, mengoleskan inai ke telapak tangan mereka, dan menaburkan beras kunyit dalam bunga rampai kepada kedua pengantin. Setelah upacara ini selesai berarti telah selesai upacara inti perkawinan. Setelah itu tinggal melakukan upacara-upacara pendukung lainnya, seperti upacara nasehat perkawinan dan jamuan makan bersama.
Ungkapan pada upacara tepuk tepung tawar klik disini :

4. 5. e. Upacara Nasehat Perkawinan
Seperti halnya adat upacara lainnya, setelah upacara akad nikah diadakan upacara nasehat perkawinan. Maksud dari perhelatan upacara ini adalah penyampaian petuah, pesan, dan nasehat bagi kedua pengantin agar mereka mampu membangun rumah tangga yang sejahtera (lahir sekaligus batin), rukun, dan damai. Yang menyampaikan nasehat perkawinan sudah seharusnya adalah seseorang yang benar-benar telah mempraktekkan bagaimana caranya membangun keluarga yang sakinah sehingga dapat dijadikan teladan bagi yang lain.

Dalam menempuh hidup baru, cinta kasih mestilah ada, harta kelak boleh
dicari bersama, namun petuah dan ilmu dari tetua rengkuhlah dahulu.

Setelah nasehat perkawinan selesai disampaikan, maka kemudian upacara perkawinan ditutup. Berikut adalah ungkapan kalimat penutupnya :
4. 5. f. Upacara Jamuan Santap Bersama
Setelah upacara perkawinan selesai ditutup, maka acara selanjutnya adalah upacara jamuan santap bersama sebagai akhir dari prosesi upacara akad nikah secara keseluruhan. Upacara ini boleh dikata adalah sama di berbagai adat perkawinan manapun. Tuan rumah memberikan jamuan makan bersama terhadap seluruh pengunjung yang hadir pada acara perkawinan tersebut.

4. 6. Upacara Langsung
Setelah upacara perkawinan dan akad nikah selesai, prosesi selanjutnya adalah melakukan upacara hari langsung. Yang dimaksud dengan upacara ini adalah kegiatan yang berkaitan dengan bagaimana mengarak pengantin laki-laki, upacara menyambut arak-arakan pengantin laki-laki, upacara bersanding, upacara resepsi, upacara ucapan alu-aluan dan tahniah, upacara pembacaan doa, upacara santap nasi hadap-hadapan, hingga memberikan ucapan tahniah atau terima kasih kepada para pengunjung yang telah datang.
4. 6. a. Upacara Mengarak Pengantin Lelaki
Upacara ini bentuknya adalah mengarak pengantin laki-laki ke rumah orang tua pengantin perempuan. Tujuan dari upacara ini sebagai media pemberitahuan kepada seluruh masyarakat sekitar tempat dilangsungkannya perkawinan bahwa salah seorang dari warganya telah sah menjadi pasangan suami-istri. Di samping itu, tujuanya adalah memberitahukan kepada semua lapisan masyarakat agar turut meramaikan acara perkawinan tersebut, termasuk ikut memberikan doa kepada kedua pengantin. Upacara ini beragam bentuknya, tergantung adat yang berlaku di masing-masing daerah Melayu.

Bernaung payung iram, diiringi rentak rebana dan gendang,
pengantin laki-laki datang kepada dewi pujaan.

Dalam upacara arak-arakan ini, yang dibawa adalah beragam alat kelengkapan. Namun, yang paling utama dibawa adalah jambar, di Riau lebih dikenal dengan semerit, pahar (poha), atau dulang berkaki. Isi dalam jambar terdiri dari tiga unsur, yaitu: unsur kain baju atau pakaian dengan kelengkapan perias, unsur makanan, dan unsur peralatan dapur. Ketiga unsur tersebut mengandung makna tentang kehidupan manusia sehari-hari. Jumlah jambar ditentukan berdasarkan adat setempat, asalkan maknanya sesuai dengan nilai Islam. Jumlah 17 adalah sama dengan jumlah rukun shalat, jumlah 17 terkait dengan jumlah rakaat sehari semalam, dan jumlah 25 terkait dengan jumlah rasul pilihan.
4. 6. b. Upacara Menyambut Arak-arakan Pengantin Lelaki
Sesampainya rombongan arak-arakan pengantin laki-laki di kediaman keluarga pengantin perempuan, kemudian dilanjutkan dengan upacara penyambutan. Dalam budaya Melayu, upacara penyambutan tersebut mempunyai makna yang sangat dalam. Oleh karenanya, pengantin laki-laki perlu disambut dengan penuh kegembiraan sebagai bentuk ketulushatian dalam menerima kedatangan mereka.

Upacara pencak silat merupakan perlambang kepiawaian
pengantin laki-laki menghadapi tantangan.

Upacara penyambutan arak-arakan pengantin laki-laki biasanya bentuknya tiga macam, yaitu permainan pencak silat, bertukar tepak induk, dan berbalas pantun pembuka pintu. Dalam kegiatan permainan pencak silat, makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa pengantin laki-laki sebagai calon kepala rumah tangga perlu ditantang kejantanan dan kepiawainnya. Meski hanya sebagai simbol, pencak silat juga mengandung makna persahabatan dan kasih sayang yang dibungkus dengan jiwa kepahlawanan. Setelah permainan silat, rombongan pengantin melanjutkan perjalanannya, biasanya diteruskan dengan kegiatan “perang beras kunyit” antara pihak pengantin laki-laki dan pihak yang menyambutnya.

Perang Beras Kunyit antar kedua pihak pengantin, bukan mengo-
barkan permusuhan, melainkan menyuburkan persaudaraan.

Setelah permainan silat dan perang beras kunyit selesai, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan bertukar tepak induk. Kenapa tepak perlu ditukar? Sebab, simbol tepak melambangkan rasa tulus hati dalam menyambut tamu dan juga sebagai lambang persaudaraan. Isi dalam tepak berupa daun sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Kegiatan ini dilakukan setelah rombongan pengantin laki-laki masuk ke halaman rumah pengantin perempuan. Kegiatan ini dapat dilakukan di dalam atau di luar rumah.

Bertukar Tepak melambangkan ketulusan hati dan bersebatinya
dua keluarga menjadi satu.

Kegiatan terakhir dalam upacara langsung adalah berbalas pantun pembuka pintu yang dilakukan di ambang pintu rumah pengantin perempuan. Kegiatan ini bentuknya adalah saling bersahutan pantun antara pemantun pihak pengantin laki-laki dengan pemantun pihak pengantin perempuan yang disaksikan oleh Mak Adam. Fungsi dari kegiatan ini biasanya dipahami sebagai bentuk izin untuk memasuki rumah pengantin perempuan. Setelah Mak Adam atau pemantun pihak pengantin perempuan membuka kain penghalang pintu dan mempersilahkan tamu untuk masuk, maka kegiatan ini dianggap selesai.

Berbalas pantun Pembuka Pintu menunjukkan adab sopan santun
pengantin laki-laki memasuki kehidupan pengantin perempuan.

4. 6. c. Upacara Bersanding
Acara bersanding merupakan puncak dari seluruh upacara perkawinan. Setelah pasangan pengantin berijab-kabul, pengantin laki-laki akan balik ke tempat persinggahannya untuk beristirahat sejenak. Demikian halnya pengantin perempuan perlu kembali ke balik bilik untuk istirahat juga. Setelah keduanya beristirahat kemudian dilangsungkan upacara bersanding. Wakil pihak pengantin perempuan menemui wakil pihak pengantin laki-laki dengan membawa sebuah bunga yang telah dihias dengan begitu indah. Bunga yang diberikan ini menandakan bahwa pengantin perempuan telah siap menanti kedatangan pengantin laki-laki ke tempat persandingan. Pengantin laki-laki kemudian dijemput untuk disandingkan dengan pasangannya.
Acara bersanding adalah menyandingkan penganting laki-laki dengan pengantin perempuan yang disaksikan oleh seluruh keluarga, sahabat, dan jemputan. Inti dari kegiatan ini adalah mengumumkan kepada khalayak umum bahwa pasangan pengantin sudah sah sebagai pasangan suami-istri. Seperti halnya dilakukan dalam upacara akad nikah, dalam upacara langsung juga dilakukan tepuk tepung tawar untuk mengantisipasi jika ada yang belum sempat menyaksikannya pada upacara akad. Sebagaimana disebutkan dalam ungkapan adat sebagai berikut:

Tiada saat seindah ketika bersanding di pelaminan, bertabur
senyum, salam, dan sejahtera.


Apabila pengantin duduk bersanding
Sampailah niat usailah runding
Tanda pasangan sudah sebanding
Hilanglah batas habis pendinding
Dalam ungkapan adat lain disebutkan:
Pengantin bersanding bagaikan raja
Disaksikan oleh tua dan muda
Tanda bersatu kedua keluarga
Pahit dan manis sama dirasa

4. 6. d. Upacara Resepsi Perkawinan
Upacara ini merupakan lanjutan dari upacara bersanding yang disaksikan oleh masyarakat umum secara lebih luas. Upacara ini dimulai dengan proses kedatangan iring-iringan rombongan pengantin memasuki pintu gerbang tempat dilangsungkannya resepsi perkawinan. Rombongan pengantin akan disambut dengan bunyi-bunyian kopang dan diarak sampai pengantin duduk di pelaminan. Upacara ini biasanya dimulai dengan pembacaan ayat-ayat suci al-Qur‘an.
Berikut ini adalah ungkapan pada pembukaan resepsi perkawinan :

4. 6. e. Upacara Ucapan Alu-aluan dan Tahniah
Upacara ini merupakan penyampaian rasa syukur kepada Allah SWT dan rasa terima kasih yang dilakukan pihak keluarga pengantin perempuan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam perhelatan acara perkawinan. Dalam ungkapan adat disebutkan:
Tanda orang memegang agama
Tahu mensyukuri nikmat Allah
Tahu membalas budi manusia

Ungkapan adat lain juga menyebutkan:

Tanda orang memegang adat
Tahu mengenang budi kaum kerabat
Tahu mengingat jasa sahabat
Tahu membalas kebaikan umat
Sedangkan ucapan tahniah adalah sambutan penyampaian salam tahniah dari wakil jemputan kepada kedua pengantin juga kepada seluruh keluarganya, yang tentunya diiringi dengan doa dan harapan baik terhadap masa depan perkawinan mereka. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah ungkapan adat:
Adat masuk ke helat jamu
Menyampaikan doa memberi restu
Di mana kurang bantu-membantu
Memberi maaf ianya mau
Hilang sengketa habislah seteru
Rentang antara ucapan alu-aluan dan ucapan tahniah biasanya diselingi dengan adanya penyampaian nasehat perkawinan oleh seseorang yang telah ditunjuk.
Ungkapan upacara alu-aluan klik di sini :

4. 6. f. Upacara Pembacaan Doa
Upacara pembacaan doa sudah umum dilakukan di berbagai adat perkawinan, termasuk dalam adat Melayu. Dengan dibacakannya doa diharapkan bahwa semua yang dihadir dalam majelis perkawinan, termasuk kedua pengantinnya, agar diberikan rahmat, karunia, dan keselamatan dalam mengarungi bahtera hidup ini. Dalam ungkapan adat disebutkan:

Walau tinggi derajat dan pangkat pengantin, walau lanjut
pendidikan, pernikahan adalah hidup baru, maka petuah
dan doa tetua amatlah perlu.

Elok kerja karena bersama
Elok helat karena sepakat
Elok manusia karena berdoa
Kalau berdoa dengan sungguh
Sengketa usai celaka menjauh
Hati panas menjadi teduh
Rahmat melimpah rezeki pun penuh

Ungkapan pada pembacaan doa klik di sini :
4. 6. g. Upacara Santap Nasi Hadap-hadapan
Upacara ini bentuknya adalah makan bersama antara kedua pengantin dengan para tetua keluarga yang dilakukan di depan pelaminan. Pesan yang ingin disampaikan dalam kegiatan ini adalah kerukunan yang terbina antara pasangan pengantin dengan seluruh keluarga, saudara, dan sahabatnya.

Makan Nasi Hadap-hadapan mencerminkan kerukunan pasangan
suami istri dengan sanak keluarga, sahabat handai, serta saudara mara.
4. 6. h. Ucapan Tahniah
Sebagai penutup dalam upacara hari langsung biasanya ditandai dengan ucapan tahniah (penyampaian ucapan selamat) dari seluruh yang hadir kepada kedua pasangan pengantin. Bedanya dengan ucapan tahniah sebelumnya, dalam kegiatan ini yang disampaikan adalah ucapan selamat yang langsung tertuju pada pasangan pengantin dengan cara bersalam-salaman.

Tahniah, selamat, dan tuah dilimpahkan kepada sepasang pengantin
oleh segenap jemputan.

5. Pasca-Upacara Perkawinan
Setelah upacara perkawinan dilangsungkan, kemudian dilanjutkan dengan sejumlah kegiatan yang juga perlu dilakukan sebagai bagian dari seluruh adat perkawinan Melayu. Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah acara malam keluarga dan upacara mandi damai sebagai acara paling akhir dari adat perkawinan Melayu.

5. 1. Malam Keluarga
Setelah melakukan upacara hari langsung, kedua pengantin kemudian berkunjung ke rumah orang tua pengantin laki-laki untuk “menyembah” (menghormati) mereka termasuk bertemu dengan seluruh keluarganya. Sebelum melakukan upacara menyembah, perlu dilakukan perkenalan keluarga pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan jika hal itu dirasa perlu oleh karena letak kedua keluarga yang jauh. Dalam upacara menyembah, yang “disembah” bukan hanya kedua orang tua pengantin laki-laki tetapi juga bagian dari keluarga tersebut yang termasuk dihormati. Acara ini bisa dilakukan setelah selesainya seluruh rangkaian upacara pekawinan. Sebuah ungkapan adat menyebutkan:

Mertua sama jua orang tua, maka sembah sujud pun diunjukkan pula.


Adat menyembah ke orang tua
Tanda hidup beradat lembaga
Tanda menjunjung tuah dan marwah
Tanda memuliakan yang tua-tua
Tanda menyatu dalam keluarga
Tanda berkekalan kasih sayangnya

5. 2. Upacara Mandi Damai
Kegiatan yang pertama kali dilakukan dalam upacara ini adalah mandi damai atau mandi hias. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa kedua pengantin telah bersatu menjadi pasangan suami-istri yang sah. Untuk itulah, pihak keluarga menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada seluruh sahabat dan handai taulan yang telah menyukseskan terselenggaranya upacara pernikahan mereka. Dalam sebuah ungkapan adat disebutkan:
Bila pengantin dah mandi damai
Habislah bimbang ragu pun usai
Niat terkabul pinta pun sampai
Dunia akhirat rukun dan damai
Pasangan pengantin dimandikan dengan air bunga dan tolak bala yang maknanya adalah sebagai perlambang terhadap pensucian niat mereka dalam menghadapi bahtera hidup berumah tangga dan agar mereka dapat terhindar dari segala malapetaka, hasrat dengki, dan sebagainya. Menjejakkan kaki di atas padi dan beras maknanya adalah sebagai perlambang harapan agar mereka dapat hidup makmur, aman, dan dikaruniai keturunan yang baik. Sedangkan berjalan meniti gelang cincin adalah sebagai perlambang agar mereka dapat sabar dalam menghadapi segala bahaya dan tantangan dalam hidup.

Jika dua hati telah bersebati, ijab-kabul telah pula dilalui,
maka tiada lagi penghalang memadu hati.

Setelah melakukan kegiatan mandi damai, kemudian dilakukan kegiatan suruk-surukan. Dalam kegiatan ini, pengantin perempuan “disurukkan” di antara kumpulan ibu-ibu dan nenek-nenek secara terselubung. Pengantin laki-laki kemudian diminta untuk mencari mana istrinya di antara kumpulan-kumpulan tersebut.
Upacara ini ditutup dengan jamuan santap siang bersama sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas terselengaranya upacara perkawinan dengan sukses. Di samping itu, upacara ini juga sebagai bentuk pernyataan rasa terima kasih terhadap seluruh keluarga dan masyarakat yang ikut menyukseskan acara ini. Kegiatan ini menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara perkawinan.

6. Penutup
Secara umum, adat perkawinan melayu adalah sebagaimana telah dijelaskan dalam tahapan-tahapan di atas, mulai dari proses perkawinan, persiapan menuju hari perkawinan, upacara perkawinannya sendiri, hingga pasca upacaranya. Hanya saja, perbedaan adat perkawinan di berbagai daerah yang termasuk dalam geo-budaya Melayu adalah terletak pada perbedaan istilah, nama, dan dialeknya. Ada juga sejumlah daerah yang memiliki keunikan tersendiri dalam adat atau upacara perkawinan. Varian-varian inilah yang akan dibahas dalam bagian tersendiri. Wallahu A‘lam.




Daftar Rujukan
Amanriza, Ediruslan Pe. t.t. Adat Perkawinan Melayu Riau. Riau: Unri Press.
Effendi, Nasrun. 2004. Rangkaian Acara Perhelatan Pernikahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.
Effendy, Tenas. 2004. Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.
Kasimin, Arman. 2002. Perkahwinan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
www.ashtech.com.my.
www.malaysiana.pnm.my.
www.melayuonline.com



Read More...