Subscribe

Jumat, 18 Desember 2009

Analisis Cerpen



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me









E. SINOPSIS CERPEN “LANGIT MAKIN MENDUNG”



LANGIT MAKIN MENDUNG
Lama-lama mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di sorga loka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.
“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang bisa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal dan kejang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti.”
Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia….Dipanggil penanda-tangan pertama: Muhammad dari Madinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad S.A.W.
“Daulat, ya Tuhan.”
“Apalagi yang kurang di sorgaku ini? Bidadari jelita berjuta, sungai susu, danau madu. Buah apel emas, pohon limau perak. Kijang-kijang platina, burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama, sama rasa sama rata!”
“Sesungguhnya bahagia lebih dari cukup, bahkan tumpah ruah melimpah-limpah.”
“Lihat rumput-rumput jamrud di sana, bunga-bunga mutiara bermekaran.”
“Kau memang maha kaya. Dan manusia alangkah miskin, melarat sekali.”
“Tengok permadani sutera yang kau injak. Jubah dan sorban cashmillon yang kau pakai. Sepatu Aladdin yang bisa terbang. Telah kuhadiahkan segala yang indah-indah!”
Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanya jalinan-jalinan penyadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak yang selalu mengharap belas kasihan. Ia ingat waktu sowan ke sorga dulu dirinya hanya sekeping jiwa telanjang.
“Apa sebenarnya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali.”
“Hamba ingin mengadakan riset.” jawabnya lirih.
“Tentang apa?”
“Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk sorga.”
“Ah, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau tak salah?”
“Betul, Kau memang Maha Tahu.”
“Kemarau lewat panjang di sana. Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh ” kata Tuhan sambil meletakkan kacamata model kuno dari emas yang diletakkannya di atas meja yang terbuat dari emas pula.
“Bagaimana, ya Tuhan?”
“Umatmu banyak kena tusukan sinar matahari. Sebagian besar berubah ingatan, lainnya pada mati mendadak.”
“Astaga! Betapa nasib mereka kemudian?”
“Yang pertama asyik membadut di rumah-rumah gila.”
“Dan yang mati?”
“Ada stempel Kalimat-Syahadat dalam paspor mereka. Terpaksa raja iblis menolak memberikan visa neraka untuk orang-orang malang itu.”
“Heran, tak pernah mereka mohon suaka ke sini!” (kening sedikit mengerut)
“Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan masing-masing.”
“Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!”
“Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!”
“Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan? Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka?”
Muhammad S.A.W nampaknya gusar sekali. Sambil tinjunya mengepal ia memberi perintah,
“Usman, Umar dan Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!”
Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian penuh kebapaan.
“Carilah sendiri fakta-fakta yang otentik. Tentang pedang-pedang itu kurasa sudah kurang laku di pasar loak pelabuhan Jeddah. Pencipta Nasakom sudah punya bom atom, kau tahu!”
“Singkatnya, hamba diizinkan turba (turun ke bawah- red )ke bumi?”
“Tentu saja. Mintalah surat jalan pada Soleman yang bijak di sekretariat. Tahu sendiri, dirasai polisi-polisi dan hansip paling sok iseng, gemar sekali ribut-ribut perkara surat jalan.”
“Tidak bisa mereka disogok?”
“Tidak, mereka lain dengan polisi dari bumi. Bawalah Jibrail serta supaya tak sesat!”
“Daulat, ya Tuhan.” kata Muhammad sambil bersujud penuh sukacita.
***
Sesaat sebelum mereka berangkat sorga sibuk sekali. Timbang terima jabatan ketua kelompok grup muslimin di sorga telah ditandatangani naskahnya. Abu Bakar tercantum sebagai pihak penerima. Dan masih banyak lainnya.
“Wahai yang terpuji, jurusan mana yang paduka pilih?” Malaikat Jibrail bertanya dengan takzim.
“Ke tempat jasadku diistirahatkan; Madinah, kau ingat? Ingin kuhitung jumlah musafir-musafir yang ziarah. Disini kita hanya kenal dua macam angka, satu dan tak terhingga.”
Seluruh penghuni sorga menghantar ke lapangan terbang. Lagu-lagu padang pasir terdengar merayu-rayu, tapi tanpa tari perut dan bidadari. Entah dengan berapa juta lengan Muhammad S.A.W harus berjabat tangan. Nabi Adam a.s sebagai pinisepuh tampil depan mikropon. Dikatakan bahwa penurbaan Muhammad merupakan lembaran baru dalam sejarah manusia. Besar harapan akan segera terjalin saling pengertian yang mendalam antara penghuni sorga dan bumi.
“Akhir kata Saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh Muhammad S.A.W harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya, Saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif agar mereka semua mau ditarik ke pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad! Hidup persatuan Rakyat Sorga dan Bumi!”
“Ganyang!!!” (Berjuta suara menyahut serempak).
Muhammad segera naik ke punggung buraq – kuda sembrani yang dulu jadi tunggangannya waktu ia mi’raj. Secepat kilat buraq terbang ke arah bumi dan Jibrail yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang. Mendadak, sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara.
“Benda apa di sana?” tanyanya keheranan.
“Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul.”
“Orang? Menjemput kedatanganku?” (Gembira)
“Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”
“Orang-orang malang. Semoga Tuhan mengampuni mereka. Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo buraq!”
Buraq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang apinya Jibrail memberi isyarat sputnik berhenti sejenak. Namun, sputnik Rusia memang tidak ada remnya. Tubrukan tak dapat dihindarkan lagi. Buraq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala-kepala botak di lembaga aeronautic di Siberia bersorak gembira.
“Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet tak dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi…” terdengar siaran radio Moskow.
Muhammad dan Jibrail terpental ke bawah. Mujur mereka tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.
“Sayang-sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi.” Bisik Muhammad sedih. Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba berdesir ngeri.
“Jibrail, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”
“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi baigan bumi yang paling durhaka, Jakarta namanya. Ibu kota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas buta huruf.”
“Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodom dan Gomorah?”
“Hampir sama.”
“Ai, hijau-hijau di sana bukankah warna api neraka?”
“Bukan, Paduka! Itulah barisan sukwan dan sukwati guna mengganyang negara tetangga, Malaysia.”
“Adakah umatku di Malaysia?”
“Hampir semua, kecuali Cinanya tentu.”
“Kalau begitu, kapirlah bangsa di bawah ini!”
“Sama sekali tidak, 90% dari rakyatnya orangnya Islam juga.”
“90% (sambil wajah Nabi berseri), 90 juta ummatku! Muslimin dan muslimat tercinta. Tapi tak kulihat masjid yang cukup besar. Di mana mereka bersembahyang Jum’at?”
“Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam catatan Abu Bakar di sorga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul Islam!”
“Aneh! Gilakah mereka?”
“Memang aneh!”
“Ayo Jibrail, segera kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku selalu rindu kepada Madinah!”
“Tidak inginkah paduka menyelidiki sebab-sebab keanehan itu?”
“Tidak, tidak di tempat ini. Rencana risetku di Kairo.”
“Sesungguhnya Paduka nabi terakhir, ya Muhammad?”
“Seperti telah tersurat di kitab Allah.” Sahutnya dengan rendah hati.
“Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi.”
“Apa peduliku dengan nabi palsu?”
“Umat Paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu: Nasakom!”
“Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang umatku takluk, nonsens!”
“Ya, Islam terancam. Tidakkah Paduka prihatin dan sedih?”
(Terdengar suara iblis, disambut tertawa riuh rendah)
Nabi tengadah ke atas.
“Sabda Allah tak akan kalah. Betatapun Islam, ia ada dan tetap ada walau bumi hancur sekalipun!”
Suara nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi; di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, kebun karet dan berpusat-pusat di laut lepas. Gaungnya terdengar sampai ke sorga disambut takzim ucapan serentak :
“Aamin, amin, amin.”
Neraka guncang. Iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan.
“Baiklah, mari kita berangkat ya, Rasulullah!”
Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri kanannya. Jibrail menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.
Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang kejangkitan influenza, pusing-pusing dan muntah-muntah. Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip. Kata orang sejak pabriknya diambil alih bangsa sendiri, agen-agen naspro mati kutu. Hanya apotik-apotik Cina dan tukang catut orang dalam leluasa mencomot jatah lewat jalan belakang.
Koran sore Warta Bhakti menulis: di Bangkok 1000 orang mati kena flu tapi terhadap flu Jakarta Menteri Kesehatan bungkam. Paginya Menteri Kesehatan yang tetap bungkam dipanggil menghadap Presiden alias PBR (Pemimpin Besar Revolusi).
“Zeg, Jenderal. Flu ini bikin orang mati apa tidak?”
“Tidak, Pak. Komunis yang berbahaya, pak.”
“Ah, kamu. Komunisto phobi ya?”
Namun, meski tak berbahaya flu Jakarta tak sepandai polisi-polisinya, flu tak bisa disogok, serangannya membabi buta tidak pandang bulu. Mulai dari pengemis-pelacur-Nyonya Menteri-sampai Presiden diterjang semna-mena. Pelayan istana geger. Menko-Menko menarik muka sedih dan pilu, Panglima terbalik petnya karena gugup menyaksikan sang PBR muntah-muntah seperti perempuan bunting muda.
Sekejab mata dokter-dokter dikerahkan, kawat telegram sibuk minta hubungan rahasia ke Peking:
“Mohon segera dikirim tabib-tabib Cina yang kesohor, pemimpin besar kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati.”
Kawan Mao di singgahsananya tersenyum-senyum. Dengan wajah penuh welas asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakratul maut.
“Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat Cina mengutus beberapa tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara. Terlampir obat kuat akar Jinsom umur 1000 tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao.”
(Pada tabib-tabib ia titipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit.)
Rupanya berkat khasiat obat kuat si sakit berangsur-angsur sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap syukur pada Tuhan yang telah mengkaruniai seorang sahabat sebaik kawan Mao. Pesta diadakan. Tabib-tabib Cina dapat tempat duduk istimewa. Untuk sejenak tuan rumah lupa agama, hidangan daging babi dan kodok ijo disikat tandas-tandas. Kiai-kiai yang hadir tersenyum-senyum kecut.
“Saudara-saudara, pers Nekolim gembar-gembor, katanya Soekarno sedang sakit keras. Bahkan hampir mati katanya. (hadirin tertawa mentertawakan kebodohan Nekolim). Wah, Saudara-saudara. Mereka itu selak kemudu-mudu (keburu jamuran/keburu nunggu sampai berjamur-red) melihat musuh besarnya mati. Kalau Soekarno mati mereka pikir Indonesia akan gampang digilas, mereka kuasai seenak udelnya sendiri, seperti negerinya Tengku.
Padahal, (sambil menunjuk dada) lihat badan saya, Saudara-saudara! Soekarno tetap segar bugar. Soekarno belum mau mati, kataku. (tepuk tangan gegap gempita, tabib-tabib Cina tak mau ketinggalan) Insya Allah, saya belum mau menutup mata sebelum pojok Nekolim Malaysia hancur lebur jadi debu!” (tepuk tangan lagi)
Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang sudah tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng yang spesial diundang. Patih-patih dan Menteri tak mau kalah gaya. Tinggal para hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.
Dokter pribadinya berbisik,
“Tak apa. Baik buat ginjalnya. Biar kencing batu PJM tidak kumat-kumat.”
“Menyanyi! Menyanyi, dong Pak!” (gadis-gadis merengek)
“Baik, baik. Tapi kalian yang mengiringi, ya!” (sambil bergaya burung onta)
Siapa bilang Bapak dari Blitar
Bapak ini dari Prambanan
Siapa bilang rakyat kita lapar.
Malaysia yang kelaparan…!
Mari kita bergembira! (Nada-nada sumbang bau aroma champagne).
Di sudut gelap istana tabib Cina berbisik-bisik seorang Menteri,
“Gembira sekali nampaknya dia.”
“Itu tandanya hampir mati.”
“Mati?”
“Ya, mati. Paling tidak lumpuh. Kawan Mao berpesan sudah tiba saatnya.”
“Tapi kami belum siap.”
“Kapan lagi? Jangan sampai keduluan klik Nasution.”
“Tunggu saja tanggal mainnya!”
“Nah, sampai ketemu lagi!” (Tabib Cina tersenyum puas.)
Mereka berpisah.
Mendung makin tebal di langit, bintang-bintang bersinar guram (berpendar-red) satu-satu. Pesta diakhiri dengan lagu langgam Kembang Kacang yang dibawakan nenek-nenek kisut 68 tahun.
“Kawan lama Presiden.” (bisik orang-orang)
Tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah lemas. Beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir…Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis.
Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah. Anjing-anjing istana mendangkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan anjing!
***
Desas-desus Soekarno hampir mati-lumpuh cepat menjalar dari mulut ke mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api di kebakaran gubuk-gubuk gelandangan di atas tanah milik Cina. Sampai juga ke telinga Muhammad dan Jibrail yang mengubah diri jadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di puncak menara emas bikinan pabrik Jepang. Pandangan ke sekeliling begitu lepas-bebas.
“Allahuakbar, nabi palsu hampir mati.” Kata Jibrail sambil mengepakkan sayap.
“Tapi ajarannya tidak. Nasakom bahkan telah mengoroti jiwa prajurit-prajurit. Telah mendarah daging pada sebagian kiai-kiaiku.” Kata Muhammad sambil mendengus kesal.
“Apa benar yang Paduka risaukan?”
“Kenapa kau pilih bentuk burung elang ini dan bukan manusia? Pasti kita akan dapat berbuat banyak untuk ummatku!”
“Paduka harap ingat; di Jakarta setiap hidung harus punya kartu penduduk. Salah kena garuk razia gelandangan!”
“Lebih baik sebagai ruh, bebas dan aman.”
“Guna urusan bumi wajib kita jadi sebagian dari bumi.”
“Buat apa?”
“Agar kebenaran tidak telanjang di depan kita.”
“Tapi tetap di luar manusia?”
“Ya, untuk mengikuti gerak hati dna pikiran manusia justru sulit bila satu dengan mereka.”
“Aku tahu!”
“Dan dalam wujud yang sekarang mata kita tajam. Gerak kita cepat!”
“Ah, ya. Kau betul, Tuhan memberkatimu jibrail. Mari kita keliling lagi. Betatpun durhaka kota ini mulai kucintai.”
Sepasang elang terbang di udara senja Jakarta yang berdebu menyesak dada dan hidung mereka tercium asap knalpot dari beribu mobil. Diatas Pasar Senen tercium bau timbunan sampah menggunung, busuk dan mesum. Kemesuman makin keras terbau di atas Stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap di atas gerbong-gerbong kereta daerah planet.
Pelacur-pelacur dan sundal asyik berdandan. Bedak penutup bopeng, gincu merah murahan dan pakaian pengantin bermunculan. Di bawah gerbong beberapa sundal tua mengerang-lagi palang merah-kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta menghisap nanah. Senja terkapar menurun diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, hasil main akrobat di ranjang reot.
Di kamar lain, bandot tua asyik main pompa di atas perut perempuan muda 15 tahun. Si perempuan tak acuh dihimpit, sibuk cari tuma dan nyanyi lagu melayu. Hansip repot-repot mengontrol, cari uang rokok.
“Apa yang Paduka renungkan?”
“Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas berbuat cabul!” (menggelengkan kepala).
“Mungkin pengaruh ajaran Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru revolusi,” kata si Nabi palsu.
“Ai, binatang hina yang melata. Mereka harus dilempari batu sampai mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan perintahku pada kiai-kiai disini? Berzina, langkah kotor bangsa ini. Batu mana batu!”
“Batu-batu mahal disini. Satu kubik dua ratus rupiah, sayang bila hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula….”
“Cari di sungai dan di gunung-gunung!”
“Batu-batu di seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari pezina-pezinanya. Untuk dirikan mesjid saja masih saja kekurangan. Paduka lihat?”
“Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!” (Nabi merentak).
“Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul.”
“Astaga! Sudahlah Iblis menguasai dirimu Jibrail?”
“Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba.kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Naikkan tarifmu dua kali
dan mereka akan kelabakan
mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berzina
dengan istri saudaranya
“Penyair gila! Cabul!”
“Kenyataan yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di dada-dada mereka. (Muhammad membisu, wajah muram durja). Di depan toko buku Remaja suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli mentertawakan kebodohannya sendiri: hari nahas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari nahas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan. Tapi itu rutin belaka. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana. Orang-orang merasa kehilangan mainan kesayangannya, melongo.
“Dia jagoan Senen; anak buah Syafii, raja copet!”
“Orang tadi mencuri tidak?” (pandangan Nabi penuh selidik).
“Betul. Orang sini menyebutnya copet atau jambret.”
“Kenapa mereka hanya sekali pukul si tangan panjang? Mestinya dipotong tangan celaka itu. Begitu perintah Tuhan kepadaku dulu.”
“Mereka tak punya pedang, ya Rasul.”
“Toh, bisa diimpor!”
“Lalu dengan apa bangsa ini berperang?”
“Dengan omong kosong dan bedil-bedil utangan dari Rusia.”
“Negara kapir itu?”
“Ya, sebagian lagi dari Amerika. Negara penyembah harta dan dolar.”
“Sama jahat keduanya pasti!”
“Dunia sudah berobah gila!” (mengeluh).
“Ya, dunia sudah tua!”
“Padahal kiamat masih lama.”
“Masih banyak waktu ya, Nabi!”
“Banyak waktu untuk apa?”
“Untuk mengisi kesepian kita di sorga.”
“Betul-betul, sesungguhnya tontonan ini mengasyikkan, meskipun kotor. Akan kuusulkan dipasang TV di sorga.”
Kedua elang jelmaan terbang Nabi dan Jibrail itu terbang di gelap malam.
“Jibrail! Coba lihat! Ada orang berlari-lari anjing ke sana! Hatiku tiba-tiba merasa tak enak…”
“Hamba berperasaan sama. Mari kita ikuti dia, ya Muhammad.”
Sebentar kemudian diatas sebuah pohon pinang yang tinggi mereka bertengger. Mata tajam mengawasi gerak-gerik orang berkaca mata.
“Siapa dia? Mengapa begitu gembira?”
“Jenderal-jenderal menamakannya Durno, Menteri Luar Negeri merangkap pentolan mata-mata.”
“Sebetulnya siapa dia menurut kamu?”
“Dia hanya Togog, begundal-begundal raja angkara murka.”
“Ssst! Surat apa di tangannya itu?”
“Dokumen.”
“Dokumen?”
“Dokumen Gilchrist, hamba dengar tercecer di rumah Bill Palmer.”
“Gilchrist? Bill Palmer? Kedengarannya seperti nama kuda!”
“Bukan, mereka orang-orang Inggris dan Amerika.”
“Ooh.”
Di bawah sana Togog melonjak kegirangan. Sekali ini betul-betul makan tangan, nemu jimat gratis. Kertas kumal mana ia yakin bakal bikin geger dunia. Tak henti-henti diciuminya jimat wasiat itu. Angannya mengawang, tiba-tiba senyum sendiri.
“Sejarah akan mencatat dengan tinta emas: Sang Togog berhasil telanjangi komplotan satria-satria pengraman baginda raja.”
Terbayang gegap gempita pekik sorak rakyat pengemis di lapangan Senayan.
“Hidup Togog, putra mahkota! Hidup Togog, calon baginda kita!”
Sekali lagi ia senyum-senyum sendiri. Baginda tua hampir mati, raja muda togog segera naik takhta, begitu jenderal selesai-selesai dibikin mati kutunya. Pintu markas BPI (badan pusat intelijen) ditendang keras-keras tiga kali. Itu kode!
“Apa kabar Yang Mulia Togog?”
“Bikin banyak-banyak fotokopi dari dokumen ini! Tapi awas, top secret. Jangan sampai bocor ke tangan dinas-dinas intel lain. Lebih-lebih intel AD.”
“Tapi ini otentik apa tidak, Pak Togog? Pemeriksaan laboratoris?”
“Baik, baik yang mulia” (pura-pura ketakutan)
“Nah, kan begitu. BPI Togog harus disiplin dan taat tanpa reserve pada saya tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Semua demi revolusi yang belum selesai!”
“Betul, Pak; eh, yang mulia.”
“Jadi kapan selesai?”
“Seminggu lagi, pasti beres.”
“Kenapa begitu lama?”
“Demi security, Pak. Begitu saya baca dari buku-buku komik detektif.”
“Bagus, kau rajin meng-up-grade diri. Soalnya begini saya mesti lempar copy-copy itu depan hidung para panglima waktu briefing dengan PBR (Pemimpin Besar Revolusi-red). Gimana?”
“Besok, juga bisa asal uang lembur dibayar dimuka.”
Togog meluruskan seragam dewanya. Dan gumpalan uang puluhan ribu keluar dari kantong belakang. Sambil tertawa senang ditepuk-tepuknnya punggung pembantunya.
“Diam! Diam! Dokumen ini bakal bikin kalang kabut Nekolim dan antek-anteknya dalam negeri.”
“Siapa mereka?”
“Siapa lagi? Natuurlijk de zogenaamde ‘our local army friends’. Jelas toh?”
Sepeninggal Togog jimat ajaib ganti berganti dibaca jin-jin liar atau setan-setan bodoh penyembah Dewa Mao nan agung. Mereka jadi penghuni markas Badan Pusat Intelijen secara gelap sejak bertahun-tahun. Syhadan, desas-desus makin laris seperti nasi murah. Rakyat jembel dan kekerlak baju hijau rakus berebutan, melahap tanpa mengunyah lagi.
“Soekarno hampir mati lumpuh; Jenderal kafir mau kup, bukti-bukti lengkap di tangan partai!”
***
Sayang, ramalan dukun-dukun Cina sama sekali meleset. Soekarno tidak jadi lumpuh, pincang sedikit Cuma. Dan pincang tak pernah bikin orang mati. Tanda kematian tak kunjung tampak, sebaliknya Soekarno makin tampak muda dan segar.
Kata orang dia banyak injeksi H-3, obat pemulih tenaga kuda. Kecewalah sang Togog melihat baginda raja makin rajin pidato, makin gemar menyanyi, makin getol menari dan makin giat menggilir ranjang isteri-isteri yang entah berapa jumlahnya.
Hari itu PBR dan Togog termangu-mangu beruda di Bogor. Briefing dengan Panglima-panglima berakhir dengan ganjalan-ganjalan hati yang tak lampias.
“Jangan-jangan dokumen itu palsu, hai Togog.” (PBR marah-marah).
“Ah, tak mungkin Pak. Kata pembantu saya jimat tulen.”
“Tadinya sudah kau pelajari baik-baik?”
“Sudah pak. Pembantu-pembantu saya bilang siang malam mereka putar otak dan bakar kemenyan.”
“Juga sudah ditanyakan pada dukun-dukun klenik?”
“Lebih dari itu! Jailangkung bahkan memberi gambaran begitu pasti!”
“Apa katanya?”
“Biasa, de bekendste op vrije voeten gesteld, altjid!”
“Ah, lagi-lagi dia. Nasution sudah saya kebiri dengan embel-embel Menko Hankam-Kasab. Dia tidak berbahaya lagi.
“Ya, tapi jailangkung bilang CIA yang mendalangi ‘our local army friends’.”
“Gilchrist toh orang Inggris, kenapa CIA campur adukkan?”
“Begini, Pak. Mereka telah berkomplot. Semua gara-gara kita nuruti kawan Mao buka front baru dengan konfrontasi Malaysia.”
“Dunia tahu, Hanoi bisa bernapas sekarang. Paman Ho agak bebas dari tekanan Amerika.”
“Kenapa begitu?”
“Formil kita berhadapan dengan Inggris Malaysia. Sesungguhnya Amerika yang kita rugikan: mereka harus memecah armadanya jadi dua. Sebagian tetap mengancam RRT lainnya mengancam kita!”
“Mana lebih besar yang mengancam kita atau RRT?” (RRT= Republik Rakyat Tjina; ejaan lama dari ‘Cina’-red).
“Kita. Itu sebabnya AD ogah-ogahan mengganyang Malaysia. Mereka khawatir Amerika menjamah negeri ini. “
Soekarno tunduk. Keterangan Togog membuatnya sadar telah ditipu mentah-mentah sahabat Cinanya. Kendornya tekanan Amerika berarti biaya pertahanan negeri Cina dapat ditransfer ke produksi. Dan Indonesia yang terpencil jadi keranjang sampah raksasa buat menampung barang-barang rongsokan Cina yang tak laku di pasaran. Kiriman bom atom, upah mengganyang Malaysia tak ditepati oleh Chen-Yi yang doyan omong kosong. PBR naik pitam.
“Togog, panggil Duta Cina kemari, sekarang!”
“Persetan dengan tengah malam. Bawa serdadu-serdadu pengawal itu semua kalau kamu takut.”
Seperti maling kesiram air kencing togog berangkat di malam dingin kota bogor. Angan-angan untuk seranjang dengan gundiknya yang di Cibinong buyar. Dua jam kemudian digiring masuk seorang Cina potongan penjual bakso. Dia Cuma pakai piyama mulutnya berbau ang ciu dan daging babi.
“Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rezeki nih!” (Duta Cina itu sudah pintar ngomong Indonesia. Dan PBR senang pada kepintarannya).
“Betul, kawan. Malam ini juga kau harus pulang ke negeri leluhur. Dan jangan kembali kemari sebelum dibekali oleh-oleh dari Chen Yi. Ngerti toh?”
“Buat apa bom atom, sih?” (Duta Cina menghafal kembali instruksi dari peking. Tentaramu belum bisa merawatnya. Jangan-jangan malah terbengkalai jadi besi tua dan dijual ke Jepang. Ah, sahabat Ketua Mao; lebih baik kau bentuk angkatan kelima. Bambu runcing lebih cocok untuk rakyatmu.”
“Gimana ini, Togog?”
“Saya khawatir bambu runcing lebih cocok untuk bocorkan isi perut Cina WNA disini.” (Togog mendongkol).
“Jelasnya?” (tanya PBR dan Duta Cina serentak).
“Amerika mengancam kita gara-gara usul pemerintah kamu supaya Malaysia diganyang. Ngerti, tidak?” (Cina itu mengangguk).
“Dan sampai sekarang pemerintahmu Cuma nyokong dengan omong kosong!”
“Kami tidak memaksa, bung! Kalau mau stop konfrontasi, silakan.”
“Tak mungkin!” (PBR meradang). Betul or tidak, Gog?”
“Akur, pak! Konfrontasi mesti jalan terus. Saya jadi punya alasan berbuat nekad.”
“Nekad bagaimana?” (Cina menyipitkan matanya yang sudah sipit.)
“Begitu Amerika mendarat akan saya perintahkan potong leher semua Cina-Cina WNA.” (menggertak).
“Ah, jangan begitu kawan Haji Togog. Anda kan orang beragama!”
“Masa bodoh. Kecuali kalau itu bom segera dikirim.”
“Baik, baik. Malam ini saya berangkat.”
PBR mau tak mau kagum akan kelihaian Togog. Mereka berangkulan.
“Kau memang Menteri Luar Negeri terbaik di dunia.”
“Tapi Yani jenderal terbaik, kata Bapak kemarin.”
“Memang ada apa rupanya? Apa dia ogah-ogahan juga ganyang malaysia?”
“Maaf PJM hal ini kurang jelas. Faktanya keadaan berlarut-larut hanya menguntungkan RRT.”
“Yani ragu-ragu?”
“Begitulah. Sebba PKI ikut jadi sponsor pengganyangan. Sedangkan mayoritas AD anggap aksi ini tak punya dasar.”
“Lalu CIA dengan ‘our local army friends’ nya mau apa?”
“Konfrontasi harus mereka hentikan. Caranya mana kita bisa tebak? Mungkin coba-coba membujuk dulu lewat utusan diplomat penting. Kalau gagal cara khas CIA akan mereka pakai.”
“Bagaimana itu?”
“Unsur-unsur penting dalam konfrontasi akan disingkirkan. Soekarno-Subandrio-Yani dan PKI harus lenyap!”
Sang PBR mengangguk-angguk karena ngantuk dan setuju pada analisa buatan Togog. Hari berikutnya berkicaulah Togog depan rakyat jembel yang haus sensasi. Seperti penjual obat pinggir jalan, ia sering lupa mana propaganda jiplakan dan mana hasil gubahan sendiri.
“Saudara-saudara, di saat ini ada bukti-bukti lengkap di tangan PJM Presiden/PBR tentang usaha Nekolim untuk menghancurkan kita. CIA telah mengkomando barisan algojonya yang bercokol dalam negeri untuk menyingkirkan musuh-musuh besarnya. Waspadalah saudara-saudara Soekarno-Subandrio-Yani dan rakyat progresif-revolusioner lainnya akan mereka musnahkan dari muka bumi. Tiga orang ini justru dianggap paling berbahaya untuk majikan mereka di London dan Washington.
“Tapi jangan gentar, Saudara-saudara! Saya sendiri tidak takut demi Presiden/PBR dan demi revolusi yang belum selesai. Saya rela berkorban jiwa raga. Sekali lagi tetaplah waspada. Sebab algojo-algojo tadi ada di antara Saudara-saudara.”
Rakyat bersorak kegirangan. Bangga punya Wakil Perdana Menteri berkaliber Togog yang tidak gentar mati. Sejenak mereka luput perut-perut lapar ditukar dengan kegemasan dan geram meluap-luap atas kekurangajaran nekolim.
Rapat diakhiri dengan membakar orang-orangan berbentuk Tengku sambil menari-nari. Bendera-bendera Inggris dan Amerika yang susah payah dijahit perempaun-perempuan mereka di rumah, diinjak-injak dan dirobek penuh rasa kemenangan dan kepuasan luar biasa.
Setelah bosan mereka bubar satu-satu. Tinggal pemuda-pemudanya yang melantur kesana kemari, bergaya tukang copet. Mereka ingin mencari tahu algojo-algojo Nekolim yang dikatakan Togog barusan.
Di Harmoni segerombolan tukang becak asyik kasak-kusuk, bicara politik. Kalau di Rusia Lenin bilang koki juga mesti milik politik, di Jakarta tukang-tukang becak juga keranjingan ngomong politik.
“Katanya Dewan Jenderal mau coup. Sekarang Yani mau dibunuh, mana yang benar?”
“Dewan Jenderal siapa pemimpinnya?”
“Pak Yani, tentu.”
“Jadi Yani akan bunuh Yani. Gimana, nih?”
“Aaah! Sudahlah. Kamu tahu apa.” (Suara sember.)
“Untung menteri luar negeri kita jago. Rencana nekolim bisa dibocorin.”
“Dia nggak takut mati?”
“Tentu saja kapan dia sudah puas hidup-hidup. Berapa perawan dia ganyang!” (suara sember menyela lagi).
Yang lain-lain tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak Menteri mengganyang perawan dan isteri orang.
***
Pengganyangan Malaysia yang makin bertele-tele segera dilaporkan PBR ke Peking.
“Kawan-kawan seporos, harap bom atom segera dipaketkan, jangan ditunda-tunda. Tentara kami sudah mogok berperang: Jenderal-Jenderal asyik ngobyek cari rezeki dan prajurit-prajurit sibuk ngompreng serta nodong. Jawaban dari Peking tak kunjung datang. Yang datang membanjir hanya textil, korek api, senter, sandal, Pepsodent, tusuk gigi dan barang-barang lain bikinan cina.
Soekarno tiba-tiba kejatuhan ilham akan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat yang sudah lapar dimarahi habis-habisan karena tak mau makan lain kecuali beras. Ubi, jagung, singkong, tikus, bekicot dan bahkan kadal, obat eksim paling manjur.
“Saya sendiri dikira makan nasi tiap hari? Tidak! PBR-mu ini Cuma kadang-kadang makan nasi sekali sehari. Bahkan sudah sebulan ini tidak makan daging. Tanya saja Jenderal Saboer!”
“Itu Pak Leimena disana (menunjuk seorang kurus kering) dia lebih suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak), dia tak bisa kerja kalau belum sarapan jagung.”
Paginya ramai-ramai koran memuat daftar menteri-menteri yang makan jagung. Lengkap dengan potretnya sekali. Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan Perancis di Hotel Indonesia. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tidak makan daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin dari Moskow.
Namun rkayat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang. Hati mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi. ***






























F. ANALISIS CERPEN “LANGIT MAKIN MENDUNG”

Cerpen Langit Makin Mendung (1968) karya Kipanjikusmin. Cerpen yang yang melahirkan buku “Heboh Sastra 1986” oleh H.B. Jassin tersebut menjadi polemik lantaran melakukan personifikasi terhadap Tuhan. Selain itu juga mempersonifikasikan secara sinisme malaikat dan para rosul.Hal inilah yang menjadikan dasar polemik, khususnya oleh umat Islam dan para sastrawan.
Adapun pembelaan Jassin terhadap karya tersebut adalah pengarang memiliki kebebasan yang luas dalam mengapresiasikan segala bentuk ide atau gagasannya. Selain itu, Jassin juga mengetengahkan alasan bahwa memahami sebuah karya sastra tidak dapat secara parsial. Artinya sebuah karya sastra tidak dapat dipahami hanya dengan sepotong-sepotong, melainkan secara keseluruhan. Alasan lain, Jassin menyatakan bahwa gaya bahasa personifikasi terhadap Tuhan pun juga terdapat dalam Al-Quran.
Di dalam Al-Quran, Allah juga dipersonifikasikan sebagai zat yang menduduki arsy. Di samping itu juga terdapat frase Tuhan Maha Penyayang, Maha Pengasih, dsb. Menurut hemat saya, kata-kata tersebut adalah sah sebagai personifikasi. Hal ini disebabakan bahwa manusia tidak memiliki ungkapan khusus untuk Tuhan.
Alasan tersebut tak lebih dari sekedar memudahkan pemahaman manusia sebagai sosok zat yang Maha dari Segala Maha. Oleh karena keterbatasan-keterbatasan inilah, termasuk keterbatasan bahasa, akhirnya manusia mempermudahnya dengan mempersonifikasikannya. Bukankah di dalah Al-Quran sendiri dikatakan bahwa kalaupun air di lautan dijadikan tinta, maka tak akan cukup untuk menuliskan Rahmat Tuhan.
Ada beberapa garis besar dalam cerpen Langit Makin Mendung yang menjadikan cerpen ini heboh. Pertama, adanya penyebutan kata “pensiun” kepada para nabi. Kedua. Tuhan digambarkan sebagai Zat yang tidak tahu menahu. Ketiga penghinaan kepada Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril yang mengendarai buroq dan bertabrakan dengan pesawat sputnix milik Rusia. Buroq digambarkan hancur menjadi debu, sementara Nabi Muhammad dan Jibril tersangkut di awan.
Bagi saya, penggambaran yang dilakukan oleh Kipanjikusmin adalah berlebihan. Dengan kata lain, personifikasi yang dimaksudkan adalah tidak tepat. Ketidaktepatan inilah yang memicu adanya “Heboh Sastra” pada tahun cerpen tersebut terbit di Majalah Sastra No.8 Tahun VI, bulan Agustus. Ketidaktepatan itu pulalah yang mendorong saya untuk berasumsi bahwa Kipanjikusmin telah melakukan pelecehan tokoh suci agama Islam secara tidak langsung. Pendek kata, personifikasi Tuhan dapat dilakukan apabila dalam batas-batas kewajaran.




F. SINOPSIS CERPEN “Negeri Bromocorah”
Dalam cerpen diceritakan tentang sebuah negeri yang pada awalnya orang-orang di negeri itu menjadi jajahan dan dibuang ke tempat yang terpencil yang disebut lembah Bromocorah karena kemiskinan yang melanda. Para kaum-kaum tersebut ditolong oleh bangsa Indian yang memberikan mereka lahan untuk digarap. Namun bukannya mereka berterima kasih karena sudah ditolong, mereka malah memaksa para bangsa Indian untuk pindah dari daerah mereka sendiri dan daerah tersebutlah yang sampai sekarang menjadi daerah kekuasaan mereka, yang mereka tempati sampai sekarang yang sebenarnya adalah milik dari bangsa Indian. Para kaum-kaum yang nantinya akan menjadi kaum yang dibenci oleh seluruh bangsa di dunia karena kelaknatan yang dimiliki oleh pemimpin mereka. Mereka menyerang Negara yang tidak mau menurut perintah serta kebijakan yang mereka terapkan pada Negara lain serta memaksakan kebijakannya agar dipatuhi oleh Negara lain yang dianggap lebih lemah dari mereka.


G. ANALISIS CERPEN “Negeri Bromocorah”
Dari penggalan ringkasan cerita ini kita dapat menyimpulkan bahwa sang pengarang ingin membuka mata kita mengenai suatu Negara yang sangat biadab yang memiliki sikap yang tidak bisa kita terima. Dalam cerpen ini pengarang mengangkat tentang cerita yang berhubungan dengan pemerintahan. Hal ini disebabkan karena pengalaman sang pangarang sewaktu menjadi tahanan oleh pemerintah selama sembilan tahun. Hal itulah yang mendasari karya yang satu ini sebagian besar berhubungan dengan politik pemerintahan. Selain karya-karya dari bidang sastra, Mochtar Lubis juga megeluarkan karya-karya dari bidang jurnalisme yang juga berhubungan dengan pemerintahan, dalam hal ini Amerika Serikat. Negara Adidaya ini adalah Negara yang kayaknya paling dibenci oleh Mochtar Lubis. Kebencian inilah yang tertuang dalam cerpennya yang berjudul Negeri Bromocorah ini.

Selain itu, dalam cerpen ini juga terdapat unsur yang menarik yang bisa kita bahas. Unsur tersebut antara lain adalah dengan disamarkannya nama-nama yang ada dalam cerita yang sebenarnya semua ada dalam kehidupan di dunia ini. Namun semua itu dibuat dengan sedemikian rupa oleh sang penulis, dengan daya kreatifitas yang tinggi dan penuh dengan ide-ide cemerlang dalam penceritaan sehingga pembaca tidak dapat mengetahui apa sebenarnya yang dibahas oleh pengarang yang terkesan asli dan sebenarnya adalah asli, namun tidak ada dalam kehidupan nyata. Hal itu dilakukan dengan memasukkan nama-nama seperti cerita yang ada pada cerita rekaan, seperti Negeri Camelot, Raja Artura, Benua Bromocorah, Presiden Busyet.

Terlepes dari itu saya juga tertarik membahas tentang nilai-nilai yang bisa diambil dalam cerpen. Pengarang sengaja memasukkan contoh-contoh yang bersifat negatif dalam cerpen, seperti para bangsa Bromocorah yang tinggal di wilayah Indian dan dipinjami fasilitas untuk hidup oleh bangsa Indian, namun mereka malah sengaja menguasai fasilitas-fasilitas yang telah dipinjamkan dan mengusir para bangsa asli di situ yaitu bangsa Indian dari tanah mereka sendiri.

Adapun dalam cerpen terdapat unsur-unsur intrinsik yang membangun cerpen hingga menjadi cerita yang terkemas dengan indah dan penuh dengan makna yang memiliki arti yang sangat dalam hingga membutuhkan kemampuan yang lebih dalam memahami cerita. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam cerpen ini yang menurut saya sangat mempengaruhi keindahan cerpen adalah antara lain yaitu latar, gaya bahasa, diksi, dan tema yang diangkat dalam cerita.

Pertama-tama yaitu latar yang membangun cerpen yaitu tempat yang di mana belum pernah kita dengar namanya sebelumnya yaitu negeri Camelot dan negeri Bromocorah yang notabene nama-nama tersebut merupakan nama yang baru di telinga kita yang jika kita tidak memperhatikan cerita dengan baik maka kita tidak akan sadar kalau yang di sebut-sebut itu adalah negeri yang menjadi negeri adidaya di dunia yaitu Amerika Serikat. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan lain selain pengetahuan tentang sastra dalam membaca cerpen ini, salah satunya adalah pengetahuan tentang sejarah dunia dan pengetahuan tentang nama-nama tokoh dunia yang dalam cerpen ini diplesetkan agar tidak menyinggung bagi orang-orang yang bersangkutan dengan cerita ini. Kemudian gaya bahasa yang terdapat dalam cerpen adalah gaya bahasa yang ringan tetapi syarat akan makna. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya makna yang bisa dipetik dari cerita setelah kita memahami cerita yang disampaikan. Kemudian diksi atau pilihan kata yang terdapat dalam cerita. Pengarang memasukkan pilihan kata yang tidak berbelit-belit dengan banyak unsur-unsur puitik, namun memakai kata-kata yang dapat dengan mudah untuk dimengerti dan dipahami. Dan terakhir unsur yang menarik perhatian saya untuk dibahas adalah tema yang ada dalam cerita. Tema yang diangkat dalam cerita adalah mengenai kemanusiaan yang ada dalam dunia. Pengarang sengaja menampilkan negara yang memiliki hubungan yang tidak baik dengan negara lain karena selain tidak menghargai eksistensi negara lain negara ini juga sangat tidak mau jika ada negara lain yang lebuh hebat dari pada dia serta juga tidak mau jika ada Negara lain yang tidak mau mengikuti kebijakan dan perintahnya. Namun pengarang tidak semata-mata menyinggung sebuah negara yang sangat berkuasa di dunia ini, dalam cerita ini juga bisa dikaitkan dengan sifat-sifat yang ada pada manusia. Jadi selain mengangkat masalah yang dikaitkan dengan sebuah negara, pengarang juga sengaja mengaitkan cerita ini agar bisa berhubungan dengan kehidupan manusia.

Begitulah sifat dari Mochtar Lubis yang suka membahas tentang manusia. Beliau juga pernah berkomentar tentang ciri-ciri manusia Indonesia yang telah dikutip oleh seorang wartawan senior.

Diungkapkan wartawan legendaris itu tahun 1977, dan sampai kini masih relevan. Dia menulis tentang ciri-ciri manusia Indonesia yang pernah diungkapkan Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan yang sebagian dia kutip yaitu sebagai berikut:

Menurut Mochtar, ciri pertama manusia Indonesia adalah hipokrisi atau munafik. Di depan umum kita mengecam kehidupan seks terbuka atau setengah terbuka, tapi kita membuka tempat mandi uap, tempat pijat, dan melindungi prostitusi. Banyak yang pura-pura alim, tapi begitu sampai di luar negeri lantas mencari nightclub dan pesan perempuan kepada bellboy hotel. Dia mengutuk dan memaki-maki korupsi, tapi dia sendiri seorang koruptor. Kemunafikan manusia Indonesia juga terlihat dari sikap asal bapak senang (ABS) dengan tujuan untuk survive.

Ciri kedua manusia Indonesia, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Atasan menggeser tanggung jawab atas kesalahan kepada bawahan dan bawahan menggeser kepada yang lebih bawah lagi. Menghadapi sikap ini, bawahan dapat cepat membela diri dengan mengatakan, ”Saya hanya melaksanakan perintah atasan.”

Ciri ketiga manusia Indonesia berjiwa feodal. Sikap feodal dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan organisasi kepegawaian. Istri komandan atau istri menteri otomatis menjadi ketua, tak peduli kurang cakap atau tak punya bakat memimpin. Akibat jiwa feodal ini, yang berkuasa tidak suka mendengar kritik dan bawahan amat segan melontarkan kritik terhadap atasan.

Ciri keempat manusia Indonesia, masih percaya takhayul. Manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung, dan keris mempunyai kekuatan gaib. Percaya manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua untuk menyenangkan ”mereka” agar jangan memusuhi manusia, termasuk memberi sesajen.

”Kemudian kita membuat mantra dan semboyan baru, Tritura, Ampera, Orde Baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang adil dan merata, insan pembangunan,” ujar Mochtar Lubis. Dia melanjutkan kritiknya, ”Sekarang kita membikin takhayul dari berbagai wujud dunia modern. Modernisasi satu takhayul baru, juga pembangunan ekonomi. Model dari negeri industri maju menjadi takhayul dan lambang baru, dengan segala mantranya yang dirumuskan dengan kenaikan GNP atau GDP.”

Ciri kelima, manusia Indonesia artistik. Karena dekat dengan alam, manusia Indonesia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaan sensualnya, dan semua ini mengembangkan daya artistik yang dituangkan dalam ciptaan serta kerajinan artistik yang indah.

Ciri lainnya, manusia Indonesia tidak hemat, boros, serta senang berpakaian bagus dan berpesta. Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali terpaksa. Ia ingin menjadi miliuner seketika, bila perlu dengan memalsukan atau membeli gelar sarjana supaya dapat pangkat. Manusia Indonesia cenderung kurang sabar, tukang menggerutu, dan cepat dengki. Gampang senang dan bangga pada hal-hal yang hampa.

Kita, menurut Mochtar Lubis, juga bisa kejam, mengamuk, membunuh, berkhianat, membakar, dan dengki. Sifat buruk lain adalah kita cenderung bermalas-malas akibat alam kita yang murah hati.

Selain menelanjangi yang buruk, pendiri harian Indonesia Raya itu tak lupa mengemukakan sifat yang baik. Misalnya, masih kuatnya ikatan saling tolong. Manusia Indonesia pada dasarnya berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam penderitaan. Manusia Indonesia juga cepat belajar dan punya otak encer serta mudah dilatih keterampilan. Selain itu, punya ikatan kekeluargaan yang mesra serta penyabar.

Demikian hasil dari analisis yang telah saya paparkan mengenai cerpen Negeri Bromocorah yang merupakan hasil karangan Mochtar Lubis yang merupakan sastrawan Indonesia yang sangat mengharumkan nama bangsa baik di dalam maupun di luar negeri.




























E. SINOPSIS CERPEN “ Hikayat Siti Rahima” Karya Zen Hae
Seorang gadis yang sedang berputus asa, karena ia tidak lagi suci. Siti Rahima nama gadis itu mengandung benih dari seorang pria yang bekerja sebagai kontraktor jalan. Akhirnya Siti Rahima diusir oleh keluarganya, karena telah mencoreng nama baik keluarga dan masyarakat kampungnya. Dengan keputus asaan Siti Rahima berjalan mencari lelakinya itu. Tiba di sebuah tempat, di bawah sebuah pohon besar. Pohon asam, Siti Rahima duduk untuk sekedar beristirahat. Keesokan harinya, warga kampung menemukan Siti Rahima tanpa nyawa. Siti Rahima mati, masuk dan tumbuhnya menyatu ke dalam Pohon Asam
F. ANALISIS CERPEN “ Hikayat Siti Rahima” Karya Zen Hae
1. Tema Cerpen
Menurut Brook dan Waren dalam Guntur (93:125) menyatakan tema adalah unsur atau makna suatu cerita atau novel. Sedangkan disatu sisi yang berbeda Brooks, Waren, dan Purser menyatakan tama adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu bentuk karya tulis. Tema merupakan gagasan pokok yang terdapat adalm sebuah wacana. Tema yang bisa diangkat dari Hikayat Siti Rahima adalah : “ Perjuangan seorang gadis dalam mempertahankan kisah hidupnya di dunia fana”.


2. Setting Cerpen
sendiri adalah waktu, tempat, atau suasana yang terjadi dalam cerita. Setting kadangkala diangkat tidak jauh dari latar belakang penulis sebuah karya sastra, maksudnya sebagian besar setting dari sebuah karya sastra merupakan tempat dari pengalaman penulis yang sangat berkesan. Dalam Cerpen Hikayat Siti Rahima berlatar belakang setting di sebuah kampung dipinggiran kota yang berbatasan langsung dengan Ibukota Negara Jakarta,
“ Dulu aku manusia juga. Seorang perempuan. Tetapi, itu duli, sudah lama sekali. Jauh sebelum jalan lingkar luar ini dibangun oleh konsorsium kontraktor Jepang-Indonesia. Ketika sewah dan kebun sayur membujur, ke utara dan timur laut, mengikuti alaur sungai Kali Angke. Di sebelah timurnya, setelah hamparan sawah dan kebun sayur, rumah-rumah orang kampungku…”
3. Tokoh-Tokoh Cerpen
Tokoh menempatkan urutan pertama dari setiap karya sastra. Tanpa adanya tokoh sebuah karya sastra tidak akan hidup.
Tokoh merupakan orang-orang yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Setiap tokoh dalam novel memiliki karakter yang berbeda-beda. Penggambaran watak tokoh dalam novel sangat detail, sehingga pembaca bisa memilai ,masing-masing tokoh tersebut. (Bahasa Indonesia, Tim Pengembangan Kurikulum ; 10). tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen Hikayat Siti Rahima yaitu :
- Siti Rahima
Seorang wanita yang terlahir dari keluarga sederhana. Kembang kampung yang baru merasakan jatuh cinta kepada seorang konsorsium kontrkator jalan. Wanita tegar, yang lagi berputus asa dalam pencarian sang lelaki pujaan hati yang pergi entah ke mana. Wanita yang penuh gairah dan agresif. Wanita yang selal lapang dada menerima perlakuan dan takdir dari sang Kuasa.
- Pria yang menjadi pacar Rahima ( seorang Konsorsium Kontrkator Jalan)
Pria pekerja keras, pria yang tidak bertanggung jawab. Pria yang meninggalkan Siti Rahima setelah ia meraih hati dan tubuh gadis itu, sampai sang gadis mengandung benih cinta mereka.
- Ayah
Pria yang tegas, berwibawa, taat pada ajaran agamanya. Pria yang mengusir anaknya gadisnya karena telah mencoreng nama baik keluarga.
- Ibu
Seorang wanita yang lembut, lemah, wanita yang sangat taat pada suaminya. Dia tidak bisa menetang ayah, ketika beliau mengusir Rahima dari rumah.


- Orang-orang kampung
Orang-orang yang kurang mengecam pendidikan. Masih menganut sistem yang sangat tradisional. Masih percaya kepada yang namanya dukun dan percaya kepada mitos. Orang-orang kampung yang tidak bisa mengusir para konsorsium kontraktor yang telah merusak alam kampung mereka.
4. Alur yang Digunakan Dalam Cerpen
Alur adalah struktur yang terdapat dalam fiksi atau drama (Brook dalam Guntur 1995:126). Artinya sebuah karya novel bergerak maju dari suatu permulaan (beginning), melalaui suatu pertengahan (middle), dan akhirnya menuju kesuatu akhir cerita (ending).alur dalam cerpen Hikayat Siti Rahima Yaitu alur maju. Dan diakhiri dengan pencarian tempat kehidupan oleh Rahima, agar dia dia bisa diterima di surga atau neraka.
5. Gaya Bahasa yang dipakai dalam Cerpen
Sebuah gaya bahasa yang baik haruslah mengandung tiga unsur seperti berikut ini; Kejujuran, yaitu mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Sopan santun, yaitu memberi penghargaan atau menghormati orang yang di ajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Dan Menarik, yaitu gaya bahasa dikatakan menarik apabila bervariasi, memiliki humor yang sehat, pengertian yang baik, penuh dengan tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinasi). Gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa, style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Gaya bahasa yang dipakai dalam cerpen Hikayat Siti Rahima adalah :
- Anastrof/inverse adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.
“ Esok paginya orang-orang kampung ,menemukan tubuhku tergeletak kaku, dengan lidah yang terjulur di dalam gerowong pohon asam. Rahima bunuh diri, kata orang. Dibunuh orang, kata yang lain. Pendek kata, aku sudah mati. Tetapi arwahku tidak pergi dari pohon ini…”
- Asidenton Adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari pasidenton. Beberapa kata, frasa atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung.
“ Pejamkan matamu, Tong. Matahari akan hilang. Hujan pertama akan datang. Tubuhku akan dingin, menggil, meliuk. Lidah-lidah air yang menjilati tubuhku, tanah dan pepohonan, adalah lidah para lelaki yang kehausan…”
- Hiperbol, semacam gaya bahasa yang mengadung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
“ namun, lelaki itu tidak hanya mengukur, mengeker, dan mencatat. Ia memindai percik api dimataku. Dam aku merasakan debur ombak di dadanya. Lalu sapaan, rayuan gombal. Ahai… jilatan lidah ombak pada pasir panas. Tubuh-tubuh bergetar. Menggelinjang. Desah panjang. Percik darah….”
6. Amanat yang Terdapat Dalam Cerpen
Amanat yang disampaikan melalui cerpen Hikayat Siti Rahima adalah bahwa kita manusia jangan terlalu mengutamakan kehidupan dunia saja, apalagi yang bisa menjerumuskan kita kedalam dunia penuh dosam seperti free sexs. Kita harus menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Jangan mudah berputus asa, apaun masalah yang lagi kita hadapi. Sebab Tuhan tidak akan memberikan sebuah cobaan melebihi kemampuan umatnya. Yang paling penting kita tetap menjaga sopan sntun kita kepada kedua orang tua dengan menghormati mereka.
7. Kritik yang Cocok Untuk Cerpen Hikayat Siti Rahima
Cerpen Hikayat Siti Rahima mengangkat kritik tentang mitopoik, di dalam cerpen ini Zen Hae menceritakan tentang penduduk kampung yang masih memegang erat tentang mitos dalam kehidupan. “Akhirnya mereka panggil seorang lelaki tua bermisai panjang dan bermata picak. Di hari yang ditentukan, sang dukun membakar dupa dan membaca mantra di depan gerowong tubuhku. “ dut serudut ular kadut. Yang nyangkut ngoyor kelaut. Aer manek aer sagu. Setan Rahima jangan ngeganggu. Puh!” aku tertawa mendengarnya. Begitu kental mitos yang ada di kampung itu sehingga pohon itu dijadikan tempat sacral pemujaan.

STILISTIKA CERITA PENDEK

A. Pengertian Cerita Pendek
Stilistika cerita pendek adalah penggunaan bahasa dalam cerita pendek. Cerita pendek ini adalah bahagian cerita fiksi atau cerita rekaan. Oleh karena itu, focus stilistika cerita pendek, bagaimanakah penggunaan bahasa dalam cerita pendek, yang digunakan oleh cerpenis, apakah ciri-ciri bahasa cerita pendek, apa sajakah komponen stil cerita pendek, bagaimanakah hubungan bahasa dengan cerita pendek.

B. Cerpen KERETA BERKUDA, PEREMPUAN YANG BERCADAR PENJUAL BUAH-BUAHAN
Ia datang dengan kereta berkuda. Berhenti di tikung jalan setelah sejam yang lewat terperosok kedalam kanal. Kuda yang berbudi, tahu diri, mengeringkan kayup badan sendiri lewat sapuan angina. Udara sepanjang arah perjalanan dari taman kota yang lembab menggagalkan ruapan parfum yang tersemprotkan dari tubuhnya, pun membuat wanit penjual buah-buahan di dekat tikungan lebih membaui aroma mirip cemboran; keberengsekan kanal kotor yang sepanjang jalan itu sumpah serapahi secara tertahan kecuali mengerutukka gigi yang tak bisa terhindarkan.
“Arah kuil, ke kiri”, demikian wanita penjual buah-buahan yang bercadar murahan itu berbicarah kepadanya dari jarak sejauh sepuluh meter. Ia masih murung terhadap kendah perjalanannya., terhadap kahanan, yang sama sekali tak membersitkan kilau matahari berkeredapan, timbul tenggelem tersaput awan.Ngungun ia menengok perempuan penjual buah-buahan. Sejak mula perjalanan dari taman kota, benarlah apa yang ia duga, kota yang ia singgahi memang menyambutnya dengan perasan resah, rawan, isyarat aura tak bersahabat. Tak ada kereta berkuda lain disepanjang perjalanan yang ia lalui, tak seperti tahun-tahun silam, ratusan perempuan bercadar berkereta kuda beriringan menuju arah kuil, sengaja menghindar dari bermacam kelindan pembicaraan, sekalipun ada lebih dari seorang yang berada didalam kereta berkuda. Jauh-jauh hari, musim, ah cuaca, seperti mengumpat terhadap setiap maksud bagi siapa pun yang mau mengunjungikuil. Atau, malah sebuah pertanda,jumlah perempuan bercadar yang datang memanglah menyusut? Atau, jumlah perempuan bercadar yang berencana ke arah kuil justru sudah memarkir kereta kudanya di lereng kuil? Menungu keloneng lonceng menggema tepat pada malam pergantian hari, seluruh perempuan yang bercadar itu juga menanti kala menyalakan lilin, duduk bersimpuh bersama, berjajar lima orang-lima orang, antartangga, terus kebelakang, dari arah pintu kuil sampai tak terhingga? Menunggu seorang berjubah hitam, berkalung raja, gundul, membukakang pintu gerbang, satu-satunya pintu masuk kuil, non seperto candi?
Perempuan penjual buah-buahan yang hanya seorang diri di sepanjang jalan lengang itu memberi isyarat membelok ke kiri dengan lambaian tangan setelah tak ada tanggapan apapun dari perempuan bercadar di atas kereta berkuda.
“Cadar kita sewarna, kenapa maksud tak menyatukannya. Perempuan penjual buah-buahan menggerutu”.

*

KALAU mau sesegerah menuju ke arah kuil, ia bisa menjentikkan tali kuda secara tiba-tiba. Namun, ia urung melakukannya. Ia malah menengok ke belakang, sekalipun tak ada kereta berkuda lain yang menderap perlahan, sebisa mungkin tak memunculkan bunyi. Tentu, kudayang dikendarai mestilah kuda yang kenyang, segemulai keledai, asal diam sudilah jalan. Kini, perempuan penjual buah-buahan malah gelisah, usahanya menyapa, beranjak bangun dari duduk silanya, sekadar menjelaskan apa pun yang mampu ia utarakan kepada perempuan berkereta kuda, tak ditanggapi. Belajar dari tak ditanggapinya akrab yang telah ia lakukan, ia akan jafi sepenuh hati berdiri, meski sekedar menghampiri kereta berkuda, menjajakan buah. Sebenarnya, perempuan penjualan buah-buahan itu masih mau meladeni sikap orang yang akan ia hampiri, seandainya pun ia akan disambut dengan sesuara basa-basi dari dalam kereta berkuda.
Ah, perempuan penjual buah-buahan itu Cuma ingin bertegur sapa dan perempuan bercadar yang ada di dalam kereta berkuda malah termanga, entah apa yang dipikirkannya, entah memilih jengah. Untunglah, ia masih sudi melirik ke luar jendela kaca, membukanya, membuat perempuan penjual buah-buahan membalas dengan kelingan. Dua perempuan bercadar, sama-sama sungkan, sama-sama tak mau mengecewakan. Seperti mula pandangan pertama, sesiapa pun tak mau mulai tersintak, mengawali rajuk-rayu, terlebih dahulu. Sore itu, udara merupakan udara desir angina berhawa pasir, dari arah gurun, seberang kuil.
Perempuan penjual buah-buahan terus saja mengerling.

*

PEREMPUAN bercadar di dalam kereta berkuda turun dari pijakan tangga pertama, menyibakkan paying hitam. Seperti berdamai dengan ruap udara yang berdebu, berpasir, ia melangkah kea rah perempuan penjual buah-buahan. Dalam langkah yang agak perlahan, ia menyesali kenapa mesti berjalan kea rah perempuan penjual buah-buahan. Apalagi, perempuan penjual buah-buahan itu sudah membikin kesalahan justrudengan menunjukkan jalan kea rah kuil. Juga dengan kebodohannya menjajakkan dagangan di musim yang khidmat. Sudah jelas, siapa yang berkereta kuda kearah kuil bukanlah menghindari ujaran, pembicaraan, kasar-sasar karena memilih jalan berbelok serupa labirin yang keliru,yang maunya paling cepat samapi di kuil pun perlu dikhidmati. Kenapa ada orang dungu yang menjajakan dagangan?
Pada kali pertama perjalannannya dulu, ia ingat, upaya kea rah kuil dapat ditempuh dari mana saja. Ada empat pintu gerbang sebagai mulai perjalanan, melintasi gedung-gedung tua, ketedral, dan bangunan apapun yang berusi ratusan tahun, menjelujurpada setiap tepi kanan, agar sampai ke kuil yang berada di ujung tenggara kesemua bangunan itu. Namun, yang pasti, perjalananya kini terlanjur tak lagi khidmat. Kerlingan mata yang yang meruntuhkan kekidmatan tetapn ia tuju. Kira-kira sepuluhanlangkahla ia bakalan sampai di depan perempuan penjual buah-buahan.
Alangkah berdosanya jika ia terjebak kelanjutan pembicaran, bukan?

*

KETIKA ia justru menengok, dikejauhan ada pula kereta berkuda yang berjalan ke arahnya, seperti liliput. Ia mengerti, pada akhirnya kereta berkuda itu \bakaln samapai ke arahnya. Namun, ia seperti wajib menghampiri perempuan penjual buah-buahan. Maksudnya,yang menggerakkan konyol! Hanyalah karene selera warna cadaryang dikenakan sama. Ah, ia telah merelakan dirinya tergoda seperti Adam dan Hawaterlenakan khuldi. Tak seperti tahun-tahun yang silam,ia sekusuk nuh, yang rela anaknya mati tenggelam, terlambat menumpang perahu yangdilayarkan, resikonya banjir banding.
Senja telah menunjukkan ketaatannya permisi kepada alam, petang segera ingin menyerga suasana jalan ke arah kuil. Ia paham, tak ada lampion penerang jalan yang bakalan di hilir mudik ratysan kereta berkuda karena purnama yang kemilau adalah satu-satunya suluh terintim.
Perempuan bercadar yang berjalan sambil menyungkupkan puyung hitam karena alasan desiran debu telah sampai di depan perempuan penjual buah-buahan. Ia berusaha memandangnya sembari menguliti niat bahwa ingin serta-merta mengajak perempuan itu mengunjungi kuil. Sungguh, segala iktikad, meski tak termaktub dalam kitab-kitab luhura disepakati: seperti semula, berusaha menghindari ujaran. Karena itu , ia mengajak perempuan penjual buah-buahan Cuma denga juluran tangan, sekaligus sebagai umpatan yang tak kesampaian.
Ia masih menjulurkan tanga tepat ketika derapan langkah kuda yang teramat perlahanmendekat kearahnya, ia harus mengubah arah berhenti kereta kudanya agar tak terlampau ditengah-tengah tikungan sehingga menghalangi jalan.
Perempuan penjual buah markisa itu belum membalas juluran tangan kirinya.

Yogyakarta, 2003


























C. Tentang Pengarang
Satmoko Budi Santoso dilahirkan di Yogyakarta, 7 Januari 1976. Studi di jurusan Teater Institute Seni Indonesi Yogyakarta dan mengelolah Jurnal Cerpen Indonesia.
Karyanya berupa cerpen, puisi, esai, resensi buku, di muat di berbagai media cetak: Kompas, Horison, Koran Tempo, Media Indonesi, The Jakarta Pos, Jawa pos, Suara Pembaharuan, Suara Merdaka, Nova, Citra, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Minggu Pagi, dan Lampung Pos.
Cerpennya masuk dalam sepuluh besar Lomba Cipta Cerpen Harian Bali Post (2002), juara II Lomba Cipta Cerpen Majalah Budaya Sagang (Riau), dan sepulu besar Lomba Cipta Cerpen Krakatau Award (Lampung).
Karyanya yang lain dimuat dalam sejumlah analogi Fasisme (1995), Candrawama (1996), Taman Sari (1997), Antologi Puisi Indonesia (1997), Slonding (1998), Embun Tajalli (1998), Filantropi (1999), Metamorposa Cicak di Atas Peta (2003), dan Sepuluh Kisah Cinta yang Mencurigakan (2004)
Bukunya: jangan membunuh di hari sabtu (2003) dan buku Harian yang terlipat cadar (2004)










ANALISIS CERPEN KERETA BERKUDA, PEREMPUAN YANG BERCADAR, PENJUAL BUAH-BUAHAN

1. Unsur Interinsik
- Alur : Campuran
- Latar : Di jalan, Taman kota, Kuil,
-Tema :
-Tokoh :
-Penokohan :
-Topik :

2. Komponen Stilistika Cerpen
A. Unsur Leksikal
Unsur Leksikal sama pengertiannya dengan diksi adalah penggunaan kata tertentu yang sengaja dipilih dalam cerita pendek oleh cerpenis. Diksi ini dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna.
Bentuk kata berkaitan dengan jenis-jenis kata yang digunakan. Makna kata lebih dipilih yang berkonotasi yang juga lebih mengungkapkan gagasan yang membangkitkan asosiasi-asosiasi. Dalam cerpen Indonesia, kata yang dipilih atau ungkapan yang dipilih bisa jadi dari bahasa/kata daerah atau asing. Terjadi penyimpamgan, namun memiliki epek memperjalas makna.
Keperluan analisis leksikal sebuah karya fiksi terutama dalam cerpan “kereta berkuda, perempuan yang bercadar, penjual buah-buahan”, dapat dilakukan berdasarkan tinjauan:
1. Kata yang dipergunakan sederhana atau kompleks
Diksi atau pilihan kata yang digunakan dalam cerpen tersebut agak tidak kompleks karena digunakan untuk Alitrasi, Irama, epek bunyi tertentu khususnya dalam cerpen ini dan unsur fiksinya tidak seintensif seperti halnya dengan sajak maupun fiksi lainnya. Kemudian pertimbangan dari segi mode, bentuk dan ,makna yang dipergunakan sebagai sarana mengkonsentrasikan suatu gagasan sangat sulit untuk membedakan dengan stail bahasa Nonsastra biasa

2. Kata dan Ungkapan Formal dan Kolokial?
Artinya kata-kata baku bentuk dan makna dalam percakapan sehari-hari. Jenis kata yang digunakan memudahkan pendeskripsian oleh si pengarang. Kemudian banyak menggunakan kata-kata dialek. Contohnya:
- Kanal
- Ruapan
- Tersemprotkan
- Keberengsekan
- Ngungun
- Kelinda
- Mengumpat
- Lengang
- Termangu
- Jengan
- Meruapkan
- Tersintak
- Rajuk-rayu
- Mengerling
- Membikin
- Kidmat
- Trimtin

3. Kata dan ungkapan dalam bahasa karya yang bersangkutan atau dari bahasa lain misalnya dengan mempergunakan ungkapan bahasa Indonesia saja atau dari bahasa lain seperti Jawa atau asing lainnya. Ungkapan maupun diksi yang digunakan dalam karya-karya fiksi yang berjudul “kereta berkuda, perempuan yang bercadar, penjual buah-buahan” banyak menggunakan ungkapan dari Akulturasi (pencampuran) bahasa Indonesia dengan bahasa Arab.

B. Unsur Gramatikal
Unsur Gramatikal maknanya sama denga struktur kalimat. Struktur kalimat ini lebih penting dari kata-kata. Berdasarkan struktur kalimat ini akan dapat ditangkap pesan, atau makna yang sering disebut struktur batin.
Cerpenis bebas mengkreasikan kalimatnya dalam berbagai bentuk termasuk penyimpangan. Struktur kalimat, dapat berwujutd pembalikan, penghilangan unsur tertentu. Semua dilakukan demi efek Estetis di samping menekankan pesan tertentu. penekanaan hal/pesan ini dinamakan pengendapan atau Foregraunding. Analisia cerita pendeknya dapat dilaksanakan:
1. Kompleksits Kalimat
Dalam struktur yang kelompok kalimat-kalimat yang digunakan dalam cerpen ini menonjol pada struktur kordinatif karena dalam cerpen tersebut setiap faragraph memenuhi kepararelan. Dan lebih menonjol kepada sisi perempuan yang diceritakan dalam cerpen tersebut
2. Jenis kalimat
Jenis kalimat yang dipergunakan dalam cerpen ini lebih menonjol kepada jenis kalimat Deklaratif. Karena kalimat yang digunakan dalam cerpen ini hanya menyatakan sesuatu yakni perjalanan perempuan penjual buah pada suatu daerah./pasar.
3. Retorika
Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk untuk memperoleh epek estetis. Ia dapat diperoleh dari kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk memnungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra, seperti telah dibicarakan di atas, mencerminkan sikap dan perasaan pengarang, namun sekaligus dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca yang tercermin dalam nada. Untuk itu, pengungkapan bahasa haruslah epektif. Mampu mendukung gagasan secara tepat pada dasarnya, berkaitan dengan pembicaraan tentang dasar-dasar penyusunan wacana yang epektif.
Retorika dengan demikian, berkaitan denga pendayagunaan semua unsur bahasa, baik yang menyangkut pilihan kata dan ungkapan, struktur kalimat, segmentasi, penyusunan dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan, dan lain-lainya yang disesuaikan dengan situasi dan tujuan penutur. Adanya unsur kekhsan, ketepatan, dan kebaruan pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan yang kesemuanya itu sangat ditentukan oleh kemampuan imajinasi dan kreatisivasi pengarang dalam menyiasati gagasan dan bahasa, akan menentukan keefekitfan wacana yang dihasilkan. Atau kalau dibatasi dalam (bahasa) sastra akan menentukan kadar kesastraan karya yang bersangkutan.
a. Pemajasan
Pemajasan (figure of speech) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi, ia merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan menfaatkan bahasa khas. Sebenarnya masih ada hubungan makna antara bentuk harfiah dengan makna kiasnya, namun hubungan itu bersifat tak langsung, atau paling tidak, ia membutukan tafsiran pembaca. Dalam cerpen “kereta berkuda, perempuan yang bercadar, penjual buah-buahan” terdapat majas sebagai berikut:
1. Personifikasi
Personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Jadi dalam personifikasi terdapat persamaan sifat antara benda mati dengan sifat manusia. Ungkapannya sebagai berikut:
- kuda yang berbudi, tahu diri, bangun, mengeringkan kuyup badan sendiri lewat sapuan angin
- di sepanjang jalan lengang itu memberi isyarat belok ke kiri dengan lambaian tangan
- seperti berdamai dengan ruap udara yang berdebu, berpasir
- senja telah menunjukkan ketaatannya permisi kepada alam
2. Sarikisme
Sarkisme adalah
3. Hiperbola
Hiperbola adalah
4. Reforis
Reforis adalah

b. Pencitraan
Melalui bahasa tertentu yang ditampilkan dalam karya sastra, kita sering merasakan indera ikut terangsang, seolah-olah kita ikut melihat atau mendengar apa yang dilukiskan dalam karya sastra tersebut. Tentu saja kita tidak melihat atau mendengar dengan mata dan telinga telanjang, melainkan melihat dan mendengar secara imajinasi. Penggunaan kata-kata dan ungkapan yang mampu membangkitka tanggapa indera yang demikian dalam karya sastera disebut sebagai pencitraan.
Dalam dunia kesastraan dikenal dengan adanya citra (image) dan pencitraan (imagery) yang keduanya menyarankan pada adanya repsoduksi mental. Citra merupakan suatu gambaran pengalaman indera yang diungkapkan dalam kata-kata,gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan dalam kata-kata. Pencitraan, dipihak lain, merupakan kumpulan citra, The Collection Of Image, yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias (Abrams, 1987: 78; Kenny,1966:64). Macam pencitraan itu sendiri meliputi kelima indera manusia: citaan penglihatan (Visual), pendengaran (auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (taktil terminal), dan penciuman (olpaktori), namun pemanpaatan dalam sebuah karya sastra tak asama intensitasnya. Contoh pengungkapan pencitraan yang terdapat dalam cerpen “kereta berkuda, perempuan yang bercadar, penjual buah-buahan” adalah sebagai berikut:

c. Unsur Percakapan
Pengungkapan bahasa dengan gaya narasi adalah penutaran yang bukan bentuk percakapan, sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Pengarang mengisahkan ceritanya secara langsung, pengungkapan yang bersifat menceritakan, telling. Ia dapat berupa pelukisan dan atau penceritaan tentang latar,tokoh, hubungan antartokoh, peristiwa, konflik, dan lain-lain.bentuk narasi dapat menceritakan sesuatu secara singkat sebab pengarang biasanya cenderung menuturkannya secara singkat juga. Pangarang cenderung memilih peristiwa dan tindakan, konflik, atau lain-lain yang menarik dari perjalanan hidup tokoh untuk diceritakan. Jika dilihat dari segi hubungan antar tikoh dan pembaca, komunikasi yang dijadikan menjadi bersifat yak langsung. Pembaca tak “mendengar” sendiri kata-kata dan percakapan antar para tokoh sebab percakapan itu (berupa:kalimat langsung) telah ditaklangsungkan oleh pengarang. Percakapannya diantaranya ialah:
- “arah kuil, ke kiri,”
- “cadar kita sewarna, kenapa maksud tak menyatukannya”



DAFTAR ISI

Santoso Budi,Satmoko. “Kereta erkuda, perempuan yang bercadar, penjual buah-buahan”.2004.Jakarta:Grasindo
Purba, Antilan. Stilistika Sastra Indonesia. 2009. Medan:USU Press
Ian Dianto. Apresiais Karya Sastra dan Pujangga Indonesi.2004.Bandung:M2S



























“Puncak Ketujuh”
Tinjauan Bahasa Cerpen Wayan Sunarta


Bahasa menurut Plato adalah pernyataan pikiran manusia dengan perantaraan onomata (nama) dan rhemata (ucapan). Bahasa berarti ungkapan tuturan pemikiran (ide dan gagasan luhur). Pengertian bahasa yang penulis perikan di sini memang didasarkan pada konsepsi aliran tata-bahasa tradisional (Yunani abad 5 SM s.d 2 SM). Kendatipun dalam persfektif aliran tata-bahasa struktural lebih menekankan pada aspek data empiris. Konsep pengertian bahasa menurut aliran tata-bahasa tradisional yang penulis perikan dalam tulisan ini terkait dengan analisis tinjauan pemakaian bahasa karya sastra khususnya cerita pendek yang hendak diuraikan pada kesempatan ini.

Berdasarkan ranah penggunaannya bahasa dapat dibeda-bedakan menjadi: (1) ragam baku/ilmiah/resmi, (2) ragam sastra, (3) ragam warta, dan (4) ragam santai. Masing-masing memiliki ciri dan konvensi berbeda yang harus diikuti.

Bahasa yang dipergunakan oleh karya sastra-cerita pendek, tergolong ke dalam ragam sastra. Konvensi ragam sastra adalah kiasan dan perlambangan dan bersifat puitis, J.S Badudu mengatakan dengan licencia peotica. Adapun yang dimaksud dengan kiasan ialah gaya bahasa yang memisalkan atau menyatakan sesuatu yang lain, memberi makna dari suatu ungkapan. Sedangkan perlambangan berarti penuturan dengan menggunakan lambang tertentu alam semesta.

Cerita pendek yang berbobot sastra lazimnya kental sekali akan aroma simbol dan kiasan dalam rangkaian kalimatnya-tentunya diimbangi dengan narasi. Bagi para pembaca umum biasanya akan merasa sedikit kesulitan dalam memahami dan menyelami kata dan kalimat tersebut. Oleh karenanya penulis merasa terpanggil untuk mengkritisi sekaligus bertanggung jawab membantu para pembaca dalam memahaminya. Manakala pembaca telah mampu memahami bahasa karya sastra tentunya secara garis besar memungkinkan para pembaca untuk mempelajari kebiasaan, adat istiadat serta sistem atau kebudayaan sebagai latar belakang karya tersebut. Dengan begitu mudah-mudahan akan menambah wawasan bagi diri dalam hal menanggapi lingkungan fisik dan sosial kitA

Pembahasan
Fiksi yang penulis kritik pada kesempatan ini adalah sebuah karya Wayan Sunarta berjudul “Puncak Ketujuh” yang terdapat dalam kumpulan cerita pendek “Cakra Punarbhawa”. Dalam fiksinya ini Wayan Sunarta menceritakan kisah enam orang sahabat yang berjuang melewati badai kabut pegunungan dalam usaha menggapai puncak ketujuh. Wayan Sunarta mengisahkan perjalanan enam orang sahabat itu dengan menggunakan gaya bahasa metafora yakni analogi yang membandingkan dua hal secara langsung. Dalam kasus metafora terdapat beberapa gaya kiasan yang tergolong kedalamnya, antara lain:
Alegori: Kiasan beruntun yang ditarik dari bawah permukaan cerita, semua sifat benda dikiaskan dan biasanya mengandung ajaran moral. Kiasan ini dalam cerpen “Puncak Ketujuh” salah satunya termaktub pada :
“Kami mendaki. Masih terus mendaki. Puncak ketujuh, yang kami rindukan selama hidup kami, belum juga terlihat. Kakiku terasa gemetar. Tubuhku menggigil menahan dingin yang dihembus angina kabut. Aku baru tiba di lambung gunung. Puncak ketujuh masih jauh, teramat jauh, seakan tak mampu kami jangkau. Namun, kami terus mendaki.” (Wayan Sunarta 2005, paragraf 1 : halaman 29)

Rangkaian dan jalinan kalimat pada paragraf ini melukiskan bahwa semangat serta usaha yang gigih diperlukan bagi kita yang berniat menggapai impian dan cita-cita. Kendatipun hal terseut tidak mudah, tidak semudah merebus mie instant yang lima menit langsung jadi. Semuanya memerlukan proses. Manusia yang cerdas adalah manusia yang mampu melewati proses tersebut dengan sukses. Dengan cara apa? Jawabannya adalah dengan menggunakan segala potensi budaya yang kita miliki.







Pada paragraf 1 jelas dapat dibaca bahwa enam orang sahabat terus berusaha mendaki puncak ketujuh walau kaki mereka gemetar serta tubuh mereka menggigil menahan dingin dihempas dan diterpa angin kabut. Hal tersebut manakala diaktualisasikan dalam kehidupan kita samalah kira-kira halnya dengan aral dan persoalan serta permasalahan yang kerap melintang di tengah perjalanan usaha kita dalam menggapai sesuatu hal yang kita inginkan. Namun, kita juga bisa berlaku sebagai enam orang sahabat itu yang terus berusaha demi menggapai sesuatu hal yang kita rindukan dan impikan dengan mengupayakan potensi diri.
Personifikasi: Kiasan yang menggambarkan benda tak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan (menggambarkan watak, tindak-tanduk, kepribadian). Kiasan ini dalam cerpen “Puncak Ketujuh” salah satunya terdapat pada :
“Jalan mencapai puncak kelima termasuk sulit. Menurut warga desa di bawah gunung, jarang ada pendaki yang mampu melewati puncak kelima dengan selamat. Jalan setapak yang menghubungkan puncak keempat dengan kelima sangat terjal dengan mulut jurang yang menganga di kanan dan kirinya, siap menyantap tubuh para pendaki yang lelah dan lengah. Angin yang tadinya diam dan tenang bisa tiba-tiba berubah menjadi badai ganas yang diliputi kabut tebal.” (Wayan Sunarta 2005, paragraf 21 : halaman 33)
Pada paragraf tersebut disebutkan bahwa jalan setapak yang menghubungkan puncak keempat dan kelima sangat terjal dan terdapat jurang yang siap menyantap tubuh para pendaki. Secara logika, jurang merupakan kelas nomina atau benda yang tak bernyawa ; sementara pekerjaan menyantap merupakan tingkah laku makhluk hidup manusia. Namun, secara implisit manakala kita merenungkan dan memahami maksud dari kalimat itu maka kita dapat menyimpulkan bahwa manusia memiliki sifat tamak sebagai yang dilukiskan dengan jurang pada kalimat tersebut. Andaikan kita berkenan menatap dan mengamati lingkungan sekitar kita, maka sesungguhnya saudara-saudara kita sesame manusia juga saling memangsa satu dengan yang lain. Lihatlah para manusia berdasi yang duduk di kantor-kantor perwakilan dengan pelbagai macam dalih membuat undang-undang, anggaran yang menurut mereka dialokasikan untuk masyarakat dalam pembangunan tetapi sesungguhnya demi kepentingannya sendiri. Perhatikan sekeliling kita, di mana orang-orang saling bunuh disebabkan perebutan warisan. Sifat serupa itu begitu menghegemoni ruang kesadaran manusia kini. Tidak tertutup kemungkinan diri kita yang mungkin demi kepentingan tertentu berkenan memangsa saudara kita sesama manusia atau bahkan mungkin kita yang menjadi objek mangsaan manusia lain.

Hiperbola: Kiasan yang mengandung suatu pernyataan yang berlebih-lebihan. Kiasan ini
Dalam cerpen “Puncak Ketujuh” salah satunya terdapat pada :
“Sejenak kami beristirahat di hamparan salju dingin menggigit tulang. Kami mendirikan tenda kecil untuk menahan serangan salju. Aku merebahkan tubuh Mabi dalam tenda. Mabi terus meracau. Tiba-tiba saja ia ingin mencicipi secawan anggur, ingin menyantap sepotong paha rusa panggang yang hangat mengepul. Aku mencoba menghiburnya. Aku mengatajan di puncak ketujuh dia akan menemui makanan kesukaannya.” (Wayan Sunarta 2005, paragraf 33 : halaman 36)
Jalinan kalimat yang termaktub pada paragraf ini menyebutkan bahwa hamparan salju yang dingin menggigit tulang. Makna kalimat tersebut menyiratkan segala sesuatu yang berlebih-lebihan tidak membawa pengaruh positif dan manfaat bagi diri kita. Kita sama mengetahui bahwa salju memiliki sifat yang teramat dingin. Jika hal ini diaktualisasikan kepada manusia, maka manusia tersebut memiliki sifat dingin, pasif. Dapat disimpulkan bahwasanya manusia pasif tidak akan mampu berkarya dan berprestasi ; sementara kedua hal itu merupakan modal utama kita dalam kerangka pembangunan menuju sukses.
Adapula manusia itu terlalu aktif, sehingga dengan kelebihannya tidak disadari ia telah membodohi sesamanya. Perhatikan, pernahkah ada terjadi di tengah-tengah kita muncul seseorang yang memanfaatkan kepintarannya demi kepentingan bisnis?! Melakukan upaya demagogis terhadap manusia lainnya. Kelebihan yang seperti itu juga tidak baik. Contoh yang paling sederhana adalah nyamankah bila kita mengenakan pakaian yang kebesaran atau kekecilan? Jawabannya justru hal itu akan menjadikan beban tersendiri bagi diri kita.
Masih terdapat dua kiasan lagi yang tergolong ke dalam metafora yakni litotes dan eufemisme ; keduanya memerikan pemakaian bahasa dengan rasa bahasa yang halus dan santun. Namun tampaknya gaya bahasa yang paling dominan pada cerita pendek karya Wayan Sunarta ini adalah kiasan yang seperti penulis uraikan tadi.
Wayan Sunarta sendiri berlatar belakang Kebudayaan Bali. Melalui karyanya yang disajikan dengan menggunakan gaya bahasa ragam sastra Wayan menggambarkan keadaan alam dan geografis ranah Bali yang sejuk dan asri lekat dengan nilai tradisi.
Pada dasarnya Wayan Sunarta dan mungkin juga pengarang cerita pendek yang lain menciptakan sebuah karya sastra selain bertujuan untuk menghibur, sesungguhnya mereka juga hendak menyampaikan kepada masyarakat tentang kehidupan dan nilai kemanusiaan yang disajikan dengan bahasa yang artistik, estetis dan santun.

Kesimpulan
Bahasa pada hakikatnya merupakan kendaraan fikir manusia. Pemikiran manusia tersebut dituangkan ke dalam karya tulis yang pada beberapa abad silam lazim disebut dengan Filologi. Karya bahasa manusia itu hidup sebagai kesusasteraan dalam khazanah kebudayaan dan mengahasilkan studi ilmu bahasa ilmiah (Linguistik). Dalam konteks sastra, bahasa dijadikan sebagai wahana pengajaran nilai-nilai luhur kepada masyarakat dalam wujud karya sastra



















E. SINOPSIS CERPEN “Safrida Askariyah”

Safrida Askariyah
(Oleh Alimuddin)

Mereka berteriak girang, sementara safrida hanya melongok kepala sekilas dari jendela kamar rumah Inong. Di keudede Tengku Banta Manyang ramai sekali yang tengah menonton televisi. Bangku kayu yang berjejer di luar warung sesak dengan orang kampung.
Gaduh. Mulut-mulut beranti-anti berkomentar. Hati Safrida masih perih. Pada padahal sudah banyak ia membunuh serdadu pemerintah. Ia dipuji panglima sebagai wanita perkasa. Wanita yang mewarisi semangat baja Cut Nyak Dien. Cut Nyak Meutia. Laksamana Malahayati- wanita ynag tidak mau dijajah.
Dendam itu belum tergerus. Waktu yang bergulir tak mampu meredam rupanya. Wanita itu sudah mencoba untuk melupakan, tapi tak bisa! Ingatan itu begitu kuat melekat diotaknya.
Bocah kecil ribut dipekarangan rumah. Buah delima sedang lebat-lebatnya. Bocah bergelantungan demi mencapai buah yang masak yang ada diujung.
Kaki Safrida terseret ke rumoh-dapu. Masyiknya entah kemana sudah perginya. Kanot air ditungku api. Safrida turun ke sumur, lalu mengambil baju kotor punyanya dan masyik.dimasukkan ke ember hitam besar dan dipikul diatas kepalanya. Safrida kemeunasah. Bocah-bocah menyapa riang Safrida yang berpapasan lewat.
“Ka damai geutanyoe,Da,” tegur istri Tengku Banta kepada melihatnya lewat. Safrida tersenyum dipaksa sambil mata melihat ke arah televisi. Semua berita televisi berkenaan dengan perjanjian damai yang dilakukan antara pemerintah RI dengan kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki.
Hatinya perih. Bagi orang lain berita damai itu menggembirakan, tapi baginya tidak. Damai itu tak berarti apa-apa untuk Safrida. Dengan langkah lamban Safrida ke meunasah. Lumayan jauh jarak rumohnya dengan meunasah. Suara ngaji terdengar samar-samar dari meunasah. Suara mengaji si suman merdu sekali. Subuh akan menjelang. Safrida sudah terbangun sedari tadi.
Dan sayangnya, Safrida sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya hari ini adalah hari kelabu untuk dirinya. kisah pahitnya bermula pada hari ini.
Pukul tujuh pagi. Ayam jantan masih ada yang berkokok satu-satu. Desiran angin menggil. Langit kurang bersahabat. Safrida sudah siap-siap akan pergi ke sekolah dengan garinya.
“Mau ke mana, Da?” tanya itu berasal dari lelaki yang bersebrangan dengan Safrida.
Safrida seperti kenal betul dengan yang empunya suara itu. Dasn tabuh di dadanya tak tinggal diam. Selalu lain bila ia mendengar itu. Bahkan semenjak dahulu.
“Mau ke meunasah,” Safrida cepat berlalu. Manan masih saja tampan. Masih seperti dulu. Tapi sayang, lelaki itu sudah beristri.
Padahal dulu, Manan pernah minta dirinya kepada Bapak. Dan kata Bapak, tunggu ia tamat SMA dulu. Tapi waktu itu, tak pernah berkunjung.
Safrida sebentar lagi sampai kemeunasah. Tiba-tiba saja pagi itu kembali bergejolak. Tembakan membabi buta. Safrida yang sudah turun, lekas merunduk di lantai seulasa. Bapak yang baru saja selesai mandi ikut merunduk disampingnya. Mak dan Masyik entah di sumur, entah pula dirumoh dapu? Sesekali dikejutkan dengan gelegar suara bom. Dan diikuti rentetan senapantak berhenti, memekak telinga. Menciutkan nyali. Merasi ajal itu seperti didepan gerbang.
Untungnya tak lama reda. Safrida nekad tetap ingin kesekolah. Tapi Mak melarang. Takutnya ada sweeping dijalan. Gadis itu berpikir keras. Bapak memutuskan tak jadi masuk ke kantor.
Safrida tiba di meunasah. Rupanya ada Sakdiah di sumur meunasah yang sedang memandikan anaknya. Harus bersusah payah perempuan itu memandikan anaknya itu. Bandel sekali bocah itu. Begitu melihat Safrida, Sakdiah melempar senyum sekali dan anaknya sudah lepas dari cengkeramnya. “Sudah cukup mandi jih mak…”
“bacut lagi, mantong kalangnyoe,” tangan Sakdiah menggosok-gosok leher anaknya. Si bocah tertawa-tawa sembari mengatakan geli…geli…
Melihat kejadian itu, ada iri yang menyusup di benak Safrida. Di kampungnya semua perempuan sudah menjadi ibu, sedang dirinya tak satupun pria yang mau memperistrikan dirinya. padahal usianya tak muda lagi. Bagaimana pula ia punya anak? Sebagai perempuan normal, ingin sekali ia bersuami dan punya anak. Batru sekarang Safrida merasakan kesepian. Ia butuh suami dan anak-anak yang lucu.
“Sudah teken damai Da, ya?” Sakdiah akan pulang. Bocah yang digendong mencium muka maknya. Safrida mengangguk pelan. Wajah itu beringsut lega.
Safrida ke sumur. Tangan itu mulai sibuk menimba air sumur. Pekerjaan itu sungguh mudah bagi seorang Safrida yang sering mengangkat senjata berat dahulu.
Safrida tersentak ketika melihat berdatangan tentara-tentara di pekarangan rumohnya. Bapak, Mak, Masyik cepat turun dari atas rumah. Bapak sudah bercelana, tak berhanduk seperti waktu merunduk tadi.
Suasana mencekam. Mak, Masyik lekas luruh air mata sebab takut sekali. Salah satu tentara yang berperawakan tinggi hitam keling meminta KTP Bapak.
“Kau GAM, Ya?” bentak tentara itu kasar.
“Bukan Pak, saya ini rakyat biasa,” Bapak tampak gemetar.
“Pasti kamu sembunyikan GAM dirumah kamu?!” sambung kawannya juga dengan tak kalah kasarnya.
“Periksa rumah ini”
Dan sekitar sepuluh orang tentara naik kerumah Aceh tanpa melepas sepatu. Empunya rumah tak berkutik. Pintu disepak-sepak. Ada beberapa yang masuk ke kroong padee. Dan para tentara itu tidak dapat mendapatkan GAM seperti yang mereka tuduhkan. Memang aneh sekali serdadu-serdadu pemerintah itu, main tuduh saja kerjanya!
Lamban sekali kerja Safrida. Sudah lama disumur, baru dua potong baju yang siap disikat. Lamunannya entahlah ke mana.
Sebagian tentara pergi kerumah samping ke rumah Wa Ali. Suara mereka keras dan kasar sampai kedengaran kerumah Safrida.
“Ada GAM di sini…!” Teriakan itu bagai halilintar di telinga Safrida. Dan…
“Dor…dor…” tubuh bapak bersimbah darah. Dua pelor menembus kepala lelaki itu. Tanpa bertanya lebih dahulu.
“Bapak…Bapak…” Mak histeris.
Dor…Dor…” Mak terkulai tak berdaya. Tembakan dimana-mana. Dua lengan kasar mendekap tubuh Safrida.
“Masyik…Masyik…” Ronta Safrida.
“Beuk Kapeulaku cucoe long…” Masyik berusaha menarik tubuh cucunya it. Tapi tak daya sama sekali perempuan sepuh itu, sekali dihajar dengan badan senapan, terjungkal ke tanah.
“Kamu cantik juga, ya?” tentara itu membabi buta.
“Bek…Bek…” Safrida menghiba-hiba. Meronta sejadi-jadinya. Tubuhnya makin jauh diseret kesemak-semak.
“Barang bagus, ya?”
“Ya nih…tapi aku duluan ya… ha…ha” setan itu terpingkal-pingkal.
“Ayo sayang…”
“Jangan...” Safrida menjerit panjang tak ada penolongnya.
Safrida menimba air lagi di sumur. Air tadi kurang rupanya. Baju kotor baru beberapa pasang yang tersikat. Masih banyak sisanya.
Ingin sekali Safrida mengakhiri hidupnya. Tak sanggup hidup dalam tabur derita. Mak dan Bapak dibunuh didepan mata. Gadisnya direnggut beramai-ramai.
Tapi, suatu hari datang pangluima GAM ke kampung. Berapi-api menerangkan jikalau orang kampung tak boleh tinggal diam. Hati Safrida panas bukan main. Dendamnya membara, ia ingin menuntu balas.
Safrida naik gunung. Bergabung dengan Pasukan Inong Balee. Mendapat latihan militer yang dilatih mualim. Ternyata banyak dara seperti Safrida yang bergabung. Nama pasukan itu di ubah. Tak lagi Inong Balee, tapi Askariyah.
Berbulan-bulan Safrida di gunung. Tiap hari latihan berat. Tangannya kasar bukan main. Mengokang senjata bukan hal baru. Sudah mahir menggunakan senjata.
Safrida terkenal pemberani di pasukan Askariyah. Paling sering telibat perang langsung dengan serdadu pemerintah. Bahkan tembakannya jitu. Banyak mematikan pasukan musuh. Safrida begitu terbakar semangat bila ingat wajah Mak dan Bapak.
Wanita itu berubah licin dan berbisa. Berbagai cara ditempuh untuk menghabisi nyawa serdadu pemerintah. Wajahnya yang memikat tak jarang jadi tameng. Di goda dan diajak ke tempat terasing. Lalu diracuni setiba di sana. Bukan sekali dua kali berhasil menyisipkan bom di pos tanpa dicurigai sedikitpun.
Mendadak nama Safrida menjadi tenar. Ia disejajarkan dengan petinggi-petinggi GAM yang sama beracunnya. Penyisiran dilakukan besar-besaran untuk mencari perempuan bernama Safrida. Di pedalaman hutan bakau Manyak Payed, Safrida dilantik oleh panglima menjadi komandan pasukan Askariyah karena berprestasi tinggi.
Dendam Safrida masih membuncah. Dendam itu bukannya mengendur. Seolah tangan gatal bila tak menghabisi nyawa serdadu pemerintah sehari saja. Ia begitu puas ketika melihat tubuh musuh bersimbah darah.
Selesai juga Safrida menyikat semua baju kotor. Pekerjaan selanjutnya membilas baju-baju itu dengan air. Langit kelam pelan-pelan. Mata Safrida menengadah ke langit. Ia was-was bila hujan turun.
Keadaan terdesak. Panglima Sagoe Manyak Payed, Galinggeng menyerahkan diri ke pasukan RI. Safrida tak bisa percaya itu! Padahal Safrida lagi semangat-semangatnya. Kata panglima Sagoe, perjuangan GAM sudah melenceng dari syariat. Ah, benarkah itu? Tanya hati Safrida.
Safrida dan anak buah Askariyahnya dalam posisi terjepit. Tertangkap tinggal menunggu waktu. Bencana. Galinggeng pasti akan memberitahukan tempat persembunyian mereka. Safrida kalut tak terkira. Akhirnya mereka ikut menyerah. Tapi dendam kusumat tak raib. Bagunya menyerahkan diri, ia dan anak buahnya itu dibebaskan beberapa minggu kemudian. Dikembalikan ke kampung masing-masing dengan penjagaan ketat. Rosmawati lewat dengan menggamit kedua anaknya. Kembali Safrida menyaksikan kejadian itu dengan menelan ludah. Enak sekali bisa menjadi ibu dan punya anak, lirihnya. Nampak Safrida di sumur, rosmawati berhenti dibalik pagar dan menyapa.
“Aceh ka damai Da, seunang that hatee long…”
Rosmawati melempar senyum dan berlalu karena anaknya merengek minta dibelikan kue. Kepala Safrida terangguk paksa, tapi hati dan jiwa menolak keras. Ini tak damai untuk Safrida! Damai ini takberarti apa-apa.
Damai ini tak bisa membuat gadisnya kembali. Ketakutannya karena diperkosa tak raib. Mak dan Bapak tak juga kembali. Damai ini bisa membuatnya bisa peroleh suami dan anak yang diidamkan lama. Enak saja pemerintah mengira, dengan teken janji damai, semua akan kembali laik semula.
Bagaimana harus seorang inong balee mengembalikan suaminya? Sang ibu harus berbuat apa untuk menghidupkan tujuh anaknya ynag sudah dibunuh? Bagaimana harus menghilangkan memori ketika melihat tubuh orang yang dicintai ternyata sudah tak berkepala lagi dan didapati melayang-layang di krueng? Dara harus bagaimana untuk membuat perawannya kembali setelah direnggut tragis?
Damai itu hanya selembar atau beberapa kertas. Sementara perih jiwa di sekujur tubuh. Sembuhkan luka itu? Safrida bisakah berdamai dengan duka disekujuran tubuh?
Safrida akan menjemur baju di pagar besi meunasah. Terdengar suara-suara tertawa dari keudee Tengku Banta Manyang. Langit kian kelam. Tak lama butiran menitik satu persatu. Safrida cemas. Bajunya alamat tak kering















F. ANALISIS CERPEN “Safrida Askariyah”
1. Bias Gender
a. Marginalisasi
Paragraf I
Safrida naik gunung. Bergabung dengan Pasukan Inong Balee. Mendapat latihan militer yang dilatih mualim. Ternyata banyak dara seperti Safrida yang bergabung. Nama pasukan itu di ubah. Tak lagi Inong Balee, tapi Askariyah.
Paragraf II
Safrida terkenal pemberani di pasukan Askariyah. Paling sering telibat perang langsung dengan serdadu pemerintah. Bahkan tembakannya jitu. Banyak mematikan pasukan musuh. Safrida begitu terbakar semangat bila ingat wajah Mak dan Bapak.
Paragraf III
Wanita itu berubah licin dan berbisa. Berbagai cara ditempuh untuk menghabisi nyawa serdadu pemerintah. Wajahnya yang memikat tak jarang jadi tameng. Di goda dan diajak ke tempat terasing. Lalu diracuni setiba di sana. Bukan sekali dua kali berhasil menyisipkan bom di pos tanpa dicurigai sedikitpun.
Paragraf IV
Dendam Safrida masih membuncah. Dendam itu bukannya mengendur. Seolah tangan gatal bila tak menghabisi nyawa serdadu pemerintah sehari saja. Ia begitu puas ketika melihat tubuh musuh bersimbah darah.
Secara umum penggalan paragraf diaatas menjelaskan bahwa telah terjadi penyimpangan gender perempuan di lihat dari segi kodratnya. Hal ini dibuktikan dimana pada paragraf I Safrida naik gunung dan ikut dalam pelatihan militer bersama dengan dara-dara lainnya. Dimana jika dilihat dari segi kodratnya Safrida hendaknya tidak melakukan seperti itu karena merupakan suatu pekerjaan yang kasar yang sangat bertolak belakangdari sikap perempuan yang harusnya lemah lembut.
Selanjutnya hal itu dapat dilihat pada paragraf III, dimana Safrida berubah licin dan berbisa yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang perempuan secara kodrati karena perempuasn itu pada hakekatnya adalah makhluk yang ramah dan lemah lembut, sedangkan hal yang sama juga ditunjukkan Safrida berdasar pada penggalan cerpen di atas, dimana Safrida memiliki rasa dendam dan tangannya gatal bila ia tak menghabisi serdadu pemerintah saja dan dia akan merasa sangat puas ketika melihat musuhnya bersimbah darah. Hal itu menunjukkan bahwa telah terjadi marginalisasi pada diri Safrida yang harusnya ia menjadi seorang perempuan yang ramah, lemah lembut, dan pemaaf yang telah menjadi kodratnya.

b. Subordinasi
Paragraf I
Gaduh. Mulut-mulut beranti-anti berkomentar. Hati Safrida masih perih. Pada padahal sudah banyak ia membunuh serdadu pemerintah. Ia dipuji panglima sebagai wanita perkasa. Wanita yang mewarisi semangat baja Cut Nyak Dien. Cut Nyak Meutia. Laksamana Malahayati- wanita ynag tidak mau dijajah.
Paragraf II
Mendadak nama Safrida menjadi tenar. Ia disejajarkan dengan petinggi-petinggi GAM yang sama beracunnya. Penyisiran dilakukan besar-besaran untuk mencari perempuan bernama Safrida. Di pedalaman hutan bakau Manyak Payed, Safrida dilantik oleh panglima menjadi komandan pasukan Askariyah karena berprestasi tinggi.
Penggalan cerpen diatas yang berupa beberapa paragraf menjelaskan secara umum tentang subordinasi perempuan yang bukan hanya merupakan bagian dari laki-laki tetapi dapat juga melakukan sesuatu hal yang lebih baik dari laki-laki. Hal itu dapat dilihat pada paragraf I, dimana Safrida di katakan sebagai wanita perkasa yang disejajarkan dengan para pendahulunya yaitu Cut Nyak Dien yang menunjukkan bahwa perempuan juga bisa menjadi pemimpin dan seorang yang lebih baik dari siapapun.
Selanjutnya hal ini dapat duilihat pada paragraf II,di mana Safrida di sejajarkan dengan panglima-panglima lainnya, ini menunjukkan bahwa telah terdapat penyetaraan anatara perempuan dan laki-laki. Selain itu disini Safrida juga diangkat menjadi komandan pasukan karena prestasinya, hal ini menunjukkan bahwa perempuan dapat menjadi seorang yang lebih baik daripada laki-laki atau bahkan menjadi pemimpin ataupyun panutan bagi orang lain.

c. Stereotipe
Paragraf I
Melihat kejadian itu, ada iri yang menyusup di benak Safrida. Di kampungnya semua perempuan sudah menjadi ibu, sedang dirinya tak satupun pria yang mau memperistrikan dirinya. padahal usianya tak muda lagi. Bagaimana pula ia punya anak? Sebagai perempuan normal, ingin sekali ia bersuami dan punya anak. Batru sekarang Safrida merasakan kesepian. Ia butuh suami dan anak-anak yang lucu.
Penggalan dari paragraf cerpen “Safrida Askariyah” diatas menunjukkan bahwa tealah terjadi stereotipe atau kesan negatif terhadap Safrida sebagai seorang perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat sebuah kesan yang diberikan oleh masyarakat sekitar sehingga tidak ada seorang lelakipun yang ingin menjadi suaminya

2. Kekerasan Terhadap Perempuan
a. Pemerkosaan
Paragraf I
Ingin sekali Safrida mengakhiri hidupnya. Tak sanggup hidup dalam tabur derita. Mak dan Bapak dibunuh didepan mata. Gadisnya direnggut beramai-ramai.
Paragraf II
Damai ini tak bisa membuat gadisnya kembali. Ketakutannya karena diperkosa tak raib. Mak dan Bapak tak juga kembali. Damai ini bisa membuatnya bisa peroleh suami dan anak yang diidamkan lama. Enak saja pemerintah mengira, dengan teken janji damai, semua akan kembali laik semula.
Paragraf III
Bagaimana harus seorang inong balee mengembalikan suaminya? Sang ibu harus berbuat apa untuk menghidupkan tujuh anaknya ynag sudah dibunuh? Bagaimana harus menghilangkan memori ketika melihat tubuh orang yang dicintai ternyata sudah tak berkepala lagi dan didapati melayang-layang di krueng? Dara harus bagaimana untuk membuat perawannya kembali setelah direnggut tragis?

Paragraf IV
Ingin sekali Safrida mengakhiri hidupnya. Tak sanggup hidup dalam tabur derita. Mak dan Bapak dibunuh didepan mata. Gadisnya direnggut beramai-ramai.
Penggalan cerpen diatas menjelaskan tentang perilaku pemerkosaan yang terjadi pada Safrida. Di mana keperawanannya direnggut secara beramai-ramai oleh para serdadu pemerintah yang tidak mempunyai hati nurani. Bahkan hal itu dilakukan secara tragis. Sehingga safrida tidak puas dan begitu saja menerima perjanjian damai antara Ri dengan GAM, karena ia masih memendam rasa dendam terhadap antik-antik RI yang telah merenggut keperawanannya.

b. Pelecehan Seksual
Paragraf I
Ingin sekali Safrida mengakhiri hidupnya. Tak sanggup hidup dalam tabur derita. Mak dan Bapak dibunuh didepan mata. Gadisnya direnggut beramai-ramai.
Paragraf II
“Kamu cantik juga, ya?” tentara itu membabi buta.
“Bek…Bek…” Safrida menghiba-hiba. Meronta sejadi-jadinya. Tubuhnya makin jauh diseret kesemak-semak.
“Barang bagus, ya?”
“Ya nih…tapi aku duluan ya… ha…ha” setan itu terpingkal-pingkal.
“Ayo sayang…”
“Jangan...” Safrida menjerit panjang tak ada penolongnya.

Paragraf III
Bagaimana harus seorang inong balee mengembalikan suaminya? Sang ibu harus berbuat apa untuk menghidupkan tujuh anaknya ynag sudah dibunuh? Bagaimana harus menghilangkan memori ketika melihat tubuh orang yang dicintai ternyata sudah tak berkepala lagi dan didapati melayang-layang di krueng? Dara harus bagaimana untuk membuat perawannya kembali setelah direnggut tragis?
Penggalan paragraf dari cerpen “Safrida Askariyah” diatas menunjukkan bahwa telah terjadi pelecehan seksual terhadap Safrida. Hal ini dapat dilihat pada paragraf I diatas di mana keperawanan Safrida direnggut secara beramai-ramai. Selanjutnya pada paragraf II diatas menjelaskan bahwa tubuh Safrida di seret kesemak-semak oleh serdadu-serdadu pemerintah yang kemudian melakukan perbuatan pelecehan seksual terhadap Safrida secara bergantian.
Selanjutnya pada paragraf III dijelaskan bahwa keperwanan Safrida direnggut dengan cara yang tragis, hal itu menunjukkan bahwa telah terjadi pelcehan seksual terhadap Safrida.

c. Penganiayaan
Paragraf I
“Masyik…Masyik…” Ronta Safrida.
“Beuk Kapeulaku cucoe long…” Masyik berusaha menarik tubuh cucunya it. Tapi tak daya sama sekali perempuan sepuh itu, sekali dihajar dengan badan senapan, terjungkal ke tanah.
Paragraf II
“Kamu cantik juga, ya?” tentara itu membabi buta.
“Bek…Bek…” Safrida menghiba-hiba. Meronta sejadi-jadinya. Tubuhnya makin jauh diseret kesemak-semak.
Penganiayaan terhadap perempuan pada cerpen “Safrida Askariyah” dapat kita lihat pada beberapa paragraf diatas. Di mana ibu dari Safrida ditembak sampai terkulai tak berdaya. Saat ini Masyik berusaha untuk menarik tubuh cucunya itu, sesekali di dihajar dengan badan sampai jatuh tak berdaya ke tanah.
Selain itu perilaku penganiayaan terhadap perempuan juga terlihat ketika Safrida diseret ke semak-semak yang kemudian diperkosa dengan tragis secara bergantian oleh para serdadu pemerintahan.

d. Pembunuhan
Paragraf I
Dor…Dor…” Mak terkulai tak berdaya. Tembakan dimana-mana. Dua lengan kasar mendekap tubuh Safrida.
Paragraf II
“Masyik…Masyik…” Ronta Safrida.
“Beuk Kapeulaku cucoe long…” Masyik berusaha menarik tubuh cucunya it. Tapi tak daya sama sekali perempuan sepuh itu, sekali dihajar dengan badan senapan, terjungkal ke tanah.
Paragraf III
Ingin sekali Safrida mengakhiri hidupnya. Tak sanggup hidup dalam tabur derita. Mak dan Bapak dibunuh didepan mata. Gadisnya direnggut beramai-ramai.

Penggalan cerpen diatas menjelaskan tentang perilaku pembunuhan yang dilakukan terhadap perempuan. Hal itu dapat dilihat pada paragraf I dimana ibu Safrida di tembak hingga terkulai tak berdaya secara membabi buta oleh para serdadu pemerintah.
Selanjutnya hal itu dapat dilihat ketika Masyik berusaha menarik tubuh cucunya tetapi kemudian dihajar dengan senjata hingga terjungkal ke tanah.
Selanjutnya pada paragraf III diatas diceritakan bahwa Safrida ingin sekali mengakhiri hidupnya karena Mak dan Bapak di bunuh di depan mata. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perilaku pembunuhan terhadap ibu dari Safrida.

e. Beban Kerja-Kerja Perempuan
Paragraf I
Safrida tiba di meunasah. Rupanya ada Sakdiah di sumur meunasah yang sedang memandikan anaknya. Harus bersusah payah perempuan itu memandikan anaknya itu. Bandel sekali bocah itu.
Paragraf II
Safrida menimba air lagi di sumur. Air tadi kurang rupanya. Baju kotor baru beberapa pasang yang tersikat. Masih banyak sisanya.
Paragraf III
Selesai juga Safrida menyikat semua baju kotor. Pekerjaan selanjutnya membilas baju-baju itu dengan air. Langit kelam pelan-pelan. Mata Safrida menengadah ke langit. Ia was-was bila hujan turun.
Penggalan cerpen diatas menjelaskan tentang beban kerja perempuan. Hal ini ditunjukkan di mana Safrida harus berjalan jauh untuk ke meunasah mencuci baju. Selanjutnya Sakdiah yang berusaha untuk memandikan anaknya bandel. Hal ini menunjukkan dari kerja seorang ibu yang berusaha untuk menjalankan tugasnya. Disini Safrida menunjukkan bahwa secara kodrat ia tetap seorang perempuan yang mempunyai kewajiban untuk mengerjakan tugas-tugas yang selayaknya dilakukan oleh seorang perempuan

3. Aspek Feminisme
a. Sosial
Paragraf I
“Mau ke meunasah,” Safrida cepat berlalu. Manan masih saja tampan. Masih seperti dulu. Tapi sayang, lelaki itu sudah beristri.
Paragraf II
Melihat kejadian itu, ada iri yang menyusup di benak Safrida. Di kampungnya semua perempuan sudah menjadi ibu, sedang dirinya tak satupun pria yang mau memperistrikan dirinya. padahal usianya tak muda lagi. Bagaimana pula ia punya anak? Sebagai perempuan normal, ingin sekali ia bersuami dan punya anak. Batru sekarang Safrida merasakan kesepian. Ia butuh suami dan anak-anak yang lucu.
Penggalan cerpen diatas menjelaskan bahwa Safrida memiliki sikap yang masih memuja Manan yang menunjukkan sikap feminisnya secara sosial. Selanjutnya hal ini dapat kita lihat ketika Safrida merasa iri karena semua perempuan sebaynya telah bersuami, sedangkan dia masih sendiri. Secara sosial ia menunjukkan sikap feminimnya yaitu keinginan mempunyai anak dan suami, dimana ia merasa akan hal itu.

b. Agama
Paragraf I
Suara ngaji terdengar samar-samar dari meunasah. Suara mengaji si suman merdu sekali. Subuh akan menjelang. Safrida sudah terbangun sedari tadi.
Penggalan cerpen diatas menceritakan tentang Safrida yang terbangun karena suara ngaji dari si siuman. Hal ini menunjukkan sikap religius yang ditunjukkan oleh Safrida. Artinya bahwa Safrida juga merupakan seorang manusia yang msih menjunjung tinggi keimanannya dalam menunjukkan dirinya sebgai makhluk yang ber-Tuhan.

4. Nilai Pendidikan
a. Kesetaraan
Paragraf I
Mendadak nama Safrida menjadi tenar. Ia disejajarkan dengan petinggi-petinggi GAM yang sama beracunnya. Penyisiran dilakukan besar-besaran untuk mencari perempuan bernama Safrida. Di pedalaman hutan bakau Manyak Payed, Safrida dilantik oleh panglima menjadi komandan pasukan Askariyah karena berprestasi tinggi.
Penggalan cerpen diatas menunjukkan bahwa perempuan juga dapat disetarakan dengan para lelaki yang tidak hanya dapat dilihat dari sebelah mata lagi. Hal itu ditunjukkan yaitu ketika Safrida disejajarkan dengan petinggi-petinggi GAM. Dan dia pun dilantik oleh panglima menjadi komandan pasukan karena prestasinya yang tinggi.

Kesimpulannya Safrida mendapat perlakuan sebagai perempuan bahkan dia dihormati akan kegigihannya dan prestasinya di bidang militer. Artinya seorang perempuan dapat melakukan sesuatu hal lebih dari seorang laki-laki, bahkan juga dapat menjadi panutan bagi orang lain.

b. Keterlibatan Sosial
Paragraf I
Safrida naik gunung. Bergabung dengan Pasukan Inong Balee. Mendapat latihan militer yang dilatih mualim. Ternyata banyak dara seperti Safrida yang bergabung. Nama pasukan itu di ubah. Tak lagi Inong Balee, tapi Askariyah.
Paragraf II
Safrida terkenal pemberani di pasukan Askariyah. Paling sering telibat perang langsung dengan serdadu pemerintah. Bahkan tembakannya jitu. Banyak mematikan pasukan musuh.
Penggalan cerpen diatas menceritakan tentang Safrida yang ikut bergabung dalam sebuah perkumpulan dengan mendapat latihan militer. Selanjutnya ia dikenal pemberani dansering terlibat secara langsung dalam peperangan untuk memperjuankan apa yang menurutnya benar. Hal ini menunjukkan bahwa Safrida sebagai perempuan menunjukkan keterlibatannya secara sosial untuk ikut serta dalam memperjuangkan sesuatu hal.


0 komentar: