Subscribe

Jumat, 18 Desember 2009

Analisis Novel,Cerpen,Puisi Kontemporer2



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me






BAB I
PENDAHULUAN

Sastra Indonesia Kontemporer di dalam kamus bahasa inggris diistilahkan sebagai Contemporery Indonesia Literature. Istilah sastra kontemporer di dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai Contemporery Literature.
Sastra Indonesia Kontemporer itu diartikan sebagai sastra yang hidup di Indonesia pada masa mutakhir atau sastra yang hidup di Indonesia pada masa kini,, atau sastra yang hidup di Indonesia pada masa mutakhir atau sastra yang hidup di Indonesia pada zaman yang sama.
Pengertian sastra Indonesia Kontemporer itu bemakna sangat relatif. Kerelatifan makna sastra kontemporer itu disebabkan oleh sejarah sastra Indonesia yang belum panjang. Disamping itu, pada pengertian sastra yang benar-benar mutakhir dalam arti hari ini hidup dan esok akan mati, ada pula sastra yang sekarang hidup dan tak sanggup terus bernafas entah sampai kapan. Pengertian mutakhir tidak mungkin semata dibatasi oleh waktu khusus untuk sastra yang benar-benar hebat.Meskipun demukian sedikit banyak sastra mutakhir merupakan ancang-ancang bagi sastra masa depan
( Budi Darma, 1990: 132).

BAB II
PUISI KONTEMPORER

A. PENGERTIAN PUISI
Banyak pengertian puisi telah dibuat oleh pakar sastra. Pengertian yang dibuat mereka itu biasanya berhubungan dengan etimologi puisi, struktur fisik puisi, struktur batin puisi.
Dalam puisi dan metologi pengajaran,B.P Situmorang membeberkan bahwa perkataan puisi berasal dari bahasa yunani, yang juga dalam bahasa latin poeietes, mula-mula artinya pembangunan, pembentuk , pembuat. Arti yang mula-mula itu lama kelamaan semakin dipersempit jadi hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan.
Dalam kamus istilah sastra, Panuti sudjiman menguraikan bahwa puisi adalah ragam bahasa yang teikat oleh irama, mantra dan rima serta penyusunan larik dan bait.
Dalam kamus istilah sastra, Abdul Rozak zaidah, membeberkan makna puisi, ragam sastra yang bahasanya terikat oleh rima dan tatapuitika yang lain, atau gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran dan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makna khusus.
Pengertian puisi yang dibeberkan sebelumnya adalah pengertian puisi secara etimologis dan secar kamus umum dan kamus istilah. Jika diamati secara cermat kata puisi disinonimkan dengan istilah poetry. Pengertian puisi demikian adalah pengertian puisi secara tradisional. Pengertian yang demikian ini hanya berlaku untuk puisi-puisi lama atau tradisional, contohnya puisi dalam bentuk pantun.

Pengertian puisi menurut Clive Sansom memberikan pengertian puisi sebagai bentuk pengucapan bahasa yang ritmis yang mengungkapkan pengalaman intelektual yang bersifat imajinatif dan emosional. Herbert spencer seperti dikutip oleh Clive sansom memberikan pengertian puisi merupakan bentuk pengucapan gagasan yang bersifat emosional dengan mempertimbangkan efek keindahan.
Dua pengertian puisi diatas berkaitan dengan bentuk fisik dan bentuk batin puisi. Bentuk fisik lazim disebut bahasa atau bentuk, sedangkan bentuk batin sering disebut isi atau tema Sepanjang sejarah, puisi itu mengalami perubahan disebabkan oleh selera dan konsep estetik.

B. PENGERTIAN PUISI KONTEMPORER

Istilah puisi kontemporer di padankan dengan istilah puisi inkonvensional, puisi masa kini, puisi mutakhir, istilah kontemporer di dalam puisi kontemporer tidak menunjuk kepada waktu walaupun di dalam kamus istilah itu berarti dewasa ini. Masa kini atau mutakhir , pengenaan atau penerapan istilah kontemporer pada puisi kontemporer lebih mengarah kepaa kehendak menunjukkan pada kondisi kreatif seniman di dalam mengolah dan menemukan idiom-idiom baru.
Jika yang berpendapat bahwa kontemporer pada puisi kontemporer menunjukkan pada waktu dan bukan pada model puisi tertentu, maka pendapat demikian itu perlu diluruskan atau diperbaiki. Mengertikan seni kontemporer atau lebih khusus kepada puisi kontemporer dengan memakai kurun waktu misalnya dari tahun sekian sampai dengan tahun sekian, merupakan langkah atau sikap yang gegabah, tidak setiap hasil karya atau puisi misalnya tahun 1970-an berhak disebut kontemporer elama di dalamnya tidak terdapat atau tampak ciri-ciri kontemporer. Oleh karena itu, puisi kontemporer tidak menunjuk pada waktu. Didalam puisi kontemporer salah satu wajah yang penting adalah wajah eksplorasi dan sejumlah kemungknan baru. Kemugkinan baru itu antara lain lahirnya eksperimen berupa penjungkirbalikan kata. Penciptaan kata-kata baru. Penciptaan idiom-idiom baru, percobaan semantik dan sintaksis.
Puisi kontemporer tidak hanya terikat pada tema, tetapi juga terikat pada struktur fisik puisi. Berdasarkan keberadaan puisi kontemporer ini, maka pengertiannya, puisi yang muncul pada masa kini yang bentuka dan gayanya tidak mengikuti kaidah-kaidah puisi pda umumnya, puisi yang lahir di dalam kurun waktu tertentu yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan puisi lainnya.
Puisi kontemporer adalah bentuk puisi yang berusaha lari dari ikatan konvensional puisi itu sendiri. Misalnya, Sutardji mulai tidak mempercayai kekuatan kata tetapi dia mulai berpaling pada eksistensi bunyi dan kekuatannya. Danarto justru memulai kekuatan garis dalam menciptakan puisi.
















C. PENGERTIAN PUISI INDONESIA KONTEMPORER

Jika pengertian puisi kontemporer itu di kaitkan dengan puisi Indonesia, maka puisi Indonesia kontemporer adalah puisi Indonesia yang lahir di dalam waktu tertentu yang berbentuk dan bergaya tidak mengikuti kaidah-kaidah puisi lama pada umumnya. Atau puisi Indonsia kontemporer adalah puisi Indonesia yang memiliki ciri-ciri nilai dan estetika yang berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya atau pada umumnya.

MUNCULNYA PUISI INDONESIA KONTEMPORER DI DALAM KHAZANAH KESUSASTRAAN INDONESIA
Istilah puisi Indonesia kontemporer mulai di populerkan pada 1970-an. Gerakan puisi kontemporer yang melanda dunia gaungnya terdengar di Indonesia dan memberi corak terhadap kehidupan puisi Indonesia pula.
Puisi Indonesia kontemporer di dalam dunia perpuisisan Indonesia dikejutkan oleh Sutardji Calzoum Bahri denga improvisasinya yag menjadi bahagian penting dari proses penciptaan puisi-puisinya. Berbeda dengan penyair-penyair sebelumnya, Sutardji mengebrak dengan puisi-puisinya bentuk-bentuk baru. Pembaharuan yang dilakukan sutardji benar-benar memberi wajah baru bagi perjalanan dan perkembangan puisi Indonesia.
Di dalam kredo puisinya yang diproklamasikan pada 30 maret 1973, Sutardji mengatakan kredo berasal dari bahasa latin credo yang berartiaku percaya, suatu pernyataan atau pengakuan.


KREDO PUISI SUTARDJI

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau di umpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau di umpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam. Dalam kesehari hari kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyanpaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan lupakan keudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Dalam puisinya, dia membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor, serta penjajahan gramatika. Bila kata-kata di bebaskan, kreatifitaspun di mungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yag kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbulah hal-hal yangtak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam penciptaan puisinya, ia membebaskan kata-kata. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan. Kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri., mundar mandir dan berkalikali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tidaka sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang kain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyusangkan sendiri dirinya dengan bebas. Saling betentangan sendiri satu sama lainnya. Karena merekabebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yag ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga sepanjang tidak menganggu kebebasnnya, agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksetuasi yangmaksimal. Menulis puisi baginya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Makamenulis puisi baginya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

Sutardji Calzoum Bahri
Bandung, 30 Maret 1973










D. BIOGRAFI SUTARDJI CALZOUM BAHRI
Lahir di Riau, 1941, adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bahri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik jurusan Administrasi Negara. Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bahri mulai menulis dalam surt kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya di muat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak di bebaskan dari kunkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti mantera. Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bahri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writting program di Lowa city, Amerika serikat dari oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah di terjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggeris dan di terbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation ( Calcutta, India ), Writing from The World ( Amerika Serikat ), Westerly Review ( Australia ) dan dalam dua antologi berbahasa belanda : Dichters in Rotterdam (Rotterdam Kunststicting, 1975) dan IK wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji di anugerahi hadiah South East Asia Writter Awards atas prestsinya dalam sastra di bangkok, Thailand.

Amuk kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajal-sajak Calzoum Bahri dari periode penuisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuanyag dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.

















E. SINOPSIS PUISI “O”
O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...

(Sutardji Calzoum Bachri)





F. ANALISIS PUISI “O”
Kata duka, resah, ragu, mau, sia, duhai, dan o merupakan kata-kata sifat atau perasaan yang akhirnya diikuti oleh kata ganti milik; aku, kau, dan kalian yang menunjukkan semua kata atau perasaan tersebut dimiliki oleh setiap orang. Sedangkan judul serta huruf o yang diulang pada akhir puisi ini, bila dikaitkan pada ketika seseorang mengucapkan huruf o secara serentak, hal ini merupakan huruf yang mewakili kata paham. Menunjukkan bahwa sudah tahu akan apa yang telah terjadi atau atas penjelasan yang disampaiakn. Selain itu, o sendiri juga bisa diartikan sebagai suatu pengharapan.
Dari keseluruhan puisi O tersebut dapat diketahui adanya sebuah perasaan penyesalan, pengaduan serta pencarian yang berujung pada sebuah pemahaman tersendiri tapipemahaman itu malah menimbulkan sebuah kebingungan yang baru. Hal itu dapat dilihat dari baris terakhir “oku okau okosong orindu okalian obolong o risao o Kau O..”. setelah menciptakan aatu mengesankan adanya sebuah pada oku okau tapi pemahaman itu kembali menimbulkan pertanyaan serta menimbulkan sebuah kerinduan untuk semakain ingin bertemu, sebuah pencarian dengan orindu okalian obolong o risau o Kau O….
Penggunaan huruf k yang dicetak besar pada kata kau pada baris terakhir juga menimbulkan pemahaman tersendiri. Umumnya sebuah kata ganti yang diawali denagn huruf besar yang letaknya bukan diawal kalimat adalah menunjukkan bahwa itu adalah Tuhan, sebagai contoh penggunaan kata ganti milik –Nya. Dari sini mungkin puisi O ini menunjukkan bahwa adanya pengaduan serta ingin tahu dan usaha pencarian untuk bertemu dengan Tuhan yang menciptakannya. Akan tetapi semakin dia tahu maka menjadikannya semakin bingung dan semakin ingin tahu lagi.
Tak lupa, dalam puisi ini juga sangat terasa efek magis yang ditimbulkan dari perulanagn kata serta penggunaan kata-katanya yang tidak wajar.

















BAB III
CERPEN KONTEMPORER

Cerita pendek adalah salah satu cerita rekaan atau fiksi yang sudah tua usianya. Oleh karena itu, perkembangan pengertian cerita pendek itu perlu diketahui. Demikian juga tentang sejarah cerita pendek Indonesia, khusus mula dan perkembangannya.

A. PENGERTIAN CERITA PENDEK
Pengertian cerita pendek telah banyak dibuat dan dikemukakan oleh pakar sastra, sastrawan. Memang membuat defenisi cerita pendek itu tidaklah mudah. Walaupun demikian, akan diterakan beberapa pengertian cerita pendek yang dikemukakan oleh mereka. Dalam buku tifa penyair dan daerahna, H>B Yassin mengemukakan bahwa cerita pendek ialah cerita yang pendek Jassin lebih jauh mengungkapkan bahwa tentang cerita pendek ini orang boleh bertengkar, tetapi cerita yang seratus halaman panjangnya sepuluh atau duapuluh halaman asih bisa disebut sebagai cerita pendek, tetapi ada juga cerita pendek yang panjangnya hanya satu halaman.

Pengertian yang sama dikemukakan oleh sumardjo dan saini di dalam buku Apresiasi kesusastraan. Mereka berpengertian bahwa cerita pendek adalah cerita pendek, tetapi hanya melihat ari fisiknya yang pendek orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek adalah sebuh cerpen.

Sumardjo juga mengemukakan pengertian cerita pendek di dalam bukunya catatan kecil tentang menulis cerita pendek. Ia berpengertian bahwa cerita pendek adalah sebuah fiksi yang pendek yang selesai dibaca dalam ” sekali duduk”. Cerita pendek hanya memiliki satu krisis dan satu efeck untuk pembacanya. Untuk indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman folio.

Pengertian cerita pendek yang dikemukakan oleh H.B. Jassin, sumardjo dan saini diatas tidak berbeda jauh dengan cerita pendek Edgar Allan Poe. Dia terkenal, bukan hanya karena karya-karya kreatifnya, melainkan karena konsep-konsep sastranya. Salah satu konsepnya yang penting tidak lain mengenai cerpen. Ia mengatakan bahwa cerpen adalah karya sastra yang tidak panjang, cukup dibaca sekali duduk, bertitik berat pada suatu masalah dan memberi kesan tunggal.. Demikian beberapa cerita pendek atau cerpen secara singkat atau sederhana.

Berdasarkan pengertian cerita pendek yang sederhana dan luas yang dikemukakan di bagian terdahulu , ciri khusus cerita pendek dapat dibeberkan sebagai berikut :
a. Ciri utama cerita pendek adalah singkat, padu dan intensif.
b. Unsur-unsur utama cerita pendek adalah adegan, tokoh dan gerak.
c. Bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian.
d. Cerita pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung.
e. Sebuah cerita pendek haruslah menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan, kemudian menarik pikiran.
f. Cerita pendek harus menimbulkan satu efek dalam pikiran pembaca.
g. Cerita pendek mengandug detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanaan yang timbul dari pikiran pembaca.
h. Dalamsebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama mengausai cerita
i. Cerita pendek harus mempunyai pelaku utama
j. Cerita pendek harus mempunyai efek atau kesan yang menarik
k. Ceritapendek harus bergantung pda suatu situasi
l. Ceita pendek memberikan suatu impresi tunggal
m. Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek
n. Ceritapendek harus menyajikan satu emosi
o. Jumlah kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya dibawah 10.000 kata.











B. SEJARAH CERITA PENDEK INDONESIA
Di Indonesia, bermula pada tahun 1930-an. Sebelumnya bentuk karya sastra berupa cerita pendek ini tidak dikenal. Pada awal pertumbuhannya, cerita pendektidak terlepas dari pengaruh dongeng dlam masyarakat lama. Yang ditulis dalam cerita pendek masa ini adalahperistiwa-peristiwa kecil dalam kehidupan sehari-hari yang berisi seloroh yang mampu membuat orang ketawa. Menulis cerita pendek belum dimaksudkan kedalam sebagai kegiatan mencipta sastra, melainkan pekerjaan sampingan. Dalam masyarakat masa itu cerita pendek terutama berfungsi sebagai teman duduk atau sebagai teman bergelut belaka. Di dekade 1930-1940, kita temukan beberapa penulis cerita pendek Indonesia, seperti Muhammad kassim, Suman Hs, Armijn Pane, dan Idrus.

Dengan lenyapnya pengaruh cerita pendek Muhammad kassim dan Suman Hs, lepas pula tali perhubungan tentang cerita rakyat indonesia. Mulailah dimulai penulisan cerita pendek dengan menggunakan konsep barat. Perkembangan cerita pendek indonesia mulai subur ketika awal 1950-an. Pengarang cerita pendek banyak ditemukan. Buku kumpulan cerita pendek banyak diterbitkan. Pada masa ini banyak ditemui penulis cerita pendek. Bentuk cerita pendekjuga beragam, termasuk bentuk inkonvensional tau yang disebut sebagai cerita pendek kontemporer.




C. PENGERTIAN CERITA PENDEK INDONESIA KONTEMPORER
Cerita pendek indonesia bermula dari cerita anekdot, lalu cerita perang dan lukisan masyarakat. Oleh karena itu analisis konvensional secara penuh bis diterapkan. Cerita pendek harus ada ceritanya , ada tooh yang berkarakter, ada plot dan setting, dan suspense, dan ada surprise. Semenjak Muhammad Kassim dan Suman HS hingga cerpenis 1960-an dalam penciptaan dan penulisan tetap menerapkan konsep cerita pendek konvensional. Cerita pendek konvensional adalah cerita yag struktur ceritanya sesuai dengan konvensi yang ada.

Tetap dengan perkembangan jenis atau genre sastra yang lain, para cerpenis juga melakukan inovasi. Cerita –cerita pendek kontemporer muncul tidak selalu mengikuti pola cerita- cerita pendek yang ada, tetapi mereka berusaha menemukan pengucapan diri dengan inovasi yang matang. Dalam sastra indonesia modern, cerita pendek kontemporer itu dimulai berkembang pada 1970-an. Pada masa ini , pertumbuhan kreatifitas yang luar biasa terjadi dalam penulisan crita pendek. Cerita pendek mempunyai tedensi yang baru baik dari segi pengucapan maupun tama-tamanya.

Konsep sstra Indonesia kontemporer, khususnyakonsep cerita pendek kontemporer dapat dikatakan sebagai protes terhadap kepincangan- kepincangan masyarakat pada awal industrialisasi. Disamping itu, protes terhadap pengaruh negatif yang disebabkan oleh perkembangan ilmu dan pengetahuan dan teknologi. Akibat langsung pengaruh negatif itu dalah terjadinya krisis sosial, krisis politik. Krisis ekonomi dan krisisi nilai. Krisis itu menimbulkan anarkisme, skeptisme, individualisme, ketidak tentuan nilai dan sistem.

Hal yang melatar belakangi munculnya cerita pendek kontemporer itu dalah pergeseran nilai kehidupan secara menyeluruh. Hal itu ditandai oleh semangat modern. Sedangkan semangat kontemporer lebih dijiwai oleh persoalan kehidupan manusia.
Cerita pendek Indonesia Kontemporer adalah cerita pendek yang berisikan kehidupan manusia Indonesia ag terasing dari dunianya karena gencetan suasana metropois, yang pemberontak, yag berada di tengah-tengah pergulatan niali-nilai saing bertentangan yang membuktikan bahwa manusia mempunyai potensi-potensi unik.
Contoh-contoh cerita pendek Indonesia Kontemporer adalah cerita pendek Umar Khayam dan Putu wijaya. Cerita pendek Khayam kebanyakan hanya menyajikan suasana, manusia terasig dari dunianya karena gencetan suasan metropolis. Cerita pendek lainnya yaitu karya Putu Wijaya. Cerita –cerita pendek Putu wijaya mencerminkan manusia pemberontak. Tatapi manusia yang di gambarkan oleh putu adalah manusia ide. Cerita pendeknya penuh dengan ide.


D. CIRI-CIRI CERITA PENDEK INDONESIA KONTEMPORER
Berdasrkan pengertian cerita pendek Indonesia kontemporer dapat diuraikan sebagai berikut :
Pertama, cerita pendek Indonesia Kontemporer berciri anti logika. Cerita pendek anti logika diartikan sebagai menyalahi dasar logika manusia pada umumnya. Cerita pendek disjikan secara tidak lazim dan berbeda dengan cerita pendek biasa atau cerita pendek inkonvensional. Oleh karena itu, cerita pendek kontemporer sering juga disebut sebagai cerita pendek inkonvensional.

Kedua, cerita pendek Indonesia kontmporer berciri mengabaikan plot atau alur cerita. Pola urutan cerita pendek konvenional seperti pembukaan, klimaks,, antiklimaks tidak diikiti lagi.. Plot atau alur cerita, cerita pendek indonesia kontemporer bersifat zigzag atau semeraut. Misalnya daam cerita pendek Umar Khayam, pembukaan cerita dijumpai, tetapi tidak diikuti dengan pembinaan keteganganmenuju ke arah klimaks.

Ketiga, cerita pendek Indonesia kontemporer berciri absurd atau serba aneh. Cerita pendek dikatakan absurd karena berbagai karakteristiknya seperti alaur dan peristiwanya serba tidak jelas, tidak menentu, tidak logis menurut urutan logika seharihari. Dalam perkembangan leksikon , absurdisme identik dengan ketidak jelasan, ketidakmenentuan, ketidak masuk akalan. Contoh cerita penek kontemporer yang tidak absurd adalah cerita pendek Budi Dharma dalam kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Orang-orang Bloomington yang terbit padataun 1980.

Keempat, cerita pendek Indonesia kontemporer berciri anti tokoh, atau tokohnya jelas atau tidak jelas bukan persolan. Tokoh-tokoh cerita adalah tokoh-tokoh cerita imajiner, manusia yang tangguh, tahan terhadap benturan waktu, keadaan dan situasi.

Kelima, cerita pendek Indonesia kontemporer berciri terasing dan serba konpleks. Ciri-ciri ini dapat dibaca dalam cerita pendek yang berisi realitas kehidupan sosial dan ekonomi yang serba kompleks. Didalam cerita pendek Hamsyad Rangkuti, Lukisan Perkawinan seorang wanita yang menyangkut perjuangan, penderitaan dan impian mereka














E. BIOGRAFI PENULIS

Ni Komang Ariani
• Umur: 31
• Jenis Kelamin: Wanita
• Industri: Komunikasi atau Media
• Jabatan: Penulis dan Guru
• Lokasi: Tangerang : Banten : Indonesia
Resensi Cerpen :
“ Lidah “
Oleh : Ni Komang Ariani
Penerbit : Pustaka Pergaulan
Tebal : VI + 202 Halaman, 14 x 20 cm
ISBN = 979-8849-31-0

Lidah merupakan buku kumpulan cerpen-cerpen yang pernah dimuat di media massa dan pernah memenangkan sejumlah lomba. Tema-tema yang dihadirkan sederhana saja, namun penulis mengharapkan cerita-cerita tersebut bisa menjadi cakrawala baru yang membebaskan.
Cerita-ceritanya memang menarik dan bertema unik. Sebagaimana komentar yang diberikan oleh Hamsan Rangkuti bahwa cerpen-cerpen dalam buku ini berhasil memainkan emosi pembaca, terutama pada cerpen ”Kemana Iyah Sewaktu banjir”. Begitu juga dengan komentar dari AS Laksana, Penulis dan Pendiri Sekolah Penulisan Kreatif Jakarta School, bahwa Ni Komang memiliki kepekaan untuk merasakan apa yang tidak beres, dan dia mencoba “mengusik” pembaca, menyodorkan sejumlah prasangka, melalui cerita-ceritanya.
Selain isi cerpen yang menarik, buku ini juga memiliki daya tarik pada sampulnya. Soft cover buku kumpulan cerpen ini cukup menarik perhatian, karena dihiasi warna-warna yang cerah dan ilustrasi yang sesuai dengan judul bukunya, Lidah. Ukurannya pun tipis dan kecil sehingga mudah dibawa kemana-mana.
Kumpulan cerpen dalam buku tersebut terdiri dari 14 cerpen yaitu : Coklat Valentine, Pada Sebuah Toko Suatu Ketika, Kemana Iyah Sewaktu Banjir, Lidah, Menyusu Knalpot Persimpangan, Pasangan Muda, Pembalasan si Ibu Hamil, Perempuan-perempuan Berjengger, Pisau Aneh dalam Rumah, Senja di Pelupuk Mata, Seorang Kawan Bernama Yuliana, Seorang Ibu dengan Dua Bayi, Selingkuh, Sepotong Kejujuran dari Wina.

Ni Komang Ariani, dilahirkan di Gianyar, Bali, 19 Mei 1978. Lulus dari jurusan Ilmu Komunikasi-Universitas Airlangga pada tahun 2002. Tahun 2003 bekerja sebagai penyiar radio berita Global FM Bali, kemudian bulan Oktober 2003 pindah ke Jakarta, bekerja sebagai penyiar dan wartawan KBR 68H Sampai Maret 2006. pada tahun 2007 sempat menjadi pekerja free lance di perusahaan PR, IraKoesno Communication. Selain menulis, saat ini bekerja sebagai pengajar di ELTI Gramedia.

Cerpen-cerpennya telah dimuat di Harian Kompas, Harian Suara Pembaruan, Koran Sindo, Harian Bali Post, Harian Jurnal Nasional, Najalah Chic, dan Majalah Kartini. Pada tahun 2008, menjadi Juara 1 Lomba Menulis Cerita Bersambung yang diadakan oleh majalah Femina melalui noveletnya yang berjudul Nyanyi Sunyi Celah Tebing. Pada tahun 2007, ia menjadi salah satu pemenang berbakat dalam Lomba Cerpen bertema Lingkungan Hidup yang diadakan oleh Tabloid Parle melalui cerpennya Kemana Iyah Sewaktu Banjir. Selain itu Ia juga meraih penghargaan sebagai pemenang harapan dalam lomba cerpen yang digelar situs Kolomkita melalui cerpennya Perempuan-perempuan Berjengger.

F. SINOPSIS CERPEN “LIDAH”
Lidah
Ni Ketut Rapti baru betul tiba di Jakarta dari perjalanan panjangnya dari Rendang, Karangasem, desa permai nun jauh di kaki Gunung Agung. Kini, di ruangan kecil, pengap, Ketut meneka keringat yang deras menetes. Kulit legam dan alis tebalnya basah oleh keringat
“Boleh saya lihat lidah kamu?”
“Tentu Pak!” Ketut menjawab dengan tekanan yang dalam pada huruf T.
Ketut kemudian membuka mulutnya lebar dan menjulurkan lidah.
“Ada yang kurang beres dengan lidah kamu?”
“Ada apa ya Pak?” tanya Ketut kuatir.
“Pasti banyak kata yang tidak bisa kamu ucapkan dengan tepat. Betul tidak? Waktu kamu bilang “ tentu” saja sudah aneh. Wah bisa jelek image perusahaan saya. Kesannya tidak profesional.”
“Apa maksud Bapak dengan profesional? Bukankah tugas saya hanya menerima telepon?”
“Ya betul, tapi cara berbahasa kamu tidak sempurna, nggak bagus bagi image perusahaan saya.”
“Tapi Pak, di iklan hanya menyebutkan dibutuhkan tamatan SMA. Saya tamat SMA bahkan selalu juara satu, mengapa saya tidak diterima?”
“Cuma satu, karena lidah kamu. Suara kamu sih bagus. Benerin dulu tuh lidah, baru lamar lagi ke sini!”
Dengan langkah gontai, Ketut meninggalkan ruang wawancara yang panas bukan main. Terik matahari di luar juga tak kalah panasnya. Gagal sudah harapannya untuk segera mendapat pekerjaan di Jakarta. Ketut masygul bagaimana ia akan mencukupi kebutuhan hidupnya di Jakarta.

*****

Ketut Rapti sibuk membolak-balik koran Minggu di tangannya. Begitu banyak lowongan yang terhampar, namun Ketut amat tak yakin apakah ia akan segera bisa bekerja di Jakarta. Sudah tiga bulan, berbagai lamaran kerja ia kirimkan, sejumlah wawancara ia lakukan, namun tak satu pun berhasil ditembus. Ketut makin kuatir ia akan semakin merepotkan Me Man dan Pak Yan, tempatnya menumpang sekarang.
“Masih sibuk cari lowongan?” Pak Yan mendatangi dengan secangkir kopi di tangan. Pak Yan adalah adik ayahnya di kampung.
“Ya Pak Yan, sulit sekali tembusnya.”
“Kamu cuma tamatan SMA soalnya. Sekarang semua perusahaan butuhnya sarjana.”
“Tapi yang saya lamar cuma lowongan untuk tamatan SMA kok Pak Yan, tapi ternyata sulit tembus juga.”
“Mungkin karena kamu sekolah di kampung, jadi kalah saing dengan tamatan SMA di kota.”
“Tapi di kampung saya selalu juara satu, masa masih kalah jauh sama anak SMA di kota?”
“Kali aja perusahaan itu nggak merasa cocok dengan kamu. Biasanya perekrut memikirkan kepentingan perusahaan. Sabar aja Tut, nanti Pak Yan coba tanya-tanya di kantor atau relasi, siapa tahu kamu bisa bekerja di sana. Kamu nggak usah kuatir soal tinggal di Pak Yan. Pak Yan senang kok kamu tinggal dan bantu-bantu Me Man. Masalah pekerjaan kita cari pelan-pelan!” hibur Pak Yan. Ketut Rapti hanya mengangguk lemah mendengar kata-kata Pak Yan.

*****

Sebuah gelombang merah bergulung mendekat. Bukan. Bukan gelombang. Ia lebih layak disebut permadani merah sewarna darah. Permadani tebal dan hangat. Permadanikah ini? Ketut Rapti tidak paham betul gulungan benda raksasa yang bergerak merayap mendekatinya. Permadani itu menjulur-julur seperti hendak menelannya dalam gulungan. Ketut semakin takut saat gulungan merah itu semakin mendekati tubuhnya yang tergeletak tak berdaya. Ia tertelungkup dengan tangan dan kaki terpaku ke bumi. Tak ayal gulungan merah entah permadani entah apa itu menggulungnya dalam sekali terjang. Melilit dan menghabiskan tubuhnya yang mungil.
Tiba-tiba ia merasakan lendir dan hangat pada benda merah berbintik itu. Benda seperti ini ia kenal betul, bahkan rasanya ia miliki. Tak salah lagi, gulungan itu adalah lidahnya, namun dalam ukuran raksasa. Mengapa lidah yang kenyal dan tebal itu menggulungnya, melilitnya seperti naga raksasa? Mengapa?
Lilitan lidah raksasa itu kian terasa memenuhi tubuhnya melenyapkannya, menjeratnya, terus dan terus. Ketut Rapti masih bertanya-tanya dalam benak saat gelap makin mencengkeram dan kesadarannya makin menghilang.
Ketut terbangun dalam penat yang sangat. Mimpi yang aneh. Bagaimana mungkin ia bermimpi lidah raksasa menggulungnya? Ada-ada saja. Saat beranjak dari tempat tidur, tantenya, Me Man telah menyongsongnya dengan dahi berkerut.
“Tumben bangunnya siang banget, Tut. Sakit?”
“Nggak Me, mimpi aneh aja semalam!”
“Mimpi apa?” Me Man mengikuti Ketut yang menuju kamar mandi.
“Mimpi digulung lidah raksasa, ha ha ha!” Ketut tertawa terbahak. Lupa ia, betapa takutnya semalam, saat Sang Lidah Raksasa menjeratnya.
“Aneh sekali, apa ya artinya?” kata Me Man dengan mimik serius.
“Sudahlah Me, paling cuma bunga tidur. Mimpi aneh begitu.” Ketut beranjak mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
“Ya sudah, habis mandi, langsung ambil sarapan di meja makan!” teriak Me Man, saat Ketut Rapti mulai mengguyur tubuhnya dengan air yang sejuk.

*****

Ketut Rapti menyudahi ketikannya di layar komputer. Matanya terasa amat penat. Dipandanginya hamparan sofa mewah dan perangkat keramik mahal di ruang tamu. Suara Made, keponakannya, terdengar sesekali. Entah mengapa, meskipun amat lelah hari ini, Ketut merasa amat puas. Belum pernah merasa demikian puas. Atau ia baru sadar akan keberhasilannya setelah sekian tahun bekerja dan bekerja. Ia terus bekerja tanpa sempat berpikir.
Atau barangkali karena ini adalah bulan Januari. Sepuluh tahun yang lalu ia datang ke Jakarta di bulan yang sama. Dan kebetulan bulan Januari ini pun amat berdekatan dengan Galungan(1) sepuluh tahun yang lalu. Sebulan setelah Bapak meninggal, yang membuatnya terpaksa merantau jauh dari Bali.
“Mbok Nik………!” Ketut memanggil pembantu di apartemennya.
“Ya Tut…….” Mbok Nik setengah berlari menghampiri Ketut.
“Tiang mau ke Pura, tolong buatin sesajennya.”
“Buat kapan Tut?”
“Buat hari ini, nanti malam!”
“Tidak ada rainan(2) kan?”
“Nggak pa pa, saya pengen saja ke Pura!”
Ketut Rapti ingin berdoa ke Pura hari ini. Ini untuk merayakan kemenangan dan kepuasanku, kata Ketut dalam benak. Inilah hari dimana ia datang ke Jakarta sepuluh tahun yang lalu. Inilah saat ketika ia hampir putus asa dan menyerah. Inilah saat ia kehilangan kesempatan karena lidahnya. Ketut Rapti merayapkan pandang ke sekeliling.

*****

Semua kisah Ketut Rapti berpusat pada lidah. Entah mengapa ia begitu terobsesi pada lidah. Mungkin ia begitu, sejak ia memimpikan sebuah lidah raksasa menggulungnya. Sejak saat itu, ia mulai mencoreti buku tulisnya dengan gambargambar lidah. Lidah beraneka rupa dan bentuk. Lidah dengan berbagai ekspresi dan aktivitas. Lidah yang menjulur. Lidah yang menjilat.
Lidah yang sedang mengunyah, atau lidah yang sedang diam di dalam mulut yang tertutup rapat. Kemudian ia mulai menggambar lidah di kanvas. Dengan warna merah darah sewarna lidah. Lukisannya bertambah, hari demi hari. Setiap hari dengan sebentuk lidah. Lama-lama lukisan-lukisan itu memenuhi kamarnya. Berjejal hingga yang tertinggal hanya tempat tidur dan celah sempit untuk keluar masuk. Pak Yan terkesiap mendapati kamar Ketut Rapti yang begitu sesak. Kau berbakat Tut. Walaupun obyek yang kau gambar sangat aneh. Mari kita jual lukisanmu.
Mulailah mereka mengisi pameran demi pameran. Dengan sisa-sisa perhiasan warisan yang mereka miliki. Orang-orang yang melihatnya merasa bergidik sekaligus tertarik, geli sekaligus takjub, melecehkan sekaligus memperhatikan.
Beberapa kolektor gila membelinya dengan harga tinggi. Kolektor lain ikut-ikutan. Kolektor amatiran apalagi. Akhirnya lukisan Ketut menjadi trend di kalangan kolektor. Semakin banyak yang memburu dan memperbincangkan. Lukisan Ketut menjadi bahasan hot dalam berbagi diskusi tentang lukisan. Namanya mulai santer diperbincangkan. Ia ditulis dalam profil-profil di koran-koran. Seorang gadis sederhana yang menjelma pelukis yang istimewa. Semua keajaiban terjadi begitu cepat dan mudah. Dan tiba-tiba saja Ketut dikepung kemewahan yang belum pernah ia bayangkan.
Ketut tentu saja tidak bodoh. Ia bertekad mereproduksi dan membiakkan kemewahan yang ia miliki. Ia mulai mencari ide – ide baru. Kini ia bukan saja melukis. Ia mulai memahat. Memahat aneka rupa lidah. Aneka rupa warna dan bahan. Ketut juga belajar menganyam lidah. Terciptalah aneka rupa lidah tiga dimensi yang kadangkala cantik juga kadangkala mengerikan. Dan sekali lagi, sang nasib sepertinya sudah berpihak padanya. Wahyu keterkenalan dan kekayaan seperti sudah digariskan di jidatnya. Apapun yang dikerjakan Ketut selalu menjadi tambahan uang baginya.
Patung-patung lidahnya laris manis. Diburu kolektor dan orang biasa. Kerajinan anyam lidahnya pun tidak ketinggalan. Kerajinan manis ini mulai menyerbu mall-mall. Ketut Rapti menggaji ratusan pekerja untuk mengerjakan lidah-lidahnya. Lidah menjadi genre baru yang disukai anak-anak muda selain beruang, panda, koala, maupun gajah. Entah mengapa lidah-lidah itu terlihat begitu manis dan innocent. Cocok dipajang di meja belajar atau rak pernik-pernik ruang tamu.
Berikutnya Ketut Rapti terus bergerilya menggandakan lidah-lidah uangnya. Ia sudah berencana untuk bekerja sama dengan produsen boneka bulu ternama. Ia akan memproduksi boneka lidah dalam jumlah massal. Merk Ketut Rapti akan disulam rapi pada setiap boneka bulu itu. Lidah itu akan diproduksi dalam berbagai ukuran dan warna. Muali dari yang paling mungil sampai seukuran raksasa berbentuk tempat tidur bayi.

Semua rencana ini telah dipersiapkan matang. Seorang ahli loga ternama disewa untuk mendesain trade mark Ketut Rapti. Seorang PR terkenal juga disewa untuk mempublikasikan narasi di balik logo itu. Ketut Rapti dikisahkan sebagai seorang perempuan sederhana yang berhasil memperjuangkan hidupnya. Melepaskan dirinya dari belenggu kebodohan dan kemiskinan. Menarasikan ide-ide pembebasan kepada masyarakat. Ia berhasil memutarbalikan ketertindasan menjadi kekuatan yang memberdayakan.
Dan kapitalisame menjadikan “Ketut Raptinisasi” bagai cendawan di musim penghujan. Setelah merchandise-nya laris manis, kisah Ketut Rapti mulai ditulis dalam berbagai buku. Aneka judulnya bertebaran di toko – toko buku ternama. Ketut Rapti Melawan Diskriminasi Lidah. Ketut Rapti, Masa Kecil dan Nilai-nilai Hidupnya. Belajar dari Seorang Ketut Rapti. Ketut Rapti: dari Kaki Gunung Agung ke Menara Pencakar Langit Jakarta.
Tidak cukup hanya sampai di situ. Kini patung-patung Ketut Rapti mulai dibuat. Stiker-stiker bergambar wajah Ketut Rapti juga diproduksi massal. Belum lagi kaos-kaos bergambar Ketut Rapti yang bertebaran di pedagang-pedagang kaki lima. Lidah-lidah Ketut Rapti terus beranak-pinak. Terus……. dan terus……… Ketut Rapti hanya tersenyum kecil setiap kali bangun pagi. Segera akan ia buka jendela dan memandangi hamparan lidah yang menjulur panjang ke bawah. Sosok Ketut Rapti terlihat kecil di jendela lantai dua puluh apartemen miliknya yang berbentuk rongga mulut dan lidah menjulur semerah darah.










G. ANALISIS CERPEN “LIDAH”
Dalam cerpen “Lidah” karya Ni Komang Ariani memiliki beberapa ciri – ciri cerita pendek Indonesia kontemporer seperti pada petikan :

“Sebuah gelombang merah bergulung mendekat. Bukan. Bukan gelombang. Ia lebih layak disebut permadani merah sewarna darah. Permadani tebal dan hangat. Permadanikah ini? Ketut Rapti tidak paham betul gulungan benda raksasa yang bergerak merayap mendekatinya. Permadani itu menjulur-julur seperti hendak menelannya dalam gulungan. Ketut semakin takut saat gulungan merah itu semakin mendekati tubuhnya yang tergeletak tak berdaya. Ia tertelungkup dengan tangan dan kaki terpaku ke bumi. Tak ayal gulungan merah entah permadani entah apa itu menggulungnya dalam sekali terjang. Melilit dan menghabiskan tubuhnya yang mungil.” (Kumpulan Cerpen Lidah, Lidah; hal : 24)

Pada kutipan tersebut terdapat ciri-ciri cerita pendek Indonesia kontemporer yaitu berciri anti logika, yang tidak mengikut sertakan pikiran logika didalamnya. Cerita pendek “Lidah” karya Ni Komang Ariani ini juga berciri absurd atau serba aneh, seperti : “Tak ayal gulungan merah entah permadani entah apa itu menggulungnya dalam sekali terjang. Melilit dan menghabiskan tubuhnya yang mungil”.
Namun cerpen “Lidah” ini memiliki keindahan di dalamnya, yang memberikan gairah untuk tetap semangat menghadapi hidup yang susah ini dan pantang menyerah walau dalam keadaan sulit.



















BAB IV
NOVEL KONTEMPORER

A. Pengertian Novel Kontemporer
Dalam Kamus Istilah Sastra, Abdul Rozak Zaidin, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah menuliskan, novel dadalah jenis prosa yang mengandung unsure tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang, dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulisan (1994:136).

Novel kontemporer muncul dilatarbelakangi oleh adanya suatu pergeseran nilai kehidupan secara menyeluruh. Persoalan kehidupan merupakan semangat munculnya sastra atau novel kontemporer. Demikian juga terjadi perubahan yang besar dan mendasar yang meliputi penulisan dan pencarian bentuk-bentuk pengucapan baru.

Pengertian novel kontemporer secara sederhana adalah :
1) Novel yang hidup pada masa kini atau novel yang hidup pada waktu yang sama.
2) Novel yang berusaha bergerak mendahului keadaan zamannya.
Pengertian novel kontemporer secara luas adalah :
1) Novel yang menyimpang dari semua sistem penulisan fiksi yang ada selama ini atau yang bersifat konvensional.
2) Novel yang menggarap masalah fiksi dan batin dengan pola yang aneh tetapi suasana dan imaji yang sangat menakjubkan.

Berdasarkan dua pengertian novel kontemporer di atas, maka novel Indonesia kontemporer adalah novel Indonesia yang bentuknya menyimpang dari sistem penulisan fiksi di Indonesia selama ini dan yang menggarap masalah fiksi dan batin manusia Indonesia dengan pola yang aneh tetapi dengan suasana dan imaji yang sangat menakjubkan.

Novel Indonesia kontemporer berciri sebagai berikut :
1) Antitokoh
2) Antialur
3) Bersuasana misteri atau gaib
4) Cenderung mengungkapkan transcendental, sufistik.
5) Cenderung kembali ke tradisi lama atau warna local.








B. BIOGRAFI PENGARANG
Umar Kayam adalah “manusia” dengan berbagai wajah akademisi, birokrat, seniman, budayawan dan pecinta makanan. Berbagai kelompok suku, agama, status sosial, dan sebagainya menjadi perhatiannya baik dalam kedudukannya sebagai ilmuwan maupun seniman. Ia adalah seorang multikulturalis yang inklusif, menghargai perbedaan dan keragaman yang ada di nusantara. Meskipun demikian dengan caranya yang khas ia melakukan kritik tajam terhadap budaya feodal yang menutup akses pada keterlibatan wong cilik, dan hanya semakin mengekalkan dominasi para priyayi. Dengan tegas ia menolak ketika pendidikan diarahkan hanya untuk menjadi pegawai, menjadi priyayi khususnya.

Umar Kayam lahir di Ngawi 30 April 1932. Ibunya bernama Koentjiati, ayahnya Sastrosoekotjo. Dari bayi sampai umur kurang lebih 2 tahun bertempat tinggal di Wonogiri, tempat di mana ayahnya ditugaskan sebagai guru bantu (bertugas mengenalkan huruf-huruf latin, membimbing membaca dan menulis). Kemudian pindah ke Surakarta. Pendidikan Umar Kayam dimulai di voorklas (TK), dilanjutkan H.I.S (Hollands Inlands School – sekolah dasar untuk anak-anak priyayi guna menyiapkan priyayi-priyayi gubernemen Pemerintahan Kolonial Belanda) “Siswo” Mangkunegaran sampai dengan lulus. Berbeda dengan HIS di tempat lain HIS Siswo Mangkunegaran mempunyai karakter kejawaan dengan mewajibkan semua anak didiknya berbicara dalam bahasa Jawa krama. Tetapi di dalam kelas mereka diajari bahasa Belanda dengan penuh disiplin. Selepas HIS, Umar Kayam melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Di lingkungan keluarga, pendidikan yang ditanamkan kedua orangtuanya sangat kuat. Umar Kayam dan adik-adiknya sejak kecil sudah dibiasakan untuk senang membaca. Sampai dengan usia 13 tahun Umar Kayam tinggal di Surakarta dalam lingkungan Mangkunegaran dengan sekali-kali berlibur ke Ngawi (tempat kakek dan neneknya). Lingkungan-lingkungan inilah yang membangun kepribadiannya.

Pada masa clash I, Sastrosoekotjo pindah ke Yogyakarta. Di kota inilah Umar Kayam menyelesaikan SMA-nya. Tahun 1951 Umar Kayam meneruskan pendidikannya ke Universitas Gadjah Mada jurusan Paedagogik Fakultas SPF (Sastra Paedagogik dan Filsafat).

Di SPF, Umar Kayam aktif di bidang kesenian dan kebudayaan. Pribadinya yang ramah, terbuka membuat ia mudah bergaul sehingga mempunyai banyak teman. Ia sering mengadakan pentas teater bersama Rendra, Subagyo Sastrowardoyo, Widyati Saebani dan lain-lain. Tempat yang biasa untuk pentas adalah Gedung Negara, Gedung Batik PPBI, Gedung Chung Hua Tsung Hui (CHTH), Gedung BTN, dan Sriwedari.

Umar Kayam meneruskan pendidikannya untuk memperoleh gelar doktor di Cornell University dalam bidang sosiologi dan lulus tahun 1965. Setibanya di Indonesia ia menjumpai kondisi negara yang morat-marit di segala bidang. Antara ketidak- mengertian dengan apa yang terjadi, kegairahan seorang muda, semangat menyambut tatanan baru, ia menerima jabatan sebagi Dirjen RTF (Radio, Televisi dan Film) Departemen Penerangan RI (1966 – 1969). Pengangkatan ini melalui Keputusan Menteri Penerangan No. 10/SK/M/1966, tertanggal 21 Desember 1966. Umar Kayam yang lebih dikenal dalam bidang kesusastraan dan keilmuan dipilih karena sikapnya yang netral, selain itu juga karena pergaulannya yang luas di berbagai kalangan, baik yang duduk di pemerintahan maupun sastrawan seniman dan kalangan profesional lain. Ketika terpilih menjadi Dirjen RTF Umar Kayam mengeluarkan kebijakan yang disahkan oleh Menteri Penerangan B.M. Diah melalui SK.No. 71/SK/M/1967, untuk menstimulasi importir (baik film maupun barang dagang lain misal tekstil dan mesin) agar mendatangkan film luar negeri sebanyak-banyaknya, disertai kewajiban membeli saham yang akan digunakan untuk mendanai produksi film dalam negeri.

Selain menjadi Dirjen RTF, beberapa jabatan yang pernah diemban Umar Kayam antara lain ketua Dewan Kesenian Jakarta merangkap Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1969-1972), Direktur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (1975-1976), Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kebudayaan UGM (1977-1997), dosen Fakultas Sastra UGM (1977-1997), Dosen STF Driyarkara (1972), dosen luar biasa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UI (1970-1974) dan Fakultas Sastra UI (1974-1975), anggota Board of Trustees of International Institute of Communications, London (sejak 1969).

Ada tiga hal peranan penting Umar Kayam yang dibahas dalam buku ini yaitu dalam dunia kesastraan, kesenian dan aktifitas keilmuan (kebudayaan) secara umum.

Sebagai seorang sastrawan, Umar Kayam tidak terlalu produktif. Ia hanya menghasilkan beberapa cerpen, dua buah cerpen panjang (novelette), dan dua buah novel. Kekhasan karya Umar Kayam terletak pada cerita-ceritanya yang tidak pernah hanya memiliki satu arti. Ia memberi kebebasan penuh pada pembaca untuk menyimpulkan dan menafsirkan cerita. Ia sekedar memberi gambaran suasana tertentu dan melalui suasana yang terbias dari batin tokoh-tokohnya. Sejumlah tema bisa muncul, pembaca dapat menemukan tema cerita dari banyak segi. Dalam novelnya ia mampu memanfaatkan rekaman realitas individu (data-data pribadi) yang tidak ditangkap oleh sejarah dan sosiologi yang hanya mampu merekonstruksi data-data kasat mata. Umar Kayam telah menyumbangkan pendekatan realisme kultural. Seorang realis dengan kemampuan mengolah data-data cultural dan etnisitas secaran kreatif.

Karya-karya Umar Kayam dapat dikategorikan dalam lima tahap. Pertama karya-karya awal berupa cerpen yang kemudian diterbitkan dalam kumpulan cerpen berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1961). Kedua, dua cerpen panjang (Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Kimono Biru untuk Sang Istri (1973)). Ketiga, buku cerita anak, Totok dan Toni (1975). Keempat, novel Para Priyayi (1992). Kelima, cerpen-cerpen yang dipublikasikan Yayasan untuk Indonesia dengan judul Parta Krama (1997). Novel terakhir berjudul Jalan Menikung: Para Priyayi 2.

Dalam bidang kesenian, Umar Kayam mengembangkan tidak hanya sebatas pada kesenian adiluhung atau serius yang saat itu identik dengan dunia kampus, tetapi juga kesenian populer dan rakyat. Foto-foto pertunjukkan di TIM semasa kepemimpinannya mendokumentasikan nama Rendra dalam Scene from Oedipus Rex, Sardono W. Kusumo dalam Sangita Pantjasona, Rhoma Irama si raja dangdut, dan lain-lain. Hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Keterpihakan pada kesenian rakyat juga ditunjukkan ketika menjabat sebagai Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kebudayaan UGM Yogyakarta (1977-1997). Kegiatan yang terkenal adalah Pasar Seni Rakyat yang rencananya diagendakan setiap tahun. Dalam Pasar Seni ini digelar berbagai kesenian rakyat (misal srunthul dari Sleman, reog dari Bantul), hasil kerajinan (gerabah, anyaman bambu dan lain-lain), makanan tradisional.

Dalam seni peran, Umar Kayam pernah menjadi aktor dalam film “Karmila”, “Kugapai Cintamu”, “Pengkhianatan G 30 S/PKI”, “Jakarta 66”. Juga penulis scenario untuk film “Yang Muda Yang Bercinta”, “Jago”, dan “Frustasi Puncak Gunung”. Pernah juga menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (1984).

Perhatian Umar Kayam di bidang kebudayaan merupakan benang merah pemikiran yang terefleksikan dalam berbagai karyanya, yakni transformasi cultural dari budaya agraris menuju modern. Ilmu dan kebudayaan Indonesia menurutnya, haruslah berangkat dari kotak-kotak kebudayaan dan bukan menuju kotak-kotak kebudayaan. Menghargai fenomena pluralisme dalam masyarakat Indonesia, untuk tidak menempatkannya sebagai kendala namun menjadi modal. Umar Kayam terkenal dengan teorinya tentang manusia Indonesia sebagai “pejalan budaya” (cultural commuter), yaitu sebagai orang yang bergerak secara ulang-alik dari tradisionalitas ke modernitas, dari desa menuju kota. Desa dengan penyangga komunitasnya di satu sisi melahirkan berbagai ekspresi kebudayaannya, demikian pula kota dengan penyangga masyarakatnya.

Sebagai ilmuwan yang seniman atau sebaliknya, Umar Kayam berperan baik sebagai fasilitator (ketika ia menjadi pejabat), memberi sumbangan pemikiran (terutama dengan karya tulis dan penelitiannya), sekaligus dalam bentuk keterlibatan langsung sebagai pelaku seni.

Lima tahun sejak kepergian Umar Kayam, karya sastranya selalu aktual jadi bahan pembicaraan. Ia berpulang ke hadirat Ilahi pada 16 Maret 2002. Kini, 16 Maret 2008 karya Umar Kayam jadi perhatian intensif dan masuk dalam pelajaran Sastra dan Bahasa di sekolah-sekolah di Republik Indonesia. Sejak kelahiran 30 April 1932 sampai dengan peringatan 76 tahun Umar Kayam — sembilan hari lagi — salah satu buku “Umar Kayam: Karya dan Dunianya” berkisah tentang dunia dan karyanya. Buku ini disampaikan oleh B. Rahmanto dengan lugas. Berikut ini bagian petikan seputar biografi Umar Kayam.

Menurut Umar Kayam, novel lebih efektif untuk memahami kehidupan secara tepat, dibanding apabila ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah. Karya sastra itu, katanya dibangun oleh pengarangnya berdasarkan perenungan, penafsiran, dan penghayatannya terhadap realitas sosial serta lingkungan sosial masyarakat di mana pengarang itu hidup dan bermasyarakat. Oleh karena itu, sastra yang bermutu (Umar Kayam menggunakan istilah sastra yang “Sastra” S dengan huruf kapital), menurut Umar Kayam adalah karya sastra yang banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Umar Kayam mengawali kepengarangannya pada tahun 60-an sampai dengan akhir hayatnya, Sabtu, 16 Maret 2002.

Umar Kayam berasal dari keluarga guru. Ayahnya seorang guru Hollands Inlands School (HIS; sekolah dasar untuk anak-anak priayi yang menyiapkan priayi-priayi gubernemen pada saat pemerintahan kolonial Belanda) di Mangkunegoro, Surakarta. Di sekolah dasar, ia sekelas dengan Wiratmo Soekito — budayawan yang kelak terkenal sebagai konseptor Manifes Kebudayaan — yang dipanggilnya sebagai Kliwir. Kegemaran membaca buku secara dini diperoleh dari ayahnya yang mempunyai perpustakaan pribadi. Waktu di MULO (sekarang SMP), secara sembunyi-sembunyi — karena takut dimarahi ibunya — ia banyak membaca roman-roman yang seharusnya baru boleh dibaca setelah ia dewasa, seperti novel Margaret Mitchel Gone with the Wind yang sudah ada terjemahannya dalam bahasa Belanda pada saat itu. Ia bisa menikmati novel yang mengisahkan perang saudara di Amerika Serikat, walaupun secara jujur ia mengatakan bahwa banyak yang tidak dipahami.

Menurut Umar Kayam, saat ia di sekolah dasar ada keharusan untuk membaca dongeng-dongeng, dan ada pelajaran bercerita di depan kelas dalam bahasa Belanda. Diakuinya pendidikan Belanda memang baik, teratur, dan disiplin. Di kelas lima HIS, ia menguasai bahasa Belanda. Sehari-harinya, bersama orang tuanya ia berbicara dalam bahasa Jawa halus (kromo) campur Belanda. Bahasa Melayu bukan bahasa sehari-hari. Ia les bahasa Melayu sore hari. Baru pada masa pendudukan tentara Jepang, bahasa Indonesia diwajibkan secara intensif sebagai bahasa pengantar. Meski kelak ditulisnya dalam novel Para Priyayi bahwa pada masa pendudukan tentara Jepang sangat represif dan menyakitkan sekaligus mengerikan khususnya di bidang pelanggaran hak-hak asasi manusia secara semena-mena, menurutnya, salah satu tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang dapat dinilai positif adalah … Jepang berjasa mengindonesiakan kita dalam waktu sekejap. Pemerintah Dai Nippon memerintahkan semua buku pelajaran harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Belanda dilarang dipergunakan sebagai alat komunikasi resmi.

Ia mulai belajar mengarang saat duduk di SMA Bagian A (Bahasa) di Jogjakarta. Awalnya, karena memenuhi tugas pelajaran mengarang dengan tema-tema yang diberikan oleh gurunya. Bersama teman-teman sekelas, seperti Nugroho Notosusanto dan Daoed Joesoef (dua-duanya pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI), Umar Kayam mendapat tugas mengelola majalah dinding sekolah. Di majalah dinding itulah Umar Kayam dan teman-temannya mengekspresikan tulisan dalam bentuk puisi (katanya yang paling banyak), cerpen, esai, dan pembicaraan karya-karya pengarang, seperti Tagore, S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar. Puisi-puisi Chairil Anwar dinilai sangat mengagetkan, tidak bisa dimengerti, tetapi sangat memukau mereka. Sajak “Derai-Derai Cemara” dan “Senja di Pelabuhan Kecil” sangat disukai Umar Kayam sehingga hafal di luar kepala sampai menjelang akhir hidupnya. Pada saat ia duduk di bangku SMA itulah cerpen pertamanya yang berjudul “Bunga Anyelir” — yang berkisah tentang seorang remaja yang membawa seikat bunga anyelir untuk pacarnya di rumah sakit — dimuat di sebuah majalah yang terbit di Jakarta (sayang ia lupa menyebutkan apa nama majalah itu).

Setamat dari SMA (1951), Umar Kayam melanjutkan pendidikan di Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Ia merintis ruang kemahasiswaan “Universitaria” di RRI Nusantara II Yogyakarta yang berisi berita dan kegiatan mahasiswa — sampai sekarang acara itu tetap mengudara sehabis berita siang di RRI Jogjakarta — dan mendirikan majalah mingguan bertajuk Minggu. Minatnya terhadap dunia pers ini kelak tersalurkan lewat kolom rutin di halaman depan yang diterbitkan di harian Kedaulatan Rakyat setiap Selasa sejak 12 Mei 1987 sampai dengan pertengahan tahun 2000. Kolom ini menarik minat banyak pembaca karena dituturkan dengan singkat, penuh humor cerdas, canda, tidak ngotot, kadang tidak secara langsung menyampaikan sindiran, protes, usul, dan nasihat. Kolom ini akhirnya dikumpulkan dan diterbitkan kembali menjadi empat buku. Tatkala menjadi mahasiswa, Umar Kayam juga aktif berkesenian, bahkan sempat menyutradarai Rendra dalam pentas drama dengan lakon “Hanya Satu Kali”.

Tahun 1955 Umar Kayam menyelesaikan sarjana mudanya, lalu bekerja di Jakarta beberapa tahun. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Amerika Serikat, memperoleh gelar Master of Education dari New York University School of Education (1963), dan akhirnya memperoleh gelar Doctor of Philosophy di Cornell University dengan disertasi berjudul “Aspects of Interdepartmental Coordination Problems in Indonesian Community Development” (1965).

Sepulangnya dari Amerika Serikat, oleh Presiden Soeharto ia ditunjuk menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan RI (1966–1969); kemudian ia terpilih untuk menggantikan Trisno Sumardjo (1969–1972) sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan selama itu pula ia merangkap sebagai Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ; sekarang Institut Kesenian Jakarta, IKJ) di Jakarta, di samping sebagai anggota Boards of Trustee International Broadcast Institute yang berpusat di Roma, Italia selama dua tahun. Jabatan lain yang pernah diemban adalah Direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanudin, Ujungpandang (1975–1976), Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan di UGM (1977–1997), dosen pascasarjana UGM, dan dosen kontrak di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (1998–2001). Ia dikukuhkan menjadi guru besar Fakultas Sastra UGM dengan pidato bertajuk “Transformasi Budaya Kita” yang diucapkan di depan rapat senat terbuka Universitas Gadjah Mada, 19 Mei 1989, dan pamit pensiun dalam seminar untuk Umar Kayam sehubungan dengan purnabakti sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM, 11–12 Juli 1997.

Umar Kayam juga pernah bermain film dan sinetron, antara lain dalam film Karmila yang disutradarai oleh Ami Priyono, memerankan Bung Karno dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI dengan sutradara Arifin C. Noer, dan berperan sebagai Pak Bei dalam sinetron yang diangkat dari novel Arswendo Atmowiloto yang berjudul Canting.

Uka, sapaan akrab Umar Kayam, mengakhiri masa lajangnya pada usia 27 tahun. Ia menikahi gadis Minang yang bernama Roosliana Hanoum pada tanggal 1 Mei 1959 di Medan. Resepsinya diadakan di Singaraja, Bali, tempat Umar Kayam bertugas saat itu. Kehidupan rumah tangganya berjalan langgeng. Ia menerapkan sikap demokrasi di keluarganya, tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada anak dan istrinya.

Sita, putri sulungnya, misalnya, menyukai tari Jawa, tetapi kurang bisa berbahasa Jawa. Umar kayam, yang sangat peduli terhadap budaya Jawa, tidak mau ikut campur untuk memaksa putrinya harus menguasai bahasa Jawa, meskipun menurut pikirannya seharusnya memang demikian. Ia membiarkan anak-anaknya berkembang menurut kehendak anak itu sendiri. Begitu pula dengan istrinya, yang akrab disapa dengan nama kecilnya, Yus, tidak dipaksanya menjadi istri dan ibu yang harus bekerja di rumah mengurusi rumah tangganya saja. Ia merelakan istrinya berkarier, bahkan mendukungnya, jika hal itu yang dibutuhkan oleh istrinya.

Pandangan Umar Kayam yang cenderung modern dalam membina rumah tangganya itu, ternyata kontradiktif dengan pandangannya dalam menyikapi kemajuan zaman, khususnya teknologi komputer. Meski zaman telah dilanda komputerisasi, Profesor doktor yang pernah menjabat sebagai guru besar di Universiatas Gajah Mada itu enggan meninggalkan mesin ketik manualnya yang kalau dipakai mengeluarkan suara yang dapat menagganggu orang di sekitarnya. Jika teman-temannya membujuknya untuk menggunakan komputer, Umar Kayam menantang mereka, “Yakinkan saya bahwa dengan komputer saya bisas kreatif.” Tentu saja tak seorang pun yang dapat memberikan jaminan.

Karya-Karya Umar Kayam
I. Cerpen
Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
Istriku, Madame Schultz, dan Sang Raksasa
Sybil
Secangkir Kopi dan Sepotong Donat
Chief Sitting Bull
There Goes Tatum
Musim Gugur Kembali di Connecticut
Kimono Biru buat Istri
II. Novel Pendek
Sri Sumarah
Bawuk

(Kedelapan cerpen di atas bersama dua novelet—Sri Sumarah dan Bawuk—diterbitkan dalam satu buku yang berjudul Sri Sumarah, pada tahun 1975. Penerbitnya adalah Pustaka Jaya, Jakarta.
III. Novel
Para Priyayi (Pustaka Jaya, 1992)
Jalan Menikung (Pustaka Jaya 2002)









C. SINOPSIS NOVEL “JALAN MENIKUNG”
Cerita ini adalah sekuel dari novel Para Priyayi yang pertama. Di dalam serial yang kedua ini, nuansa Jawa sudah tidak lagi terlalu kental seperti di dalam seri pendahulunya. Meskipun nuansa Jawa sudah luntur, tampaknya masih ada beberapa bagian di mana beliau mengungkapkan pendapatnya tentang masyarakat Jawa sebagai pelengkap teori Geertz.
Buku ini berkisah tentang kehidupan generasi keempat keluarga Sastrodarsono. Cerita dimulai dengan dipecatnya Harimurti, putra hardojo, dari tempatnya bekerja karena keterlibatannya dengan partai komunis di masa lalu. Ini menyebabkan Harimurti melarang Eko, anaknya yang sedang studi di Amerika, untuk pulang. Akhirnya, Eko memutuskan untuk tetap tinggal di Amerika. Ia menikah dengan Claire, seorang Yahudi-Amerika. Meskipun awalnya pernikahan mereka kurang disetujui oleh keluarga Eko karena perbedaan suku dan agama, akhirnya Eko direstui keluarganya. Mereka mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Asia, termasuk ke Jakarta, disponsori oleh kantor Eko dalam rangka kerja. Di Jakarta, Tommi anak Nugroho ingin memugar makam keluarga Sastrodarsono. Hal ini ditentang oleh Harimurti dan Lantip, meskipun demikian, pemugaran makam tetap dilaksanakan dan berjalan dengan lancar. Setelah itu, Eko beserta keluarga besarnya pergi berkunjung ke Padang untuk “Pulang Basamo”. Kemudian, Eko dan Claire kembali ke Amerika, dan hidup bahagia bersama anak mereka.





D. ANALISIS NOVEL “Jalan Menikung”
Di dalam Jalan Menikung, dapat dilihat bagaimana Umar Kayam kembali menyempurnakan teori Geertz seputar pembagian kelas di Jawa. Di dalam novel ini, Umar Kayam banyak bercerita tentang kelas sosial di Jawa kontemporer. Beliau menunjukkan bahwa teori trikotomi sudah tidak relevan lagi untuk menjelaskan kondisi masyarakat Jawa dewasa ini. Pertama, garis-garis pembatas antara ketiga kelas tersebut sudah hilang, malahan banyak perbedaan yang muncul dalam kelas priyayi itu sendiri. Sebagai contoh, bandingkanlah karakter Harimurti dengan karakter Tommi. Hampir segala aspek dalam kehidupan mereka sangatlah berbeda satu sama yang lain. Tommi kaya, Harimurti sederhana; Tommi licik, Harimurti jujur; Tommi disegani, sedangkan Harimurti haknya diinjak-injak.

Kedua, di Jalan Menikung, beberapa karakter kembali tidak dapat diklasifikasikan sebagai priyayi, santri, maupun abangan. Contohnya anak Eko dan Claire. Menurut titik pandang keluarga Eko, ia dapat dikategorikan sebagai priyayi, karena ia memang keturunan priyayi. Tetapi, bila dilihat dari perspektif keluarga Claire, ia bukanlah seorang priyayi. Ia adalah keturunan keluarga Levin, keluarga Yahudi-Amerika. Dapat dilihat bahwa teori trikotomi sudah tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat Jawa kontemporer. Untuk menjelaskan fenomena ini, mungkin dibutuhkan lebih dari tiga kelas sosial.



Lantip, yang bukan anak seorang priyayi, namun dibesarkan dalam sebuah keluarga priyayi yang keras, berlaku seperti seorang priyayi. Sedangkan Tommi Nugroho, yang adalah keturunan priyayi, karena dibesarkan di keluarga kaya yang tidak sekeras keluarga Sastrodarsono, malah kurang rasa kemanusiaannya. Hal ini dapat dilihat di dalam novel Jalan Menikung.
Jalan Menikung menceritakan kehidupan Lantip dan Tommi saat mereka dewasa. Karakter Lantip tidak terlalu banyak berubah bila dibandingkan dengan karakternya di buku pertama. Ia masih merupakan sosok priyayi ideal menurut Umar Kayam. Tommi, di sisi lain, sudah banyak berubah. Ia merupakan sosok pemimpin yang sangat dihormati, dan memiliki usaha yang sangat sukses. Tentu saja, hal tersebut tidak lepas dari fakta bahwa ayahnya adalah seorang jendral yang sukses.

Tetapi, di sisi lain, Tommi adalah seorang yang licik dan egois. Kesuksesan bisnisnya dibarengi dengan aksi korupsi. Keegoisannya tercermin lewat keputusannya untuk memugar makam leluhur mereka. Untuk itu, mereka harus memindahkan makam-makam teman Almarhum Sastrodarsono. Tommi kerap menyombongkan dan memakai kekayaannya hanya untuk pamer.

Contohnya dapat dilihat bagaimana ia ingin memugar makam leluhurnya dengan batu marmer dari Italia. Tommi juga memiliki sifat kepemimpinan aristokrat. Semua yang ia inginkan harus terpenuhi. Saat Lantip dan Harimurti menolak rencana pemugaran makam karena makam sahabat-sahabat kakek mereka harus dipindah, Tommi tetap teguh pada pendiriannya, dan tetap melaksanakan keinginannya. Begitu pula saat ia meminta izin kepada Walikota Wanagalih untuk memugar makam. Ia menggunakan uang untuk menyuap walikota agar tidak menghalangi keinginannya.

Di sini, dapat dilihat bahwa karakter, pola berpikir, dan rasa kemanusiaan tidak diwariskan melalui hubungan darah. Meskipun begitu, tidak dapat disangkal bahwa masa kecil dan hubungan darah memang terikat dengan erat satu sama lain. Saat kecil, kebanyakan orang tinggal dengan orang tua kandungnya, dan dididik oleh orang tua kandungya. Tetapi, setiap orang tua memiliki pedagogi yang berbeda dalam mendidik anaknya. Peran masa kecil seseorang sangatlah besar pada kehidupan masa depannya. Tetapi, memang beberapa faktor lain seperti kemampuan intelek diwariskan turun-menurun secara genetik. Lewat kedua karakter ini, Umar Kayam memberikan tambahan bahwa selain hubungan darah, kehidupan masa kecil juga memiliki pengaruh terhadap rasa kemanusiaan seorang priyayi.









DAFTAR PUSTAKA

Calzoum Bachri, S. 1981. “O”, dalam “O, Amuk, Kapak” (Kumpulan Puisi).
Sinar Harapan. Jakarta

Ariani, Nikomang. 2008. “Lidah”, dalam "Lidah” (Kumpulan Cerpen).
Penerbit Pustaka Pergaulan. Jakarta

Kayam, Umar. 2002. Jalan Menikung: (Para Priyayi 2). Pustaka Utama Grafiti. Jakarta

Purba, Antilan. 2001. Sastra Indonesia Kontemporer. USU Press. Medan

Sumber dari : http://www.google.com/


0 komentar: