Subscribe

Rabu, 26 Januari 2011

Analisis Gaya Bahasa Pada Drama "Lukisan Masa" Karya Armijn Pane


NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me



BAB I
PENDAHULUAN

Gaya bahasa atau majas adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Kekhasan dari gaya bahasa ini terletak pada pemilihan kata-katanya yang tidak secara langsung menyatakan makna yang sebenarnya.
Pengertian dari suatu gaya bahasa diungkapkan oleh Sujiman dalam bukunya Kamus Istilah Sastra yaitu suatu ungkapan yang mengungkapkan makna kiasan (Sujiman, 1986 : 48). Dengan melihat pengertian di atas jelaslah diungkapkan bahwa ungkapan yang disebut gaya bahasa ini yaitu semua jenis ungkapan yang digunakan untuk mengungkapkan segala sesuatu dengan makna kias.
Dengan melihat pengertian tersebut di atas kita dapat menarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang dikandung oleh suatu ungkapan yang disebut gaya bahasa ini. Suatu gaya bahasa mempunyai ciri umum bahwa suatu gaya bahasa digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan makna kias. Selain itu suatu gaya bahasa tentu saja harus berupa suatu ungkapan bahasa yang bergaya.
















BAB II
PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang “Lukisan Masa”
Armijn Pane adalah seorang pengarang, dan juga seorang pendiri majalah Poedjangga Baroe. Ia pun telah banyak memberikan jasa-jasanya dalam perkembangan dunia kesusastraan Indonesia di tahun 1940-an.
Dilahirkan di Muara Sipongi Tapanuli Selatan pada 18 Agustus 1908. Bakat mengarang ini diwarisinya dari ayahnya Sutan Pengurabaan. Dari delapan bersaudara dua orang mewarisi bakat ayahnya yaitu Sanusi Pane dan Armijn Pane.
Adapun hasil karya Armijn Pane antara lain, Belenggu karyanya ini ditulis pada tahun 1940. Jiwa Berjiwa yang diorbitkan sebagai salah satu nomor khusus Pujangga Baru pada tahun 1939, Gamelan Jiwa tahun 1960. Karya-karya yang berupa drama atau sandiwara adalah Jinak-Jinak Merpati tahun 1953, Lenggang Kencana tahun 1937, Lukisan Masa tahun 1937, dan Ratna tahun 1943 yang merupakan karya saduran dari buku Nora, karya Ibsen. Kisah Antara Manusia tahun 1952 adalah buku kumpulan cerita pendeknya. Kemudian buku pelajaran, Tujuan Hidup (BPII) Sebuah Buku Tinjauan Tentang Sastra Indonesia Modern yang ditulis dalam bahasa Belanda dengan judul Kort Overzicht Van de Modern Indonesiche Literatuur tahun 1949, Membangun Hari Kedua tahun 1956 yang merupakan karya terjemahan dari roman karya Ilya Ehrenburg. Sajak-sajak Muda Mr. Mohammad Yamin tahun 1954, Jalan Sejarah Dunia tahun 1953, Habis Gelap Terbitlah Terang tahun 1953 yang merupakan terjemahan dari surat-suratnya R.A. Kartini yang dibukukan oleh Mr. Abendanon dalam bukunya Van Duisternis to Licht, dan Mencari Sendi-Sendi Baru Tata Bahasa Indonesia tahun 1950 ini adalah buku pelajaran mengenai bahasa Indonesia.
Kata drama berasal dari kata Yunani, draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya. Jadi, kata drama dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindakan. Drama adalah karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog dengan maksud di pertunjukkan oleh aktor. Pementasan naskah drama dikenal dengan istilah teater. Drama yang memiliki muatan sastra mulai ada pada 1926, yaitu dengan lahirnya karya Rustam Effendi yang berjudul Bebasari.
Pada periode kebangkitan, tema dan motif lakonnya sangat bersifat kepahlawanan, pengungkapannya romantis dan idealistis. Sastrawan pada masa ini adalah sebagai berkut
1. Rustam Efendi, karyanya Bebasari
2. Muhammad Yamin, karyanya Ken Arok dan Ken Dedes , Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
3. Sanusi Pane, karyanya Airlangga, Kertajaya, Sandhyakala Ning Majapahit, dan Manusia Baru
4. Armin Pane, karyanya Lukisan Masa dan Setahun di Bedahulu


B. Tokoh-Tokoh “Lukisan Masa”
Suparman : bekas mahasiswa di Rotterdam, pengangguran
Harsini : tunangan Suparman, guru
Kartono : adik Harsini, murid sekolah NIAS
Martono : pegawai magang pada sebuah kantor gubernemen
Suratman : lepasan HIK, penganggur
Sarti : kawan Harsini
Mr. Abutalib : buami Sarti
Puspohadi : bapak Harsini
Istri Puspohadi
Dr. Sumarjo : bapak Sarti
Bujang Laki-laki

C. Sinopsis “Lukisan Masa”
Suparman merupakan tokoh yang paling ditonjolkan dalam drama ini. Suparman dikisahkan sebagai seorang pemuda yang pernah mengikuti perkuliahan sebagai mahasiswa di Rotterdam, namun walaupun telah tamat kuliah Suparman tidak mendapatkan pekerjaan sehingga Suparman merasa psismis dan selalu merendahkan dirinya sebagai orang yang tidak berguna. Akibat dari perasaan dirinya yang selalau merendah diri dia berniat memutuskan tunangannya dengan Harsini karena merasa malu dan putus asa tidak mendapatkan pekerjaan. Berbeda dengan Harsini yang mendapatkan pekerjaan yang menjadi Guru. Harsini sudah berusaha meyakinkan Suparman untuk melanjutkan pertunangan mereka karena ketulusan cinta Harsini kepada Suparman.
Namun Suparman tetap bersih hati untuk memutuskan pertunangan mereka karena Suparman tidak mau bila menikah nanti dia hidup dari gaji istrinya yaitu Harsini yang bekerja sebagai guru.
Kartono adik Harsini menjadi tempat Suparman untuk mencurahkan hatinya yang telah merasa malu dan rendah. Kartono juga sebagai teman Suparman memberikan pengertian bahwa kakaknya Harsini sangat mencintainya apa adanya.
Dalam kisah drama juga terdapat gambaran kehidupan dari setiap zaman yang berbeda dengan adat dan kebudayaan masing-masing umur. Di dalam kisah ini mengisahkan kehidupan para pemuda-pemuda yang selalu ingin menikah tapi belum bekerja atau pengangguran.
Seperti kisah Pemuda Suratman yang juga teman Kartono, Suratman adalah pemuda lepasan HIK. Namun karena keadaan lingkungan dia tidak mendapatkan pekerjaan atau pengangguran. Walapun dia belum mendapatkan pekerjaan dia tetap mnginginkan unutk menikah begitu juga dengan Bujang Laki-Laki lainnya.
Berbeda dengan Suratman, ada seorang pemuda yang bernama Martono yang sudah bekerja sebagai pegawai magang pada sebuah kantor gubernemen. Walaupun dia sudah bekerja dia belum mau untuk menikah.
Kisah drama karya Armijn Pane ini juga mengisahkan perbedaan masa muda sekarang dengan masa muda Orang Tua. Seperti Orang tua Harsini dan Kartono yaitu Bapak Puspohadi dan Istrinya. Mereka berteman dengan seorang dokter yang bernama Dr. Sumarjo. Di dalam drama tersebut dikisahkan mereka membandingkan masa muda mereka dengan masa anak muda yang sekarang yang kebanyakan pengangguran tetapi sudah ingin kawin.
Anak Dr. Sumarjo yang sekaligus teman dekat Harsini yang bernama Sarti yang juga bekerja sebagai guru sama seperti Harsini. Sarti sudah dinikahi oleh seorang pemuda yang bernama Mr. Abutalib. Namun sayang Mr. Abutalib menikah dengan Sarti ketika Mr. Abutalib masih sekolah. Setelah Mr. Abutalib selesai sekolah dia tidak mendapatkan pekerjaan atau pengangguran sehingga dia dan istrinya tinggal di rumah mertuanya Dr. Sumarjo.
Diakhir kisah drama ini Suparman yang sudah merasa malu, hampa, dan merendahkan diri. Dia mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan pertunangannya dengn Harsini. Walaupun hatinya sedih dia yakin itu sebagai keputusan yang baik karena juga untu masa depan Harsini yang cerah. Diakhiri dengan bersalaman antara Suparman dan Harsini maa draman ini pun selesai.

D. Gaya Bahasa “Lukisan Masa”
1. Klimaks
Adalah semacam gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal yang dituntut semakin lama semakin meningkat.
TONIL IV
Suparman : (Berhenti, lalu memandang arah Harsini) Baik juga kita
bertemu. (Dia berhenti sebentar lalu sikapnya tegap berani) Ni, baik juga aku berkata terus terang. Sudah lama kupikir-pikir. Ni, baiklah kita mengubah janji kita yang dahulu.
(Harsini memandangnya dengan terkejut. Lalu kemudian tertawa).
Suparman : (Dengan sungguh-sungguh) Engkau tertawa? Ni, dengarlah.
Aku berkata dengan sungguh-sungguh. Aku tiada berpengharapan.
Harsini : (Dengan mengolok-olok) Lalu?
Suparman : Baiknya kita memutuskan percintaan kita.

2. Paralelisme
Adalah gaya bahasa penegasan yang berupa pengulangan kata pada baris atau kalimat.
TONIL I
Kartono : Berjanjilah kau datang besaok.
Suparman : Besok ?
Kartono : Ya, besok!





3. Epizeuksis
Adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.
TONIL III
Martono : Dan anak gadis zaman sekarang tinggi-tinggi pula
kehendaknya. Betul-betul. Sekarang lebih baik jangan mengikat anak gadis dengan janji. Janji itu mudah terlepas dengan tiada sekehendak hati.

4. Anafora
Adalah repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap garis.
TONIL III
Martono : Tiada mudah mengubahnya. Tiada sembarang orang ada
tenaganya dan cakap mengubah.

5. Asonansi
Adalah gaya bahasa berupa perulangan bunyi vokal yang sama.
TONIL III
Kartono : Mereka puji-memuji, katanya, “rekan” si Anu pintar.

6. Asindeton
Adalah gaya bahasa yang menyebutkan secara berturut-turut tanpa menggunakan kata penghubung agar perhatian pembaca beralih pada hal yang disebutkan.
TONIL III
Martono : Mana pula mungkin ? mereka ini melihat ke atas, hendak
dengan akademisi, meester, dokter, insinyur, entah apa lagi, atau yang sudah banyak gaji.



7. Polisindeton
Adalah gaya bahasa yang menyebutkan secara berturut-turut dengan menggunakan kata penghubung.
TONIL IV
Suparman : Sebetulnya aku tidak hendak datang ke sini. Entah apa
sebabnya, aku datang juga. Sebetulnya aku jangan datang lagi, tapi aku terarus juga datang ke sini. Sebagai daun tua aku ini, tiada berdaya, deiembus-embuskan angin. Dahulu aku daun muda, teguh bertangkai; pohon muda.

8. Litotes
Adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri
TONIL IV
Suparman : Kami tiada terhitung lagi. Kami entah, No, padi diantara
beras, harus dicampakkan tiada berharga, No. Kalau baanyak entah, barangkali masih boleh jadi makanan ayam.

9. Hiperbola
Adalah gaya bahasa yang memberikan pernyataan yang berlebih-lebihan.
TONIL I
Suparman : Beberapa kali aku tegak di tepi pantai laut di Tanjung Priok,
terang bulan, banyak orang di sana bersenang-senang. Aku tegak, menduga dalam air dengan mataku.

10. Paradoks
Adalah gaya bahasa yang mengemukakan hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya tidak karena objek yang dikemukakan berbeda.
TONIL II
Puspohadi : Zaman maju kata orang; rupanya mundur juga
Dr. Sumarjo : Sekarang, tiada gaji, mau hidup besar.
Puspohadi : Sebenarnya salah kita juga. Kita didik dia hidup besar.
Dr. Sumarjo : Disekolahkan, habis sekolah menganggur. Kita orang tua
yang terus membantu. Tiada disekolahkan, semakin celaka lagi. Tapi.... Eh, sudah laat, lihat pasien lagi.

11. Metafora
Adalah gaya bahasa yang membandingkan suatu benda tertentu dengan benda lain yang mempunyai sifat sama.
TONIL III
Kartono : Cuma seperti menggantung asap saja, cuma jempol di angan
angannya saja.

12. Personifikasi
Adalah gaya bahasa yang mengumpamakan benda mati sebagai makhluk hidup.
TONIL III
Kartono : Katakan saja terus terang; kepada uang!
Harsini : Jadi cinta yang dibeli. Ada kubaca, sebutan orang Jakarta,
Lupa lagi...

13. Alusi
Adalah gaya bahasa yang menghubungkan sesuatu dengan orang, tempat atau peristiwa.
TONIL III
Harsini : Sedihnya, girangnya, lebih-lebih lagi perjuangannya dengan
dirinya sendiri, kurang diperhatikan orang. Ya benar, hakikatnya perjuangan Kartini ialah perjuangan dengan diri sendiri.

14. Metonimia
Adalah gaya bahasa yang menggunakan nama ciri tubuh, gelar atau jabatan seseorang sebagai pengganti nama diri.
TONIL I
Dr. Sumarjo : Jangan lagi saya ini. Coba, kemarin Sarti mengatakan: “Pak,
ganti mobilnya. Beli model 1937, terraplane, Pak. Saya malu duduk dalam mobil yang begini”. Coba pikir.... maunya tentu dibeli buat dia oto baru.

TONIL III
Martono : Kolot? Modern! Coba pikir, apa perlunya perempuan bekerja
sendiri. Pekerjaan sudah sedikit, lalu perempuan menjadi concurrent pula.

15. Ironi
Adalah gaya bahasa sindiran berupa pernyataan yang berlainan dengan yang dimaksudkan. Contoh : Manis sekali kopi ini, gula mahal ya?
TONIL III
Sarti : (Tersenyum) Kalau dikata, lakiku ini bukan main manisnya.

16. Sinisme
Adalah gaya bahasa sindiran yang lebih kasar dari ironi atau sindiran tajam
TOLIN III
Harsini : Sebentar saja bercerai, sudah rindu-rinduan.

TOLIN II
Istri Puspohadi : Ah, lupa menyuguh wedang lagi.
Dr. Sumarjo : Karena memikirkan zaman modern ini!

17. Sarkasme
Adalah gaya bahasa yang paling kasar, bahkan kadang-kadang merupakan kutukan.
TONIL III
Harsini : Masih ada juga laki-laki yang sekolot ini.
BAB III
PENUTUP

Suatu gaya bahasa mempunyai ciri umum bahwa suatu gaya bahasa digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan makna kias. Selain itu suatu gaya bahasa tentu saja harus berupa suatu ungkapan bahasa yang bergaya. Gaya bahasa juga mencerminkan dari ciri khas pengarang yang menulis dengan sepenuh hatinya dengan memilih gaya bahasa yang begitu indah.
Gaya bahasa yang digunakan oleh Armijn Pane dalam karya drama atau sandiwara “Lukisan Masa” tema dan motif lakonnya masih sangat bersifat kepahlawanan, pengungkapannya romantis dan idealistis. Karya drama “Lukisan Masa” ini diterbitkan dalam majalah Pujangga baru yaitu pada tahun 1937. Sehingga karya drama “Lukisan Masa” ini masih tergolong dalam periode kebangkitan.















DAFTAR PUSTAKA

Pane, Armijn. 1937. Lukisan Masa. Majalah Pujangga Baru

Sumber : http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/armijnpane.html

Sumber : http://www.crayonpedia.org/mw/Pembahasan_Pementasan_Drama_9.2

Sumber : http://daudp65.byethost4.com/ssastra/ssastra5.html

























0 komentar: