Subscribe

Jumat, 01 Januari 2010

Analisis Puisi2



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me





LAMPIRAN PUISI “ BULAN LUKA PARAH” KARYA
HUSNI DJAMALUDIN

Bulan Luka Parah
bulan luka parah
karena laut kehilangan ombak
bulan luka parah
karena ombak kehilangan laut
bulan luka parah
darahnya tumpah
ke dalam laut
yang kehilangan ombak
bulan luka parah
darahnya tumpah
jadi ombak
yang kehilangan lau


Tentang pengarang
Penulis ini dilahirkan di Tinambung, Mandar (Sulawesi Utara), tanggal 10 November 1943. Walaupun menulis puisi dilakukannya sejak SMP, tetapi ia mulai serius menulis puisi ketika berusia 35 tahun. Ia jiga aktif dalam kewartawanan. Ia pernah menjadi sekrtaris PWI cabang Makassar. Husni Djamaludin tercatat sebagai seorang pendiri Dewan Kesenian Makasar dan menjabat sebagai Wakil Ketua Kesenian Makassar. Tahin 1981 mengikuti Asian Writers Converence yang diselenggarakan oleh PEN Internasional di Manila, Filipina.
Kumpulan sajaknya, puisi akhir tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku (1973), Anu (1974), Toraja (1979), dan Bulan Buka Parah (1986), dan Berenang-renang Ketepian (1987). Sajak-sajaknya yang lain dimuat dalam Sajak-sajak Dari Makasar(kumpulan sajak bersama Rahmat Arge dan lain-lain, (1974) dan puisi ASEAN (Buku III, 1978).








Analisis puisi “ BULAN LUKA PARAH” KARYA
HUSNI DJAMALUDIN

1. Diksi yang Eksotis
Analisis stilistika dalam puisi ”Bulan Luka Parah” memperlihatkan pemilihan kata kiasan alam yang eksotis. Hal ini merupakan bukti kontemplasi penyair terhadap alam sekitarnya yang bersentuhan dengan kreatif dan imaji penyair. Penggunaaan kata-kata kiasan alam cukup efektif dan efisien untuk memberikan imaji atau pembayangan yang timbul terhadap puisi, karena juga dilengkapi pemakaian simbol atau perlambang yang dinyatakan dengan bahasa kiasan; metafora, personifikasi, dll sehingga menimbulkan puisi yang lebih berjiwa dan hidup.
Diksi yang membangun puisi ”bulan Luka Parah” sebagian besar merupakan bahasa-bahasa kiasan, sehingga sangat sulit sekali dipahami maknanya. Inilah yang menjadi sisi menarik dari puisi ini walaupun terkesan membingungkan dan semuanya merupakan bahasa kias, tetapi pembaca diajak untuk menjelajah alam untuk menemukan amanat dari puisi ini.
Bulan Luka Parah
bulan luka parah
karena laut kehilangan ombak
bulan luka parah
karena ombak kehilangan laut
bulan luka parah
darahnya tumpah
ke dalam laut
yang kehilangan ombak
bulan luka parah
darahnya tumpah
jadi ombak
yang kehilangan laut
Dalam upaya untuk mempercantik puisi, penyair melakukan jalinan antar bait yang cukup rapat dan semuanya menggunakan bahasa kias. Hal menarik juga tergambarkan dalam judul puisi ini, yaitu ”Bulan Luka Parah”. Kata ”bulan” merupakan wujud pencitraan penglihatan penyair. Yang dimaksud dengan ”bulan” dalam kalimat tersebut belum bisa kita artikan secara ekplisit bahwa ”bulan” adalah objek yang ingin diceritakan oleh penyair. Bisa saja penyair ingin menyembunyikan sesuatu yang indah yang ingin diungkapkannya dengan perwujudan kata ”bulan”. Mengapa? Bisa jadi karena bulan tentunya mengajak pembaca kepada keindahan malam yang ”diterangi cahaya bulan” cukup tenang dan mengalir, sehingga pembaca sangat santai untuk ”memasuki” pesan yang ingin disampaikan penyair.
Selanjutnya, terjalin sebuah kalimat ”Bulan Luka Parah”, sebuah kiasan yang cukup indah karena hanya makhluk hidup saja yang bisa mengalami luka, sedangkan ”bulan” bukan merupakan makhluk hidup. Pilihan kata ini cukup eksotis dalam membangun sebuah puisi yang penuh dengan ambiguitas.
Puisi ini terdiri dari enam bait, dan tiap baitnya terdiri dari dua baris. Tiap-tiap baris dalam tiap baitnya tidak memakai penulisan huruf kapital yang biasa digunakan pada awal kalimat. Hal ini, merupakan ciri khas Husni Djamaludin dalam sebagian besar karyanya, yang banyak sekali terdapat dalam puisinya. Salah satu contohnya terdapat dalam puisi ”Kau, aku dan waktu”.
Kau, aku dan waktu
kalau waktu bergerak
karena jam berdetak
di manakah kau
kalau jam berdetak
karena waktu bergerak
di manakah kau
(”Kau, aku dan waktu” dalam kumpulan puisi Bulan Luka Parah )
Bentuk puisi ”Bulan Luka Parah”, dengan ciri-ciri di atas merupakan bentuk puisi yang tidak umum. Kalimat ”bulan Luka Parah” mengalami pengulangan kalimat di bait ke I, II, III dan V. Dalam hal ini penyair ingin menekankan ”Bulan Luka Parah” menjadi inti dari puisi tersebut. Selanjutnya, dengan pengulangan kalimat seperti itu; bait dan bait menjadi kesatuan kalimat yang cukup menarik bisa kita lihat jika bait I dan II digabungkan menjadi;
bulan luka parah
karena laut kehilangan ombak
bulan luka parah
karena ombak kehilangan laut
Kata ”laut” dan ”ombak” ditulis penyair saling melengkapi satu sama lain untuk menggambarkan ”bulan” telah mengalami luka parah, sehingga terjalin keserasian cukup indah dengan bahasa kias; ”bulan luka parah; laut kehilangan ombak; ombak kehilangan laut”.
Pada kalimat tersebut juga terdapat pengulangan yang tidak sempurna dan mempunyai rima dan pola yang hampir sama di setiap baitnya. Upaya ini dilakukan penyair untuk membangun sebuah kekuatan diksi dan kesatuan antar bait yang cukup rapat. Dengan demikian, kalimat-kalimat antar bait terasa cukup efektif dan eksotis.
Hal yang demikian juga terdapat dalam bait III, IV, V dan VI. Kesamaan irama menjadikan korespondesi sintatik yang cukup indah. ”Bulan luka parah/darahnya tumpah/”(bait III), ”ke dalam laut/yang kehilangan ombak” (bait IV), ”bulan luka parah/darahnya tumpah” (bait ke V), ”jadi ombak yang kehilangan laut” (Bait VI). Di sini terlihat kepiawaian penyair dalam merangkai bait dengan bait dengan pengulangan kata yang tepat, sehingga makna sepenuhnya tidak serta-merta dapat ditemukan, dan terdapat pula unsur musikalitas yang cukup baik, serta korespondensi yang indah.
Selain apa yang telah disebutkan di atas, ternyata terdapat juga gaya bahasa metafora yang cukup indah yang menumbuhkan imajinasi pembaca kepada hal yang diacu. Kata-kata ”bulan luka parah” seakan-akan menghidupkan bulan yang merupakan benda mati. Di sini terdapat imajinasi bahwa ”bulan” seakan-akan bisa mengalami luka, dan hal ini merupakan bahasa personifikasi karena tidak mungkin ”bulan” luka parah. Namun dikatakan ”bulan luka parah”, dan ditambahkan pula dengan ”darahnya tumpah”.
Dengan menambahkan perkataan ”darahnya tumpah”, maka seluruh untaian kata itu seakan benar-benar hidup. Di baris selanjutnya, ”laut kehilangan ombak” dan ”ombak kehilangan laut”. Pada baris ini pembaca cukup menikmati jalinan gaya bahasa personifikasi tersebut; emosi pembaca terbawa kepada suasana bulan, laut dan ombak. ”Bulan, Laut, dan Ombak” inilah yang dimaksud sebagai eksotisme kiasan alam pada analisis kali ini
2. ”Bulan Luka Parah” dalam ambiguitas makna
Keutuhan makna yang terkandung di dalam puisi ini dibentuk oleh diksi yang digunakan oleh penyair. Kata-kata “Bulan Luka Parah” merupakan kata-kata eksotis yang dapat mengembangkan imaji pembaca dan larut dalam sebuah makna figuratif yang ingin disampaikan penyair. Di baris selanjutnya, “karena laut kehilangan ombak” dimunculkan oleh penyair. Jadi, penyair ingin membawa kita ke dalam suasana keindahan laut yang seakan-akan telah hilang keindahannya, sehingga imaji pembaca yang sudah berkembang dengan kalimat “bulan luka parah” semakin berintuisi pula dengan kalimat “karena laut kehilangan ombak”.
Pada bait ke II, “Bulan luka parah/karena ombak kehilangan laut”. Irama ini sama dengan irama pada bait pertama, hanya diksinya yang dibalik. Jika di Bait ke I “karena laut kehilangan ombak”, maka di bait ke II “karena ombak kehilangan laut”. Secara keseluruhan irama puisi pada bait ke I dan ke II ini mudah untuk dibaca, tetapi makna yang terkandung di dalamnya sulit dimengerti. Puisi ini dapat dimengerti keutuhan maknanya jika dibaca secara menyeluruh agar kita dapat menemukan makna yang terkandung di dalam puisi ini.
Pada bait ke III, “Bulan luka parah/darahnya tumpah”, terjadi perubahan kata dan irama dengan bait ke IV. Pada dua bait ini sangat berbeda iramanya dengan bait pertama dan kedua karena makna yang terkandung jauh lebih dalam. Penyair mampu menyeimbangkan irama pada bait ke III dan ke IV sehingga makna yang terkandung jauh lebih dalam, membawa pembaca meresapi dan mendalami makna yang sebenarnya. Penyair dapat menghadirkan penjelasan kata yang terperinci dengan gaya bahasa personifikasi yang terfokus.
Pada bait ke IV, merupakan penjelasan dari bait ke III; pemakaian diksi yang lebih dalam dan fokus pada objek yang di tuju yaitu “ke dalam laut/yang kehilangan ombak”. Pada bait ini penyair ingin membawa pembaca menelusuri lebih dalam makna yang terkandung dalam tiap diksinya. Hal yang demikian memberikan kita (pembaca) memahami tiap-tiap baitnya dengan jelas, karena memang puisinya ini dalam tiap bait memiliki irama yang sama dan mengandung satu kesatuan penuh serta memiliki pararelisme makna yang padat.
Keadaan demikian juga terjadi pada bait ke V. Pada bait ini terjadi lagi pengulangan irama dan kata-kata yang sama pada bait ke III, “Bulan luka parah/ darahnya tumpah”. Penyair kembali menggunakan kata-kata yang sama untuk menjelaskan lebih lanjut pada bait ke VI. Pada bait V penyair seolah kehilangan ungkapan lain yang akan disampaikan ke pembaca.
Pada bait ke VI, melalui kata-kata “ Jadi ombak/yang kehilangan laut”, penyair lebih mempertajam makna yang sudah dijelaskan sebelumnya sehingga semakin dalam pula makna yang terkandung dalam puisi ini.
Dari puisi “Bulan Luka Parah” dapat ditafsirkan makna yang terkandung yaitu keadaan hati seorang perempuan yang terluka¬ karena___ bisa jadi___perempuan itu kehilangan belahan hatinya yang dia sayangi. Bisa juga karena ditinggal pergi untuk selamanya atau pula perasaan sakit karena dikhianati kekasihnya. Bisa saja subjek “Aku” disembunyikan oleh penyair agar pembaca semakin penasaran dibuatnya. Ini terlihat jelas dalam kalimat “Bulan luka parah/karena laut kehilangan ombak”
Keutuhan makna ditopang oleh kekuatan gaya bahasa yang digunakan penyair yaitu gaya personifikasi dan simbolik. Kata-kata “Bulan luka parah” seolah itu digambarkan sebagai seorang perempuan. Kata-kata ”Bulan luka parah” diulang sebanyak empat kali dalam puisi ini. Hal ini dapat memperjelas bahwa penyair ingin terus memperlihatkan bahwa “bulan” merupakan suatu subjek. Penyair juga menggunakan kata penghubung “karena” untuk menghidupkan lukisan alam yang eksotis yang dikatakan melalui ombak dan laut; suatu pasangan diksi yang sangat tepat.
Dengan mengulang kata-kata “darahnya tumpah” pada akhir bait ke III dan V menjadikan seluruh rangkaian kata itu sangat berfungsi menghidupkan realita melalui gaya bahasa personifikasi, lalu menonjolkan irama puitik pada seluruh rangkaian ungkapan itu.
Pengaturan baris pada puisi ini menjorok ke luar yaitu pada bait ke I, II, III, dan V, sedangkan pada bait ke IV dan VI menjorok ke dalam sesuai dengan kata-kata “ ke dalam laut” dan kata-kata “ jadi ombak”. Perbandingannya adalah empat bait menjorok ke luar dan dua bait menjorok ke dalam. Ini menunjukkan sejauh mana kedalaman laut itu atau kedalaman hati seorang perempuan itu sendiri.
Jika tafsiran ini dapat diterima, maka ungkapan dibalik bentuk yang seperti ini kurang lebih adalah sebuah perasaan hati seorang wanita yang ditinggalkan oleh seseorang yang dia sayangi baik itu untuk selamanya (meninggal) atau dia sendiri ditinggalkan begitu saja oleh seorang laki-laki yang disayanginya. Kesedihannya menjadi-jadi dengan digambarkan melalui “darahnya tumpah”. Di akhir puisi ditutup dengan kalimat penutup “jadi ombak yang kehilangan laut”.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penyair ingin menyampaikan puisinya dengan menggambarkan eksotisme alam secara dalam dan lebih menyelami ke dasarnya. Sebuah hal yang wajar karena Husni Djamaludin lahir dan dibesarkan di Sulawesi, pulau yang terkenal dengan keindahan laut. Tak ayal, banyak puisinya menggambarkan alam, salah satu contohnya adalah “Laut (6)”, merupakan puisi metafora laut sebagai orang yang sedang melaksanakan ibadah shalat.


Laut (6)
laut yang diam
laut dalam hening takbiratul ihram
laut yang bergelombang
laut yang sedang rukuk sembahyang
gerak-gerik ombak
yang tak henti
menghempas di pantai
gerak-gerik abadi
laut
yang
bersujud
Di dalam pengaturan baris, penyair menempatkan bait sesuai pada konteks kalimat, sekaligus memperdalam makna yang ingin disampaikan. Gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa yang penuh dengan kiasan makna




DAFTAR PUSTAKA

Darma, B. 1982. Moral dalam sastra. Basis 31(2), Februari: 42–70.
1990. Perihal studi sastra. Basis 39(8): 337–348.
Purba Antilan. 2009. Stilistika Sastra Indonesia. Medan : USU press
Hassanuddin.Ensiklopedia Sastra Indonesia. 2004. Bandung: Titian














0 komentar: