Subscribe

Senin, 31 Januari 2011

Kajian Intertekstual Puisi “Kusangka” dengan “Penerimaan”


NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Misalnya, untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, dan gaya bahasa di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya dan pada karya yang muncul kemudian.
Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya sastra. Penulisan dan pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga memberi makna secara lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan (Teeuw dalam Nurgiyantoro, 1995:50).
Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995:50), mengartikan intertekstualitas sebagai : “kita menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya”.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Dalam hal ini dapat diambil contoh, misalnya sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair, mereka juga berkenalan dengan puisi-puisi angkatan 80-an di negeri Belanda yang juga telah mentradisi.
Adanya karya-karya yang ditranformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya-karya lain yang diduga menjadi hipogramnya. Adanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal ini mungkin disadari atau tidak disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan, atau sebaliknya, menolak konvensi yang berlaku sebelumnya.



























BAB II
PEMBAHASAN


1) Pengkajian Intertekstual Puisi
Kajian Intertekstual adalah kajian puisi dengan membandingkan dua puisi yang sezaman atau puiai dengan zaman yang berbeda.
Dalam kesustraan Indonesia, hubungan intertekstual antara suatu karya sastra dengan karya lain, baik antara karya sastra sezaman maupun antara satu zaman dengan zaman yang lain banyak terjadi. Misalnya antara karya-karya pujangga baru dengan karya-karya angkatan 45, atau pun dengan karya lain. Misalnya beberapa puisi Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstual dengan puisi-puisi Amir Hamzah. Hubungan intertekstual itu menunjukkan adanya pandangan hidup yang berlawanan. Misalnya ada intertekstual antara puisi ”Kusangka” dengan ”Penerimaan”.
Prinsip intertektualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau tranformasi dari karya-karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekadar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi. Misalnya, sebagaimana dilakukan oleh Teeuw (1983:66-69) dengan membandingkan antara sajak Berdiri Aku karya Amir Hamzah dengan Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar. Pradopo membandingkan beberapa sajak yang lain dengan sajak-sajak Chairil, sajak Chairil dengan sajak Toto Sudarto Bakhtiar dan Ajip Rosyidi. Nurgiyantoro juga mencoba meneliti hubungan interteks antara puisi-puisi Pujangga Baru dengan Pujangga Lama.
Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu. Unsur-unsur hipogram itu berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan terhadap unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain, pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
Memahami puisi ialah usaha menangkap maknanya ataupun usaha memberi makna puisi. Untuk itu perlulah konteks kesejarahan puisi itu diperhatikan. Dalam kaitannya dengan konteks kesejarahan ini, perlu diperhatikan prinsip intertektualitas, yaitu hubungan antara satu teks dengan teks lain. Berdasarkan prinsip intertekstualitas seperti yang dikemukakan oleh Riffaterre (dalam Pradopo, 2002: 227), puisi biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan puisi lain, baik dalam hal persamaannya atau pertentangannya.
Puisi baru dapat dipahami maknanya secara sepenuhnya setelah diketahui hubungannya dengan puisi lain yang menjadi latar penciptaannya. Misalnya, puisi itu diciptakan untuk menentang atau menyimpangi konvensi puisi sebelumnya, baik dalam struktur formal maupun pikiran yang dikemukakan. Dengan menjajarkan kedua puisi itu akan diketahui untuk apa karya sastra itu ditulis, yaitu untuk menentang, menyimpangi, ataupun meneruskan konvensinya. Di samping itu, suasana puisi akan menjadi lebih terang dan kiasan-kiasannya menjadi lebih dapat dipahami. Jadi, puisi yang dicipta kemudian itu dapat menjadi lebih terang arti dan maknanya jika dianalisis dengan cara membandingkan dengan puisi sebelumnya.
Prinsip intertekstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks sastra (puisi). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks sebelumnya. Dalam menanggapi teks-teks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horison harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik dan pengetahuan sastra yang dimilikinya (Pradopo, 2002: 228-229).

2) Hubungan Intertekstual Puisi
Hubungan intertekstualitas antara satu karya sastra dengan karya sastra yang lain dalam sastra Indonesia, baik antara karya sezaman maupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya, dapat dilihat hubungan intertekstual antara karya-karya Pujangga Baru dengan Angkatan ‘45 ataupun dengan karya lain. Untuk memahami dan mendapatkan makna penuh sebuah puisi perlu dilihat hubungan intertekstual ini. Misalnya, beberapa puisi Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstual dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intertekstual ini menunjukkan adanya persamaan dan pertentangan dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan. Contoh puisi “Berdiri Aku” (Amir Hamzah) dengan “Senja di Pelabuhan Kecil” (Chairil Anwar), ”Kusangka” (Amir Hamzah) dengan ” Penerimaan” (Chairil Anwar), ”Dalam Matamu” (Amir Hamzah) dengan ”Sajak Putih” (Chairil Anwar), memiliki hubungan intertekstual.
Dengan mengutip pendapat Riffaterre, Teeuw (1983: 65-66) mengemukakan bahwa untuk memahami makna sebuah puisi secara penuh, maka orang perlu melihat intertekstualitas antara puisi yang diteliti dengan puisi yang mendahuluinya. Dengan landasan prinsip di atas,Teeuw membandingkan puisi Chairil Anwar ”Senja di Pelabuhan Kecil” dengan puisi Amir Hamzah”Berdiri Aku” yang merupakan hipogramnya. Dalam hal ini puisi”Berdiri Aku” ditanggapi atau ditransformasikan Chairil Anwar dengan sikapnya yang berbeda dalam menanggapi senja di pantai. Amir Hamzah menggunakan pandangan yang romantis, berdiri terpesona di tengah alam yang maha indah dan tenteram. Sebaliknya, Chairil Anwar menanggapi senja di pantai dengan pandangan yang realistis, dengan gambaran keadaan yang muram, penuh kegelisahan, dan tidak sempurna (Teeuw,1983; 68).
Berikut ini disajikan hubungan intertekstualitas puisi ”Kusangka” Karya Amir Hamzah dengan puisi”Penerimaan’ ‘ Karya Chairil Anwar.

KUSANGKA

Kusangka cempaka kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri…..
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wasangka dan was-was silih berganti.

Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sinar matahari…..
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali.
Kupohonkan cempaka
Harum mula terserak…..
Melati yang ada
Pandai tergelak…..

Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa…..
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kaca piring bunga renungan…..

Igauanku subuh, impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih…..
Kulihat kumbang keliling berlagu
Kelopakmu terbuka menerima cembu.

Kusangkau hauri bertudung lingkup
Bulumata menyangga panas Asmara
Rupanya melati jangan dipetik
Kalau dipetik menguku segera.
Amir Hamzah (Pradopo, 2002:232-233)











PENERIMAAN

Kalau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi

Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Chairil Anwar (Pradopo, 2002: 233)

Puisi/sajak Chairil Anwar itu merupakan penyimpangan atau penolakan terhadap konsep estetik Amir Hamzah yang masih meneruskan konsep estetik sastra lama. Demikian halnya dengan pandangan romantik Amir Hamzah ditentang dengan pandangan realistis Chairil Anwar.
Keenam bait sajak “Kusangka” menunjukkan kesejajaran gagasan. Sesuai dengan zamannya, Amir Hamzah mempergunakan ekpresi romantik dengan cara metaforis-alegoris, membandingkan gadis dengan bunga. Pada bait terakhir dimetaforakan sebagai bidadari (hauri) dan merpati.
Berdasarkan keenam bait itu dapat disimpulkan bahwa penyair (si aku) mencintai gadis yang disangka murni, tetapi ternyata sudah tidak suci lagi karena sudah dijamah oleh pemuda-pemuda lain. Hal ini tampak pada bait /rupanya teratai patah kelopak / dihinggapi kumbang berpuluh kali / kulihat kumbang keliling berlagu / kelopakmu terbuka menerima cembu /.
Chairil Anwar dalam menanggapi gadis (wanita) yang sudah tidak murni lagi, sangat berlawanan dengan sikap Amir Hamzah. Ia tidak berpandangan realistis. Si ‘aku’ mau menerima kembali wanitanya (kekasihnya, isterinya) yang barangkali telah menyeleweng, meninggalkan si ‘aku’ atau telah berpacaran dengan laki-laki lain, asal si wanita kembali kepada si aku hanya untuk si ‘aku’ secara mutlak.
Chairil Anwar mengekpresikan gagasannya secara padat. Untuk memberikan tekanan pentingnya inti persoalan, bait pertama diulang dengan bait kelima, tetapi dengan variasi yang menyatakan kemutlakan individualitas si ‘aku’. Dengan cara seperti itu, secara keseluruhan ekspresi menjadi padat dan tidak berlebih-lebihan.
Dalam penggunaan bahasa Chairil Anwar juga masih sedikit romantik. Hal ini mengingatkan gaya sajak yang menjadi hipogramnya. Ia membandingkan wanita dengan bunga (kembang). Wanita yang sudah tidak murni itu diumpamakan oleh Chairil Anwar sebagai bunga yang sarinya sudah terbagi / bak kembang sari sudah terbagi / yang dekat persamaannya dengan Amir Hamzah: / rupanya teratai patah kelopak / dihinggapi kumbang berpuluh kali /.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara keseluruhan Chairil Anwar mempergunakan bahasa sehari-hari dengan gaya ekspresi yang padat. Hal ini sesuai dengan sikapnya yang realistis (Pradopo, 2002: 232-235).
















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Analisis dan interpretasi puisi di atas hanyalah berupa awal bagaimana sebuah puisi ditafsirkan. Tentu masih banyak model analisis puisi yang ditawarkan para ahli. Namun, satu hal yang harus diingat, pemilihan model analisis harus disesuaikan dengan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh interpreter. Pemahaman awal tentang konsep dasar model analisis yang akan digunakan akan sangat membantu interpreter dalam menganalisis dan menginterpretasikan puisi tersebut.




















DAFTAR PUSTAKA

Pradopo, Rahmat Djoko. 2002. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sumber : http//www.google.com
Sumber : http://gemasastrin.wordpress.com/2008/11/03/beberapa-model-interpretasi
dan-pengkajian-teks-puisi/




Read More...

Rabu, 26 Januari 2011

Analisis Gaya Bahasa Pada Drama "Lukisan Masa" Karya Armijn Pane


NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me



BAB I
PENDAHULUAN

Gaya bahasa atau majas adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Kekhasan dari gaya bahasa ini terletak pada pemilihan kata-katanya yang tidak secara langsung menyatakan makna yang sebenarnya.
Pengertian dari suatu gaya bahasa diungkapkan oleh Sujiman dalam bukunya Kamus Istilah Sastra yaitu suatu ungkapan yang mengungkapkan makna kiasan (Sujiman, 1986 : 48). Dengan melihat pengertian di atas jelaslah diungkapkan bahwa ungkapan yang disebut gaya bahasa ini yaitu semua jenis ungkapan yang digunakan untuk mengungkapkan segala sesuatu dengan makna kias.
Dengan melihat pengertian tersebut di atas kita dapat menarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang dikandung oleh suatu ungkapan yang disebut gaya bahasa ini. Suatu gaya bahasa mempunyai ciri umum bahwa suatu gaya bahasa digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan makna kias. Selain itu suatu gaya bahasa tentu saja harus berupa suatu ungkapan bahasa yang bergaya.
















BAB II
PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang “Lukisan Masa”
Armijn Pane adalah seorang pengarang, dan juga seorang pendiri majalah Poedjangga Baroe. Ia pun telah banyak memberikan jasa-jasanya dalam perkembangan dunia kesusastraan Indonesia di tahun 1940-an.
Dilahirkan di Muara Sipongi Tapanuli Selatan pada 18 Agustus 1908. Bakat mengarang ini diwarisinya dari ayahnya Sutan Pengurabaan. Dari delapan bersaudara dua orang mewarisi bakat ayahnya yaitu Sanusi Pane dan Armijn Pane.
Adapun hasil karya Armijn Pane antara lain, Belenggu karyanya ini ditulis pada tahun 1940. Jiwa Berjiwa yang diorbitkan sebagai salah satu nomor khusus Pujangga Baru pada tahun 1939, Gamelan Jiwa tahun 1960. Karya-karya yang berupa drama atau sandiwara adalah Jinak-Jinak Merpati tahun 1953, Lenggang Kencana tahun 1937, Lukisan Masa tahun 1937, dan Ratna tahun 1943 yang merupakan karya saduran dari buku Nora, karya Ibsen. Kisah Antara Manusia tahun 1952 adalah buku kumpulan cerita pendeknya. Kemudian buku pelajaran, Tujuan Hidup (BPII) Sebuah Buku Tinjauan Tentang Sastra Indonesia Modern yang ditulis dalam bahasa Belanda dengan judul Kort Overzicht Van de Modern Indonesiche Literatuur tahun 1949, Membangun Hari Kedua tahun 1956 yang merupakan karya terjemahan dari roman karya Ilya Ehrenburg. Sajak-sajak Muda Mr. Mohammad Yamin tahun 1954, Jalan Sejarah Dunia tahun 1953, Habis Gelap Terbitlah Terang tahun 1953 yang merupakan terjemahan dari surat-suratnya R.A. Kartini yang dibukukan oleh Mr. Abendanon dalam bukunya Van Duisternis to Licht, dan Mencari Sendi-Sendi Baru Tata Bahasa Indonesia tahun 1950 ini adalah buku pelajaran mengenai bahasa Indonesia.
Kata drama berasal dari kata Yunani, draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya. Jadi, kata drama dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindakan. Drama adalah karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog dengan maksud di pertunjukkan oleh aktor. Pementasan naskah drama dikenal dengan istilah teater. Drama yang memiliki muatan sastra mulai ada pada 1926, yaitu dengan lahirnya karya Rustam Effendi yang berjudul Bebasari.
Pada periode kebangkitan, tema dan motif lakonnya sangat bersifat kepahlawanan, pengungkapannya romantis dan idealistis. Sastrawan pada masa ini adalah sebagai berkut
1. Rustam Efendi, karyanya Bebasari
2. Muhammad Yamin, karyanya Ken Arok dan Ken Dedes , Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
3. Sanusi Pane, karyanya Airlangga, Kertajaya, Sandhyakala Ning Majapahit, dan Manusia Baru
4. Armin Pane, karyanya Lukisan Masa dan Setahun di Bedahulu


B. Tokoh-Tokoh “Lukisan Masa”
Suparman : bekas mahasiswa di Rotterdam, pengangguran
Harsini : tunangan Suparman, guru
Kartono : adik Harsini, murid sekolah NIAS
Martono : pegawai magang pada sebuah kantor gubernemen
Suratman : lepasan HIK, penganggur
Sarti : kawan Harsini
Mr. Abutalib : buami Sarti
Puspohadi : bapak Harsini
Istri Puspohadi
Dr. Sumarjo : bapak Sarti
Bujang Laki-laki

C. Sinopsis “Lukisan Masa”
Suparman merupakan tokoh yang paling ditonjolkan dalam drama ini. Suparman dikisahkan sebagai seorang pemuda yang pernah mengikuti perkuliahan sebagai mahasiswa di Rotterdam, namun walaupun telah tamat kuliah Suparman tidak mendapatkan pekerjaan sehingga Suparman merasa psismis dan selalu merendahkan dirinya sebagai orang yang tidak berguna. Akibat dari perasaan dirinya yang selalau merendah diri dia berniat memutuskan tunangannya dengan Harsini karena merasa malu dan putus asa tidak mendapatkan pekerjaan. Berbeda dengan Harsini yang mendapatkan pekerjaan yang menjadi Guru. Harsini sudah berusaha meyakinkan Suparman untuk melanjutkan pertunangan mereka karena ketulusan cinta Harsini kepada Suparman.
Namun Suparman tetap bersih hati untuk memutuskan pertunangan mereka karena Suparman tidak mau bila menikah nanti dia hidup dari gaji istrinya yaitu Harsini yang bekerja sebagai guru.
Kartono adik Harsini menjadi tempat Suparman untuk mencurahkan hatinya yang telah merasa malu dan rendah. Kartono juga sebagai teman Suparman memberikan pengertian bahwa kakaknya Harsini sangat mencintainya apa adanya.
Dalam kisah drama juga terdapat gambaran kehidupan dari setiap zaman yang berbeda dengan adat dan kebudayaan masing-masing umur. Di dalam kisah ini mengisahkan kehidupan para pemuda-pemuda yang selalu ingin menikah tapi belum bekerja atau pengangguran.
Seperti kisah Pemuda Suratman yang juga teman Kartono, Suratman adalah pemuda lepasan HIK. Namun karena keadaan lingkungan dia tidak mendapatkan pekerjaan atau pengangguran. Walapun dia belum mendapatkan pekerjaan dia tetap mnginginkan unutk menikah begitu juga dengan Bujang Laki-Laki lainnya.
Berbeda dengan Suratman, ada seorang pemuda yang bernama Martono yang sudah bekerja sebagai pegawai magang pada sebuah kantor gubernemen. Walaupun dia sudah bekerja dia belum mau untuk menikah.
Kisah drama karya Armijn Pane ini juga mengisahkan perbedaan masa muda sekarang dengan masa muda Orang Tua. Seperti Orang tua Harsini dan Kartono yaitu Bapak Puspohadi dan Istrinya. Mereka berteman dengan seorang dokter yang bernama Dr. Sumarjo. Di dalam drama tersebut dikisahkan mereka membandingkan masa muda mereka dengan masa anak muda yang sekarang yang kebanyakan pengangguran tetapi sudah ingin kawin.
Anak Dr. Sumarjo yang sekaligus teman dekat Harsini yang bernama Sarti yang juga bekerja sebagai guru sama seperti Harsini. Sarti sudah dinikahi oleh seorang pemuda yang bernama Mr. Abutalib. Namun sayang Mr. Abutalib menikah dengan Sarti ketika Mr. Abutalib masih sekolah. Setelah Mr. Abutalib selesai sekolah dia tidak mendapatkan pekerjaan atau pengangguran sehingga dia dan istrinya tinggal di rumah mertuanya Dr. Sumarjo.
Diakhir kisah drama ini Suparman yang sudah merasa malu, hampa, dan merendahkan diri. Dia mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan pertunangannya dengn Harsini. Walaupun hatinya sedih dia yakin itu sebagai keputusan yang baik karena juga untu masa depan Harsini yang cerah. Diakhiri dengan bersalaman antara Suparman dan Harsini maa draman ini pun selesai.

D. Gaya Bahasa “Lukisan Masa”
1. Klimaks
Adalah semacam gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal yang dituntut semakin lama semakin meningkat.
TONIL IV
Suparman : (Berhenti, lalu memandang arah Harsini) Baik juga kita
bertemu. (Dia berhenti sebentar lalu sikapnya tegap berani) Ni, baik juga aku berkata terus terang. Sudah lama kupikir-pikir. Ni, baiklah kita mengubah janji kita yang dahulu.
(Harsini memandangnya dengan terkejut. Lalu kemudian tertawa).
Suparman : (Dengan sungguh-sungguh) Engkau tertawa? Ni, dengarlah.
Aku berkata dengan sungguh-sungguh. Aku tiada berpengharapan.
Harsini : (Dengan mengolok-olok) Lalu?
Suparman : Baiknya kita memutuskan percintaan kita.

2. Paralelisme
Adalah gaya bahasa penegasan yang berupa pengulangan kata pada baris atau kalimat.
TONIL I
Kartono : Berjanjilah kau datang besaok.
Suparman : Besok ?
Kartono : Ya, besok!





3. Epizeuksis
Adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.
TONIL III
Martono : Dan anak gadis zaman sekarang tinggi-tinggi pula
kehendaknya. Betul-betul. Sekarang lebih baik jangan mengikat anak gadis dengan janji. Janji itu mudah terlepas dengan tiada sekehendak hati.

4. Anafora
Adalah repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap garis.
TONIL III
Martono : Tiada mudah mengubahnya. Tiada sembarang orang ada
tenaganya dan cakap mengubah.

5. Asonansi
Adalah gaya bahasa berupa perulangan bunyi vokal yang sama.
TONIL III
Kartono : Mereka puji-memuji, katanya, “rekan” si Anu pintar.

6. Asindeton
Adalah gaya bahasa yang menyebutkan secara berturut-turut tanpa menggunakan kata penghubung agar perhatian pembaca beralih pada hal yang disebutkan.
TONIL III
Martono : Mana pula mungkin ? mereka ini melihat ke atas, hendak
dengan akademisi, meester, dokter, insinyur, entah apa lagi, atau yang sudah banyak gaji.



7. Polisindeton
Adalah gaya bahasa yang menyebutkan secara berturut-turut dengan menggunakan kata penghubung.
TONIL IV
Suparman : Sebetulnya aku tidak hendak datang ke sini. Entah apa
sebabnya, aku datang juga. Sebetulnya aku jangan datang lagi, tapi aku terarus juga datang ke sini. Sebagai daun tua aku ini, tiada berdaya, deiembus-embuskan angin. Dahulu aku daun muda, teguh bertangkai; pohon muda.

8. Litotes
Adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri
TONIL IV
Suparman : Kami tiada terhitung lagi. Kami entah, No, padi diantara
beras, harus dicampakkan tiada berharga, No. Kalau baanyak entah, barangkali masih boleh jadi makanan ayam.

9. Hiperbola
Adalah gaya bahasa yang memberikan pernyataan yang berlebih-lebihan.
TONIL I
Suparman : Beberapa kali aku tegak di tepi pantai laut di Tanjung Priok,
terang bulan, banyak orang di sana bersenang-senang. Aku tegak, menduga dalam air dengan mataku.

10. Paradoks
Adalah gaya bahasa yang mengemukakan hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya tidak karena objek yang dikemukakan berbeda.
TONIL II
Puspohadi : Zaman maju kata orang; rupanya mundur juga
Dr. Sumarjo : Sekarang, tiada gaji, mau hidup besar.
Puspohadi : Sebenarnya salah kita juga. Kita didik dia hidup besar.
Dr. Sumarjo : Disekolahkan, habis sekolah menganggur. Kita orang tua
yang terus membantu. Tiada disekolahkan, semakin celaka lagi. Tapi.... Eh, sudah laat, lihat pasien lagi.

11. Metafora
Adalah gaya bahasa yang membandingkan suatu benda tertentu dengan benda lain yang mempunyai sifat sama.
TONIL III
Kartono : Cuma seperti menggantung asap saja, cuma jempol di angan
angannya saja.

12. Personifikasi
Adalah gaya bahasa yang mengumpamakan benda mati sebagai makhluk hidup.
TONIL III
Kartono : Katakan saja terus terang; kepada uang!
Harsini : Jadi cinta yang dibeli. Ada kubaca, sebutan orang Jakarta,
Lupa lagi...

13. Alusi
Adalah gaya bahasa yang menghubungkan sesuatu dengan orang, tempat atau peristiwa.
TONIL III
Harsini : Sedihnya, girangnya, lebih-lebih lagi perjuangannya dengan
dirinya sendiri, kurang diperhatikan orang. Ya benar, hakikatnya perjuangan Kartini ialah perjuangan dengan diri sendiri.

14. Metonimia
Adalah gaya bahasa yang menggunakan nama ciri tubuh, gelar atau jabatan seseorang sebagai pengganti nama diri.
TONIL I
Dr. Sumarjo : Jangan lagi saya ini. Coba, kemarin Sarti mengatakan: “Pak,
ganti mobilnya. Beli model 1937, terraplane, Pak. Saya malu duduk dalam mobil yang begini”. Coba pikir.... maunya tentu dibeli buat dia oto baru.

TONIL III
Martono : Kolot? Modern! Coba pikir, apa perlunya perempuan bekerja
sendiri. Pekerjaan sudah sedikit, lalu perempuan menjadi concurrent pula.

15. Ironi
Adalah gaya bahasa sindiran berupa pernyataan yang berlainan dengan yang dimaksudkan. Contoh : Manis sekali kopi ini, gula mahal ya?
TONIL III
Sarti : (Tersenyum) Kalau dikata, lakiku ini bukan main manisnya.

16. Sinisme
Adalah gaya bahasa sindiran yang lebih kasar dari ironi atau sindiran tajam
TOLIN III
Harsini : Sebentar saja bercerai, sudah rindu-rinduan.

TOLIN II
Istri Puspohadi : Ah, lupa menyuguh wedang lagi.
Dr. Sumarjo : Karena memikirkan zaman modern ini!

17. Sarkasme
Adalah gaya bahasa yang paling kasar, bahkan kadang-kadang merupakan kutukan.
TONIL III
Harsini : Masih ada juga laki-laki yang sekolot ini.
BAB III
PENUTUP

Suatu gaya bahasa mempunyai ciri umum bahwa suatu gaya bahasa digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan makna kias. Selain itu suatu gaya bahasa tentu saja harus berupa suatu ungkapan bahasa yang bergaya. Gaya bahasa juga mencerminkan dari ciri khas pengarang yang menulis dengan sepenuh hatinya dengan memilih gaya bahasa yang begitu indah.
Gaya bahasa yang digunakan oleh Armijn Pane dalam karya drama atau sandiwara “Lukisan Masa” tema dan motif lakonnya masih sangat bersifat kepahlawanan, pengungkapannya romantis dan idealistis. Karya drama “Lukisan Masa” ini diterbitkan dalam majalah Pujangga baru yaitu pada tahun 1937. Sehingga karya drama “Lukisan Masa” ini masih tergolong dalam periode kebangkitan.















DAFTAR PUSTAKA

Pane, Armijn. 1937. Lukisan Masa. Majalah Pujangga Baru

Sumber : http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/armijnpane.html

Sumber : http://www.crayonpedia.org/mw/Pembahasan_Pementasan_Drama_9.2

Sumber : http://daudp65.byethost4.com/ssastra/ssastra5.html

























Read More...

Sabtu, 22 Januari 2011

Analisis Perkembangan Bahasa Anak Berdasarkan Semantik


NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan bahasa, pada usia bawah lima tahun (balita) akan berkembang sangat aktif dan pesat. Keterlambatan bahasa pada periode ini, dapat menimbulkan berbagai masalah dalam proses belajar di usia sekolah. Anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa beresiko mengalami kesulitan belajar, kesulitan membaca dan menulis dan akan menyebabkan pencapaian akademik yang kurang secara menyeluruh, hal ini dapat berlanjut sampai usia dewasa muda. Selanjutnya orang dewasa dengan pencapaian akademik yang rendah akibat keterlambatan bicara dan bahasa, akan mengalami masalah perilaku dan penyesuaian psikososial.
Komunikasi adalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam bentuk bahasa. Komunikasi tersebut terjadi baik secara verbal maupun non verbal yaitu dengan tulisan, bacaan dan tanda atau simbol. Berbahasa itu sendiri merupakan proses yang kompleks dan tidak terjadi begitu saja. Setiap individu berkomunikasi lewat bahasa memerlukan suatu proses yang berkembang dalam tahap-tahap usianya. Bagaimana bahasa bisa digunakan untuk berkomunikasi selalu menjadi pertanyaan yang menarik untuk dibahas sehingga memunculkan banyak teori .
Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja ia dapat mengucapkan satu kata dengan jelas tetapi tidak dapat menyusun dua kata dengan baik, atau sebaliknya seorang anak mungkin saja dapat mengucapkan sebuah kata yang sedikit sulit untuk dimengerti tetapi ia dapat menyusun kata-kata tersebut dengan benar untuk menyatakan keinginannya.
Masalah bicara dan bahasa sebenarnya berbeda tetapi kedua masalah ini sering kali tumpang tindih. Gangguan bicara dan bahasa terdiri dari masalah artikulasi, suara, kelancaran bicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata, biasanya akibat cedera otak) serta keterlambatan dalam bicara atau bahasa. Keterlambatan bicara dan bahasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk faktor lingkungan atau hilangnya pendengaran. Gangguan bicara dan bahasa juga berhubungan erat dengan area lain yang mendukung proses tersebut seperti fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran.
Keterlambatan dan gangguan bisa mulai dari bentuk yang sederhana seperti bunyi suara yang “tidak normal” (sengau, serak) sampai dengan ketidakmampuan untuk mengerti atau menggunakan bahasa, atau ketidakmampuan mekanisme motorik oral dalam fungsinya untuk bicara dan makan.
Gangguan perkembangan artikulasi meliputi kegagalan mengucapkan satu huruf sampai beberapa huruf, sering terjadi penghilangan atau penggantian bunyi huruf tersebut sehingga menimbulkan kesan cara bicaranya seperti anak kecil. Selain itu juga dapat berupa gangguan dalam pitch, volume atau kualitas suara.
Afasia yaitu kehilangan kemampuan untuk membentuk kata-kata atau kehilangan kemampuan untuk menangkap arti kata-kata sehingga pembicaraan tidak dapat berlangsung dengan baik. Anak-anak dengan afasia didapat memiliki riwayat perkembangan bahasa awal yang normal, dan memiliki onset setelah trauma kepala atau gangguan neurologis lain (contohnya kejang).
Gagap adalah gangguan kelancaran atau abnormalitas dalam kecepatan atau irama bicara. Terdapat pengulangan suara, suku kata atau kata atau suatu bloking yang spasmodik, bisa terjadi spasme tonik dari otot-otot bicara seperti lidah, bibir dan laring. Terdapat kecendrungan adanya riwayat gagap dalam keluarga. Selain itu, gagap juga dapat disebabkan oleh tekanan dari orang tua agar anak bicara dengan jelas, gangguan lateralisasi, rasa tidak aman, dan kepribadian anak.
Sebagian besar konstruksi morfologi anak akan tergantung pada kemampuannya menerima dan memproduksi unit fonologi. Selama usia pra sekolah, anak tidak hanya menerima inventaris fonetik dan sistem fonologi tapi juga mengembangkan kemampuan menentukan bunyi mana yang dipakai untuk membedakan makna.
Pemerolehan fonologi berkaitan dengan proses konstruksi suku kata yang terdiri dari gabungan vokal dan konsonan. Bahkan dalam babbling, anak menggunakan konsonan-vokal (KV) atau konsonan-vokal-konsonan (KVK). Proses lainnya berkaitan dengan asimilasi dan substitusi sampai pada persepsi dan produksi suara.


B. Rumusan Masalah
Ada beberapa rumusan masalah yang akan dibahas.
1. Bagaimana perkembangan bahasa anak sebagai komunikasi ?
2. Bagaimana kata-kata pertama yang digunakan dalam bahasa anak ditinju dari segi semantik ?
3. Bagaimana perkembangan kosa kata yang cepat dalam pembentukan kalimat awal ?
4. Mengapa dari percakapan bayi menjadi registrasi anak pra sekolah yang menyerupai orang dewasa. 18-36 bulan ?
5. Apakah pemerolehan semantik berkaitan dengan proses konstruksi suku kata yang terdiri dari gabungan vokal dan konsonan ?

C. Tujuan Penelitian
Berbahasa itu sendiri merupakan proses yang kompleks dan tidak terjadi begitu saja. Setiap individu berkomunikasi lewat bahasa memerlukan suatu proses yang berkembang dalam tahap-tahap usianya.
Komunikasi adalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam bentuk bahasa. Komunikasi menjadi salah satu tujuan yang penting dalam membahas aspek perkembangan bahasa anak yang ditinjau darisegi semantik.
Berikut beberapa tujuan yang menjadi tujuan penulisan:
1. Mengetahui perkembangan bahasa anak sebagai komunikasi.
2. Membahas proses percakapan bayi menjadi registrasi anak pra sekolah yang menyerupai orang dewasa. 18-36 bulan.
3. Mengetahui pemerolehan semantik berkaitan dengan proses konstruksi suku kata yang terdiri dari gabungan vokal dan konsonan.

D. Manfaat Penelitian
Selama usia pra sekolah, anak tidak hanya menerima inventaris fonetik dan sistem semantik tapi juga mengembangkan kemampuan menentukan kata mana yang dipakai untuk membedakan makna.
Berikut beberapa manfaat yang didapat dari penulisan ini
1. Memberikan pengetahuan bahwa perkembangan bahasa anak di bidang semantik memberikan makna yang berbeda.
2. Mampu menginterpretasikan perkembangan bahasa anak sebagai komunikasi yang dimengerti dalam semantik.
3. Memberikan komunikasi timbal balik yang saling dimengerti sesuai dengan teori.



























BAB II
LANDASAN TEORI


A. Proses Fisiologi Bicara
Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak untuk berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan kombinasi yang serasi dari sistem neuromuskular untuk mengeluarkan fonasi dan artikulasi suara. Proses bicara melibatkan beberapa sistem dan fungsi tubuh, melibatkan sistem pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga hidung.
Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan motoris. Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek motorik yaitu mengatur laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung jawab untuk pengeluaran suara.
Proses reseptif – Proses dekode
Segera saat rangsangan auditori diterima, formasi retikulum pada batang otak akan menyusun tonus untuk otak dan menentukan modalitas dan rangsang mana yang akan diterima otak. Rangsang tersebut ditangkap oleh talamus dan selanjutnya diteruskan ke area korteks auditori pada girus Heschls, dimana sebagian besar signal yang diterima oleh girus ini berasal dari sisi telinga yang berlawanan.
Girus dan area asosiasi auditori akan memilah informasi bermakna yang masuk. Selanjutnya masukan linguistik yang sudah dikode, dikirim ke lobus temporal kiri untuk diproses. Sementara masukan paralinguistik berupa intonasi, tekanan, irama dan kecepatan masuk ke lobus temporal kanan. Analisa linguistik dilakukan pada area Wernicke di lobus temporal kiri. Girus angular dan supramarginal membantu proses integrasi informasi visual, auditori dan raba serta perwakilan linguistik. Proses dekode dimulai dengan dekode fonologi berupa penerimaan unit suara melalui telinga, dilanjutkan dengan dekode gramatika. Proses berakhir pada dekode semantik dengan pemahaman konsep atau ide yang disampaikan lewat pengkodean tersebut.
Proses ekspresif – Proses encode
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses enkode dimulai dengan enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat pembicara.
Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar. Proses decode-encode diatas disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam proses perkembangan bahasa, kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik.

B. Perkembangan Bahasa pada Anak Usia di Bawah 5 Tahun
Perkembangan bahasa sangat berhubungan erat dengan maturasi otak. Secara keseluruhan terlihat dengan berat kasar otak yang berubah sangat cepat dalam 2 tahun pertama kehidupan. Hal ini disebabkan karena mielinisasi atau pembentukan selubung sistem saraf. Proses mielinisasi ini dikontrol oleh hormon seksual, khususnya estrogen. Hal ini menjelaskan kenapa proses perkembangan bahasa lebih cepat pada anak perempuan.
Pada usia sekitar 2 bulan, korteks motorik di lobus frontal menjadi lebih aktif. Anak memperoleh lebih banyak kontrol dalam perilaku motor volusional. Korteks visual menjadi lebih aktif pada usia 3 bulan, jadi anak menjadi lebih fokus pada benda yang dekat maupun yang jauh. Selama separuh periode tahun pertama korteks frontal dan hipokampus menjadi lebih aktif. Hal ini menyebabkan peningkatan kemampuan untuk mengingat stimulasi dan hubungan awal antara kata dan keseluruhan. Pengalaman dan interaksi bayi akan membantu anak mengatur kerangka kerja otak.
Diferensiasi otak fetus dimulai pada minggu ke-16 gestasi. Selanjutnya maturasi otak berbeda dan terefleksikan pada perilaku bayi saat lahir. Selama masa prenatal batang otak, korteks primer dan korteks somatosensori bertumbuh dengan cepat. Sesudah lahir serebelum dan hemisfer serebri juga tumbuh bertambah cepat terutama area reseptor visual. Ini menjelaskan bahwa maturasi visual terjadi relatif lebih awal dibandingkan auditori. Traktus asosiasi yang mengatur bicara dan bahasa belum sepenuhnya matur sampai periode akhir usia pra sekolah. Pada neonatus, vokalisasi dikontrol oleh batang otak dan pons. Reduplikasi babbling menandakan maturasi bagian wajah dan area laring pada korteks motor. Maturasi jalur asosiasi auditorik seperti fasikulus arkuatum yang menghubungkan area auditori dan area motor korteks tidak tercapai sampai awal tahun kedua kehidupan sehingga menjadi keterbatasan dalam intonasi bunyi dan bicara.31,32 Pengaruh hormon estrogen pada maturasi otak akan mempengaruhi kecepatan perkembangan bunyi dan bicara pada anak perempuan.
Tahap perkembangan bahasa di atas hampir sama dengan pembagian menurut Bzoch yang membagi perkembangan bahasa anak dari lahir sampai usia 3 tahun dalam empat stadium.
1. Perkembangan bahasa bayi sebagai komunikasi prelinguistik. 0-3 bulan. Periode lahir sampai akhir tahun pertama. Bayi baru lahir belum bisa menggabungkan elemen bahasa baik isi, bentuk dan pemakaian bahasa. Selain belum berkembangnya bentuk bahasa konvensional, kemampuan kognitif bayi juga belum berkembang. Komunikasi lebih bersifat reflektif daripada terencana. Periode ini disebut prelinguistik. Meskipun bayi belum mengerti dan belum bisa mengungkapkan bentuk bahasa konvensional, mereka mengamati dan memproduksi suara dengan cara yang unik. Klinisi harus menentukan apakah bayi mengamati atau bereaksi terhadap suara. Bila tidak, ini merupakan indikasi untuk evaluasi fisik dan audiologi. Selanjutnya intervensi direncanakan untuk membangun lingkungan yang menyediakan banyak kesempatan untuk mengamati dan bereaksi terhadap suara.
2. Kata-kata pertama : transisi ke bahasa anak. 3-9 bulan. Salah satu perkembangan bahasa utama milestone adalah pengucapan kata-kata pertama yang terjadi pada akhir tahun pertama, berlanjut sampai satu setengah tahun saat pertumbuhan kosa kata berlangsung cepat, juga tanda dimulainya pembetukan kalimat awal. Berkembangnya kemampuan kognitif, adanya kontrol dan interpretasi emosional di periode ini akan memberi arti pada kata-kata pertama anak. Arti kata-kata pertama mereka dapat merujuk ke benda, orang, tempat, dan kejadian-kejadian di seputar lingkungan awal anak.
3. Perkembangan kosa kata yang cepat-Pembentukan kalimat awal. 9-18 bulan. Bentuk kata-kata pertama menjadi banyak, dan dimulainya produksi kalimat. Perkembangan komprehensif dan produksi kata-kata berlangsung cepat pada sekitar 18 bulan. Anak mulai bisa menggabungkan kata benda dengan kata kerja yang kemudian menghasilkan sintaks. Melalui interaksinya dengan orang dewasa, anak mulai belajar mengkonsolidasikan isi, bentuk dan pemakaian bahasa dalam percakapannya. Dengan semakin berkembangnya kognisi dan pengalaman afektif, anak mulai bisa berbicara memakai kata-kata yang tersimpan dalam memorinya. Terjadi pergeseran dari pemakaian kalimat satu kata menjadi bentuk kata benda dan kata kerja.
4. Dari percakapan bayi menjadi registrasi anak pra sekolah yang menyerupai orang dewasa. 18-36 bulan. Anak dengan mobilitas yang mulai meningkat memiliki akses ke jaringan sosial yang lebih luas dan perkembangan kognitif menjadi semakin dalam. Anak mulai berpikir konseptual, mengkategorikan benda, orang dan peristiwa serta dapat menyelesaikan masalah fisik Anak terus mengembangkan pemakaian bentuk fonem dewasa.
Perkembangan bahasa anak dapat dilihat juga dari pemerolehan bahasa menurut komponen-komponennya.
C. Perkembangan Semantik
Karena faktor lingkungan sangat berperan dalam perkembangan semantik, maka pada umur 6-9 bulan anak telah mengenal orang atau benda yang berada di sekitarnya. Leksikal dan pemerolehan konsep berkembang pesat pada masa pra sekolah. Terdapat indikasi bahwa anak dengan kosa kata lebih banyak akan lebih popular di kalangan teman-temannya. Diperkirakan terjadi penambahan 5 kata perhari di usia 18 bulan sampai 6 tahun.Pemahaman kata bertambah tanpa pengajaran langsung orang dewasa. Terjadi strategi pemetaan yang cepat di usia ini sehingga anak dapat menghubungkan suatu kata dengan rujukannya. Pemetaan yang cepat adalah langkah awal dalam proses pemerolehan leksikal. Selanjutnya secara bertahap anak akan mengartikan lagi informasi-informasi baru yang diterima.
Proses pemerolehan bahasa merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kemampuan bahasa setiap individu. Pemerolehan bahasa atau akuisisi adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya( Abdul Chaer, 2005:161). Proses pemerolehan bahasa inilah yang menentukan kemampuan setiap individu dalam menguasai bahasa pertamanya. Setiap anak mengalami perkembangan bahasa yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya setiap anak yang normal mulai berbicara antara umur dua puluh sampai dua puluh delapan bulan. Hal tersebut terjadi karena organ-organ bicara yang dimiliki setiap anak sudah mulai berkembang dan terprogram untuk memperoleh bahasa. Salah satu bidang bidang pemerolehan bahasa pada anak menyangkut bidang semantis. Bidang semantik meliputi kemampuan anak dalam memahami ujaran lawan bicaranya. seperti kemampuan memahami kata yang di ucapkan oleh lawan bicaranya. Salah satu golongan kosakata yang dikuasai oleh anak adalah golongan kelas kata nomina terutama yang akrab dengan tempat tinggalnya.
Beberapa peneitian tentang pemerolehan bahasa anak sudah banayak dilakukan, diantaranya oleh Soejono Dardjowidjojo, beliau melakukan penelitian terhadap cucunya yang bernama Echa. Penelitian yang dilakukannya bersifat longitudinal(dari satu waktu ke waktu yang lain/berkelanjutan). Hasilnya menekankan bahwa jadwal kemunculan bunyi adalah jadwal biologis dan bukan kronologis. Menurutna mugkin saja seorang anak mampu mengucapkan bunyi /r/ jauh lebih awal dari umur 49 bulan seperti yang dinyatakan oleh Jacobson. Selain itu menurut beliau bahwa dari mulai usia dua tahun seorang anak sudah mampu memahami beberapa kosa kata yang di ucapkan lawan bicaranya. Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dalam memahami suatu tuturan tergantung perkembangan psikologis anak. Namun terkadang walaupun mereka sudah memahami sebuah kosakata ketika mereka mengucapkannya kata yang mereka ucapkan mengalami pergeseran sehingga tidak sesuai dengan acuan(referentnya).
Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Kontempasi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performasi yang terdiri dari dua buah proses yakni proses pemahaman dan proses penerbitran atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau keampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar . Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau meneritkan kalimat-kalimat sendiri. Kedua jenis proses proses kompetensi ini apabila telah dikuasai kanak-kanak akan menjadi kemampuan linguistik kanak-kanak itu. Jadi kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru.
Melaui bahasa, seorang anak belajar untuk menjadi “angota masyarakat”. Bahasa pertama(B1) menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, pendirian dan sebagainya, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap wajar oleh anggota-angota masyarakat di mana anak itu tinggal. Sebelum mampu memahami tuturan lawan bicaranya secara sempurna, sejak usia satu tahun seorang anak mulai belajar memahami tuturan lawan biaranya dalam bentuk yang sederhana. Biasanya mereka mulai memahami kosakata yang diujarkan lawan bicaranya yang berkategori nomina seperti kata mamah, bapa, baju, domba, dsb. Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuk-bentuknya benar bukan, ini belum berarti ia telah menguasai bahasa pertamanya itu, karena dapat saja ia memberi arti yang lain pada kalimat-kalimat yang diucapkanya itu. Namun sebaliknya ada juga kecendurungan, walaupun seorang anak sudah memahami tentang arti suatu kata tetapi ia mengucapkan kosa kata tersebut menjadi berbeda atau tidak sesuai dengan kosakata yang sebenarnya. Contohnya ketika peneliti menunjukan sebuah benda yang disebut sepatu, anak tersebut tidak mengucapkan sapatu(sepatu) tetapi dia mengucapkan kata sopato. Padahal si anak sudah mengetahui bahwa benda yang ditunjukan adalah sapatu, keterpahaman itu ditunjukkan ketika suatu saat ditanyakan kembali si anak mengucapkan kata sapatu. Dalam hal ini terjadi penyimpanagan tuturan karena kosakata yang di ucapkan tidak sesuai dengan dengan referentnya(acuannya).
Definisi kata benda anak usia pra sekolah meliputi properti fisik seperti bentuk, ukuran dan warna, properti fungsi, properti pemakaian dan lokasi. Definisi kata kerja anak pra sekolah juga berbeda dari kata kerja orang dewasa atau anak yang lebih besar. Anak pra sekolah dapat menjelaskan siapa, apa, kapan, di mana, untuk apa, untuk siapa, dengan apa, tapi biasanya mereka belum memahami pertanyaan bagaimana dan mengapa atau menjelaskan proses. Anak akan mengembangkan kosa katanya melalui cerita yang dibacakan orang tuanya. Begitu kosa kata berkembang, kebutuhan untuk mengorganisasikan kosa kata akan lebih meningkat, dan beberapa jaringan semantik atau antar relasi akan terbentuk

















BAB III
HASIL PENELITIAN



OLEH : SURYA HADIDI
NIM : 208311125
KELAS: B EKSTENSI

BIODATA ANAK :
NAMA : ADI SYAHPUTRA GINTING
JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI
TT.LAHIR : MEDAN, 29 OKTOBER 2005
UMUR : 17 BULAN (SATU TAHUN 5 BULAN)
ANAK KE : TIGA DARI TIGA BERSAUDARA

BIODATA ORANGTUA ANAK:
NAMA
AYAH : DARSIM ANTONI GINTING
IBU : REHULINA BR SEMBIRING

PENDIDIKAN TERAKHIR
AYAH : S1
IBU : D3

PEKERJAAN ORANGTUA
AYAH : GURU
IBU : IBU RUMAH TANGGA
ALAMAT : POKOK MANGGA, PALES VII B. MEDAN



A. Semantik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2007), Semantik adalah
1) ilmu tentang kata dan kalimat; pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata.
2) Bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan atau struktur makna suatu wicara.
Dalam kajian semantik bahasa anak dibawah 5 tahun, Definisi kata benda anak usia ini meliputi properti fisik seperti bentuk, ukuran ,warna dan bunyi. Definisi kata kerja anak pra sekolah juga berbeda dari kata kerja orang dewasa atau anak yang lebih besar. Anak pra sekolah dapat menjelaskan siapa, apa, kapan, di mana, untuk apa, untuk siapa, dengan apa, tapi biasanya mereka belum memahami pertanyaan bagaimana dan mengapa atau menjelaskan proses.
“guguk” => menyatakan anjing(kt,benda) berdasarkan bunyi yang dikeluarkan
“bem-bem” => menyatakan motor/mobil(berdasarkan bunyi yang dikeluarkan)
“yang melah mau Oty” => ( Oky mau yang merah) menyatakan kata benda(celananya) berdasarkan warna

B. Daftar Kosa Kata yang Diucapkan
1. Mam = makan
2. Mimik = Minum
3. Wang = uang
4. seyibu = seribu
5. Sayatus = seratus
6. Buyung = burung
7. enjen = Jeni
8. Naik Kreta = Brum
9. Nana = Celana
10. cucu = Susu
11. Kerupuk = Keyupuk
12. Itan = Ikan
13. Puyang = Pulang
14. Joyok = jorok
15. boya = Bola
16. Bakco = Bakco
17. Cing = Kucing

C. Analisi Berdasarkan Semantik
1. Mam
Dari bahasa inggris artinya adalah ibu, tetapi segi semantic kata mam artinya adalah makan apabila diucapkan oleh seorang anak apabila ia merasa lapar. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan percakapan ”mak mam” ibunya langsung mengambilkan makan kepada anaknya.
2. Mimik
Dari arti sebenarnya kata mimik ini adalah raut muka seseorang, tetapi Dari segi semantic kata mimik artinya adalah minum, apabila kata ini diucapkan seorang anak apabila dia haus. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan percakapan “mak mimik” dan ibunya langsung mengambilkan minum kepada anaknya.
3. Wang
Menurut penelitian saya terhadap seorang anak kata wang deri segi semantic berarti kata uang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “ pak, pak wang seyibu ( meminta uang seribu kepada bapaknya)” bapaknya langsung mengasi uang seribu.
4. Seyibu
Dari segi semantik kata seyibu artinya adalah seribu apabila yang mengucapkan kata itu adalah seorang anak. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “ pak, pak wang seyibu ( meminta uang seribu kepada bapaknya)” bapaknya langsung mengasi uang seribu.

5. Seyatus
Dari segi semantik kata seyatus artinya adalah seratus apabila yang menyebutkannya adalah anak-anak yang baru bias bicara. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “ pak seyatus “ ketika melihat uang seratus logam.
6. Buyung
Dari segi semantik kata buyung artinya adalah burung apabila yang menyebutkannya adalah anak-anak yang baru bias bicara. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “ pak tu buyung “ sambil menunjuk burung yang terbang.
7. Nana
Dari segi semantik kata nana artinya adalah celana apabila yang menyebutkannya adalah seorang anak yang baru bias bicara. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “mak nana” sambil menunjuk celana dan ibunya mengambilkan celana.
8. Cucu
Dari segi semantik kata cucu artinya adalah susu apabila disebutka oleh anak-anak yang baru bias berbica bukan berarti cucu yang sebenarnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “ mimic cucu” yang artinya minum susus.

9. Joyok
Dari segi semantik kata joyok adalah jorok yang apabila yang menyebutkannya adalah seorang anak. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “ mak tangan iki joyok” dan langsung membersihkannya.
10. Olang
Dari segi semantik kata olang berarti menyebutkan kata orang. Ini hanya disebutkan oleh anak-anak yang baru bias bicara. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “pak olang mananya itu” anak itu bermaksud menyatakan orang.
11. Boya
Dari segi semantik kata boya artinya adalah bola apabila yang menyebutkannya itu adalah seorang anak. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “ pak main boya” padahal maksunya adalah bermain bola.
12. Bakco
Dari segi semantik kata bakco artinya adalah bakso apabila yang menyebutkannya adalah anak-anak yang baru bisa berbicara. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “ mak bli bakco sambil menunjuk bakso yang sebenarnya “
13. Pempuan
Dari segi semantik kata pempuan artinya adalah perempuan apabila yang menyebutkannya adalah anak-anak yang baru bias bicara. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “pung pempuan datang” disebutakn oleh seorang anak yang situasinya ompung perempuannya datang.
14. Pung
Dari segi semantik kata pung adalah ompung apabila yang menyebutkan kata itu adalah seorang anak. Hal ini dapat dilihat dari kutipan percakapan “ pung pempuan datang” disebutakn oleh seorang anak yang situasinya ompung perempuannya datang.
15. Cing
Kata cing dari segi semantik adalah kencing. Ini dapat terjadi karena anak yang saya teliti ketika ia ingin kencing selalau mengatakan cing, hal ini dapat dilihat dalam percakapan berikut:
Anak : “mak cing,cing!”
Ibu : (langsung membukakan celananya)











BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang kami lakukan dapat kami simpulkan bahwa:
1. Anak telah dapat memproduksi bentuk yang dekat bunyinya dengan bentuk orang dewasa dan dapat mengaitkan bentuk dengan makna meskipun kata-kata yang diucapkan masih belum sempurna.
2. Dari segi semantik bahwa kata-kata yang diucapkan anak yang umur 4 tahun kebawah masih terdapat penyimpangan makna. Dimana kata yang di ucapkan tidak sama dengan makna yang senenarnya.
3. Dalam penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa pada usia tersebut ada beberapa fonem yang belum sempurna diucapkan yaitu Fonem /r/ digantikan dengan fonem /l/, /ng/, hal tersebut disebabkan bahwa pada usia tersebut organ-organ penghasil tuturan terutama lidah belum sepenuhnya lentur.






















DAFTAR PUSTAKA

Daulay, Syahnan. 2010. Pemerolehan dan Pembelajaran bahasa. Bandung: Citapustaka Media Perintis
http://endonesa.wordpress.com/ajaran-pembelajaran/pembelajaran-bahasa-indonesia/
http://aiman-khairul.blogspot.com/2010/03/pada-dasarnya-seluruh-manusia-belajar.html
Dardjowidjojo, Soejono, Jaya Atma Unika.2003.Psikolinguistik.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
http://mbahbrata-edu.blogspot.com/2009/06/tahap pemerolehan bahasa.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerolehan_bahasa



Read More...