Subscribe

Jumat, 18 Desember 2009

Struktur Kalimat Pelengkap



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me













BAB I
PENDAHULUAN

Kalimat adalah: Satuan bahasa terkecil dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan suatu pikiran yang utuh . Dalam suatu kalimat terdiri dari beberapa unsur antara lain subyek,predikat, obyek ,pelengkap dan keterangan.
Unsur kalimat adalah jabatan kata dan kini disebut peran kata, yaitu subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket). Kalimat bahasa Indonesia baku terdiri dari sekurang-kurangnya atas dua unsur, yakni S dan P. Unsur yang lain (O, Pel, dan Ket) dalam suatu kalimat dapat wajib hadir, tidak wajib hadir, atau wajib tidak hadir.
Jabatan kalimat kelihatan mudah, namun sebenarnya sulit. Dari pokok bahasan bahasa Indonesia yang terdapat di KTSP SMP dan SMA, pokok bahasan ini salah satu pokok bahsan yang sulit bagi penulis. Namun, dalam makalah ini akan dibahas secara terperinci sehingga mudah dipahami apa sebenarnya S,P,O, dan Pelengkap.












BAB II
PEMBAHASAN

A. UNSUR KALIMAT
Unsur kalimat adalah fungsi sintaksis yang dalam buku-buku tata bahasa Indonesia lama lazim disebut jabatan kata dan kini disebut peran kata, yaitu subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket). Kalimat bahasa Indonesia baku terdiri dari sekurang-kurangnya atas dua unsur, yakni S dan P. Unsur yang lain (O, Pel, dan Ket) dalam suatu kalimat dapat wajib hadir, tidak wajib hadir, atau wajib tidak hadir. Namun , dalam pambahasan kali ini, penulis hanya membahas sesuai tugas yang diberikan yakni, yaitu subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel).

1. Subjek.
Subjek (S) adalah bagian kalimat yang menunjukkan pelaku, tokoh, sosok (benda), sesuatu hal, atau suatu masalah yang menjadi pangkal/pokok pembicaraan. Subjek biasanya diisi oleh jenis kata/frasa benda (nominal), klausa, atau frasa verbal.
(1) Ayahku sedang melukis.
(2) Meja direktur besar.
(3) Yang berbaju batik dosen saya.
(4) Berjalan kaki menyehatkan badan.
(5) Membangun jalan layang sangat mahal.

Selain ciri di atas, S dapat juga dikenali dengan cara bertanya dengan memakai kata tanya siapa (yang)… atau apa (yang)… kepada P. Kalau ada jawaban yang logis atas pertanyaan yang diajukan, itulah S. Jika ternyata jawabannya tidak ada atau tidak logis berarti kalimat itu tidak mempunyai S. Inilah contoh “kalimat” yang tidak mempunyai S karena tidak ada/tidak jelas pelaku atau bendanya.

(1) Bagi siswa sekolah dilarang masuk.
(yang benar : Siswa sekolah dilarang masuk)
(2) Di sini melayani resep obat generik.
(yang benar : Toko ini melayani resep obat generik).
(3) Melamun sepanjang malam.
(yang benar : Dia melamun sepanjang malam)

2. Predikat.
Predikat (P) adalah bagian kalimat yang memberi tahu melakukan (tindakan) apa atau dalam keadaan bagaimana S (pelaku/tokoh atau benda di dalam suatu kalimat). Selain memberi tahu tindakan atau perbuatan S, prediksi dapat pula menyatakan sifat, situasi, status, ciri, atau jatidiri S. Termasuk juga sebagai P dalam kalimat adalah pernyataan tentang jumlah sesuatu yang dimiliki S. Predikat dapat berupa kata atau frasa, sebagian besar berkelas verba atau adjektiva, tetapi dapat juga numeralia, nomina, atau frasa nominal. Perhatikan contoh berikut ini.
Contoh :
(1) Kuda meringkik.
(2) Ibu sedang tidur siang.
(3) Putrinya cantik jelita.
(4) Kota Jakarta dalam keadaan aman.
(5) Kucingku belang tiga.
(6) Robby mahasiswa baru.
(7) Rumah Pak Hartawan lima.

Tuturan di bawah ini tidak memilik P karena tidak ada kata-kata yang menunjuk perbuatan, sifat, keadaan, ciri dan status pelaku/bendanya.
(1) Adik saya yang gendut lagi lucu itu.
(2) Kantor kami yang terletak di Jln. Gatot Subroto.
(3) Bandung yang terkenal sebagai kota kembang.

3. Objek.
Objek (O) adalah bagian kalimat yang melengkapi P. Objek pada umumnya diisi oleh nominal, frasa nominal, atau klausa. Letak O selalu di belakang P yang berupa verba transitif, yaitu verba yang menuntut wajib hadirnya O seperti pada contoh dibawah ini.
(1) Nurul menimang……....(bonekanya)
Arsitek merancang………....(sebuah gedung bertingkat)
Juru masak menggorek…….….(udang windu)

Jika P diisi oleh verba intransitif, O tidak diperlukan.
a. Nenek sedang tidur.
b. Komputerku rusak.
c. Tamunya pulang.

Objek dalam kalimat aktif dapat berubah menjadi S jika kalimatnya dipasifkan. Perhatikan contoh kalimat berikut yang letak O-nya di belakang dan lihat ubahan posisinya bila kalimatnya dipasifkan.
(1) a. Serena Williams mengalahkan Angelique Wijaya [O].
b. Angelique Wijaya [S] dikalahkan oleh Serena Williams.
(2) a. Orang itu menipu adik saya [O].
b. Adik saya [S] ditipu orang itu.
(3) a. Ibu Tuti mencupit pipi Sandra [O]
b. Pipi Sandra [S] dicubit oleh ibu Tuti.
(4) a. John Smith memberi barang antik [O].
b. Barang antik [S] dibeli oleh John Smith.






4. Pelengkap
Pelengkap (Pel) atau komplemen adalah bagian kalimat yang melengkapi P. Letak Pel umumnya di belakang P yang berupa verba. Posisi seperti itu juga ditempati oleh O, dan jenis kata yang mengisi Pel dan O juga sama, yaitu dapat juga berupa nominal, frase nominal, atau klausa. Namun, antara Pel dan O terdapat perbedaan. Perhatikan contoh di bawah ini.
(1) Ketua MPR // membacakan // Pancasila.
S P O
(2) Banyak orsospol // berlandaskan // Pancasila.
S P Pel
(3) Pancasila // dibacakan // oleh Ketua MPR.
S P O

Beda Pel dan O adalah Pel tidak dapat dipasipkan menjadi subjek, sedangkan O dapat dipasipkan menjadi subjek.
Posisi Pancasila sebagai Pel pada contoh no. 2 di atas tidak dapat dipindahkan ke depan menjadi S dalam kalimat pasip.

Contoh yang salah : Pancasila dilandasi oleh banyak orsospol (X)
Akan tetapi Pancasila sebagai O pada contoh no. 1 di atas dapat dibalik menjadi S dalam kalimat pasip.
Contoh : Pancasila dibacakan oleh Ketua MPR.
S P O

Hal lain yang membedakan Pel dan O adalah jenis pengisinya. Selain diisi oleh nomina dan frase nominal, Pel dapat pula diisi oleh frase adjektival dan frase preposisional. Di samping itu, letak Pel tidak selalau persis di belakang P. Kalau dalam kelimatnya terdapat O, letak Pel adalah di belakang O sehingga urutuan penulisan bagian kalimat menjadi S-P-O-Pel.
Berikut adalah beberapa contoh pelengkap dalam kalimat.
(1) Sutardji membacakan pengagumnya puisi kontemporer.
(2) Mayang mendongengkan Rayhan Cerita si Kancil.
(3) Sekretaris itu mengambilkan atasannya air minum.
(4) Annisa mengirimi kakeknya kopiah bludru.
(5) Pamanku membelikan anaknya rumah mungil.

Bedakan : - Sekretaris itu mengambil air minum untuk atasannya.
- Annisa mengirim kopiah bludru untuk kakaknya.
(Kata atasannya dan kakanya menjadi Keterangan (Ket.), sedangkan air minum dan kopiah bludru adalah Objek).






















BAB III
PENUTUP

Dari paparan sebelumnya, cara yang paling mudah menganalisis struktur kalimat dalam bahasa Indonesia yaitu dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan sebagai kata kunci.
Mengetahui unsure-unsur kalimat dalam bahasa Indonasia sangat penting agar kita dapat membuat atau menyusun kalimat yang efektif.























Daftar Pustaka

Alwi, Hasan, dkk, 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/bahasa-indonesia/pembentukan-kalimat-dalam-bahasa-indonesia
http://id.wikisource.org/wiki/Buku_Praktis_Bahasa_Indonesia_2/Kalimat



















Read More...

Sinonim dan Antonim



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me












Sinonim
Sinonim adalah suatu kata yang memiliki bentuk yang berbeda namun memiliki arti atau pengertian yang sama atau mirip. Sinomin bisa disebut juga dengan persamaan kata atau padanan kata.
Contoh Sinonim :
- binatang = fauna
- bohong = dusta
- haus = dahaga
- pakaian = baju
- bertemu = berjumpa
Antonim
Antonim adalah suatu kata yang artinya berlawanan satu sama lain. Antonim disebut juga dengan lawan kata.
Contoh Antonim :
- keras x lembek
- naik x turun
- kaya x miskin
- surga x neraka
- laki-laki x perempuan
- atas x bawah
Homonim
Homonim adalah suatu kata yang memiliki makna yang berbeda tetapi lafal atau ejaan sama. Jika lafalnya sama disebut homograf, namun jika yang sama adalah ejaannya maka disebut homofon.
Contoh Homograf :
- Amplop
+ Untuk mengirim surat untuk bapak presiden kita harus menggunakan amplop (amplop = amplop surat biasa)
+ Agar bisa diterima menjadi pns ia memberi amplop kepada para pejabat (amplop = sogokan atau uang pelicin)
- Bisa
+ Bu kadir bisa memainkan gitar dengan kakinya (bisa = mampu)
+ Bisa ular itu ditampung ke dalam bejana untuk diteliti (bisa = racun)
Contoh Homofon :
- Masa dengan Massa
+ Guci itu adalah peninggalan masa kerajaan kutai (masa = waktu)
+ Kasus tabrakan yang menghebohkan itu dimuat di media massa (massa = masyarakat umum)



Read More...

Perbandingan Sastra Daerah (Puteri Hijau dan Puteri Alang)



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me














PUTERI HIJAU

Pada abad ke- 15 di daerah deli ada sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sulaiman. Beliau mempunyai tiga orang putra. Yang pertama bernama Mambang Yasid, yang kedeua Putri hijau, dan yang ketiga Mambanh Khayali. Ketika raja sulaiman wafat, kerajaan dipimpin oleh Mambang Yasid dan dibantu oleh kedua adiknya.
Di antara ketiga putra tersebut, yang paling dikenal adaklah Putri Hijau. Selain cantik, Putri Hijau memiliki keelokkan tersendiri. Tubuhnya selalu memancarkan cahaya hijau yang kemilau, apalagi pada malm bulan purnama.
Suatu malam pada saat terang purnama, kilau cahaya hijau yang keluar dari Sang putrid sempat terlihat oleh Sultan Mukhayat Syah, seorang Raja Aceh yang sedang beristirahat di tamannya. Dia sangat terpesona melihat kilauan warna tersebut. Maka, keesokan harinya raja menyuruh punggawa istana untuj mencari asal-usul cahaya hijau yang dilihatnya semalam. Setelah menyelidiki apa yang diperintahkan Sultan, para penggawa itu melaporkan bahwa cahaya hijau itu memancar keluar dari Putri Hijau yang berada di Kerajaan Deli Tua. Karena begitu terpesona, maka Sultan tidak bisa lagi menahan keinginannya untuk melihat sang Putri. Ternyata Si Sultan jatuh cinta kepada Putri Hijau.
Sultan Mukhayat Syah segera mengirim utusan peminangan ke kerajaan Deli Tua. Utusan tiu duterima oleh Mambang Yasid. Tapi sayang, pinangan itu ditolak oleh Putri Hijau. Utusan itu segera melaporkan perihal penolakkan tersebut kepadaSultan Mukhayat Syah. Tentu saja, Sultan merasa berang dan sangat terhina. Akhirnya, peperangan antara kedua kerajaan tersebut tak terelakan lagi.
Pasukan Aceh menggunakan tipu muslihat sehingga para prajurit Deli Tua mudah dilumpuhkan. Mambang Khayali menjelma menjadi sebuah meriam, namun meriam itu pun patah. Mambang Yasid Sadar bahwa Kerajaan Deli Tua tidak mungkin dapat bertahan dari gempuran pasukan Aceh. Kemudian ia berpesan kepada Puteri Hijau bahwa jika pada suatu saat Sang Puteri ditawan oleh Sultan Aceh, dia harus mengajukan beberapa syarat. Syarat tersebut antara lain, minta agar Puteri dimasukkan ke dalam keranda kaca dan sebelum tiba di Aceh tubuhnya tidak boleh disentuh oleh Sultan Aceh serta setelah sampai di Aceh seluruh rakyat diminta untuk membawa persembahan, masing-masing sebutir telur ayam dan segenggam bertik. Semua persembahan tersebut dionggokkan di tepi pantai. Seusai upacara onggokkan harus dibuang ke laut. Pada saat itu Puteri harus keluar dari kaca lalu membakar kemenyan sambil memanggil nama Mambang Yasid. Selesai menyampaikan pesannya, mambang Yasid menghilang secara ajaib.
Benar saja, akhirnya Puteri Hijau ditawan Sultan Aceh. Dia segera mengajukan syarat-syarat seperti yang diajarkan oleh kakaknya. Sultan Aceh mengabulkan semua persyaratan tersebut dan kemudian Sang Puteri diboyong ke Aceh melalui perjalanan laut. Di Aceh kapal Sultan berlabuh di Tannjung Jambu Air. Sultan memerintahkan rakyatnya untuk mengadakan upacara persembahan di pantai itu. Sesudah upacara tersebut, Puteri Hijau terlihat keluar dari keranda kaca lalu ia membakar kemenyan sambil memanggil nama Mambang Yasid. Tak beberapa lama sesudah itu, turunlah hujan yang sangat deras disertai angina ribut. Halilintar sambar menyambar, ombak pun gulung-menggulung menyeret kapal tersebut ke tengah laut. Dari balik ombak yang dahsyat itu, muncullah seekor naga raksasa yang bergerak menuju ke kapal Sultan Aceh. Ekornya yang panjang menghantam kapal itu sampai pecah dan tenggelam, namun sultan dapat menyelamatkan diri. Dalam kekacauan itu Puteri Hijau segera kembali ke keranda kaca. Ketika ombak menyapu kapal yang sudah tenggelam tersebut Sang Puteri terapung-apung di laut dalam keranda kacanya. Sang Naga segera mendekati kaca tersebut, mengangkat dengan mulutnya dan membawanya ke selat Malaka.










PUTERI BONGSU ALANG

Pada zaman dahulu tinggallah sebuah keluarga di tepi sungai Bilah. Keluarga tersebut mempunyai seorang anak gadis yang cantik yang bernama Bongsu Alang, artinya anak bungsu. Kedua kakaknya meninggal ketika dilahirkan. Keluarga tersebut hidup bahagia dan sangat menyayangi Bongsu Alang.
Bongsu Alang adalah seorang gadis yang berhati mulia. Teman-temannya sangat sayang padanya karena selain cantik, ia juga berperilaku baik.
Suatu ketika Raja Pulong yang berasal dari daerah lain mendengar kecantikan Bongsu Alang yang tiada taranya itu. Raja tersebut ingin mengambil Bongsu Alang sebagai permaisurinya. Maka, diutuslah beberapa orang untuk meminang Puteri Bongsu Alang.
Sesampainya di tumah Bongsu Alang, para utusannya menyampaikan maksud kedatangan mereka. Puteri Bongsu Alang mau dijadikan permaisuri, namun dengan satu syarat, yakni ia minta dicarikan limau purut sebanyak tujuh buah yang pengambilannya tidak boleh dilakukan dengan tangan melainkan dengan kedua kaki.
Syarat yang disampaikan Puteri Bongsu Alang disampaikan kepada Raja Nulong. Walaupun sulit mendapatkan buah yang diminta, Raja Nulong bertekad memenuhi syarat dari Puteri Bongsu.
Beberapa hari kemudian datanglah utusan Raja Nulong dengan membawa tujuh buah limau purut dan diserahkan kepada Puteri Bongsu Alang. Ketujuh buah limau itu disimpannya dalam ruas bambu.
Persyaratan telah terpenuhi. Akhirnya, Puteri Bongsu Alang diboyong ke istana dan diangkat menjadi permaisuri Raja Nulong. Dalam perjalanan waktu permaisuri Raja mendapat simpati di hati rakyatnya karena keramahan, kesanggupan menyelesaikan masalah-masalah kerajaan, dan tentu saja karena kecantikannya. Kerajaan yang berada dalam pemerintahan Raja Nulong dan Permaisuri Bongsu Alang dalam suasana damai, tentram, dan makmur.
Kehidupan permaisuri dalam istana dilayani oleh para dayang. Di antara mereka ada seorang dayang yang bernama Jebak Jabir. Dayang tersebut berhati dengki. Ia menginginkan kedudukan sebagai permaisuri sehingga ia berniat melenyapkan Puteri Bongsu Alang.
Suatu hari Puteri Bongsu Alang yang tidak dapat berenang diajari oleh Jebak Jabir. Sang Permaisuri sudah hamper pandai berenang. Oleh sebab itu, Jebak Jabir mengajaknya ke tengah kolam dan berkata, “Tuan Puteri sudah pandai berenang, berarti tidak perlu dituntun lagi!” Jawab Puteri Bongsu, “Benar!” ujarnya dengan nada senang. “Ayo kita coba!” kata Jebak Jabir. Kata Puteri Bongsu Alang, “Baiklah!”.
Kesempatan baik itu dipergunakan oleh Jebak JAbir untuk mendorong Tuan Puteri ke tengah kolam. Tuan Puteri berteriak minta tolong karena memang dia belum pandai berenang di tempat yang lebih dalam. Namun, Jebak Jabir membiarkan Tuan Puteri tenggelam.
Kemudian Jebak Jabir mengenakan pakaian Puteri Bongsu Alang dan segera pulang ke istana menemui raja dan berkata, “Kanda, Jebak Jebir telah tiada. Dayang satu-satunya yang kusayang telah tiada.” Permaisuri palsu ini menangis tersedu-sedu.
Bertanyalah Raja NUlong, “Kemana dia? Apa yang terjadi? Mengapa kulitmu menjadi hitam?” Jawab permaisuri, “Kami pergi mandi berdua di kolam dan Jebak Jebir tenggelam di sana. Seharian kami mencarinya sehingga kulitku menjadi hitam. Sampai sekarang Jebak Jabir belum dapat ditemukan”.
Berkatalah Raja Nulong, “Sudahlah, tak usah kau bersedih! Beristirahatlah saja! Itu sudah suratan tangan!” Sahut Jebak Jabir, :Baiklah, Kanda!”.
Setelah mengahadap raja masuklah Jebak Jabir ke kamar permaisuri. Ia sangat senang karena keinginannya kini telah tercapai. Raja sendiri tidak curiga terhadap Jebak Jabir, permaisuri palsu karena wajah Jebak Jabir dan permaisuri Bongsu hamper sama, bagai pinang dibelah dua.
Sebenarnya Puteri Bongsu tidak mati tenggelam, tapi menjelma menjadi sebatang pohon rindang di tepi kolam. Saat angina bertiup, daun-daun solah-olah berbisik, “Jebak Jabir, permaisuri palsu!”
Suatu hari Raja Nulong menemukan ruas bamboo berisi limau purut yang dulu diberikannya untuk Puteri Bongsu Alang. Rupanya benda tersebut dibuang orang di taman. Tiba-tiba Raja Nulong merasakan adanya keganjilan atas sikap Bongsu Alang akhir-akhir ini. Pikirnya, “Aku tidak yakin Bongsu Alang membuang benda kesayangannya ini! Lalu, siapa yang membuang benda ini?”
Raja Nulong pergi ke tepi kolam lalu duduk di bawah pohon rindang. Diperhatikannya ruas bamboo kesayangan Bongsu Alang dan ditimangnya sambil berguman sedih, “Bongsu Alang, alangkah teganya kau membuang benda yang kucari dengan susah payah ini!”
Tiba-tiba angina bertiup dan daun-daun berbisik, “JebakJabir, permisuri palsu!” Bisikan itu berulang kali didengar sehingga menyadarkan lamunan Prabu Nulong. Nalurinya mengatakan permaisurinya yang sekarang tentu bukan Bongsu Alang. Pikirnya, “Siapa sebenarnya yang berada dalam kamar permaisuri itu?”
Dengan geram sambil menahan marah Raja Nulong kembali ke istana dan langsung masuk ke kamar permaisuri. “Siapa kau sebenarnya?” bentak Raja Nulong. “Di mana Bongsu ALang sekarang? Kau pasti telah membunuhnya!”
Mendengar bentakan tersebut Jebak JAbir tak dapat berbicara. Seluruh tubuhnya menggigil ketakutan. Lalu diceritakan semua yang telah dilakukan. Kemudian raja menjatuhkan hukuman setimpal atas perbuatan dayang itu.
Atas nasihat nujum istana, air perasan tujuh limau purut milik bongsu Alang itu disiramkan ke sekeliling pohon di tepi kolam. Setelah menyiramkannya, keajaiban terjadi. Tiba-tiba dari batang pohon besar itu keluarlah Puteri Bongsu Alang. Akhirnya, mereka kembali lagi ke istana.
Sejak saat itu tempat tinggal Bongsu Alang dinamai orang sebagai kayu Si Alang. Lama kelamaan orang menyebutnya kayu Tualang. Tempat tersebut berkembang menjadi sebuah kampong. Dan sampai sekarang kampong Tualang masih ada, terletak di daerah kadipaten Labuhan Batu, dekat sungai Bilah.









Perbandingan Sastra Antara Puteri Hijau dan Puteri Bongsu Alang
Kisah Puteri Hijau dan Puteri Bongsu Alang adalah dongeng yang sama-sama menceritakan puteri yang cantik. Dengan kecantikan mereka sehingga Raja ingin mempersunting mereka. Tetapi lain dengan kisah Puteri Bongsu Alang yang menerima lamaran Raja Nolung, Puteri Hijau justru menolak lamaran Raja Aceh hingga Raja Aceh menahan Puteri Hijau dan ditolong oleh kakaknya sendiri.

Pada kisah Puteri Hijau berikut rinciannya :
1. Tokoh
Puteri Hijau : Seorang Puteri yang pemberani, cinta tanah air dan hormat pada
saudara-saudaranya.
Mambang Yasid : Putera Raja yang penuh perhatian pada saudara-saudaranya, rela
berkorban demi mempertahankan negerinya.
Mambang Khayali : Putera Raja yang penuh tanggung jawab, tidak rela bila negerinya
direbut.
Sultan Mukhayat Syah : Raja yang rakus dan cerdik dalam peperangan.

2. Pesan Cerita
a. Semangat cinta tanah air
Mambang Yasid, Puteri Hijau, dan Mambang Khayali adalah gambaran orang yang pemberani, rela berkorban demi mempertahankan negerinya. Semangat demi mempertahankan negerinya. Semangat patriotisme mereka pantas diteladani. Kiranya kita bisa menjadi anak yang baik, berbakti kepada nusa dan bangsa, memupuk semangat rela berkorban, tidak merampas apa yang menjadi hak orang lain.

b. Semangat persaudaraan
Puteri Hijau sangat menghargai saudara-saudaranya. Apa yang dipesankan olah Mambang Yasid, kakaknya, dia laksanakan dengan patuh dan akhirnya semua itu demi keselamatannya juga. Mambang Yasid yang telah menjelma menjadi naga raksasa berhasil membalas kekalahan kerajaannya dan akhirnya dapat menyelamatkan Puteri Hijau, adiknya. Dengan bersatu, membangun persaudaraan, bersama-sama kita dapat mengatasi persoalan yang ada.

Pada kisah Puteri Bongsu Alang berikut rinciannya :
1. Tokoh
Puteri Bongsu Alang : Seorang yang berhati baik, ramah, dan suka membantu sehingga
mampu merebut simpati di hati rakyat.
Raja Nulong : Seorang raja yang memerintahkan dengan arif dan bijaksana
Jebak Jabir : Seorang dayang yang culas dan berhati dengki

2. Pesan Cerita
a. Kerja sama
Puteri Bongsu selalu menyediakan diri untuk membantu Raja menyelesaikan masalah kerajaan. Berkat kerja samanya kerajaan ada dalam keadaan yang tentram dan makmur.
b. Kecermatan bertindak dan kebijaksanaan
Raja Nulong secara cermat meneliti peristiwa yang menimpa permaisuri. Secara bijaksana ia menghukum perbuatan culas dayang Jebak Jabir.





Read More...

Perbandingan Sastra Daerah (Dewi Tatea dan Kota Jambi)



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me













DEWI TATEA BULAN

Di sebuah desa ada seorang pemuda yang bernama Sariburaja. Ia adalah seorang pemuda yang rajin. Ia selalu membantu orang tua atau tetangga menebang kayu-kayu besar di hutan, baik untuk membuat rumah atau untuk kepelruan yang lain.
Sayangnya, suatu ketika Sariburaja membuat suatu kesalahan. Ia diusir dari kampungnya. Sariburaja sangat sedih. Sebagai anak yang patuh ia tidak mau melawan orang tuanya. Dengan berat hati ia meninggalkan kampungnya.
Sariburaja terus berjalan menyusuri kampong demi kampong. Akhirnya, ia sampai di kawasan hutan yang angker. Jarang ada orang yang berani memasuki kawasan hutan tersebut karena ada seekor harimau betina yang sangat buas. Siapa pun yang berani memasuki hutan pasti menjadi mangsanya. Benar saja, ketika Sariburaja sedang beristirahat, ia dikejutkan dengan suara auman harimau. Dan entah darimana asalanya, namun seekor harimau besar telah menghadangnya di depan.
“Hah, hatimau ganas itu telah menghadangku begitu dekat. Mau lari?” guman Sariburaja pada dirinya sendiri.
Sebenarnya ia ngeri juga. Tetapi, sebagai seorang laki-laki dia harus berani. Ia tidak mau mati konyol diterkam harimau itu. Harimau itu mengangkat kepala siap menerkammnya. Sariburaja pun pasang kuda-kuda. Harimau itu mengaum dahsyat dan meolompat kea rah Sariburaja. Pemuda itu cepat berkelit, akibatnya harimau ganas itu makin marah. Ketika itu menerkamnya untuk kedua kalinya, Sariburaja segera menangkap kaki yang hamper mengkoyak kulitnya. Ia memelintir kaki harimau itu sekuat tenaga. Karena Sariburaja biasa memecahkan batu dan menebang pohon, dia bisa mengunci kaki harimau itu. Akhirnya, harimau itu pun tak bisa mengamuk lagi. Bahkan, Sariburaja berhasil membanting harimau itu hingga mengaum kesakitan. Sariburaja masih berusaha membantingnya lagi, namun tiba-tiba harimau itu menghilang dari pandangannya. Ia menjadi heran, ke mana harimau itu?
“Terima kasih, Sariburaja. Kau telah membebaskan aku,” terdengar suara lembut di belakangnya.
Ketika ia menoleh kea rah suara itu, ia terbelalak melihat sorang puteri cantik yang berdiri di hadapannya.
“Siapakah Puteri sebenarnya?”
“Namaku Tatea Bulan. Karena suatu kesalahan aku dikutuk Dewa dan menjadi harimau tadi.”
“O, begitu!” kata Sariburaja takjub.
“Karena engkau telah menolongku menjadi manusia kembali, aku sangat berterima kasih kepadamu. Untuk membalas jasamu, aku mau menjadi abdimu.”
“Maksud Puteri?”
“Aku ingin menjadi pendampingmu.”
Mulai saat itu Dewi Tatea Bulan dan Sariburajaresmi menjadi suami isteri. Mereka membuka hutan itu menjadi sebuah desa yang nyaman. Desa itulah yang diperkirakan berkembang menjadi daerah Mandailing sekarang.

















ASAL MULA KOTA JAMBI

Konon pada zaman dahulu di Sumatera ada sebuah daerah yang dihuni oleh banyak penduduk. Mereka hidup dari bercocok tanam dan berladang. Hidup mereka aman dan tenteram.
Daerah tersebut terkenal banyak orang karena kecantikan seorang gadis di daerah itu. Gadis itu bernama Puteri Pinang Masak. Banyak raja yang melamarnya, namun selalu di tolak.
Suatu ketika ada seorang raja yang datang melamarnya sebagai isterinya. Raja tersebut sangat kaya. Sumber kekayaan kerajaan adalah dari minyak tanah. Sang raja mengutus hulubalang untuk meminang Sang Puteri. Emang Baginda Raja sangat terpikat dengan kecantikan Puteri Pinang.
Puteri Pinang sudah mengetahuinya bahwa Raja yang melamarnya kali ini sangat kaya dan kekuasaannya sungguh besar. Agar Raja tidak kecewa dan murka, maka Puteri Pinang tidak berani menolak lamarannya.
Ia menerima lamaran Sang Raja, namun dengan syarat. Puteri Pinang Masak mau diperisteri meskipun Sang Raja buruk rupa, asalkan Raja bisa memenuhi syarat: dalam waktu semalam Raja harus dapat membangun isatana yangmegah. Apabila Raja tidak berhasil membangunnya, maka Raja harus menyerahkan segala kekuasaannya kepada Puteri.
Utusan tersebut kemudian pergi menghadap Baginda Raja, katanya, “Ampun Tuan Raja, patih menghaturkan sembah. Lamaran Tuan Raja diterima.”
Mendengar laporan bahwa lamarannya diterima, senanglah hati Raja. Bertanyalah Sang Raja kepada utusan, “Kapan saya harus membawa Puteri Pinang?”
Jawan utusan, “Sembah Tuanku Raja, itu semua terlaksana bila Tuanku dapat memenuhi satu permintaan. Puteri Pinang minta dibuatkan sebuah istana megah yang harus diselesaikan dalam waktu semalam.”
Bersabdalah Raja, “Segera saya penuhi.”
Sang Raja memerintahkan beribu-ribu tukang untuk membangun istana yang megah dalam waktu semalam. Mereka bekerja keras. Menjelang tengah malam pekerjaan sudah hamper selesai.
Melihat pekerjaan itu hamper selesai, Puteri Pinang menjadi cemas. Ia mencari-cari akal untuk menggagalkan usaha Sang Raja. Secara diam-diam Puteri Pinang membawa lampu dan menyalakan di dekat kandang ayam.
Kandang ayam tampak terang oleh cahaya lampu. Hal ini membuat semua ayam jantan terbangun dan berkokok karena ayam-ayam tersebut mengira hari menjelang pagi. Kokok ayam tersebut disambut ayam-ayam jantan yang lain. Suasana seolah-olah sudah menjelang pagi, padahal hari masih tengah malam.
Mendengar kokok ayam yang bersahutan, Sang Raja terkejut karena mengira hari sudah pagi sedangkan istana belum selesai dibangun. Raja segera menghentikan pekerjaannya.
Akhirnya, PAduka Raja tidak jadi mempersunting Puteri Pinang Masak menjadi permaisurinya. Bahkan, Raja harus menyerahkan segala kekuasaannya kepada Puteri Pinang Masak.
Semenjak peristiwa gagalnya Paduka Raja mempersunting Puteri Pinang Masak, daerah tersebut diperintah oleh Sang Puteri. Ia memerintahkan dengan adil. Lama-kelamaan daerah tersebut berkembang menjadi negeri yang makmur. Kemudian daerah tersebut diberi nama Jambi yang berasal dari kata jambe yang berarti pinang. Nama Jambi dimaksud untuk menghormati Ratu Pinang Masak sebagai pemimpin mereka.













Perbandingan Sastra Antara Dewi Tatea Bulan
dan Asal Mula Kota Jambi
Kisah Dewi Tatea Bulan dan Asal Mula Kota Jambi merupakan legenda yang sama – sama menceritakan asal mula suatu daerah. Pada kisah Dewi Tatea Bulan menceritakan beraninya seorang pria di dalam hutan untuk bertahan hidup dan mendirikan desa. Sedangkan kisah Asal Mula Kota Jambi bersal dari seorang puteri yang bijaksana dan menjadi pemimpin kemudian namanya diabadikan sebagai nama suatu kota oleh rakyatnya untuk menghormatinya.

Berikut rincian kisah Dewi Tatea Bulan :
1. Tokoh
Sariburaja : Seorang pemuda rajin, patuh pada orang tua, berjiwa pemberani.
Tatea Bulan : Puteri yang tahu berterima kasih atas jasa dan perbuatan baik orang lain

2. Pesan Cerita
a. Kepribadian
Sariburaja merupakan gambaran seorang pemuda yang rajin, patuh pada orang tua. Kepatuhannya secara tak langsung mebuahkan hasil. Meskipun ia diusir dan dimarahi orang tuanya, ia tidak melawan. Ia pergi dengan rela dan akhirnya bertemu dengan Dewi Tatea Blan yang menjadi Isterinya. Bagaimana pun orang tua yang menghukum anaknya pasti karena lasan tertentu, mungkin demi menjaga nama baik keluarga, dan sebagainya. Ternyata, kepatuhan pada perintah orang tua pun memberikan hasil yang tak terukur.

b. Keberanian
Sariburaja adalah pemuda pemberani. Dia tahu bahwa hutan yang akan dimasuki adalah hutan angker. Ia memegang prinsip harus berani maju dan menghadapi masalah serta mencari jalan keluarnya. Berkat keberaniannya akhirnya dia bisa mengalahkan harimau ganas itu dan memperoleh keberuntungan yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Kita pun dituntut untuk berani mengahadapi kenyataan dan berusaha menyelesaikan setiap persoalan dengan jiwa pantang menyerah.
c. Budi pekerti
Dewi Tatea Bulan semula berujud harima. Ia kembali menjadi manusia berkat pertolongan Sariburaja. Ia merasa sangat berhutang budi pada Sariburaja. Itulah sebabnya ia bersedia mengabdi kepada sang penolong, meskipun penolong tersebut adalah manusia biasa. Kerja keras dan tekad bulat Sariburaja dan Dewi Tatea Bulan membuahkan hasil terbangunnya sebuah perkampungan yang terkenla sampai sekarang.

Berikut rincian kisah Asal Mula Kota Jambi :
1. Tokoh
Puteri Pinang Masak : Seorang puteri yang cerdik, mampu memerintah dengan adil.
Raja : Gambaran pemimpin yang mudah diitipu dan dibodohi, mau
memamerkan kekuasaan dengan harta yang melimpah.

2. Pesan Cerita
a. Berhati-hati
Dalam memutuskan sesuatu perlu kehati-hatian, jangan sampai tertipu oleh kecerdikan orang lain.
b. Kerendahan hati
Puteri Pinang tidak mau menyakiti hati Sang Raja yang melamarnya dengan cara menolak lamaran secara halus. Akhirnya, karena kecerdikannya ia mampu mengambil alih kekuasaan dan memerintah dengan adil.






Read More...

Penelitian Bahasa Spanduk



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me











BAB II
PEMBAHASAN


A. Ditinjau dari segi Pembinaan Bahasa Nasional

1. Hubungan Bahasa dengan Kebudayaan
Setelah mempelajari materi Pembinaan Bahasa Indonesia maka dapat kita kaitkan dengan beberapa karya yang diciptakan manusia berupa simbol-simbol bahasa misalnya yang terdapat pada spanduk-spanduk yang sering kita perhatihan dijalan-jalan, didepan toko-toko, bangunan perumahan, bangunan industri atau dipusat perbelanjaan dan lain sebagainya.
Kita sebagai kaum intelektual khususnya dikalangan mahasiswa jurusan bahasa Indonesia sering merasa geri dan hanya geleng-geleng kepala ketika membaca kata-kata yang terdapat di spanduk yang biasa kita jumpai.
Tidak heran jika bahasa yang kita baca banyak menggunakan kosa kata bahasa asing.
Memang tidak salah akan tetapi kita sebagai bangsa Indonesia seharusnya bisa menempatkan bagaimana yang sebenarnya mempergunakan bahasa yang sesungguhnya.
Hal ini sebenarnya sangat berhubungan erat dengan pola pikiran penutur bahasa yang bersangkutan. Kita ketahui bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan dancara berpikir masyarakatnya, baik secara sebagian maupun secara keseluruhan, karena keduanya saling katergantungan.
Eratnya hubungan diantara bahasa dan kebudayaan itu sangat terlihat dengan nilai-nilai budaya.
Jadi untuk memahami bagaimana hubungan bahasa dan kebudayaan dalam pembinaan bahasa dan sastra Indonesia terlebih dahulu kita harus mengetahui bagaimana masyarakatnya.
Pada kasus pertama terdapat spanduk dengan tulisan:
“ Bulan Discount Ion, Rebonding, Smothing “















Dapat kita analisis dalam pemakaian bahasanya yang pertama kita ketahui bahwa bahasa spanduk ini yang menggunakan bahasa Indonesia dan ada kosa kata bahasa Asing yaitu Bahasa Inggris.
Padahal kita ketahui dalam buku pedoman ejaan yang telah disempurnakan kita telah mempunyai kaidah-kaidah yang sebenarnya dalam mengadopsi bahasa asing, sebab kata Discount, Ion, Bonding dan Smothing itu mutlak bahasa Inggris.
Sikap seperti inilah yang tidak sesuai dengan jiwa pembangunan yaitu sikap tuna karya diri yang membawa orang beranggapan bahwa produk orang lain atau bangsa lain lebih bermutu dan berharga.
Intinya ia beranggapan bahwa dengan memakai bahasa lain lebih “bergengsi” dari pada memakai bahasa Indonesia yang sesungguhnya.
Inilah kasus yang pertama.
Pada kasus yang kedua ini terjadi juga di tengah-tengah Kota Medan yaitu spanduk yang bertuliskan
“Bali Salon refleksi, lulur, Facial”

Kasus ini juga sama dengan kasus yang pertama, sikap yang menyadur kosa kata bahasa asing, sikap yang cenderung meniru orang lain agar produk usahanya di anggap lebih bermutu, menarik dipandangan orang lain.
Hal ini akibat perkembangan era globalisasi dengan semakin pesatnya perkembangan tekhnologi dan informasi yang canggih dengan bahasa Asing lebih dianggap bergengsi dan bermutu disbanding bahasa kita sendiri, dimana sebenarnya mentalitas bangsa kita ini.










Kasus ketiga juga hampir sama dengan kasus pertama dan kedua.
Yaitu spanduk yang bertuliskan
“Kantin Dharma Wanita Photo Copy UNIMED”

Pada hal ini kita ketahui bahwa spanduk ini juga berada di tengah-tengah kaum intelektual.
Jadi dimana sebenarnya sikap yang sesuai dengan tujuan pembinaan bahasa Indonesia. Padahal kitalah sebagai mahasiswa Bahasa Indonesia seharusnya bisa menunjukkan sikap yang pantas dijadikan teladan oleh masyarakat yang luas.
Padahal sebenarnya kita menyadari kesalahan tersebut, inilah sikap yang enggan memikul tanggung jawab yang memperikutkan seperti pernyataan “itu bukan urusan saya, saya tidak peduli”.
Dan sikap yang menjauhi disiplin yang mempunyai persepsi bahwa apapun yang dihasilkannya itu sudah peraturannya.
Padahal kata Copy itu tidak ada dalam kosa kata Indonesia asli maupun kosa kata asing yang telah baku di dalam kosa kata Indonesia.
Memang kata Photo Copy dianggap sudah konvensional dan universal di Indonesia karena kata Photo Copy sudah bisa dipahami oleh orang Indonesia, padahal kita tidak mengetahui ini adalah kesalahan.
Jadi apa sebenarnya obat mujarab bagi penyakit kita ini ?








Dan kasus terakhir yang kami analisis adalah spanduk yang bertuliskan “Apotik Nasional”.
Kita telah sering mempelajari dari SD sampai tingkat jenjang mahasiswa, tentang ejaan yang telah disempurnakan yang mana kosa kata baku ini sangat diwajibkan dalam hal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Tetapi kenapa masyarakat kita sampai saat ini belum bisa membedakan mana kosa kata yang baku dan mana kata yang tidak baku.
Kata “apotik” yang berada di spanduk itu seharusnya ditulis dengan kata “apotek”. Tetapi sikap remeh akan mutu lebih tebal dipikiran kita.
Sungguh memrihatinkan penyakit tuna bahasa pada kalangan masyarakat kita. Kita yakin dan percaya bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa akan berhasil juika didasari pengaruh akan tata nilai yang hidup dalam berbagai lapisan masyarakat.
Pada hakikatnya kesalahan-kesalahan di atas dapat diatasi apabila ada pembinaan yang intensif terhadap bangsa Indonesia dengan dilakukannya pengajaran maupun melalui pemasyarakatan. Agar semua masalah ini dapat diminimalisir kesalahannya.
Kesimpulannya pemerintah dan masyarakat harus mempunyai komitmen dalam membangun jiwa bahasa yang lebih bermutu di tanah air tercinta ini.

B. Ditinjau Dengan Segi Pengembangan Bahasa Indonesia
Yang dimaksud dnegan pengembangan ialah upaya meningkatkan mutu bahasa agar dapat dipakai untuk berbagai keperluan dalam kehidupan masyarkaat modern.
Upaya-upaya tersebut antara lain :
- Penelitian
- PEmbakuan
- Pemeliharaan

a. Penelitian
Setelah dikaji masalah kasus spanduk tersebut, jadi dapat diteleti apakah yang menyebabkan masyarakat Kota Medan sehingga tuna bahasa itu masih sangat kental di jiwa masyrakat kita.
1. Di Kota Medan diteliti dalam aspek bahasa agar dapat menigkatkan mutu bahasa Indonesia.
2. Penelitian dalam berbagai pemakaian bahasa agar di Kota Medan tidak terjadi lagi kesalahan dalam penulisan Bahasa Indonesia yang sebenarnya.
3. Penelitian dalam penggunaan kosa kata asing agar tidak terjadi lagi.

Kesalahan dan tujuan ini dilakukan untuk mencegah dampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Namun penelitian terhadap bahasa asing dimanfaatkan untuk memperkaya bahasa Indonesia.

b. Pembakuan
Masalah pembakuan bahasa Indonesia perlu diperhatikan dan digalakkan dalam pemakaian bahasa Indoensia yang sesuai dengan kaidah-kaidah agar masyarakat bisa mengetahui bagaimana seharusnya kata baku yang telah dipedomani.

Pembakuan bahasa Indonesia dapat dilakukan antara lain melalui penyusunan
a. Pedoman
b. Kamus Bahasa
c. Tata Bahasa
Hal ini harus digalakkan bagi masyarakat Kota Medan khususnya dikalangan pelajar agar bisa dijadikan teladan bagi masyarakat luas.

c. Pemeliharaan (Pelestarian)
Terkadang di kota sikap yang paling menonjol adalah sikap acuh tak acuh terhadap suatu hal kurang disiplin namun sikap ini harus segera dihindari karena sikap ini menghambat jiwa pembangunan.
Dalam pemeliharaan bahasa Indonesia disarankan untuk meningkatkan kemampuan berpikir yang tidak tuna bahasa dalam masyarakat luas khususnya di Kota Medan.
Kemampuan bahasa Indonesia dapat dijadikan sebagai alat komunikasi modern yang terbuka dan dinamis.
Kita sebagai kaum intelektual dapat melakukan pelestarian bahasa Indonesia berdasarkan perkembangan politik, ekonomi, sosialkultural dan konteks ekonomi.













BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Setelah menganalisis 4 kasus terhadap pemakaian bahasa di Kota Medan kesimpulannya masih sangat banyak dari masyarakat Kota Medan, yang belum mengetahui pemakaian-pemakaian bahasa Indonesia yang bermutu (sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah dipedomani).
Sikap-sikap yang anggap remeh dan merasa bahasa (produk) bangsa lain lebih bermutu dari pada bahasa Indonesia. Rasa “bergengsi” menggunakan bahasa asing ternyata lebih utama dari pada memakai bahasa Indonesia.


B. Saran
Dalam pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang sebenarnya, kita sebagai masyarakat luas khususnya di Kota Medan harus mengetahui pedoman ejaan yang disempurnakan menjauhi sikap-sikap yang menghambat jiwa pembangunan. Meningkatkan pengembangan dalam pembinaan bahasa Indonesia.










Daftar Pustaka


Tim Penulis Dekdikbud. 2001. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Yogyakarta : Pustaka Wijaya

Syahnan. 2009. Pembinaan dan Pemngembangan Bahasa Indonesia. Medan : UNIMED
























Read More...

Pembakuan Bahasa Indonesia



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me














BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai bahasa yang hidup, bahasa Indonesia telah dan akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia dan keanekaragaman penuturnya serta cepatnya perkembangan masyarakat telah mendorong berkembangnya berbagai ragam bahasa Indonesia dewasa ini. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat penutur yang berbeda latar belakangnya baik dari segi geografis maupun dari segi sosial menyebabkan munculnya berbagai ragam kedaerahan (ragam regional) dan sejumlah ragam sosial.

Patut dicatat bahwa bahasa Melayu yang diikrarkan sebagai bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 tentulah ragam bahasa Melayu Tinggi pada waktu itu. Ragam bahasa kaum terpelajar itu biasanya dianggap sebagai tolok untuk pemakaian bahasa yang benar. Oleh karena itulah maka ragam bahasa sekolah itu disebut juga (ragam) bahasa baku (lihat Alwi et al. 1993). Mengingat ragam bahasa baku itu digunakan untuk keperluan berbagai bidang kehidupan yang penting, seperti penyelenggaraan negara dan pemerintahan, penyusunan undang-undang, persidangan di pengadilan, persidangan di DPR dan MPR, penyiaran berita melalui media elektronik dan media cetak, pidato di depan umum, dan, tentu saja, penyelenggaraan pendidikan, maka ragam bahasa baku cenderung dikaitkan dengan situasi pemakaian yang resmi. Dengan kata lain, penggunaan ragam baku menuntut penggunaan gaya bahasa yang formal.








BAB II
PEMBAHASAN

Pembakuan Bahasa Indonesia
Pembakuan atau penstandaran bahasa adalah pemilihan acuan yang dianggap paling wajar dan paling baik dalam pemakaian bahasa.Masalah kewajaran terkait dengan berbagai aspek. Dalam berbahasa, misalnya,aspek ini meliputi situasi,tempat,mitra bicara,alat,status penuturnya,waktu,dan lain-lain.Aspek-aspek tersebut disebut juga dengan istilah konteks.
Konteks itulah yang menuntut adanya variasi bahasa. Dalam pemakaiannya, variasi bahasa berhubungan dengan masalah fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sosial. Berdasarkan fungsinya itu,maka bahasa tidak menunjukkan adanya satu acuan yang dipergunakan untuk berkomunikasi dalam segala fungsinya. Setiap acuan cenderung dipergunakan sesuai konteks yang mempengaruhinya.
Karena adanya berbagai acuan itu, maka masalah untama standardisasi bahasa adalah acuan manakah yang harus dipilih di antara berbagai acuan yang ada dalam berbagai variasi pemakaian sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang akan ditetapkan sebagai acuan standar.
Ada beberapa hal yang perlu dipedomani untuk penetapan bahasa baku atau standar. Pedoman itu meliputi hal sebagai berikut.
1. dasar keserasian; bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi,baik tulis maupun lisan.
2. dasar keilmuan; bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah.
3. dasar kesastraan; bahasa yang digunakan dalam berbagai karya sastra.

Masalah pembakuan bahasa terkait dengan dua hal, yakni kebijaksanaan bahasa dan perencanaan bahasa. Melalui kebijaksanaan bahasa dipilih dan ditentukan salah satu dari sejumlah bahasa yang ada untuk dijadikan bahasa nasional atau bahasa resmi kenegaraan. Sedangkan melalui perencanaan bahasa dipilih dan ditentukan sebuah ragam bahasa dari ragam-ragam yang ada untuk dijadikan ragam baku atau ragam standar bahasa tersebut. Proses pemilihan atau penyeleksian dan penetapan salah satu ragam bahasa resmi kenegaraan/kedaerahan, serta usaha-usaha pembinaan dan pengembangannya yang dilakukan secara kontinu disebut pembakuan bahasa atau penstandaran bahasa.

1. Bahasa Baku
Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang memiliki nilai komunikatif yang tinggi, yang digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan baku, ejaan baku, serta lafal baku (Junus dan Arifin Banasuru, 1996:62). Bahasa baku tersebut merupakan ragam bahasa yang terdapat pada bahasa bersangkutan. Ragam baku itu merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan diakui oleh sebagian kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya.
Untuk menentukan apakah sebuah ragam bahasa itu baku atau tidak, maka ada tiga hal yang dijadikan patokan. Ketiga hal tersebut adalah kemantapan dan kedinamisan, kecendikian dan kerasionalan, serta keseragaman.

a. Kemantapan dan Kedinamisan
Mantap artinya sesuai atau taat dengan kaidah bahasa. Kata rasa, misalnya kalau dibubuhi imbuhan pe- maka terbentuklah kata jadian perasa. Begitu juga kata raba. Kata tersebut bila dibubuhi imbuhan pe- maka akan terbentuk kata jadian peraba. Kata rajin juga demikian. Kalau kita taat asas maka kita akan mengatakan pengaji bukan pengkaji untuk orang yang melakukan kajian (research).
Dinamis artinya tidak statis alias tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki bentuk yang kaku, apalagi mati. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu orang yang berlangganan dan tokohnya disebut langganan dan orang yang berlangganan di tokoh itu disebut pelanggan.
b. Kecendikian atau Kerasionalan
Ragam baku bersifat cendikia karena ragam baku dipakai di tempat-tempat resmi dan oleh orang terpelajar. Selain itu, ragam baku dapat menjembatani antarpengguna, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemerosesan pesan. Dapat juga dikatakan ragam baku memberikan gambaran apa yang ada di dalam otak pembicara atau penulis, serta memberikan gambaran yang jelas dalam otak pendengar atau pembaca.
Contoh kalimat yang tidak cendikia:
1) Dukun beranak di jalan.
2) Saya akan membeli buku sejarah baru.
3) Permasalahan itu telah disampaikan berulang kali.
Kontruksi dukun beranak dan buku sejarah baru pada kalimat (1) dan (2) di atas bermakna ganda. Makna pada kalimat (1) kemungkinan ada dua, yaitu dukun melahirkan di jalan dan dukun yang profesinya sebagai dukun beranak berada di jalan. Kalimat (2) juga memiliki kegandaan makna. Makna kalimat tersebut bisa saja buku yang baru dan bisa juga sejarahnya yang baru. Sedangkan kalimat (3) terdapat kekurangtepatan dalm menentukan pasangan kata --yang cocok. Perbaikan kata yang kurang tepat itu adalah berulang-ulang atau berkali-kali.
c. penyeragaman
Pada hakikatnya pembakuan bahasa berarti penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa artinya pencarian atau penentuan titik-titik keseragaman. Sebagai contoh, sebutan pelayanan kapal terbang dianjjurkan mengguanakan istilah pramugara untuk laki-laki dan pramugari untuk perempuan. Andaikata ada orang yang menggunakan kata steward/stewardes dan penyerapan itu seragam,maka kata-kata tersebut menjadi kata-kata baku. Akan tetapi, kenyataannya hingga saat ini kedua kata tersebut tidak kita gunakan dalam konteks keindonesiaan.

2. Fungsi Bahasa Baku
Selain berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi, bahasa baku mempunyai fungsi lain. Gravin dan Mathint (Chaer : 252) menjelaskan bahwa bahasa baku bersifat sosial politik, yaitu fungsi pemersatu, fungsi pemisah, fungsi harga diri, dan fungsi kerangka acuan.
Alwi, dkk. (1998:14-20) menjelaskan bahwa bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif. Fungsi – fungsi tersebut adalah (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Kridalaksana (1975) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati. Dari empat fungsi bahasa yang menuntut ragam baku itu, hanya dua yang terakhir yang langsung berkaitan dengan komunikasi verbal secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku perlu digunakan dalam pembicaraan di depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, dsb. atau dalam pembicaraan dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan atasan, dengan guru, dengan orang yang baru dikenal dsb.
Di atas telah kita lihat bahwa ragam bahasa baku dianggap sebagai ragam bahasa yang baik yang cocok untuk keperluan komunikasi verbal yang penting, yang menjadi tolok untuk pemakaian bahasa yang benar, dan yang bergengsi serta berwibawa. Dalam hubungan dengan fungsi sosial bahasa baku itu, Moeliono (1975) mencatat empat fungsi pokok, yaitu
(1) fungsi pemersatu,
(2) fungsi penanda kepribadian,
(3) fungsi penanda wibawa, dan
(4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Dengan demikian, lafal baku--sebagai perwujudan bahasa baku secara fonetis--mempunyai fungsi sosial sebagai
(1) pemersatu,
(2) penanda kepribadian,
(3) penanda wibawa, dan
(4) sebagai kerangka acuan.

3. Pemilihan Ragam Baku
Moeliono (1972:2) mengatakan bahwa pada umumnya yang layak adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaannya. Termasuk di dalamnya para pejabat negara, para guru, warga media massa, alim ulama, dan cendikiawan.



Penggunaan ragam baku
- Surat menyurat antarlembaga
- Laporan keuangan
- Karangan ilmiah
- Lamaran pekerjaan
- Surat keputusan
- Perundangan
- Nota dinas
- Rapat dinas
- Pidato resmi
- Diskusi
- Penyampaian pendidikan
- Dan lain-lain.

4. Bahasa Indonesia Baku
Andaikata kita sudah memiliki salah satu ragam bahasa untuk dijadikan ragam baku,maka pembakuan itu harus dilakukan pada semua tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, maupun semantik. Secara resmi,berdasarkan Ejaan Yang Disempurnkan, fonem-fonem bahasa Indonesia sudah ditentukan, tetapi yang berhubungan dengan pelafalan belum pernah dilakukan pembakuan. Menurut Konsensus, seseorang telah berbahasa Indonesia dengan lafal baku apabila ia tidak menampakkan cirri-ciri bahasa daerah. Dengan pelafalan baku itu,seseorang tidak diketahui secara linguistik darimana ia berasal. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam berbahasa Indonesia baku,ia tidak terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain yang dikuasainya.
Dalam konteks lafal baku ini,sebagai contoh penggunaannya adalah lafal para penyiar TVRI dan RRI. Lafal mereka sudah dianggap memenuhi kriteria sebagai lafal baku. Di bawah ini disajikan contoh lafal baku dan lafal tidak baku.



Tulisan lafal baku lafal tidak baku
analisis analisis analisa
apotek apotek apotik
atlet atlet atlit
bus bus bis
besok besok esok
dapa dapat dapet
enam enam anam
kalau kalaw kalow,kalo

Dalam bidang ejaan,pembakuan telah lama dilakukan dan telah melalui proses yang panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan van Ophuijsen pada tahun 1901,dilanjutkan dengan ejaan Swandi atau Ejaan Republik pada tahun 1947,diteruskan dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Bahkan EYD ini berlaku juga bagi bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Melayu Brunei Darussalam. Di bawah ini disajikan perubahan dalam EYD :
Lama Yang Disempurnakan
dj djalan j jalan
j pajung y payung
nj njonja ny nyonya
sj sjarat sy syarat
tj tjakap c cakap

Dalam bidang tata bahasa,pembakuan telah dilakukan,yakni dengan diterbitkannya buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang saat ini telah tiga edisi.
Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosa kata dan peristilahan juga telah lama dilakukan. Pembakuan tersebut dapat dilihat dari (1)ejaannya, (2)lafalnya, (3)bentuknya, (4)sumber pengambilannya.
Dalam bidang peristilahannya misalnya, bahasa Indonesia memiliki aturan sendiri. Dari segi sumbernya, istilah-istilah yang diambil dapat bersumber dari(1)kosa kata bahasa Indonesia(baik yang lazim maupun tidak), (2)kosakata bahasa serumpun, dan (3)kosakata bahasa asing. Penjelasan lebih lanjut tentang sumber istilah itu terlihat pada uraian berikut ini.

1) Kosakata Bahasa Indonesia
Kata bahasa Indonesia yang dapat dijadikan bahan istilah ialah kata umum,baik yang lazim maupun tidak lazim. Kata-kata tersebut harus memenuhi salah satu syarat(boleh lebih)berikut ini.
a) Kata dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan,seperti tunak (steady), telus(percolate), imak (simulate).
b) Kata lebih singkat daripada kata yang lain yang berujukan sama, seperti gulma jika dibandingkan dengan tumbuhan pengganggu,suaka(politik) dibandingkan dengan perlindungan(politik).
c) Kata yang tidak bernilai rasa(konotasi)buruk dan yang sedap didengar(eufonik), seperti pramuria jika dibandingkan dengan hostes, tunakarya dbandingkan dengan penganggur.
Disamping itu, istilah dapat berupa kata umum yang diberi makna baru atau makna khusus dengan jalan menyempitkan atau meluaskan makna asalnya, misalnya:
Berumah dua,gaya, pejabat teras, tapak, garam, hari jatuh, peka.

2) Kosakata Bahasa Serumpun
Jika dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang dengan tepat dapat mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan, maka istilah dicari dalam bahasa serumpun, baik yang lazim maupun yang tidak lazim yang memenuhi syarat pada bagian 1)di atas.
Misalnya: istilah yang lazim:gambut(banjar), nyeri(sunda), timbel(jawa), istilah yang tidak lazim atau sudah kuno: gawai(jawa), luah(bali, bugis, minangkabau, sunda).

3) Kosakata Bahasa Asing
Jika baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa serumpun tidak ditemukan istilah yang tepat, maka bahasa asing dapat dijadikan sumber peristilahan Indonesia. Istilah baru dapat dibentuk dengan jalan menerjemahkan, menyerap, menyerap sekaligus menerjemahkan istilah asing itu.

5. Ragam Baku Tulis Dan Baku Lisan
Dalam kehidupan berbahasa, kita sudah mengenal ragam lisan dan ragam tulis,ragam baku dan ragam tidak baku. Oleh sebab itu, muncul ragam baku tulis dan ragam baku lisan. Ragam baku tulis adalah ragam baku yang dipakai dengan resmi dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya. Pemerintah sekarang mendahulukan ragam baku tulis secara nasional. Usaha itu dilakukan dengan menerbitkan masalah ejaan bahasa Indonesia, yang tercantum dalam buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan,Pedoman Umum Pembentukan Istilah,dan pengadaan Kamus Besar Bahasa Indonesia(Arifin,1996:19-20).
Seiring dengan perubahan orientasi, dari budaya dengar-bicara menuju budaya baca-tulis, yang tak terelakkan di dalam era globalisasi seperti sekarang ini, maka Pusat Bahasa Depdiknas melakukan berbagai upaya. Upaya-upaya tersebut antara lain pada tahun 2003 Pusat Bahasa menerbitkan beberapa buku seri pedoman. Buku-buku tersebut adalah (1)Pdm 001 Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, (2)Pdm 002 Pedoman Umum Pembentukan Istilah, (3)Pdm 003 Buku Praktis Bahasa Indonesia 1, (4)Pdm 004 Buku Praktis Bahasa Indonesia 2, dan (5) Pdm 005 Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing. Selain itu, para ahli dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan Pusat Bahasa menyusun sebuah buku rujukan utama, yakni Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Buku teraebut hingga saat ini telah berada pada edisi ketiga. Untuk lebih jelas tentang ragam baku tulis yang digunakan dalam karya ilmiah perhatikan kertas kerja Amrin Saragih,2004 dan Khairil Ansari,2003.
Disamping ragam baku tulis, ragam baku lisan juga dimasyarakatkan. Berbeda dengan ragam baku tulis, ragam baku lisan penanganannya sangat sulit. Kesulitan itu muncul karena umumnya para penutur bahasa Indonesia memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Implikasi dari itu,kemungkinan besar pengaruh bahasa pertama,baik fonologi, morfologi, sintaksis maupun logat atau dialek akan terjadi bila ia bertutur dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Seseorang dikatakan menggunakan ragam baku lisan apabila ia dapat meminimalkan atau menghilangkan ragam daerah dalam tuturan. Ini berarti, bila ia berbicara maka orang lain tidak dapat mengidentifikasi secara linguistik dari mana ia berasal.

1. Ciri-Ciri Lafal Baku Bahasa Indonesia
Bahasa baku baik ragam lisan maupun tulisan selalu dikaitkan dengan bahasa sekolah yang juga disebut ragam tinggi. Ragam bahasa tinggi ini lazim digunakan oleh mereka yang menganggap dirinya terpelajar. Salah satu ciri yang menonjol bahasa kaum terpelajar ini, yang menyangkut lafal, adalah bahwa sistem bunyinya lebih kompleks dibandingkan dengan sistem bunyi yang dimiliki kaum tak-terpelajar. Bahasa kaum terpelajar cenderung mempunyai khasanah bunyi yang lebih banyak. Karena itu, kaum terpelajar cenderung membedakan kata seni dari zeni, kata sarat dari syarat, kata kas dari khas, dan kata teras (rumah) dari teras (dalam arti inti) sedangkan kaum tidak terpelajar cenderung tidak membedakan pasangan-pasangan kata itu dalam berbicara.
Bahasa kaum terpelajar juga cenderung mempunyai kaidah fonotaktis yang lebih rumit. Kaum terpelajar akan mengacu kumpulan bangunan sejenis di suatu tempat sebagai kompleks, aksi-aksi mahasiswa yang menuntut reformasi sebagai demonstrasi, dan olahraga konglomerat yang dilakukan di padang-padang bekas kebun teh dan sawah rakyat sebagai golf, sementara kelompok tidak terpelajar cenderung akan mengacunya masing-masing sebagai komplek, demonstrasi, dan golop, paling tidak, dalam berbahasa lisan.
Selain khasanah bunyi yang lebih banyak dan kaidah fonotaktis yang menyatakan kombinasi-kombinasi bunyi yang lebih kompleks, bahasa kaum terpelajar cenderung juga berbeda dari bahasa kaum tak-terpelajar dalam hal kaidah pemberian tekanan pada kata. Bahasa kaum terpelajar cenderung memperlihatkan kaidah tekanan yang lebih teratur dan lebih berdasar daripada bahasa kaum tak-terpelajar. Perbedaan lafal akibat perbedaan kaidah penempatan tekanan antara kedua kelompok penutur bahasa Indonesia itu akan lebih tajam bila kata-kata itu berada dalam untaian kalimat. Bandingkan kolom A dan B berikut (suku kata yang mendapat tekanan dinyatakan dengan kapital).

A B
1 terBANG TERbang
menerBANGkan meNERbangkan
menerbangKANnya meNERbangkannya; menerBANGkannya

Pada contoh di atas tampak bahwa kaum terpelajar secara taat asas menempatkan tekanan pada suku kata kedua dari akhir (Kolom A) kecuali bila suku kata kedua itu mengandung vokal e pepet (/ /), sedangkan kelompok tak-terpelajar cenderung menempatkan tekanan pada bentuk dasar pada suku yang tetap atau pada suku ketiga dari akhir (Kolom B), tanpa memperdulikan apakah suku tersebut mengandung e pepet atau tidak.
Pada umumnya aspek-aspek bunyi dan tekanan yang memperbedakan ragam bahasa baku (ragam bahasa kaum terpelajar) dengan ragam bahasa tak-baku (ragam bahasa kaum tak-terpelajar) bersumber pada perbedaan sistem bunyi bahasa Indonesia dengan bahasa ibu para penutur yang cenderung menghasilkan ragam regional bahasa Indonesia yang lazim disebut logat atau aksen.

2. Upaya Pembakuan Lafal Bahasa Indonesia
Adanya ragam baku, termasuk lafal baku, untuk bahasa Indonesia merupakan tuntutan Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Pengikraran bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia menuntut setiap orang Indonesia untuk bisa berkomunikasi satu sama lain baik secara lisan maupun secara tertulis dalam bahasa persatuan. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berarti bahwa segala bentuk kegiatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dalam bahasa Indonesia. Semua kegiatan komunikasi verbal dalam bahasa Indonesia itu, secara lisan atau secara tertulis, hanya akan mencapai hasil yang baik jika ada semacam rujukan yang dimiliki bersama--dalam hal ini ragam baku bahasa Indonesia. Untuk keperluan berbahasa lisan tentu saja dibutuhkan lafal baku. Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan dua jalur

(1) jalur sekolah dan
(2) jalur luar sekolah.

a. Pembakuan Lafal melalui Jalur Sekolah
Pembakuan lafal melalui sekolah pada umumnya dilakukan secara pasif. Guru tidak secara khusus melatih para murid untuk menggunakan lafal baku. Murid belajar lafal baku melalui apa yang didengarnya dari guru dan, pada tahap tertentu, dari sesama murid. Melalui pelajaran baca-tulis, murid dapat mengetahui nilai (fonetis) untaian huruf yang digunakan untuk menuliskan kata-kata Indonesia. Peranan guru dalam upaya pembinaan lafal bahasa baku sangatlah besar. Untuk dapat melaksanakan upaya pembinaan lafal baku itu guru hendaklah mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan memperhatikan hal-hal berikut.
(1) Guru haruslah menyadari bahwa lafalnya merupakan model atau kerangka acuan bagi murid-muridnya. Karena itu, hendaklah guru mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Pengetahuan fonologi akan banyak membantu tugasnya.
(2) Guru perlu mengetahui aspek-aspek fonologi yang khas di daerah tempatnya mengajar agar dapat mengetahui bunyi-bunyi yang sukar bagi murid-muridnya. Di daerah Tapanuli dan sebagian besar Indonesia bagian timur, vokal /E/ cenderung dengan E taling.
(3) Guru hendaklah menyadari bahwa (ragam) bahasa menjadi lambang kelompok sosial. Karena itu guru perlu menghargai logat murid-muridnya. Apabila murid merasa direndahkan karena ketidak-mampuannya berbahasa Indonesia dengan lafal baku sebagai akibat pengaruh logat/bahasa ibunya, maka ia cenderung menolak apa saja yang berbau lafal bahasa Indonesia baku.

b. Pembakuan Lafal melalui Jalur Luar Sekolah
Di atas telah disinggung bahwa lafal baku sebagai perwujudan ragam bahasa baku mempunyai nilai sosial yang tinggi. Oleh karena itu, di banyak tempat di dunia itu acapkali ragam bahasa para penutur dari kalangan kelas sosial atas sering dijadikan acuan atau model. Hal ini terlihat jelas di Indonesia. Ketika presiden sering terdengar mengucapkan -kan sebagai [k n] maka banyak orang yang latah ikut-ikutan mengucapkan [-k n] walaupun mereka bukan dari suku Jawa. Untuk bisa memberikan model lafal yang baik kepada masyarakat perlu diperhatikan hal-hal berikut.
(1) Setiap pemimpin dan tokoh masyarakat yang biasa dalam tugasnya berhadapan langsung dengan rakyat perlu berusaha menggunakan lafal baku.
(2) Para penyiar radio dan televisi hendaklah memberikan model yang baik bagi para pendengar khususnya dalam pembicaraan yang bersifat resmi, seperti pembacaan berita atau wawancara resmi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Peranan televisi dan radio itu sangat besar dalam pembentukan lafal bahasa Indonesia yang ada dewasa ini.






















BAB III
PENUTUP

Bagi Indonesia yang penduduknya menggunakan ratusan bahasa daerah dan tersebar di ribuan kepulauan, kehadiran suatu bahasa baku, termasuk lafal baku bukan hanya perlu tetapi suatu keharusan. Upaya untuk menentang pembakuan bahasa Indonesia sama artinya mengkhianati Sumpah Pemuda yang telah mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Persatuan yang kuat hanya bisa tercipta kalau ada bahasa yang digunakan bersama dengan pemahaman yang sama. Meskipun begitu, upaya pembakuan lafal hendaklah dilakukan secara hati-hati karena lafal lebih peka terhadap sentimen sosial. Upaya pembakuan lafal selama ini dapat dipertahankan. Yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran kita sebagai pemodel lafal.


















Daftar Pustaka


Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta : Nusa Indah

Syahnan, 2009. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Medan : UNIMED

http://pusatbahasa.diknas.go.id/

http://www.romeltea.com/



Read More...

Metodologi Penelitian Stilistika Sastra



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me









METODOLOGI PENELITIAN
STILISTIKA SASTRA

1)Landasan Pikir
Penelitian stilistika sastra didasarkan asumsi bahwa sastra mempunyai tugas kehidupan peranan yang penting dalam kehidupan karya sastra. Bahasa memiliki peranan yang penting dalam kehidupan karya sastra. Bahasa memiliki pesan keindahan sekaligus membawa makna. Bahasa tidak dapat dilepaskan dari sastra. Tidak ada bahasa tidak ada sastra. Seorang sastrawan mempergunakan sekaligus menentukan kepiawaian estetikanya.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati,memahami,dan menghayati system tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang.
Penelitian stilistika sebenarnya masih jarang dilakukan. Jika pun ada biasanya masih sepotong-sepotong dan kurang memadai. Kemungkinan hal ini terjadi karena stilistika merupakan bagian dari estetika karya sastra. Oleh karena itu sering sampingn saja. Jarang sekali penelitian stilistika yang lebih fokus.
Penelitian stilistika sebenarnya mengungkapkan aspek-asoek estetik pembentuk karya sastra. Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa suatu karya sastra. Studi ini memang berbau linguisik. Stilistika akan membangun aspek keindahan karya sastra.Semakin pandai sastrawan memanfaatkan stilistika, karya sasra yang dihasilkan akan semakin menarik. Demikian juga, kemahiran sastrawan menggunakan stilistika akan menentukan bobot karya sastranya.
Dari penjelasan selintas di atas dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi :
1. Analisis tanda baca yang digunakan pengarang.
2. Analisis hubungan antara system tanda yang satu dengan yang lainnya.
3. Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin : 1995 :98).
Stilistika adalah penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya sastra. Gaya bahasa itu mungkin disengaja atau timbul serta merta ketika sastrawan mengungkapkan idenya. Gaya bahasa itu merupakan aspek seni dalam sastra yang dipengaruhi oleh nurani. Melalui gaya bahasa sastrawan menuangkan ekspresinya. Bagaimanapun rasa jengkel dan senang jika dibungkus dengan gaya bahasa akan semakin indah. Dengan demikian gaya bahasa adalah pembungkus ide yang akan menghaluskan wacana sastra.
Gaya bahasa sastra memang berbeda dengan gaya bahasa dalam pembicaraan sehari-hari. Gaya bahasa sastra adalah ragam khusus yang digunakan sastrawan untuk memperindah teks sastra.
Gaya bahasa sastra digolongkan menjadi dua secara garis besar, pertama stilistika deskriptif, yaitu mendekati gaya bahasa sebagai keseluruhan ekspresi kejiwaan yang terkandung dalam suatu bahasa dan meneliti nilai-nilai ekspresi khusus yang terkandung dalam suatu bahasa.
Kedua, stilistika genetis, yaitu gaya bahasa individual yang mengandung penggunaan unsur gaya bahasa sebagai suatu ungkapan yang khas pribadi. Gaya bahasa sering menjadi faktor penentu diterima sebuah karya sastra oleh publik berikutnya maupun oleh kritikus sastra.
Penelitian stlistika hendaknya sampai pada tingkat makna gaya bahasa sastra. Namun ada dua hal , yaitu makna denotatif(makna lugas) dan makna konotatif(makna kias). Kedua makna itu saling berhubungan pemakaian keduanya perlu memperhatikan deskripsi fisikal bahasa. Deskripsi ini akan tampak melalui pilihan kata, yaitu ketepatan dan kesesuaian kosakata. Pemakaian kosakata yang tepat mendukung keindahan karya sastra(muhammad, 1988:17-33)
Stilistika kiasan ada dua macam. Pertama, gaya retorik, yang meliputi eufinisme, paradoks, tantologi, polisindeton dan sebagainya. Kedua, gaya kiasan, yaitu banyak ragamnya meliputi alegori, personifikasi,simile, sarkasme, dan sebagainya.


1)Metode Penelitian Stilistika Sastra
Dalam penelitian stilistika sastra dua metode penelitian digunakan yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif. Keduanya duuraikan dibawah ini.
Dalam metode penelitian kuantitatif dalam stilistika digunakan untuk mengitung frekuensi pemunculan tanda-tanda linguistik/bahasa. Mengetahui ciri pembeda still sebuah teks dari teks lainnya.
Sudjiman (1993:13-14) menguraikan
pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa.
Dalam metode penelitian kuantitatif stilistika sastra dapat memberikan bukti-bukti konkret degan menopang deskripsi stilistika yang dilakukan terhadap karya sastra.
Dalam metode penelitian kualitatif sastra dilakukan untuk menemukan makna dan fungsi stilistika itu dalam karya sastra total dari karya sastra yang diteliti. Fungsi stilistika dapat ditemukan melalui hal yang terbersit dari peranan stilistika dalam membangun karya sastra. Dengan metode penelitian kualitatif stalistika sastra akan ditentukan kemampuan sastrawan/pengarang mengespresikan kualitas penggunaan still. Dengan ungkapan lain ditentukan dengan bobot sastrwan dalam karya sastranya.
Kedua metode penelitian di atas dapat digabungkan untuk lebih menemukan keberadaan stilistika dalam karya sastra.





Read More...

Mendata Kesalahan Kalimat Bertelepon



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me















BAB I
PENDAHULUAN

Zaman dahulu, alat komunikasi yang sering digunakan adalah surat. Saat ini, cara tersebut mulai ditinggalkan sejak diketemukannya telepon. Masyarakat dapat menggunakan telepon rumah, kartu, koin, maupun telepon seluler (ponsel).

Telepon adalah alat telekomunikasi yang dapat mengirimkan pembicaraan melalui sinyal listrik. Orang mengetahui bahwa penemu telepon adalah Alexander Graham Bell. Telepon pertama dibuat di Boston, Massachusetts, pada tahun 1876. Akan tetapi, penemu dari Italia Antonio Meucci telah menciptakan telepon pada tahun 1849, dan pada September 2001, Meucci dengan resmi diterima sebagai pencipta telepon oleh kongres Amerika dan bukan Alexander Graham Bell.

Dalam kehidupan sehari-hari, kamu sering menggunakan pesawat telepon untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada teman, saudara, atau keluarga untuk berbagai keperluan. Berkomunikasi melalui telepon termasuk jenis komunikasi tidak langsung. Pembicara dan lawan bicara tidak berhadapan langsung. Walaupun demikian, kalimat yang diucapkan melalui pesawat telepon harus mencerminkan etiket kesantunan dan keefektifan.










BAB II
PEMBAHASAN

A. Bertelepon Dengan Kalimat Efektif dan Santun
Selain menggunakan kalimat yang efektif, sebaiknya dalam bertelepon juga menggunakan kalimat yang santun dan tepat. Bertelepon menggunakan kalimat yang santun bukan berarti merendahkan diri kepada mitra bicara, melainkan justru sebaliknya. Mitra bicara kita akan lebih menghormati kita jika kita menggunakan bahasa yang santun. Sebaliknya, jika seseorang menggunakan bahasa yang tidak santun maka mitra bicara akan merendahkan kita. Orang yang berbicara tidak santun dianggap sebagai orang yang tidak perlu dihormati.

Dalam bertelepon, tidak sekadar jelas dalam menyampaikan maksud. Ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan dalam bertelepon, yaitu kesantunan yang meliputi sebagai berikut :

1. Mengawali Pembicaraan Saat menelepon
Awalilah dengan ucapan salam yang santun. Halo, selamat pagi. Bisa bicara dengan Pak Tanu? Halo, selamat malam. Ini Muti. Bisa bicara dengan Etna, Pak? Assalaamu’alaikum. Bisa bicara dengan Alif, bu? Saya Kiko teman sekelasnya. Selamat siang, PT Pupuk Kaltim? Saya Tono dari LBH Bandung, bisa bicara dengan Pak Kosim, bagian pemasaran?

2. Menerima Telepon
Jika menerima telepon, kamu tidak boleh langsung menutup telepon setelah mengetahui orang yang dimaksud penelepon tidak ada. Sampaikanlah kata-kata seperti berikut. Mau ke Kak Lia? Sebentar ya , saya lihat dulu! Maaf, ayah belum pulang. Ada pesan? Selamat siang, Pak Kosim sedang memimpin rapat. Ada pesan?


3. Menyampaikan Identitas
Sikap santun dalam bertelepon adalah menyampaikan identitas. Ungkapkan jati dirimu dengan jelas, misalnya Saya Tia, bu, temannya di bimbel. Daninya ada, bu? Menebak identitas si penerima telepon bukanlah sikap yang santun, misalnya Ini Dani, ya! Kalau yang menerima telepon adalah benar yang bernama Dani tidak masalah, tetapi jika yang menerima telepon ternyata ayahnya, tentu hal ini menjadi lain masalah.

4. Menyampaikan maksud secara singkat dan jelas.
Dalam bertelepon langsung menyampaikan keperluan agar menghemat biaya dalam bertelepon dan tidak mengganggu orang yang ditelepon. Seperti menyampaikan keperluan untuk meminjam buku ! Menyampaikan untuk makan malam bersama.

5. Menutup Pembicaraan
Jika pembicaraan dalam telepon selesai, sampaikanlah kata penutup, seperti Selamat pagi/siang/sore/malam atau salam bagi orang muslim Assalaamu’alaikum/Wa’alaikum salam.

Dalam bertelepon, ada etika yang bersifat umum maupun khusus. Misalnya berdasarkan mitra bicara, seperti dengan teman sebaya, orang yang lebih muda, atau orang yang dihormati. Pilihan kata menjadi hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan. Sebagai contoh, akan lebih sopan jika seorang murid menelepon guru dengan menggunakan kata sapa Bapak atau Ibu, daripada kamu serta menyebutkan diri dengan saya daripada aku.
Santun bertelepon juga meliputi hal-hal berikut :

1. Memilih waktu bertelepon yang tepat.
2. Memastikan nomor yang dihubungi tidak keliru. Jika tidak, sampaikan permohonan maaf dengan santun.
3. Sebaiknya tidak memakan sesuatu saat bertelepon.
4. Menciptakan suasana tenang di sekitar tempat bertelepon.
5. Tidak berlama-lama dalam bertelepon.
6. Kembalikan gagang telepon dengan hati-hati sehingga tidak menyinggung perasaan orang yang ditelepon.

B. Mendata Kesalahan-kesalahan Kalimat Dalam Bertelepon
Sebelum bertelepon, ada baiknya kamu persiapkan hal-hal yang akan dibacakan. Selain hemat, kalimat yang disampaikan akan lebih efektif.

1. Bertelpon dengan benar :
Nita : "Halo. Selamat siang. Dari siapa ya ? "
Rani : "Selamat siang. Ini dari Rani temannya Dodi. Bisa bicara dengan Dodi ? "
Nita : "Ini dengan Nita adiknya. Dodi tidak ada, baru saja keluar. "
Rani : "Kalau boleh tahu kemana ya ? "
Nita : "Saya juga kurang tahu. Ada yang bisa saya bantu ? "
Rani : "Saya minta tolong kalau Dodi pulang nanti sampaikan pada Dodi kalau Rani
nelepon. Makasih ya…. Selamat siang."
Nita : "Iya nanti saya sampaikan. Terima kasih kembali, selamat siang juga."

2. Bertelpon yang salah :
Nita : "Halo. Dari siapa ya?"
Rani : "Rani. Tolong panggilkan Dodi. Cepat ya."
Nita : "Dodi tidak ada. Baru saja keluar."
Rani : "Keluar? Sialan. Pergi ke mana dia?"
Nita : "Nggak tau tuh. Ke mall kali."
Rani : "Capai …deh…"
(tuutt….tututt…. Rani membanting gagang telepon)






BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Selain menggunakan kalimat yang efektif, sebaiknya dalam bertelepon juga menggunakan kalimat yang santun dan tepat.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam bertelepon yaitu :
1. Membuka dengan menggunakan salam.
2. Menerima telepon dengan baik.
3. Memperkenalkan diri dan menyebutkan nama orang yang diajak bicara.
4. Menyampaikan maksud secara singkat dan jelas.
5. Mengakhiri pembicaraan dengan menggunakan terima kasih dan menyampaikan salam.

















Daftar Rujukan

http://penulisonline.blogspot.com/
http://www.crayonpedia.org/
http://www.google.co.id/
http://www.kakashiiyomoto.blogspot.com/
http://www.wikipedia.com/





Read More...

Kosa Kata Bahasa NIAS



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me












Daftar 200 Kosakata Bahasa Nias


No. Bahasa Indonesia Bahasa Nias
1. Abu Awu
2. Air Nidano / Idano
3. Akar Wa’a
4. Anak Ono
5. Angin Angin
6. Anjing Nasu
7. Apa Hadia
8. Api Alito
9. Asap Asap
10. Atap Sago
11. Awan Lawuo
12. Ayam Manu
13. Bagaimana Hewisa
14. Bahu Haru
15. Baik Sokhi
16. Bapak Ama
17. Baru Awena
18. Basah Abaso
19. Batang Batang
20. Batu Gara
21. Bekerja Mohalowo
22. Belok Belok
23. Benar Sindruhu
24. Bengkak Abad
25. Berat Abua
26. Berbaring Moro
27. Berburu Malu
28. Berdiri Mosindro
29. Berenang Molangi
30. Berjalan Moloawao
31. Berkata Mohede
32. Bermimpi Mangifi
33. Bernapas Mohanu-hanu
34. Berpikir Mengera-ngera
35. Bertumbuh Bertumbuh
36. Besar Ebua
37. Bintang Dofi
38. Buah Mbrua / Bua
39. Bulan Bawa
40. Bulu Bulu
41. Bunga Bunga
42. Burung Fofo
43. Busuk Obo u
44. Cacing Eleloa u
45. Daging Nagole
46. Dan,dengan Ba
47. Danau Danau
48. Darah Ndro
49. Datang So
50. Daun Bulu
51. Debu Gawu-gawu
52. Di Ba, si
53. Di atas La’aturai
54. Di bawah Si tou
55. Di dalam Si bakha
56. Di mana He zoso / Hezo
57. Dia Ahono
58. Dingin Okafu
59. Dua Dua
60. Duduk Modadao
61. Ekor Gi’o / I’o
62. Empat Ofa
63. Engkau, kamu Ya’ugo
64. Garam Asio
65. Gigi Nifo
66. Guntur Guntur
67. Hari Hari
68. Hati Dodo
69. Hidung Ikhu
70. Hidup Auri
71. Hijau Hijau
72. Hitam Aito
73. Hitung Erai
74. Hujan Hujan
75. Hutan Gatua
76. Ibu Ina
77. Ikan Gi’a / I’a
78. Ini Da’a
79. Isteri Ndronga ira’alaloe
80. Itu Da’o
81. Jahat Amu’I / Afaito
82. Jalan Mowawao
83. Jarum Falololoa
84. Jatuh Atoru / Alau
85. Jauh Arou
86. Jika Jika
87. Kabut Kabut
88. Kaki Gahe / Ahe
89. Kanan Kambolo
90. Kapan Hawa’ara
91. Kayu Geu
92. Kecil Ide-ide
93. Kepala Hogo
94. Kering Okoli
95. Kilat Kilat
96. Kiri Kabera
97. Kita,kami Yaita
98. Kotor Ta’uno
99. Kulit Uli
100. Kuning A’uso
101. Kutu Utu
102. Laba-laba Laba-laba
103. Lain Faboo
104. Laki-laki Ndra matua
105. Langit Langit
106. Laut Nasi
107. Lebar Ebolo
108. Leher Mbagi
109. Lemak Tawo-tawo
110. Lidah Lela
111. Makan Manga
112. Malam Bongi
113. Malu Aila
114. Mata Horo
115. Mati Mate
116. Melempar Tebu
117. Melihat Ma-maigi
118. Meludah Mondrilo
119. Memasak Mondrino
120. Membakar Manunu
121. Membelah Membelah
122. Membeli Membeli
123. Membuka Motoksi
124. Membunuh Mobunu
125. Memegang Mogogohe
126. Memeras Mamera
127. Memilih Mamili
128. Memotong Motaba
129. Memukul Mobozi
130. Menanam Manano
131. Menangis Me’e
132. Mencium Mo’uma
133. Mencuri Manago
134. Mendengar Morongo
135. Menembak Manembra
136. Mengalir Mangele
137. Mengetuk Manukou
138. Manggali Moko’o
139. Menggaruk Mokha-kha’a
140. Menggigit Fa’usu
141. Mengikat Mobobo
142. Mengisap Mengisap
143. Menguap Meha
144. Mengunyah Mengunyah
145. Menikam Mamaho
146. Meniup Mo-wuwusi
147. Menjahit Managu
148. Merah Oyo
149. Mereka Ya’ira
150. Minum Mamadu
151. Mulut Mbawa
152. Muntah Muta
153. Naik Moi yawa
154. Nama Doi
155. Nyamuk Ndri
156. Orang Orang
157. Panas Aukhu
158. Panjang Anau
159. Pasir Gawu
160. Payudara Meme
161. Pendek Adogo-dogo
162. Perempuan Ndra’alawe / Ira alawe
163. Perut Dalu / Talu
164. Punggung Punggung
165. Putih Afusi
166. Rambut Mbru
167. Rumah Nomo
168. Rumput Ndru’u
169. Sakit Mofokho
170. Satu Sara
171. Saya Ya’odo
172. Sayap Aafi
173. Sembunyi Fabini
174. Sempit Alozo
175. Semua Fefu
176. Siapa Haniha
177. Suami Ndronga iramatua
178. Tahu Ila
179. Tahun Dofi
180. Tajam Ataro
181. Takut Ata’u
182. Tali Dali
183. Tanah Tano
184. Tangan Danga
185. Tebal Awe’e – we’e
186. Telinga Dalinga
187 Telur Adulo
188. Terbang Mohombio
189. Tertawa Ma’igi
190. Tidak Ib’o
191. Tidur Moro
192. Tiga Tolu
193. Tikus Te’u / De’u
194. Tipis Anifi – nifi
195. Tua Atua
196. Tulang Tola
197. Tumpul Afuru
198. Ular Ulo
199. Usus Betu’a
200. Wanita Nda’alawe / Ira alawe



Read More...

Kosa Kata Bahasa Dayak



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me












Daftar 200 Kosakata Bahasa Dayak

No. Bahasa Indonesia Bahasa Dayak
1. Abu Abu
2. Air Danom
3. Akar Akar
4. Anak Uang
5. Angin Angin
6. Anjing Anjing
7. Apa Nyama
8. Api Api
9. Asap Asap
10. Atap Atap
11. Awan Awan
12. Ayam Ayam
13. Bagaimana Baka ni
14. Bahu Bahu
15. Baik Baik
16. Bapak Mama
17. Baru Baru
18. Basah Basah
19. Batang Batang
20. Batu Batu
21. Bekerja Bekerja
22. Belok Belok
23. Benar Bujur
24. Bengkak Bengkak
25. Berat Berat
26. Berbaring Berbaring
27. Berburu Berburu
28. Berdiri Berdiri
29. Berenang Berenang
30. Berjalan Becelang
31. Berkata Berkata
32. Bermimpi Betupiq
33. Bernapas Bernapas
34. Berpikir Berpikir
35. Bertumbuh Bertumbuh
36. Besar Besar
37. Bintang Bintang
38. Buah Buah
39. Bulan Ulan
40. Bulu Bulu
41. Bunga Bunga
42. Burung Empulu
43. Busuk Busuk
44. Cacing Cacing
45. Daging Daging
46. Dan,dengan Dengam
47. Danau Danau
48. Darah Darah
49. Datang Enggau
50. Daun Daun
51. Debu Debu
52. Di Di
53. Di atas Di atas
54. Di bawah Di bawah
55. Di dalam Di dalam
56. Di mana Dini
57. Dia Dia
58. Dingin Celap
59. Dua Due
60. Duduk Duduk
61. Ekor Ekor
62. Empat Epat
63. Engkau, kamu Ikau
64. Garam Uyah
65. Gigi Kasinga
66. Guntur Guntur
67. Hari Hari
68. Hati Hati
69. Hidung Urung
70. Hidup Hidup
71. Hijau Hijau
72. Hitam Babilem
73. Hitung Hitung
74. Hujan Hujan
75. Hutan Hutan
76. Ibu Mina
77. Ikan Metu
78. Ini Tih
79. Isteri Isteri
80. Itu Jite
81. Jahat Jai
82. Jalan Jalai
83. Jarum Jarum
84. Jatuh Jatuh
85. Jauh Enyo
86. Jika Enti
87. Kabut Kabut
88. Kaki Pai
89. Kanan Kanan
90. Kapan Hampereya
91. Kayu Kayu
92. Kecil Kecil
93. Kepala Takuluk
94. Kering Kering
95. Kilat Kilat
96. Kiri Kiri
97. Kita,kami Kita,kami
98. Kotor Kotor
99. Kulit Kulit
100. Kuning Bahenda
101. Kutu Kutu
102. Laba-laba Laba-laba
103. Lain Lain
104. Laki-laki Uang
105. Langit Langit
106. Laut Laut
107. Lebar Lebar
108. Leher Uyat
109. Lemak Lemak
110. Lidah Jela
111. Makan Kuman
112. Malam Kelap
113. Malu Mangan
114. Mata Mata
115. Mati Mati
116. Melempar Melempar
117. Melihat Melihat
118. Meludah Meludah
119. Memasak Memasak
120. Membakar Membakar
121. Membelah Membelah
122. Membeli Membeli
123. Membuka Bemoga
124. Membunuh Membunuh
125. Memegang Memegang
126. Memeras Memeras
127. Memilih Memilih
128. Memotong Memotong
129. Memukul Memukul
130. Menanam Menanam
131. Menangis Benangi
132. Mencium Benyenuq
133. Mencuri Mencuri
134. Mendengar Mendengar
135. Menembak Menembak
136. Mengalir Mengalir
137. Mengetuk Mengetuk
138. Manggali Manggali
139. Menggaruk Menggaruk
140. Menggigit Menggigit
141. Mengikat Mengikat
142. Mengisap Mengisap
143. Menguap Menguap
144. Mengunyah Mengunyah
145. Menikam Menikam
146. Meniup Meniup
147. Menjahit Menjahit
148. Merah Bahandang
149. Mereka Mereka
150. Minum Muruh
151. Mulut Mulut
152. Muntah Muntah
153. Naik Naik
154. Nama Nama
155. Nyamuk Nyamuk
156. Orang Orang
157. Panas Panas
158. Panjang Panjai
159. Pasir Pasir
160. Payudara Toso
161. Pendek Idok
162. Perempuan Yang
163. Perut Naiq
164. Punggung Punggung
165. Putih Baputi
166. Rambut Balaw
167. Rumah Dape
168. Rumput Rumput
169. Sakit Sakit
170. Satu Ije
171. Saya Aap
172. Sayap Sayap
173. Sembunyi Sembunyi
174. Sempit Sempit
175. Semua Semua
176. Siapa Aweh
177. Suami Suami
178. Tahu Tahu
179. Tahun Tahun
180. Tajam Tajam
181. Takut Takut
182. Tali Tali
183. Tanah Tanah
184. Tangan Lenge
185. Tebal Tebal
186. Telinga Pinding
187 Telur Telur
188. Terbang Terbang
189. Tertawa Tertawa
190. Tidak Dia
191. Tidur Tidur
192. Tiga Telo
193. Tikus Tikus
194. Tipis Tipis
195. Tua Tua
196. Tulang Tulang
197. Tumpul Tumpul
198. Ular Nipa
199. Usus Usus
200. Wanita Mina



Read More...

Kesalahpahaman Bahasa Medan yang tidak Tepat



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me










BAB I
PENDAHULUAN


Ketika seseorang lahir di dunia, ia akan menjadi bagian dari etnik tertentu. Dilahirkan dalam lingkungan etnik tertentu bukan suatu pilihan tetapi kenyataan harus diterima. Label atau pangilan yang digunakan untuk menyebut bahwa seseorang berasal dari satu etnik atau suku tertentu tidak bisa ditolak dan sesungguhnya tidak perlu ditolak. Kita tidak boleh malu atau mengingkari etnisitas kita. Bahkan sebaliknya, kita harus bangga bahwa kita merupakan bagian dari satu etnik. Etnik itu merupakan identitas atau jati diri kita yang merupakan bagian dari satu kelompok masyarakat yang ditandai oleh kesamaan keturunan, budaya, adat, dan bahasa.
Kenyataan kehidupan ini menunjukkan bahwa kita berhubungan tidak hanya dengan orang yang satu etnik dengan kita tetapi juga dengan orang yang berasal dari etnik lain. Apalagi dalam kondisi masyarakat modern sekarang kita akan selalu berhadapan dengan orang yang berbeda etnis dengan kita. Perbedaan ini tentu saja tidak bisa ditolak sebab Tuhan sendiri telah dengan sengaja menciptakan manusia dalam kondisi yang berbeda-beda. Penolakan terhadap realitas perbedaan sama saja dengan mengingkari keputusan Tuhan. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola keberagaman etnik secara baik agar keberagaman etnik benar-benar menjadi rahmat bagi semua umat manusia. Sebaliknya, keberagaman etnik tidak boleh mendatangkan bencana. Tuhan menciptakan manusia dalam keberagaman pasti mempunyai tujuan tertentu, yaitu agar manusia saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Bila demikian, konflik yang melibatkan etnik yang berbeda merupakan suatu kesalahan besar sebab itu tidak disesuai dengan kehendak Tuhan. Konflik etnik hanya akan menghasilkan bencana dan permusuhan di antara umat manusia.
Perbedaan etnik harus dikelola secara benar untuk menghasilkan kekuatan besar dalam membangun bangsa ini. Bila keberagaman bisa dikelola secara benar, perbedaan akan menjadi kekuatan dasar untuk membangun Indonesia. Sebaliknya bila salah dalam mengelola keberagaman, itu akan menjadi kelemahan sehingga itu akan mendorong terjadinya pertikaian dan bahkan disintegrasi. Bila benih-benih permusuhan antaretnik telah berkembang dalam diri bangsa Indonesia, sulit bagi bangsa ini untuk maju sebab benih-benih permusuhan akan mendorong terjadi konflik yang akan menghambat proses kebangkitan bangsa Indonesia.
Ada dua cara yang dapat mendukung pengelolaan keberagaman etnik, yaitu melaksanakan pendidikan multikultural dan membangun komunikasi antarbudaya yang beragam dalam lingkungan sosial di Indonesia. Pada makalah ini akan dibahas terkait membangun komunikasi antarbudaya yang beragam dalam lingkungan sosial di Indonesia.























BAB II
PEMBAHASAN

Secara umum, fungsi bahasa adalah alat untuk berkomunikasi (Fasold,1991). Fungsi itu tentu sangat vital mengingat kita sebagai makhluk hidup membutuhkan komunikasi satu sama lain. Mengingat negara kita terdiri dari berbagai suku dengan bahasa yang berbeda, peran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat penting, terutama kepada antarsuku untuk menghindari kesalahpahaman. Di Indonesia saja ada sekitar 700an bahasa daerah selain bahasa Indonesia yang telah ditetapkan sebagai bahasa nasional.

Kesalahan dalam berbahasa ternyata bisa berakibat tidak baik bahkan vatal. Kesalahpahaman itu bisa terjadi jika apa yang dimaksud penutur tidak sama dengan apa yang dipahami pendengarnya.

Ada sebuah pengalaman menarik dari Suriadi . Dia berbelanja di kawasan Blok M, Jakarta. Mulkan : “Mau beli untuk siapa?”
Deman : “Untuk Bos,” jawab saya.

Mulkan : “Wah, baik sekali kamu, Bos kamu gajinya lebih besar, pekerjaannya juga enak, hanya perlu menyuruh anak buah saja, tapi kamu masih ingat untuk membelikannya oleh-oleh, “ katanya seolah salut kepada saya.

Deman : “Bosku itu petani, manalah gajinya besar, kerjanya juga capek, dia nggak punya anak buah, “ jawab saya sambil melanjutkan memilih-milih baju yang cocok.

Mulkan : “Lho, kamu ini kerja di kantor, bagaimana mungkin bos kamu seorang petani? “ tanyanya semakin haran. Saya langsung menyadari bahwa si kawan tadi telah salah paham. Jelas dia mengartikan bos itu seperti arti yang sebenarnya, yaitu atasan di tempat saya bekerja.

Deman: “Hehe, maaf ya, maksudku aku membeli baju ini untuk orang tuaku. Di Medan, kami meyebut kedua orang tua dengan istilah bos. Jadi, ada bos cowok yang artinya ayah atau di Jakarta biasa disebut bokap, dan bos cewek yang artinya ibu atau yang di Jakarta biasa disebut nyokap, “ begitu saya menjelaskan.

Mulkan ; “Orang Medan memang aneh ya?” (sembari menahan geli).

Contoh lain

Pajak bukan berarti kantor pelayanan pajak (KPP), tetapi pasar. Sedangkan pasar artinya jalan. Itulah sebabnya ada istilah Pasar 1, Pasar 2, dan seterusnya. Pusing, bukan?
di Medan, pusing itu artinya berkeliling atau mengitari sesuatu. Bagaimana dengan pusing yang artinya sakit kepala? Kalau yang itu, orang Medan akan menyebutnya dengan pening. Pening kali kepalaku!

Ketika ada yang menyebut, “Dia tukang kompas. “ Bukan berarti dia bekerja di harian Kompas, atau kerjanya menjajakan alat penunjuk arah mata angin itu, tapi dia adalah seorang yang senang meminta uang dari orang lain dengan cara memaksa.

“Awas Bang, dia mau nembak! “ kata seorang penumpang, maaf, maksudnya sewa, kepada supir angkutan umum ( kadang disebut motor sewa). Itu bukan berarti si dia itu seorang polisi yang hendak menembak korbannya. Nembak maksudnya tidak membayar ongkos, sedangkan sewa berarti penumpang. Makanya supir-supir di Medan sering mengeluh. “Uh, payah kali pun sewa sekarang “. Itu berarti angkutannya sepi penumpang.

Sebuah keunikan

“Bahasa Medan”, begitulah kira-kira ungkapan yang pas untuk menggambarkan bahasa yang dipakai orang-orang di Medan. Bahasanya adalah bahasa Indonesia, karena menggunakan kata-kata atau singkatan dari kata-kata bahasa Indonesia ditambah kata-kata hasil “kreasi “ masyarakat Medan. Namun, kata-kata yang berasal dari bahasa Indonesia itu sudah melenceng dari arti yang sebenarnya. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan kesalahpahaman antara si pembicara dan si pendengar. Tentunya hal ini tidak berlaku bagi orang Medan yang sudah sama-sama memahami “bahasa Medan “.

Untuk “bahasa Medan” kata-katanya “buatan sendiri”, tentu tidak akan menimbulkan kesalahpahaman, sebab bagi yang tidak memahami artinya hanya akan menghadapi risiko yaitu bingung. Mereka pasti akan bertanya apa arti dari pencorot, lantak, kedan, balen, lasak, atau angek. Namun, jika kata yang dipakai berasal dari bahasa Indonesia, tentu para pendengar sudah memahami arti yang sebenarnya, eh, ternyata yang dimaksud lain lagi. Bisa kecele, bukan?

Apakah kesalahan berbahasa ini sebuah kekayaan bagi kita? Yang jelas, “bahasa Medan” adalah sebuah keunikan yang terus terjaga kelestariannya. Bahkan terkadang para penuturnya menganggap “Bahasa Medan” sebagai sebuah kebanggaan. Suriadi pernah menemukan “Kamus Bahasa Medan“ yang dikirim seorang temannya melalui surat elektronik (e-mail). Di sana terdapat kata-kata dalam bahasa Indonesia beserta artinya jika kata-kata itu “diamalkan“ oleh orang Medan. Kamus itu konon sebagai referensi bagi orang-orang yang hendak berkunjung ke Medan agar tidak bingung.

Begitulah “bahasa Medan“ yang sering membuat orang-orang dari kota lain bingung. Ia bukanlah bahasa daerah. Ia bukan bahasa Batak, Melayu, Karo, Dairi, Mandailing, Nias, Tionghoa, Minang, atau Jawa. Ia adalah bahasa Indonesia dan hasil kreasi masyarakat Medan sendiri.

Bahasa medan itu bahasa adopsi dari bahasa melayu,indonesia, dan bahasa inggris.
contohnya :
- sedotan - pipet (inggrisnya pipe)
- test - trei (inggrisnya try)

contoh penggunaanya:
coba kau trei dulu komputer itu.

Dari analisis kami ketika seseorang anak Medan dan temannya pergi jalan-jalan ke Citra Land. Tiba disana mereka langsung menuju ke McDonald's untuk makan terlebih dahulu sebelum keliling mall. Dan sesudah mereka pesan menu makanan di McD tsb lalu anak Medan bilang ke kasirnya : "mas...mas...pipetnya mana mas? " dan sudah pasti mas nya bingung sambil melihat mereka. Terus temannya yang meluruskan bahwa disini bukan pipet namanya, tapi sedotan.

Kesalahpahaman di atas terjadi karena perbedaan arti dan penggunaan bahasa medan yang tidak dimengerti dengan orang lain. misalnya pada kasus kesalahpahaman kata kompas, itu terjadi bukan karena tidak ada kata kompas dalam bahasa Indonesia, tetapi kata kompas dalam bahasa medan mempunyai arti yang berbeda dengan kata kompas bahasa Indonesia. Tetapi pada kata “papet” terjadi karena pada kosa kata pendengar tidak ada kata pipet.

Dari kasus di atas tampak betapa pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yakni bahasa penghubung antarmasyarakat dari berbagai suku maupun Negara yang ada di Indonesia. Kalau pengguna bahasa Indonesia sudah menggunakan bahasa Indonesia sesuai fungsinya, kasus di atas tidak akan terjadi walaupun masyarakat tersebut berasal dari daerah yang berbeda-beda.













BAB III
PENUTUP

Tidak ada yang salah ketika kita menunjukkan kebanggaan terhadap etnik kita sendiri sebab kita mempunyai hak untuk mengangkat itu. Yang salah adalah ketika kita tidak mampu mengakui dan menghargai kearifan lokal yang dimiliki oleh kelompok lain. Keinginan dan cita-cita untuk membangkitkan suatu etnik perlu didasarkan kepada pemahaman yang benar tentang etnitas agar kebangkitan kearifan lokal tidak mendorong terciptanya disintegrasi dalam masyarakat. Kegagalan memahami makna etnisitas akan mendorong terjadi permusuhan antaretnik dan bahkan dapat menyebabkan kehancuran serta pertumpahan dara

Kebangkitan etnik mengarah kepada pengakuan dan penghormatan kepada kondisi multikultural. Selanjutnya pengakuan dan penghormatan itu bertujuan untuk membangunan masyarakat multikultural yang damai.

Penggangkatan prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya akan mendorong interaksi yang harmonis dalam hubungan multietnik. Memberikan perhatian secara serius kepada pendidikan multikultural dan komunikasi antarbudaya tentu saja sangat bermanfaat untuk membangun kearifan lokal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebangkitan etnik tidak diarahkan untuk menimbulkan disintegrasi, tetapi sebaliknya ia bertujuan untuk mengakui dan menghormati hakekat keberagaman kebudayaan. Prinsip dan strategi komunikasi antarbudaya dapat dijadikan dasar untuk merajut persepahaman hubungan antaretnik sehingga interaksi yang dilakukan oleh individu yang berasal dari berbagai etnik dapat membangun hubungan damai. Gangguan yang menghambat komunikasi antaretnik dapat diminimalkan jika pihak yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya dapat menerapkan strategi komunikasi antarbudaya yang inklusif yaitu dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.



DAFTAR PUSTAKA


Daulay, Syahnan, 2009. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Medan : UNIMED

Ketua Kelompok Studi: Sosial, Ekonomi, dan Teknologi Informasi (KS-SEKTI) di Harian
Analisa tanggal 23 Agustus 2008

http://sastradaerahusu.blogspot.com/2009/05/makalah-seminar-nasional-budaya-etnik_4289.html

http://www.sumsanjaya.com/2009/06/bahasa-indonesia-sebagai-bahasa.html

http://www.facebook.com/suriadi.html

http://www.mediabolon.com/index.php?option=com_content&view=article&id=87:simbolon
antarbudaya&catid=36:artikel-pribadi

http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=265



Read More...