Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me
BAB I
PENDAHULUAN
Gaya merupakan cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya pemerkaya makna, penggambaran obyek dan pemikiran secara imajinatif, maupun pemberian efek emotif tertentu bagi pembacanya. Wahana yang digunakan memaparkan gagasan dengan efek yang diinginkan tersebut bukan hanya mengacu pada lambing kebahasaan melainkan juga pada berbagai macam bentuk system tanda yang secara potensial dapat digunakan untuk menggambarkan gagasan dengan berbagai kemungkinan efek estetis yang ditimbulkannya.
Pembahasan gaya atau kajian stilistik dalam makalah ini terdiri atas tiga pembahasan yaitu:
1. Stilistika puisi
2. Stilistika cerpen
3. Stilistika novel
Sebagai bentuk analisis, kajian mengandung proses pengorganisasian, penafsiran, dan penilaian bahan kajian sesuai dengan masalah, pendekatan dan landasan teoritis yang digunakan.
Stilistika
1. Ruang Lingkup Kajian Stilistika
Kerancauan yang muncul dari definisi stilistika adalah masalah yang kadang dihadapi oleh mahasiswa yang beru mengenal istilah ini. Sebab stilistika ilmu gaya bahasa yang juga termasuk dalam cabang ilmu linguistik selain ilmu sastra. Kridalaksana (1982:157), dalam Kamus Linguistik, memberikan batasan stilistika.. Menurutnya, stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdispiliner antara linguistik dan kesusastraan (2) penerapan lingustik pada penelitian gaya bahasa. Menurut Turner (1977:7), stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama dalam kesusastraan. Fowier (1987:237) mengatakan bahwa stilistika merupakan cabang dari studi sastra. Menurutnya, para ahli mengatakan bahwa stilistik meneliti sastra pada aspek bahasanya, yakni imaji, stuktur suara, sintaksis, dan lain-lain.
Umar Junus (1989:xvii) mengatakan bahwa hakikat stilistika adalah pemakaian dan penggunaannya dalam karya sastra, tetapi kemunculannya sudah ada dalam linguistik. Menurutnya, stilistika dipakai sebagai gabungan, yakni ilmu sastra dan ilmu linguistik. Lebih lanjut, Umar Junus (1989:xviii) mengusulkan bahwa stilistika itu menjadi ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari linguistik ataupun sastra.Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa. Menurut Sudjiman (1993:3) stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi atau memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunanya. Stilistika meneniliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra.
Gaya bahasa sendiri adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur dan menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu, (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982:49-50). Enkvist (dalam Junus, 1989:4) mengatakan bahwa gaya bahasa ada enam pengertian khasnya, yakni (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya, (2) pilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin, (3) sekumpulan ciri pribadi, (4) penyimpangan norma atau kaidah, (5) sekumpulan ciri kolektif, dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas dari pada kalimat.
Untuk mengkaji karya sastra dari sudut stilistika, ada dua kemungkinan dalam mendekatinya. Pertama, studi stilistika dilakukan dengan cara menganalisis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna yang penuh. Kedua, penelitian stilistika ini dilakukan dengan mengamati variasi dan distorsi terhadap pemakian bahasa yang normal dan menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990:226). Dari kedua pendekatan tersebut terlihat perbedaan letak pijakannya. Namun, kedua pendekatan tersebut pada hakikatnya tidaklah saling bertentangan.
Kajian stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan. Landasan empirik merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi :
1. Analisis tanda baca yang digunakan pengarang.
2. Analisis hubungan antara sistem tanda yang satu dengan yang lainnya.
3. Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan (Aminuddin, 1995:42).
4. Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin, 1995:98).
Aminuddin (1995:42-43) mengungkapkan bahwa prosedur analisis yang digunakan dalam kajian stilistika, diantaranya :
1. Analisis aspek gaya dalam karya sastra.
2. Analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi, penggunaan tanda baca dan cara penulisan.
3. Analisis gagasan atau makna yang dipaparkan dalam karya sastra.
BAB II
STILISTIKA PUISI
A. PENDAHULUAN
Puisi merupakan teks yang berhubungan dengan teks-teks yang lain dan membutuhkan partisipasi aktif pembaca dalam menginterpretasikannya, sehingga kita mampu berperan aktif dalam mengeksplorasi struktur stilistika dan pola-pola maknanya, serta mengonstruk situasi pragmatiknya. Aspek-aspek yang terpenting dalam menginterpretasikan puisi antara lain adalah :
Pembacaan puisi menuntut pengetahuan tentang tradisi generiknya dan sejumlah teks yang terdapat di dalam tradisi tersebut.
Harus pula dimiliki beberapa keterampilan untuk memasok unsur-unsur yang menghilang dikarenakan adanya sifat eliptis dari puisi tersebut.
Puisi harus merupakan suatu keseluruhan yang otonom karena tidak menjadi bagian dari situasi yang kompleks sebagaimana halnya dengan tindak tutur biasa. Situasi pengucapan sebuah puisi merupakan sebuah konstruk didalam dirinya sendiri yang harus dikembalikan ke dalamny sebagai salah satu dari komponen-komponen puisi. Dalam hal ini, apabila seorang membaca mencari kesatuan ketika menginterpretasikan puisi, setidak-tidaknya dia memerlukan beberapa pengertian mendasar tentang segala sesuatu yang dianggap sebagai kesatuan.
Apabila kita membaca sebuah karya sastra maka kita dituntut untuk merasakan mampu tidaknya seorang pengarang melukiskan ide-ide dalam karangannya. Kemampuan seorang pengarang sangat menentukan keindahan hidup dan berjiwa bagi karangannya. Kemampuan yang dimaksud adalah bagaimana menyatukan kata demi kata, memilih perbandingan yang sesuai untuk membentuk karangannya sehingga orang lain yang membaca karangan tersebut akan memperoleh sesuatu seperti yang diharapkan oleh karangan tersebut.
B. Pengertian Stilistika Puisi
Stilistika puisi adalah telaah penggunaan bahasa dalam puisi. Oleh karena itu yang menjadi focus dalam stilistika puisi adalah bagaimanakah penggunaan bahasa dalam puisi-puisi penyair, apakah cirri bahasa dalam puisi (bahasa puisi) apa sajakah unsure/komponen stilistika puisi, bagaimanakah hubungan bahasa dengan puisi?
C. Komponen Stilistika Puisi
a. Bunyi
Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsure puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Misalnya : lagu, melodi, irama. Bunyi di di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu memperdalam ucapan, menimbulkan rasa dan menimbulkan bayangan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.
Karena pentingnya peranan bunyi ini dalam kesusastraan, bunyi ini pernah menjadi kepuitisan yang utama dalam sastra romantic, yang timbul sekitar abad ke-18, 19 di Eropa Barat (Slametmuljana, 1956:56). Lebih-lebih lagi aliran simbolisme yang dipelopori oleh Charles Baudelaire (1821-1867). Salah seorang simbolis, Paul Varlaine (1844-1896) berkata bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi(De la musique avant chose). Para penyair romantic dan simbolis ingin menciptakan puisi yang mendekati musik: merdu bunyinya dan berirama kuat. Mereka ingin mengubah kata menjadi gaya suara, bahkan mereka menginginkan agar kata-kata puisi adalah suara belaka.
Menurut teori simbolisme (Slametmuljana, 1956:57) tiap kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Hal ini dapat diusahakan dengan gaya bahasa. Jalannya ialah mengarah puisi sedakat-dekatnya kepada rasa saja. Apapun yang dapat ditangkap panca indera ini hanyalah lambang atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya ini tidak dapat ditangkap panca indera. Barang-barang ini hanya dapat memberi saran kepada kita tentang kenyataan yang sebenarnya. Misalnya dapat dilihat dalam puisi Toto Sudarto Bachtiar yang mempergunakan lambing-lambang yang memberi sugesti kepada kenyataan hidup (di Indonesia) yang sebenarnya.
Kita tidak dapat menangkap kenyataan hidup sebenarnya kecuali hanya sugesti-sugesti tentang kehidupan yang menyedihkan, penuh kesukaran, dan keburukan, tanpa perubahan: hidup yang terbaring mati – musim yang mengandung luka.
Menurut teori simbolisme, tugas puisi adalah mendekati kenyataan ini, dengan cara tak usah memikirkan arti katanya, melainkan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya. Baik dalam aliran simbolisme maupun romantic arti kata terdesak oleh bunyi atau suara. Dengan begitu, kesusastraan telah kemasukan aliran seni musik (Slametmuljana, 1956:59).
b. Irama
Hal yang masih erat berhubungan dengan pembicaraan bunyi adalah irama. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup, seperti gemercik air yang mengalir turun tak putus-putus. Gerak yang teratur itulah yang disebut irama. Irama dalam bahasa asingnya rhythm (ing.), rhytme (Pr.), berasal dari kata Yunani, reo, yang berarti riak air. Gerakan-gerakan air, riak air adalah gerakan yang teratur, terus menerus tidak putus-putus. Itulah barangkali setiap gerak yang teratur disebut reo (gerakan air mengalir), menjadi ritmos, Rhytmus (L), kemudian menjadi rhythm, rhytme, ritme (Ind.).
Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa irama itu pergantian berturut-turut secara teratur. Irama ini tidak terbatas hanya pada kesusastraan, tetapi juga dalam seni rupa: lukis, patung, bangunan dan sebagainya. Lebih-lebih dalam seni musik (nyanyian). Bahkan semua yang teratur itu disebut irama atau berirama.
Sesungguhnya irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang tetap dan tekanannya yang tetap hingga alun suara yang menaik menurun itu tetap saja. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, tetapi hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Pada umumnya puisi Eropa mempergunakan dasar metrum. Metrum itu banyak macamnya. Misalnya metrum jambis. Tiap kaki sajaknya terdiri dari sebuah suku kata tak bertekanan diikuti suku kata yang bertekanan (v-). Misalnya yang berikut ini
/v- /v- /v- / v- /
My heart is like a sing-ing bird
/v- /v- /v- / v- /
Whos nest is in a watered shoot (Altenbernd, 1970:36)
Metrum anapest, tiap kaki sajaknya terdiri dari tiga suku kata yang tak bertekanan, kemudian diikuti suku kata yang bertekanan (v v-).
vv- /vv- / vv- / vv-
For the mon never beams without bringing me dreams
vv- /vv- / vv- / vv-
Of the beautiful An-an – bel Lee
vv- /vv- / vv- / vv-
and the stars never rice but I feel the bright eyes
vv- /vv- / vv- / vv-
Of the beautiful An-an – bel Lee (Altenbernd, 1970:38)
Metrum trochee atau trocheus, tiap kaki sajaknya terdiri dari suku kata yang bertekanan diikuti suku kata yang bertekanan.
/v- /v- /v- / v- /
There they are my fif – ty men and wo-men
/v- /v- /v- / v- /
Na-ming me the fif-ty poems finished
(Altenbernd, 1970:38)
Dalam kesusastraan Jawa Kuno, Kakawin, kita kenal sajak-sajak yang bermetrum. Kita kenal kaki sajaknya terdiri dari kombinasi dua macam suku kata yang panjang atau berat disebut guru, sedangkan suku kata yang bertekanan ringan atau pendek disebut laghu.
Dalam puisi timbulnya irama itu karena peluang bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya paralelisme-paralelisme, ulangan-ulangan bait. Juga disebabkan oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang pendek kata, juga disebabkan oleh kelompok-kelompok sintakis: gatra atau kelompok kata.
Untuk menyelidiki irama ini agak sukar sebab dalam puisi tidak tampak jelas seperti pada musik, disebabkan kata-kata yang jumlah suku kata serta tekanan tidak pasti. Namun, irama puisi dapat kita rasakan dengan hal-hal yang telah disebabkan tadi. Dalam puisi Indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada, kalau ada metrum itu bersifat individual, artinya metrum-metrum itu buatan-buatan penyair-penyair pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan patokan tertentu. Yang terasa seperti mempunyai metrum ialah syair dan pantun. Hal ini disebabkan oleh pola persajakan (tengah atau akhir) yang tetap.
c. Kata
Satuan arti yan menentukan structural formal linguistic karya sastra adalah kata. Dalil sastra J. Elema menyatakan bahwa puisi mempunyai nilai seni, bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan kedalam kata (Slametmuljana, 1956:25). Untuk mencapai ini pengarang mempergunakan berbagai cara. Terutama alatnya yan terpenting adalah kata.
Dalam pembicaraan ini akan ditinjau arti kata dan efek yang akan ditimbulkannya. Diantaranya arti denotative dan kono tatif, perbendaharaan kata (kosa kata), pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, citraan, sarana retorika, factor ketata bahasaan dan hal-hal yan berhubugnan dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi yang semuanya itu dipergunakan oleh penyair untuk melahirkan pengamalan jiwanya dalam puisi-puisinya.
Kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair , oleh slametmuljana disebut kata berjiwa (1956:4) yang tidak sama (artinya) dengan kata dalam kamus. Yang masih menunggu pengolahan. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan perasaan-perasaan penyair, sikapnya terhadap sesuatu singkatnya, kata berjiwa sudah diberi sesuasana tertentu. Pengetahuan tentang kata berjiwa disebut stilistika, sedangkan pengetahuan tentang kata-kata sebagai kesatuan yang satu lepas dari yang alin disebut Leksikografi. Kata berjiwa sudah tetap artinya, sudah mengandung jelmaan rasa dan penciptanya ( Selametmuljana, 1956:25). Penempatan kata yang mengakibatkan gaya kalimat disamping ketepatan pemilihan kata, memeran peranan penting dalam penciptaan sastra. Dramatika yang membicarakan efek dan kesan yang ditimbulkan oleh pemilihan kata dan penyusunan (penempatan) kata disebut tata bahasa stilistika , sedang yang lain membicarakan kaidah-kaidah bahasa disebut tata bahasa normatik.
d. Kosa Kata
Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan dalam bahasa. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan dalam menggunakan kata-kata. Segala kemungkinan diluar kata tidak dapat dipergunakan (Slametmuljana, 1956:7), misalnya mimic, gerak dan sebagainya. Kehalusan perasaan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata sangat yan gdiperlukan. Juga diperbedaan arti dan rasa, sekecil-kecilnya pun harus dikusai pemakainya. Sebab itu pengetahuan tentang lesikografi sastrawan syarat mutlak. Pernah dalam salah satu ceramahnya W.S Rendra menganjurkan para penyair untuk selalu meliha arti kata dalam kamus, seperti ia sendiri selalau melihat kamus bahasa dengan tekun untuk mendapatkan arti yang setepat-tepatnya. Dengan demikian, tak berarti bahwa bahasa serta kata-katanya berbeda dengan bahasa masyarakat. Bahkan puisi akan mempunyai nilai abadi bila didalmnya sastrawan berhasil mempergunakan kata-kata sehari-hari yang umum. Seseungguhnya sesuatu anggapan salah bahwa para penyair mempunyai bahasa khusus hanya untuk sastrawan saja. Terlepas dari perbendaharaan bahasa umum.
e. Pemilihan Kata
Penyair hendak mencurahkan perasaan isi pikirannya daengan setepan-tepatnya seperti dialami batinnya. Selain itu, juga ia ingin mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam kata disebut diksi.
Barfield mengemukakan bahwa bila kat-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sademikian rupa hinga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajenasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis (1952:41). Jadi diksi itu untuk mendapatakan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik.
Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk hal ini ia dapat memilih kata yang setepat-tepatnya yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaran dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya (Altenbrend, 1970:9). Penyair mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan sangat cermat.
f. Denotasi dan Konotasi
Termasuk pembicaraan diksi ialah tentang denotasi dan konotasi. Dalam memilih kata supaya tepat dan menimbulkan gambaran yang jelas dan padat itu penyair mesti mengerti denotasi dan konotasi sebuah kata.
Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, artinya yang menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahan. Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebut, kata atau diceritakan (Altenbrend, 1970:9). Bahasa yang denotative adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk (Wellek, 1968:22). Jadi, satu kata itu menunjukkan satu hal saja. Yang seperti ini ialah ideal bahasa ilmiah. Dalam membaca puisi orang harus mengerti arti kamusnya. Arti denotative, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang dipergunakan.
g. Bahasa Kiasan
Unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan (figurative language). Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan suatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup.
Bahasa kiasan ada bermacam-macam, meskipun bermacam-macam mempunyai suatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan susuatu yang lain (Altenbrend, 1970:15).
Jenis-jenis bahasa kiasan tersebut adalah :
a. perbandingan (simile)
b. metafora,
c. Perumpamaan epos (epic smile)
d. Personifikasi,
e. Metonimi
f. Sinekdoki ((synecdoche)
g. Allegori
D. BIOGRAFI Toto Sudarto Bachtiar
Dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929. Penyair yang dikenal dengan dua kumpulan puisinya: Suara (1956) dan Etsa (1958) ini, juga dikenal sebagai penerjemah yang produktif. Karya-karya terjemahannya, antara lain Pelacur (1954, Jean Paul Sartre), Sulaiman yang Agung (1958, Harold Lamb), Bunglon (1965, Anton Chekov), Bayangan Memudar (1975, Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa), Pertempuran Penghabisan (1976, Ernest Hemingway), dan Sanyasi (1979, Rabindranath Tagore). Ia merupakan catatan sejarah sastra tahun 1950-an, yang pada zamannya penuh perjuangan, sehingga karya-karya Toto selalu berisi perjuangan dan perlawanan melawan penjajah, seperti sajak Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, Tentang Kemerdekaan.
Saat terjadi Clash I, ia bergabung dalam Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pada waktu menjadi mahasiswa di Jakarta, pernah menjadi redaktur majalah Angkasa dan menjadi redaktur Menara Jakarta. Turut pula mendirikan majalah Sunda di Bandung bersama Ajip Rosidi tahun 1964 dan pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Puisinya banyak dimuat media pada tahun 1950-an dan tersebar di beberapa media di Indonesia.
Sajaknya yang berjudul Ibu Kota Senja, menggambarkan situasi batiniah perjuangan menaklukkan Kota Jakarta. Ia menggambarkan Jakarta tanpa kompleks sebagai pendatang. Hingga kini, menurut pengamat sastra Agus R Sardjono, belum ada lagi sajak semesra dan seindah itu mengenai Jakarta. Hampir tidak bisa dibayangkan bahwa penulisnya adalah orang Jawa Barat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jawa.
Bersama Ramadhan KH, Rendra dan Sapardi Joko Damono dikenal sebagai salah satu tonggak sastra Indonesia pada periode 1950-an dengan ciri masing-masing. Namun nama Toto Sudarto Bachtiar kemudian seolah-olah terlupakan”sejarah. “
Toto Sudarto Bachtiar yang biasa dipanggil Kang Toto adalah penyair yang sangat dikagumi oleh para penulis remaja, sejak akhir tahun 1950-an. Hampir tiap kali ada kegiatan lomba baca puisi (deklamasi) antar pelajar Jawa Barat, maka puisi gubahannya selalu menjadi wajib. Penampilannya sangat sederhana, sampai di hari-hari terakhir hidupnya ia tidak pernah terlihat memakai sepatu, kecuali sepatu olah raga. Kebiasaannya, memakai sandal atau sepatu sandal. Kesukaannya adalah bepergian memakai kendaraan umum atau angkot. Kadang-kadang diantar sopir keluarga, hanya didrop ke tempat tujuan.
Toto Sudarto Bachtiar wafat di usianya yang ke-78 tahun, di Desa Cisaga, Kota Banjar, Jawa Barat.
E. SINOPSIS PUISI “Pahlawan Tak Dikenal”
PAHLAWAN TAK DIKENAL
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda
(karya Toto Sudarto Bachtiar, 1955)
F. ANALISIS PUISI “Pahlawan Tak Dikenal”
“Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang”
Dalam bait puisi tersebut, kata-kata yang dipergunakan menyiratkan pancaran sikap sopan dan rasa hormat kepada pahlawan. Apabila dikatakan ia mati tertembak, rasanya kurang hormat meskipun hakikatnya sama saja dengan kalimat …dia terbaring, tetapi bukan tidur. Demikian juga diksi Sebuah lubang peluru bundar di dadanya memberi gambaran tentang kematian yang indah dan bersih.
Padahal kenyataannya pastilah tidak seperti itu. Tentu ada darah yang berlepotan, tidak tersenyum melainkan menyeringai kesakitan. Penyair menggunakan pilihan kata tersebut sebagai ungkapan jiwanya yang menghargai pengorbanan pahlawan. Kalimat Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang menyatakan keikhlasan sang pahlawan dalam membela tanah air sampai titik darah penghabisan.
Untuk memaksimalkan kepuitisan karya, biasanya penyair memanfaatkan kemampuannya dalam memilih kata setepat mungkin, memasukkan kata-kata/kalimat yang konotatif dan mempergunakan gaya bahasa tertentu.
Pilihan kata penyair sangat membantu imajinasi pembaca. Semakin konkret kata-kata dalam puisi, semakin tepat citraan yang ditimbulkannya.
BAB III
STILISTIKA CERPEN
A. PENDAHULUAN
Stilistika merupakan bidang kajian kesusasteraan yang menelaah pemakaian bahasa sebagai sarana atau efek apa yang ditimbulkan oleh sara pemakaian bahasa pengarang. Secara umum telaah stilistika terhadap prosa mencakupi :
(1) persoalan pemilihan leksikal,
(2) penyusunan struktur kalimat,
(3) pemakaian majas dan citraan.
B. Pengertian Stilistika Cerita Pendek
Stilistika cerita pendek adalah penggunaan bahasa dalam cerita pendek. Ceria pendek ini adalah bagian cerita fiksi atau cerita rekaan. Oleh karena itu, focus stilistika cerita pendek, bagaimanakah penggunaan bahasa dalam cerita pendek, yang digunakan oleh cerpenis, apakah cirri-ciri bahasa cerita pendek, apa saja komponen stil cerita pendek, bagaimanakah hubungan bahasa dengan cerita pendek.
C. Komponen Stilistika Cerita Pendek
Komponen stil sastra secara umum cerita pendek ini meliputi: a). unsur leksikal; b). unsur gramatikal; c). unsur retorika; d). unsur kohesi; dan e). unsur percakapan.
a. Unsur Leksikal
Unsur leksikal sama pengertiannya dengan diksi adalah penggunaan kata tertentu sengaja dipilih dalam cerita pendek oleh cerpenis. Disi ini dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna.
Bentuk kata berkaitan dengan jenis-jenis kata yang digunakan. Makna kata lebih dipilih yang berkonotasi yang juga lebih mengungkapkan gagasan, yang membangkitkan asosiasi-asosiasi. Dalam cerpen Indonesia, kata yang dipilih atau ungkapan yang dipilih bias jadi dari bahasa/kata daerah atau asing. Terjadi penyimpangan namun memiliki efek memperjelas makna. Tentang kata-kata perhatikan kembali bab 3 komponen stil sastra.
b. Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal maknanya sama dengan struktur kalimat. Struktur kalimat ini lebih penting dari kata-kata. Berdasarkan struktur kaklimat ini akan dapat diungkapkan pesan, atau makna yang sering disebut struktur batin.
Cerpenis bebas mengkreasikan kalimatnya dalam berbagai bentuk termasuk penyimpangan. Struktur kalimat dapat berwujud pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsure tertentu. Semua dilakukan demi efek estetis disamping menekankan pesan tertentu. Penekanan pada hal/pesan ini dinamakan pengendapan atau foregraunding.
Berbagai analisis cerita pendek dapat dilaksanakan. Unsur kalimat itu berupa (1). Kompleksitas kalimat; (2). Jenis kalimat; (3). Jenis klausa dan frosa.
Semua kalimat ini untuk memperjelas makna atau penekanan terhadap makna tertentu.
D. BIOGRAFI DANARTO
Danarto dilahirkan pada tanggal 27 Juni 1941 di Sragen, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Jakio Harjodinomo, seorang mandor pabrik gula. Ibunya bernama Siti Aminah, pedagang batik kecil-kecilan di pasar.
Setelah menamatkan pendidikannya di sekolah dasar (SD), ia melanjutkan pelajarannya ke sekolah menengah pertama (SMP). Kemudian, ia meneruskan sekolahnya di sekolah menengah atas (SMA) bagian Sastra di Solo. Pada tahun 1958--1961 ia belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta jurusan Seni Lukis.
Ia memang berbakat dalam bidang seni. Pada tahun 1958—1962 ia membantu majalah anak-anak Si Kuncung yang menampilkan cerita anak sekolah dasar. Ia menghiasi cerita itu dengan berbagai variasi gambar. Selain itu, ia juga membuat karya seni rupa, seperi relief, mozaik, patung, dan mural (lukisan dinding). Rumah pribadi, kantor, gedung, dan sebagainya banyak yang telah ditanganinya dengan karya seninya.
Pada tahun 1969—1974 ia bekerja sebagai tukang poster di Pusat kesenian jakarta, Tam Ismail Marzuki. Pada tahun 1973 ia menjadi pengajar di Akademi Seni Rupa LPKJ (sekarang IKJ) Jakarta.
Dalam bidang seni sastra, Danarto lebih gemar berkecimpung dalam dunia drama. Hal itu terbukti sejak tahun 1959—1964 ia masuk menjadi anggota Sanggar Bambu Yogyakarta, sebuah perhimpunan pelukis yang biasa mengadakan pameran seni lukis keliling, teater, pergelaran musik, dan tari. Dalam pementasan drama yang dilakukan Rendra dan Arifin C. Noor, Danarto ikut berperan, terutama dalam rias dekorasi.
Pad tahun 1970 ia bergabung dengan misi Kesenian Indonesia dan pergi ke Expo ’70 di Osaka, Jepang. Pada tahun 1971 ia membantu penyelenggaraan Festival Fantastikue di Paris. Pada tahun 1976 ia mengikuti lokakarya Internasional Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat, bersama pengarang dari 22 negara lainnya. Pada tahun 1979—1985 bekerja pada majalah Zaman.
Kegiatan sastra di luar negeri pun ia lakukan. Hal itu dibuktikan dengan kehadirannya tahun 1983 pada Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda.
Tulisnanya yang berupa cerpen banyak dimuat dalam majalah Horison, seperti “Nostalgia”, “Adam Makrifat”, dan “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaekat”. Di antara cerpennya, yang berjudul “Rintrik”, mendapat hadiah dari majalah Horison tahun 1968. Pada tahun 1974 kumpulan cerpennya dihimpun dalam satu buku yang berjudul Godlob yang diterbitkan oleh Rombongan Dongeng dari Dirah. Karyanya bersama-sama dengan pengarang lain, yaitu Idrus, Pramudya Ananta Toer, A.A. Navis, Umar Kayam, Sitor Situmorang, dan Noegroho Soetanto, dimuat dalam sebuah antologi cerpen yang berjudul From Surabaya to Armageddon (1975) oleh Herry Aveling. Karya sastra Danarto yang lain pernah dimuat dalam majalah Budaya dan Westerlu (majalah yang terbit di Australia).
Dalam bidang film ia pun banyak memberikan sumbangannya yang besar, yaitu sebagai penata dekorasi. Film yang pernah digarapnya ialah Lahirnya Gatotkaca (1962), San Rego (1971), Mutiara dalam Lumpur (1972), dan Bandot (1978).
Karya lain yang telah ditulisnya adalah Godlob (kumpulan cerpen, 1975), Adam Makrifat (kumpulan cerpen, 1982), Berhala (kumpulan cerpen, 1987), Orang Jawa Naik Haji (1984), Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek (drama, 1976), Bel Geduwel Beh (drama, 1976), Gergasi (kumpulan cerpen, 1993), Gerak-Gerak Allah (kumpulan esai, 1996), dan Asmaraloka (novel, 1999). Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Inggris, Belanda, dan Prancis.
Penghargaan lain yang pernah diterimanya adalah hadiah sastra dari Dewan Kesenian Jakarta dan hadiah dari Yayasan Buku Utama , Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1982 atas cerpennya Adam Makrifat serta hadiah dari Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1987 atas kumpulan cerpennya Berhala. Selain itu, pada tahun 1988 ia mendapat SEA Write Award dari Kerajaan Thailand.
Penghargaan lain yang pernah diterimanya adalah hadiah sastra dari Dewan Kesenian Jakarta dan hadiah dari Yayasan Buku Utama , Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1982 atas cerpennya Adam Makrifat dan, hadiah dari Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1987 atas kumpulan cerpennya Berhala. Selain itu, pada tahun 1988 ia mendapat SEA Write Award dari Kerajaan Thailand.
D. ANALISIS CERPEN “Kecubung Pengasihan”
Danarto sangat menggemari dunia seni (lukis dan teater). Hal ini dapat dibuktikan dari cerpen kedua yang bergambar hati terpanah dan cerpen ketiga yang berjudul sandiwara atas sandiwara dalam kumpulan cerpen Godlob. Dalam cerpen bergambar hati terpanah ditampakkan tiga tetesan darah yang memiliki makna tersendiri, sedang dalam sandiwara atas sandiwara merupakan kehadiran manusia sebagai bagian dari pertunjukkan. Jadi, kegemaran akan seni lukis dan teater telah mempengaruhi Danarto dalam menghasilkan karya-karya cerpennya. Selain itu, Danarto juga mendalami ilmu kebatinan sehingga mempengaruhi cerpen-cerpen yang dihasilkan adalah pandangan dari segi kebatinan. Seperti cerpen keempat dalam kumpulan cerpen Godlob yang berjudul “Kecubung Pengasihan”. Cerpen ini menuangkan anggapan akan persamaan hakikat antara manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan benda sebagai makluk ciptaan Tuhan. Jelas ini merupakan tinjauan dari segi ilmu kebatinan.
Cerpen keempat yang berjudul “Kecubung pengasihan” ini mempunyai arti tumbuhan yang bijinya memabukkan. Juga berarti, semacam batuan berwarna ungu sampai lembayung yang dipandang sebagai batu perhiasan. Menurut kepercayaan orang Jawa, kecubung pengasihan adalah salah satu jenis batuan yang berkhasiat menimbulkan daya tarik atau cinta kasih dan sayang orang lain kepada pemilik atau pemakainya. Jadi, kecubung pengasihan adalah mata cincin (akik) yang biasanya disukai orang dan dapat dipinjamkan kepada orang lain yang memerlukan khasiatnya. Akan tetapi, dalam cerpen ini memiliki makna tersirat, bukan batuan (akik) yang dimaksudkan.
Kecubung pengasihan menunjuk kepada pencari Tuhan karena Tuhan dipandang memiliki daya penarik besar sehingga segala cinta kasih terarah atau tercurah untuk mencari, menghampiri, bahkan bersatu dengan Tuhan. Pencari Tuhan disimbolkan dengan perempuan hamil yang sehari-harinya ada di taman bunga untuk makan kembang dan bercanda dengan mereka, sedangkan tempat tinggalnya di bawah jembatan bersama para gelandangan.
Pada saat perempuan hamil ini tersisih dari masyarakat manusia, bahkan dari para gelandangan. Karena itu, ia tidak pernah mendapat sisa makanan manusia, sehingga terpaksa makan kembang di taman. karena itulah timbul kesadarannya akan kehidupan pada makhluk lain, kesadaran akan alam semesta yang dapat menambah kenalan dan teman bicara, untuk memusnahkan keyakinan tentang dunia. Berikut adalah percakapannya dengan kembang-kembang:
Wahai kembang-kembang yang jelita. Mengenal kalian seperti mengenal semesta. Suatu kebahagiaan. Dan lantas kita saling ngomong-ngomong dan berkelakar. Tetapi sekarang aku lapar. Kalian makananku satu-satunya. Dan itu berarti pembunuhan.
“Bukan! Tidak benar! Justru kau menolong mempercepat reinkarnasi. Petiklah aku! Kusambut maut dengan karangan bunga yang paling panjang”, kata kenanga.
“O kematian yang kurindukan. Maut dan reinkarnasi yang kerja sama, mendekatlah! Cabutlah nyawaku! Cukup kau sentil saja dan kau mendapatkan jiwa yang paling bagus”, kata melati.
(Godlob, hal:79)
Pengalamannya di dalam perjalanan kembali kepada Tuhan itu makin memuncak: kelaparan, cemooh orang yang makin menusuk hati, serta kandungannya lahir. Juga rumahnya, yang telah tertimbun jembatan. Runtuhnya jembatan menyimbolkan runtuhnya tempat peribadatan (gereja/masjid), yang seterusnya menyimbolkan agama yang ada beserta aturan peribadatannya, pengarang bermaksud mengonkretkan pandangan pengikut aliran kebatinan yang tidak memperoleh kepuasan di dalam agama yang dianutnya. Hal ini dapat dihubungkan dengan kata kemuning,
“Tidak ada satu rumus pun yang mampu menenteramkan mereka” (Godlob, halaman:92),
Disini mengiaskan kata rumus sebagai agama.
Dalam perjalanan kembali kepada Tuhan itu ia melahirkan lalu meninggal dunia. Menurut kepercayaan orang, orang yang meninggal karena melahirkan akan masuk surga. Lalu kulit rahimnya mengembang menjadi semesta dan selanjutnya kulit itu menjadi tabir yang sesungguhya tidak ada. Tabir itu kelihatan karena matanya menipu dan setelah disadarinya, ia telah masuk ke “daerah kepercayaan” dan bertemu dengan para nabi.
Para nabi menahannya untuk tinggal di “daerah kepercayaanh” itu saja, tetapi ia ingat akan tujuan akhirnya untuk bertemu dengan Tuhan dan ia berlari menuju ke sebatang pohon yang melambangkan Tuhannya. Ia bersujud dihadapannya. Demikian salah satu simbol untuk mewujudkan cita-cita orang kebatinan di dalam menghampiri Tuhan.
Selain adanya simbol-simbol utama yang melukiskan pandangan dalam ilmu kebatinan, banyak simbol lainnya yang dipakai untuk menyokongnya. Misal, taman yang merupakan masyarakat segala tingkat makhluk dapat dikupas juga si taman itu, seperti: bunganya, pengunjungnya, dan sebagainya. Juga jembatan dengan isi kolongnya, yaitu gelandangan yang tinggal di situ, juga orang lain yang diajukan untuk menimbulkan kontras di dalam penyimbolannya.
Kalimat permulaan cerpen ini menarik karena panjangnya. Kalimat panjang ini dipakai untuk menimbulkan ketegangan supaya pembaca tertarik. Namun, sebelum melahirkan diikuti kalimat-kalimat pendek, kadang-kadang hanya daretan perincian yang dapat dibaca dengan santai
“Laki-laki tersenyum kurang ajar, anak-anak tertawa mengejek, wanita-wanita melengos.” ( Godlob, hal:70 ).
Ragam percakapannya pun ragam sehari-hari, penuh dengan kalimat seruan, ejekan, dan tentulah kata-kata harian dialek Jakarta. Ragam itu juga dipakai di dalam percakapan tentang hakikat sehingga memberikan sifat santai meskipun berat. Demikianlah dengan ragam seperti itu pengarang menunjukan bahwa masalah kebatinan bukanlah milik kaum cerdik cendekia (intelektual) dan bukan masalah ilmiah yang harus dibicarakan secara formal.
Gaya bahasa yang dipakai dapat dicatat ialah gaya personifikasi, yakni bunga-bunga mampu berbicara dengan perempuan hamil. Gaya bahasa ini mendukung salah satu pendapat yang diucapkan oleh perempuan bahwa tumbuh-tumbuhan dan batu itu juga hidup atau lebih jauh roh ada di mana-mana (animisme).
Gaya bahasa retorik juga banyak terdapat di dalam cerita ini. Hal ini tidak mengherankan karena setiap pihak di dalam percakapan itu ingin meyakinkan pendapatnya kepada orang lain atau kepada diri sendiri. Misalnya,
“Setuju dan mau! Memangnya kembang lebih bagus dari debu?” ( Godlob, hal:80 )
Gaya bahasa bentuk puisi, dapat kita lihat saat perempun hamil tersebut mendapati kolong tempat ibadatnya itu telah runtuh dan hancur, ia menengadahkan tangan dan berdoa disertai nyanyian sendu yang disapu-sapu angin malam.
Ya, Allah
Undanglah aku
dalam satu meja makan
di mana terhidang segala makanan
kasih sayang
dan gurau bersahut-sahutan
Lalu engkau berkata dengan senyum merekah
“Mari kita bicara tentang segalanya.”
Sejenak tangan kiri kita masing-masing berpegangan pada bibir meja
Engkau julurkan secangkir teh kepadaku dan ketika jari-jari-Mu menggeser jari-jariku
Aduhai perasaan bahagia menyelinap di hati kita masing-masing tanpa kita sadari.
( Godlob, hal:96 )
Pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga yang serba tahu. Pengarang secara subjektif menceritakan gerak batin yang dialami tokoh utama dan tokoh lainnya.
Perempuan bunting itu diliputi oleh perasaan keharuan yang sangat. Sedang kelompok-kelompok kembang itu melonjak-lonjak kegirangan, seperti kanak-kanak menyongsong ibunya yang pulang dari pasar, untuk minta oleh-olehnya.
( Godlob, hal:79 )
Masalah reinkarnasi yang diungkapkan berkaitan kembali dengan ajaran panteisme meskipun titik tolaknya anroposentris, yaitu anggapan segala benda dan makhluk di alam ini merupakan akibat reinkarnasi yang dialami manusia. Hal tersebut nampak seperti yang dikatakan oleh perempuan hamil.
Dulu aku mengira bahwa tunbuh-tumbuhan adalah benda mati dan kalian tak kuindahkan.kalian makhluk rendah. Tetapi ternyata kalian juga mengenal tawa dan tangis. Musik dan puisi. Ah! Manusia juga berasal dari batu dulu-dulunya. Dan batu-batu, kerikil-kerikil, pasir-pasir, makhluk yang paling rendah itu yang terhantar di bawah kakiku ini adalah nenek moyangku. ( Godlob, hal:78 )
Lalu mengapa harus mengalami reinkarnasi, tidak bercita-cita langsung di sisi Tuhan saja sehabis mati? Tanya perempuan hamil itu kepada kembang-kembang yang berebut minta dimakan lebih dulu. Kembang itu menjawab “siapa yang tahu timbangan kita?”
Jawaban di atas berarti hanya Tuhanlah yang tahu amal perbuatan makhluknya dan makhluk harus berusaha memperpendek masa reinkarnasi itu untuk secepatnya mencapai pemurnian jiwa (menghargai hakikat ketuhanannya) sehingga dapat bersatu dengan zat yang tunggal. Ini berarti tercapainya harmoni antara “jagat cilik” (manusia yag telah dapat menguasai unsur jasmaniahnya) dan “jagat gede” (alam semesta), yaitu harmoni kosmis.
Orang yang telah mencapai harmoni kosmis dalam tasawuf mungkin dapat disamakan dengan orang yang telah mencapai taraf makrifat, yaitu mengenal Tuhan dan nur yang tajalli, menyaksikan cahaya yang gaib menyinari hati sanubari (Atjeh, 1966:391).
Nur yang tajalli ini dalam kebatinan dapat disamakan dengan “sukma sejati” atau “cahaya sejati”. Orang yang telah mencapai tingkat makrifat ini kiranya dapat disamakan dengan mencapai “pemudaran” dalam kebatinan.
Tokoh perempuan hamil ini menanggalkan pakaiannya justru pada saat ia sedang kritis hendak melahirkan, Setelah mengalami proses penanggalan pakaian, perempuan hamil itu lalu menempuh pengalaman lain, yaitu bertemu dengan para nabi dan mereka beramai-ramai melamarnya.
Hal menanggalkan pakaian di sini berarti melepaskan jiwa dari kungkungan raga yang selama ini mengikatnya dengan dunia material. Sedang pertemuan perampuan hamil dengan para nabi berarti telah terbebasnya dari lingkaran reinkarnasi.
Sikap sabar tersebut dapat disamakan dengan tawakal, yaitu menerima cobaan itu dengan tidak mengeluh, tetapi dengan menyerahkan diri kepada Tuhan. Perempuan hamil yang menerima nasibnya sebagaimana adanya. Ia sudah berusaha, tetapi semuanya gagal.
Hampir aku tak percaya pada mataku bahwa memang tak ada sisa-sisa makanan sedikitpun di tong-tong sampah ataupun di restoran. Aku tak malu mengemis. Tetapi aku ditolak. Aku mau bekerja, tetapi tak ada lapangan pekerjaan bagiku. Semuanya menolakku. Hampir-hampir aku percaya bahwa aku hidup tidak bersama manusia……….
` ( Godlob, hal:77-78 )
Atas kenyataan yang dihadapinya itu, perempuan hamil ini lalu tak pernah menghiraukan lagi soal makan. Kalau laparnya masih menyerang, ia cukupkan dengan memakan kembang-kembang di taman. Akan tetapi, pada saat ia sadar bahwa memakan kembang juga membunuh, ia mulai tidak makan apa-apa lagi. Kalau ia mengorek-ngorek tong sampah, tujuannya bukan untuk mencari sisa makanan, melainkan mencari percah-percah kain untuk penutup perutnya. Ia tidak berbicara lagi dengan teman-teman gelandangan karena mereka sudah tidak bersikap ramah lagi terhadap dirinya seperti juga warga kota yang lain. Ia dianggap gila oleh mereka sebab ia hanya berbicara kepada kembang-kembang di taman kota.
Tinjauan tentang aspek kebatinan mengenai apa yang dihadapi oleh perempuan hamil adalah gerak dari suatu proses. Di saat ia mulai tidak makan apa-apa, itu merupakan simbol tercapainya distansi dengan dunia material (rasa lapar adalah salah satu aspek dari nafsu jasmaniah), tetapi ia masih hidup, masih sebagai manusia biasa karena ia masih mempunyai rasa malu (mengorek-ngorek tong sampah mencari perca-perca kain untuk menutupi perutnya).
Dalam kecubung pengasihan kita menemukan proses yang lebih nyata tentang hakikat persatuan makhluk dengan Tuhannya. Diceritakan, setelah perempuan hamil itu melepaskan diri dari raganya, ia melihat kulit rahimnya menggelembung membesar menjadi semesta dan ia sendiri terkandung di dalamnya.
Kemudian perempuan itu sampai kepada sebuah tabur lendir yang dingin besar lebar seolah pintu raksasa yang tegang kokoh. Kemudian dengan tangannya ditusuknya tabir lendir itu hingga terbelah pintu itu.
“Terbuka!” teriak perempuan itu kegirangan, “Aku telah membuka tabir!” Tabir menyibak! Dengan girngnya ia lari masuk dan menoleh lagi ke belakang, tapi tabir itu sudah tidak ada lagi. Ia tercengang.
O, tabir itu sesungguhnya tidak ada, gumam perempuan itu. Perasaanku dan mataku saja yang menipuku.
( Godlob, hal:98 )
Dengan berhasilnya perempuan itu menembus tabir lendir itu, berarti ia sudah memasuki wilayah “sumber” para tokoh suci ini. Tabir lendir ternyata simbolisasi dari sekat pemisah yang menghalangi komunikasi langsung antara kawula dengan Gusti, antara ana dan alhaq. Menembus tabir lendir berarti mencapai persatuan dengan zat yang Tunggal dalam pengertian tidak melebur menjadi satu, tetapi seolah-olah menjadi satu sebab kawula sudah begitu dekat dengan Gusti atau alhaq tanpa penghalang yang lain. Dari prinsip inilah kemudian kaum kebatinan merumuskan menjadi kawula Gusti tanpa menyelipkan kata lan di tengahnya.
Selain itu, di sini juga dilukiskan bahwa perempuan hamil telah dilamar oleh para nabi dan dalam wilayah ini pulalah ia bertemu dengan “pohon hayat”.
Berbarengan dengan musik semesta dan nyanyian yang bertalu-talu, tersembullah dari bawah, sebatang pohon yang hijau rindang, gilang gemilang, bercahaya-cahaya dengan cemerlang. Lalu semesta alam diliputi rasa kebahagiaan. Syahdu. Tentram.
Sekalian orang laki-laki yang meminang perempuan bunting tadi, pada sujud dihadapan pohon itu. Bergetar-getar pohon hijau rindang itu dengan penuh cinta kasih menyambut perempuan bunting yang berlari ke arahnya.
O’ pohon hayatku! O’ permata cahayaku! Hati perempuan itu menyanyi…. Serta merta perempuan itu jatuh di pangkuan-Nya.
( Godlob, hal:101-102 )
Tema pencarian Tuhan dapat diikuti sejak seorang perempuan hamil yang ada di taman bergelandangan hidup dari makan kembang-kembang yang ada di situ karena kalah cekatan dalam berebutan mencari sisa makanan di tong-tong sampah.
Percakapan perempuan hamil dengan bermacam-macam bunga tentang reinkarnasi berpangkal kepada anggapan bahwa hasil perbuatan manusia di dunia akan menentukan bentuk hidupnya seperti yang dikatakan perempuan bunting itu.
Dulu aku mengira bahwa tunbuh-tumbuhan adalah benda mati dan kalian tak kuindahkan.kalian makhluk rendah. Tetapi ternyata kalian juga mengenal tawa dan tangis. Musik dan puisi. Ah! Manusia juga berasal dari batu dulu-dulunya. Dan batu-batu, kerikil-kerikil, pasir-pasir, makhluk yang paling rendah itu yang terhantar di bawah kakiku ini adalah nenek moyangku.
( Godlob, hal:78 )
Kembang-kembang berebutan supaya dimakan si perempuan hamilagar si perempuan tersebut dapat mempercepat masa reinkarnasi sehingga cepat pula ada di sisi-Nya, dan menyatu di jantungnya. Setelah perempuan hamil itu menyadari bahwa makan kembang itu berarti membunuh, ia tidak makan apa-apa.
Peristiwa-peristiwa itu menggambarkan bagaimana manusia melepaskan diri dari nafsu yang mengotori badan dengan jalan mengambil distansi terhadap dunia material, yaitu dengan tidak makan nasi, hanya makan kembang, setelah itu tidak makan apa-apa, kehilangan jembatan yang merupakan rumahnya dan tempat dia mengadu kepada Tuhan.
Dalam kesedihan yang memuncak itu ia merasa seolah-olah melayang. Rohnya serasa melayang meninggalkan jasadnya ke alam astral. Ia tanggalkan tubuhnya. Setelah itu ia melihat kulit rahimnya menggelembung, mengembang besar sekali sehingga menjadi semesta dan ia sendiri terkandung di dalamnya. Selanjutnya, perempuan hamil itu sampai ke dunia para tokoh suci setelah menembus tabir lendir yang dingin besar dan lebar. Artinya, roh pengemis itu telah masuk ke alam adikodrati, tempat di luar kodrati. Di sinilah ia bertemu dengan beberapa orang laki-laki perkasa yang kemudian meminangnya. Dengan gambaran pertanyaan roh perempuan itu kepada laki-laki perkasa tadi dapat diduga bahwa yang dihadapinya ialah para nabi. Di sini pula kemudian roh perempuan hamil tersebut bertemu dengan “pohon hayat”, bersatulah kawula dan Gusti setelah melewati masa-masa kenistaan dan kesengsaraan.
Kecubung pengasihan dibuka dengan menampilkan kesan terhadap tokoh utamanya, yakni perempuan hamil. Orang-orang meremehkannya, tetapi kembang-kembang di taman kota menyambutnya dengan mesra. Ia kalah berebut makanan dengan para gelandangan yang lain karena itu ia setiap hari hanya makan kembang-kembang saja. Rumahnya adalah kolong jembatan dan ia merasa kandungannya semakin memberat tak lama lagi ia akan melahirkan bayinya.
Setelah perkenalan, cerita memasuki generating circumstance ketika perempuan hamil itu hendak memetik kembang-kembang untuk dimakannya. Kembang-kembang itu berebut agar dimakan lebih dulu. Perempuan itu tiba-tiba tersadar ketika kenanga berkata
“engkau membantu mempercepat reinkarnasi. Petiklah kami yang pertama” ( Godlob, hal:77 ).
Ucapan ini menyadarkan bahwa sesungguhnya kembang-kembang itu juga makhluk, berarti selama ini dengan tidak disadarinya ia telah melakukan pembunuhan. Dengan itu pula dialog mengenai pengertian reinkarnasi antara kembang-kembang dengan perempuan itu dapat dikembangkan pengarang. Setelah pembahasan mengenai reinkarnasi ini, cerita mulai memasuki ricing action. Konflik-konflik mulai ditumbuhkan pengarang seperti dalam masalah reinkarnasi tadi. Disebabkan oleh pengetahuan bahwa sesungguhnya memakan kembang itu perbuatan dosa karena membunuh makhluk, perempuan hamil itu tidak mau lagi makan kembang dan menyesali perbuatannya yang lalu. Sebaliknya, kembang-kembang berlomba-lomba merayunya agar mau memakannya, hanya kemuning sajalah yang tidak melakukan rayuan, ia malah menyuruh perempuan itu cepat-cepat saja pulang. Sebagai akibat dari ucapan kemuning itu, kembang-kembang yang lain marah, perang pun pecahlah antara kemuning dengan kembang-kembang yang lain. Peperangan ini ternyata hanya cara lain bagi kembang-kembang itu untuk mati sebab setelah dekat dengan kelompok kemuning, mereka semua meletakkan senjatanya dan menubruk senjata kelompok kemuning.
Ada unsur-unsur suspence dan foreshadowing yang diperhatikan pengarang membayangkan bahwa jembatan yang menjadi rumah perempuan itu akan runtuh. Dalam percakapan dengan kemuning, setelah perang berlangsung, perempuan itu mengatakan:
….Aku di rumah saja. Tapi di rumah pun aku tak kerasan.”
“Kenapa?”
“Jembatan itu sudah rapuh benar. Aku makin was-was saja bila aku mulai memejamkan mataku dan di atas kendaraan-kendaraan berat lewat. Terasa rumahku bergoyang. Peluhku bercucuran menyangga beban yang berseliweran itu dan kukira dengan tangannya yang paling penghabisan.
( Godlob, hal:87-88 )
Sore hari ketika ia pulang ke rumahnya, ia melihat jembatan itu telah roboh. Kendaraan berat berserakan di kali dan orang-orang berkerumun untuk menaikkan korban. Ia menangisi teman-temannya yang ikut tertimbun dalam reruntuhan jembatan itu. Peristiwa ini secara tak langsung mempersiapkan cerita menuju klimaks sebab sudah cukup persoalan yang dihadapi oleh perempuan itu, yakni ia tak lama lagi akan melahirkan, suaminya sampai sekarang tak diketahui ke mana. Teman-teman yang akan menolong melahirkannya semua tidak ada, rumah tempat ia melahirkan juga sudah roboh dan ia harus mencari tempat yang lain.
Dalam proses ini yang harus diingat adalah perempuan itu sudah tidak makan apa-apa lagi meskipun ia masih merasa lapar. Ini berarti ia masih dalam proses mengharmonisasikan persatuan jagat ciliknya agar bisa mencapai tingkat pemudaran. Peristiwa di atas telah mengantarkannya semakin bulat penyerahan dirinya kepada Tuhan, pada malam yang dingin itu ia mencapai pemudaran. Secara biasa kita hanya mengetahui bahwa perempuan itu telah meninggal dunia. Dalam konsep kebatinan orang dapat mencapai pemudaran dalam hidunya, tetapi dalam cerpen ini orang mencapai pemudaran dalam matinya. Perempuan itu telah meninggalkan alam kodrati menuju alam adikodrati. Ia melihat rahimnya membesar menjadi rahim semesta dan ia terkandung di dalamnya. Ia kemudian sampai pada lendir yang besar dan lebar. Ia berhasil menerobosnya dan ia kini mencapai tempat orang-orang suci dan para Nabi.
Dengan keberhasilannya menerobos tabir lendir itu berarti perempuan itu telah memasuki tahap terakhir dalam penyatuannya dengan zat Ilahi. Kini klimaks telah dilalui dan cerita menurun menuju ke penyelesaian. Perempuan itu bertemu dengan dengan Tuhan (pohon hayat), ia terjatuh di pangkuan-Nya. Pandangan dari pengarang bahwa peleburan perempuan hamil dengan Tuhan tidak menjadi satu, melainkan dekat rapat dengan-Nya tanpa sesuatu penyekat pun.
BAB IV
STILISTIKA NOVEL
A. Pengertian Stilistika Novel
Stilistika novel adalah kajian penggunaan bahasa dalam novel. Di dalamnya dibahas bagaimana penggunaan kalimat dalam novel, oleh novelis bagaimana hubungan antar kalimat dalam novel dan antar paragraph dalam novel, bagaimana gambaran budaya dan sisial/masyarakat dalam novel, bagaimana percakapan atau dialog dalam novel.
B. Komponen Stilistika Novel
Komponen stilistika novel sama dengan komponen stilistika cerita pendek. Yang meliputi:
a). unsur leksikal;
b). unsur gramatikal;
c). unsur retorika;
d). unsur kohesi; dan
e). unsur percakapan.
C. Tentang Mashuri
MASHURI, lahir di Lamongan, 27 April 1976. Alumnus Jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Surabaya. Kumpulan puisinya Jawadwipa (2003), Pengantin Lumpur (2005) dan Ngaceng (2007). Novelnya Hubbu (2007). Bergiat di Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur.
Mashuri [31 tahun] belum lama ini terpilih sebagai pemenang pertama lomba menulis novel sastra yang digelar Dewan Kesenian Jakarta [DKJ]. Toh, sastrawan muda ini tetap sederhana, ramah, akrab dengan siapa saja. Juga tetap doyan soto lamongan di pinggir jalan.
Mashuri menulis novel berjudul Hubbu, yang artinya cinta. Menurut dia, cinta di sini sangat luas, banyak makna. Dia beroleh inspirasi untuk menulis Hubbu setelah menyaksikan wayang kulit berjudul Lokapala.
“Tadinya saya ingin membuat puisi. Tapi setelah jalan kok enak kalau sekalian menulis novel,” ujar Mashuri kepada LOLLA RAHAYU dan SUSIANTI, mahasiswi Akademi Wartawan Surabaya, belum lama ini. Kedua gadis ini kebetulan saya bimbing saat magang di harian Radar Surabaya.
Jalan cerita Hubbu cukup menarik. Tokoh utama bernama Jarot, seorang santri, dihadapkan pada nilai-nilai kota. Dia terjerat cinta dengan seorang gadis jelita yang akhirnya meninggal. Kemudian dia mengenal Agnes dan jatuh cinta, tapi Agnes pun meninggal.
Dari situ Jarot merantau ke Ambon. Di sana dia menikah dengan Zulaeka dan beroleh anak bernama Aida. Setelah Jarot meninggal, Aida menelusuri masa lalu ayahnya. Usut punya usut, ternyata ayahnya masih berdarah biru.
"Saya menulis novel ini selama 18 bulan di sela-sela kesibukan saya sebagai wartawan dan peneliti di Balai Bahasa Surabaya,” katanya.
Pergulatan cinta dan hidup seorang santri ini, rupanya, menarik perhatian para juri lomba menulis novel DKJ. Di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 9 Maret 2006, Mashuri dinyatakan sebagai juara pertama. Sungguh, prestasi nasional yang tak pernah dia bayangkan. “Hadiahnya uang tunai Rp 20 juta sudah saya pakai untuk resepsi pernikahan saya, Januari 2007,” ujar sulung dari lima bersaudara ini.
Jarot... eh Mashuri, sangat mengagumi sastrawan Budi Darma, Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohamad, Afrizal Malna, dan Sapardi Joko Damono. Alasannya, “Karya-karya mereka bagus. Mereka juga sastrawan besar yang memberi warna pada dunia sastra Indonesia.”
Alumnus Fakultas Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya, 2002, ini sedang mendalami filsafat di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dia juga pernah aktif di Teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar. “Sastra itu sangat penting bagi saya sebagai ajang untuk berekspresi dan mengungkapkan pemikiran-pemikiran saya,” kata laki-laki asal Lamongan ini.
Mashuri merupakan salah satu dari sedikit santri yang menekuni sastra secara intensif. Tak tanggung-tanggung, dia mondok dua pondok pesantren di Lamongan, yakni Pesantren Salafiyah, Wanar, dan Peantren Ta’sisut Taqwa, Galang.
Latar belakang Mashuri yang santri ini membuat novelnya, Hubbu, sangat menarik karena mengungkapkan perjanalan hidup seorang santri yang berkenalan dengan dunia lain, bahkan terlibat percintaan dengan gadis dari komunitas lain. Dia pun banyak mempertanyakan berbagai pakem atau tradisi di masyarakat santri.
Tulisan-tulisan Mashuri berupa puisi, esai, dan cerpen pernah dipublikasikan di JURNAL KEBUDAYAAN KALAM, JURNAL PUISI, AKSARA, KIDUNG, SURABAYA POST, KOMPAS, dan DUTA MASYARAKAT. Dia punya beberapa kumpulan puisi seperti REFLEKSI [Gapus, 1995], SERIBU WAJAH LILIN [Gapus, 1997], MENGUAK TANAH KERING [Gapus, 2000].
Salah satu cerpennya dimuat dalam kumpulan cerpen BLACK FOREST [Festival Seni Surabaya, 2005] dan SECANGKIR KOPI DAN SEBATANG ROKOK [Gapus, 2006]. Anak pertama dari pasangan Imam dan Masfuanah ini juga aktif menulis puisi dalam bahasa Jawa alias guritan dan dipublikasikan di JAYA BAYA, TELUNJUK, SURABAYA POST, SUKET SURABAYA NEWS, dan DAMAR JATI.
Esainya terdapat dalam buku SASTRA DAN MISTISISME JAWA [Lanskap Indonesia dan Fakultas Psikologi Unair, 2003]. Dia juga menulis buku TAFSIR MIMPI KEBERUNTUNGAN [Arkola Surabaya, 2002] dan RAMAL NASIB MANUSIA BERDASARKAN SHIO, WETON, DAN ASTROLOGI [Arkola Surabaya, 2002].
Untuk menyambung hidup, karena sastrawan di Indonesia belum bisa hidup dari karyanya, suami Haniatun Mariah ini bekerja di koran MEMORANDUM dan Balai Bahasa Surabaya. Kini, Mashuri yang tinggal di Jalan Kalikepiting, Surabaya, ini sedang mempersiapkan antologi puisi berjudul NGACENG.
Yang menarik, kemenangan Mashuri di lomba menulis novel DKJ tidak dirayakan oleh media massa Surabaya. bahkan, para seniman dan pengurus Dewan Kesenian Surabaya tidak tahu siapa gerangan Mashuri. Nomor telepon, alamat, tempat kerja... tak ada yang tahu.
D. SINOPSIS NOVEL “HUBBU” KARYA MASHURI
Jarot adalah seorang yang sejak kecil mengalami didikan keislaman yang kuat. Dalam dirinya masih ada keturunan darah biru dan penerus pondok di Alan Abang. Akan tetapi sejak awal Jarot tidak menginginkannya. Jarot ingin terbang bebas dan ingin menguak tentang sastra gendra.
Dalam perjalan hidupnya, Jarot terlibat dalam banyk masalah rumit, seperti masalahnya dengan istiqomah, putri, savitri, agnes, zulaikha dll yang disebabkan karena dia tidak bisa berkata tidak. Yang akhirnya menjerumuskannya dalam jurang kenistaan bersama Agnes. Jarotpun memutuskan tali keluarga secara sepihak. Jarot ingin menanggung semua kesalahnnya hanya pada pundaknya saja.
Ketika Jarot telah meninggal, putri kandungnya, Aida berusaha mencari jati diri ayahnya yang sebenarnya. Akhirnya Aida kembali ke masa lalu ayahnya di Alas Abang dan di Surabaya. Aida semakin kagum dengan ayahnya sendiri dan Aida banyak mendapatkan pelajaran dari kisah ayahnya.
E. ANALISIS NOVEL “Hubbu”
Hubbu adalah sebuah novel yang menceritakan tentang kehidupan Jarot. Novel ini cukup unik dengan pribadi jarot yang juga unik. Seperti layaknya kehidupan nyata, tokoh Jarot dalam novel ini tentu mengalami aktivitas yang tidak dapat lepas dari kehidupan orang lain. Bahkan tak jarang Jarot menjadi tong sampah serta membantu teman-temannya dalam menyelesaikan masalah mereka. Apalagi dengan sifat jarot yang tidak bisa berkata tidak.
Kelemahannku adalah tidak bisa berkata tidak. Dari sanalah tercipta labirin hidupku yang berkelok dan rumit, terutama dalam hubungan dengan orang-orang di sekitarku, terutama puteri (hal. 59)
Dengan sifatnya yang seperti ini, Jarot sering sekali dihadapkan dalam masalah. Namun ketika Jarot benar-benar dihadapkan dalam keadaan darurat, situasinya tidak sesederhana yang dipikirkannya lagi. Salah satu masalah unik yang dihadapi Jarot dalam novel ini adalah ketika dia dijadikan tong sampak oleh Savitri, pacar Teguh.
Savitri menelponku. Suaranya membuatku terlonjak.
“Mas, haidku telat!” serunya.
Apa hubungannya denganku sehingga dia memberitahu aku persoalan paling intim dari dirinya. Akhirnya aku menjemputnya dan aku ajak ke tepi Sungai Kalimas (hal. 126)
Dalam menghadapi Savitri, Jarot juga menunjukkan respon-respon tertentu disebutkan dalam lima langkah.
Apa yang dialami Jarot juga merupakan hal yang tidak dia perkirakan terlebih dahulu. Akan tetapi sebagai seorang bystander sekaligus sebagai seorang sahabat, Jarot menyadari akan adanya keadaan darurat yang dialami Savitri. Bystander adalah orang yang berdiri di dekat, penonton
Begitu menyadari adanya keadaan darurat yang dialami oleh Savitri, Jarot langsung mengajak Savitri bertemu dan meminta keterangan akan masalah yang tengah dihadapinya.
Aku mencoba menarik nafas perlahan. Kasus ini kasus berat dan rumit, pikirku. Aku mencoba mencarikan jalan. Mungkin jalan paling aman. Aku lalu berkata pada Savitri, agar berterusterang pada Teguh karena bagaimanapun dia juga harus turut bertanggungjawab pada yang menimpa kekasihnya. Jika dia memang jantan, dia akan mempertanggungjawabkannya meskipun pernah berdalih tentang membuang sperma saat bersenggama (hal. 127)
Ketika orang yang potensial menolong tidak yakin sepenuhnya apa yang terjadi, mereka cenderung untuk menahan diri dan menunggu informasi lebih lanjut. Hal ini pulalah yang dilakukan oleh Jarot dalam menghadapi masalah Savitri.
Awalnya Jarot memang sudah menyarankan Savitri untuk mengatakan yang sejujurnya kepada Teguh, akan tetapi karena ada masalah lain yang lebih rumit, yaitu masalah keluarga Savitri yang ternyata tidak menyetujui hubungan Teguh dan Savitri sejak awal, maka Jarot lebih memilih diam dan menunggu informasi selanjutnya. Informasi akn kesediaan Teguh bertanggungjawab.
”Itu persoalan lain. Coba kamu beritahu dulu Teguh, nanti bagaimanapun hasilnya, bilang ke aku!” akupun memutusi sendiri, karena kulihat Savitri seperti menunggu ’titah’-ku. (hal. 128)
Akan tetapi persoalan yang dihadapi Savitri tidak berhenti sampai disitu. Ternyata Teguh tidak mau bertanggung jawab. Teguh menyarankan Savitri untuk menggugurkan kandungannya. Bahkan Teguh bersedia mencarikan serta membiayai semua proses pengguguran itu. Hal tersebut ditolah Savitri karena Savitri tidak ingin melakukan dosa yang lebih besar lagi. Melihat permasalahan yang seperti itu Jarot hanya bisa diam dan menunggu informasi selanjutnya.
Dengan informasi yang ambigu apakah seseorang sedang menyaksikan masalah yang serius atau sesuatu yang tidak penting, kebanyakan orang cenderung menerima interpretasi yang menenangkan dan tidak memberi tekanan yang mengidentikasikan tidak perlunya dilakukan sesuatu
Ketika individu memberi perhatian kepada beberapa kejadian eksternal dan menginterpretasikannya sebagai suatu situasi darurat, tingkah laku prososial akan dilakukan hanya jika orang tersebut mengambil tanggung jawab untuk menolong.
Jarot adalah seseorang yang bertanggung jawab. Jarot juga merupakan orang yang suka menolong dan selalu merasa bertanggung jawab akan keadaan disekitarnya, meskipun sebenarnya jika dicermati lagi hal tersebut bukan merupakan tanggung jawab Jarot.
Ternyata ada masalah terpendam dan rumit yang dialami kawan-kawanku, sedang aku tak pernah mengerti secara penuh masalah mereka.... Ah, ke mana saja aku selama ini... (hal. 128)
Lalu bagaimana dengan kasus Teguh dan Savitri? Masalah itu memang sudah teragenda ke benaknya. (hal 130)
Bila dikaitkan dalam kehidupan nyata sehari-hari, amatlah jarang menemukan sikap seperti Jarot ini. Biasanya, bila sesuatu itu sudah tidak menyankut pada tanggung jawabnya, maka akan dengan mudah seseorang untuk meninggalkan masalah yang rumit seperti itu. Akan tetapi Jarot terus berpikir dan merasa bertanggung jawab juga akan maslah yang dihadapi temannya.
Hambatan-hambatan sosial seperti ini memang lebih rendah bila bystander adalah teman atau sahabat, bukan orang asing. Mereka yang berteman akan lebih mungkin untuk berkomunikasi satu sama lain mengenai apa yang sedang terjadi dan apa yang akan dilakukan terhadapnya. Sebagai seorang teman, tentu rasa tanggung jawab itu akan muncul.
Dalam kasus sikap Jarot terhadap kasus Savitri ini, penyebaran tanggung jawab tidak terjadi. Hal ini disebabkan karena Savitri hanya menceritakan masalahnya kepada Jarot dan tidak pada bystander yang lain. Penyebaran tanggung jawab itu sendiri adalah suatu pendapat bahwa jumlah tanggung jawab yang diasumsikan oleh bystender pada suatu keadaan darurat dibagi diantara mereka. Jika hanya ada satu bystander, dia menanggung keseluruhan tanggung jawab. Jika hanya ada dua bystander, masing-masing menanggung 50% dari tanggung jawab. Makin banyak bustander, mereka makin merasa berkurang tanggung jawabnya untuk bertindak.
Sebagai bystander jarot telah mencapai langkah 3 dan mengasumsikan adanya tanggungjawab. Akan tetapi tidaklah ada yang berarti yang dapat dilakuakan kecuali orang tersebut tahu bagaimana cara menolongnya. Sejumlah keadaan darurat cukup sederhana sehingga hampir setiap orang mempunyai keterampilan untuk menolong, tapi bagaimanakah jika keadaan darurat tersebut menuntut sesutu yang lebih?
Ia pun memiliki sikap tersendiri; sikap yang ia rasa aneh, kelewat aneh untuk orang seperti dia. Ia sedang merancang sebuah keputusan yang bisa membuat siapa saja tercengang, termasuk juga dirinya sendiri.
Esoknya ia menemui Savitri di Kampus, ia mengungkapkan idenya itu (hal. 180)
Disini dapat diketahui kalau Jarot mengetahui apa yang harus dia lakukan dan keputusan apa yang akan dia ambil untuk menolong sahabatnya.
Pertolongan tidak akan diberikan kecuali mereka membuat keputusan terakhir bertindak, bukan hanya sekadar saran saja. Pertolongan pada tahap akhir ini dapat dihambat oleh rasa takut terhadap adanya konsekwensi negatif yang potensial. Tahap inilah merpakan tahap paling sulit.
Akan tetapi sesulit apapun resiko yang diterimanya, Jarot tetap memberikan tindakan pada keputusan terakhirnya ini. Bahkan Savitri dan dirinya sendiri juga seakan tidak percaya dengan keputusan yang diambilnya.
”Ada dua pilihan untukmu, Savitri. Kau aborsi janinmu atau kau tetap mengandung tapi kita menikah. Jika kau mau kunikahi, kita lalu pulang kampung ke rumahku!” tegas Jarot. (hal. 131)
Keputusan yang diambil Jarot ini merupakan keputusan yang sulit. Dalam kehidupan nyata, amatlah jarang ada orang yang mau mengakui menghamili atau mau mengakui anak orang lain dalam kandungan seorang wanita sebagai anaknya. Sangatlah jarang ada orang yang mau menikah dengan wanita hamil, sedang anak dalam kandungan itu bukan anaknya.
Dalam mengambil keputusannya ini, dapat dilihat bahwa Jarot adalah seseorang yang mementingkan kepentingan orang lain dari pada kepentingannya sendiri.
Tentu saja dalam menghadapi masalah Savitri, Jarot mengalami emosi serta empati yang cukup besar. Apalagi mengingat kejadian yang menimpa sahabat mereka, Putri yang telah meninggal lebih dulu. Dengan melakukan semua langkah serta membuktikan bahwa dirinya mampu memberikan solusi serta tindakan nyata, Jarot telah memiliki altruisme dalam dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Toto Sudarto. 2001. “Pahlawan Tak Dikenal”, dalam “Suara, Etsa, Desah”.
Grasindo. Jakarta
Danarto. 2004. “Kecubung Pengasihan”, dalam “Godlob” (Kumpulan Cerpen).
Mahatari. Yogyakarta
Mashuri. 2007. Hubbu. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Purba, Antilan. 2009. Stilistika Sastra Indonesia. USU Press. Medan
Sumber dari : http://www.google.com/
Jumat, 18 Desember 2009
Analisis Stilistika Puisi,Cerpen,Novel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar