Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me
E. SINOPSIS PUISI “TAPI”
TAPI
Aku bawakan bunga padamu
Tapi kau bilang masih
Aku bawakan resah padamu
Tapi kau bilang hanya
Aku bawakan darahku padamu
Tapi kau bilang Cuma
Aku bawakan mimpiku padamu
Tapi kau bilang meski
Aku bawakan dukaku padamu
Tapi kau bilang tapi
Aku bawakan mayatku padmu
Tapi kau bilang hampir
Aku bawakan arwahku padamu
Tapi kau bilang kalau
Tanpa apa aku datang padamu
Wah!
1976
Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK, 1981
F. ANALISIS PUISI “TAPI”
Pada puisi Tapi ini, Sutardji menampilkan gaya bahasa paradoksal (paradok), ialah gaya bahasa yang melukiskan dua hal atau keadaan yang bertentangan dalam satu saat. Misalnya, meskipun ia miskin, hidupnya berbahagia. Kata miskin dan bahagia menunjukkan keadaan paradoks. Gaya bahasa paradoks pada puisi Tapi tidak padu karena asosiasi yang ditimbulkan oleh kata yang mestinya berkesan paradoks justru tidak paradoks.
Larik pertama dengan larik kedua masih menimbulkan kesan gaya paradoks yang sesungguhnya. Namun, pada larik-larik berikutnya, kesan paradoks itu terputus oleh kata-kata yang mestinya mendukung. Kesan itu hanya terpaut pada kata tapi saja, sebagai salah satu penghubung paradoks.
Pada sajak ini juga tampak adanya penggabungan gaya bahasa paralelisme anaphora dengan gaya bahasa pararelisme epifora. Penggabungan ini menunjukkan adanya variasi dan komposisi yang artistic sekali. Pararelisme anaphora terbentuk oleh kata aku dan tapi, sedangkan paralelisme epifora terbentuk oleh kata padamu.
Puisi “tapi” adalah sebuah komposisi kalimat majemuk setara kontradikting. Kalimat-kalimatnya dipenggal tepat di depan kata sambungnya (tapi). Untuk memperoleh komposisi yang menarik, penggalan itu diatur dengan tipografi yang unik pula.
Komposisi ini ditambah pada bagian pertama, kata bilangan pada bagian kedua, menyebabkan sajak ini memiliki irama kuat disamping komposisi yang indah.
Dilihat dari sudut maka, kalimat majemuk setara kontradiktif pada sajak tersebut tampakanya tidak padu, kecuali pada kalimat pertama. Ketidakpaduan ini disebabkan oleh kata-kata : resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku tidak memiliki hubungan paradoks dengan kata-kata : hanya, Cuma, meski, tapi, hampir, dan kalau. Kalimat majemuk itu tamapak bernilai kontradiktif semata-mata karena adanya kata tapi. Dibalik strukturnya itu tidak ada nilai kontradiktif.
Dihadirkannya kata-kata hanya, cuma, meski, tapi, hampir, dan kalau dimaksudkan untuk menciptakan kejutan irama. Situasi kontradiktif yang disebabkan oleh adanya kata tapi tiba-tiba terputus setelah hadirnya kata-kata tersebut.
Kalau larik pertama dan kedua membentuk kalimat majemuk setara kontradiktif, maka larik-larik keempatbelas (terakhir) membentuk kalimat majemuk setara kerpulatif. Kata wah adalah sebuah interjeksi yang pada hakikatnya berperan sebagai sebuah kalimat padanan dari kalimat sebelumnya. Dalam hal ini wah mengandung nilai “persejutuan” pada konsep yang terkandug atau diucapkan pada kalimat sebelumnya.
Bila dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, puisi “Tapi” ini bisa bermakna tentang sifat manusia yang selalu ingin lebih dan lebih. Sifat manusia yang tidak pernah merasa puas terhadap apa yang telah dimilikinya. Mungkin itulah gambaran yang ingin disampaikan.
E. SINOPSIS PUISI “LUKA”
LUKA
ha ha
Dalam bukunya Tergantung Pada Kata A. Teeuw mencoba menjelaskan secara sederhana dan tuntas perihal konsepsi kepenyairan Sutardji, yaitu pembebasan kata dari maknanya”. Teeuw mengatakan, “yang dimaksudkannya ialah pembebasan kata dari hubungan sintaktik, dari hubungan semantik, dan dari hubungan morfologi yang biasa, yang terbiasa dan usang.” Pendapat Teeuw ini memang sesuai dengan usaha-usaha Sutardji dalam melaksanakan konsepsi kepenyairannya.
F. ANALISIS PUISI “LUKA”
Ada beberapa puisinya atau bagian-bagian puisinya yang tersusun dengan interjeksi atau bunyi-bunyi murni. Kata-kata puisinya ini dengan sendirinya tidak bermakna karena interjeksi sesungguhnya bukan sebuah kata melainkan bunyi. Salah satu puisinya itu adalah “Luka”. Pada puisi itu hanya tersusun dari perulangan horizontal interjeksi ha (ha ha).
Bagi orang yang belum pernah melihat serta mengetahui puisi-puisi Sutardji khususnya “Luka” ini, pasti tidak akan percaya akalu ada puisi yang hanya terdiri dari “ha ha” saja. Akan tetapi setelah diperhatikan secara keseluruhan, hal ini pastilah memiliki arti serta maksud tertentu. Apalagi setelah puisi ini di tampilkan layaknya teaterikal.
Mungkin disinilah Sutardji ingin menunjukkan bahwa puisi tidak sakadar kata yang ditulis dalam buku dan disimpan serta hanya bisa dinikmati lewat visual saja tetapi bisa juga dinikmati secara total, yaitu dengan menggunakan audio visual. Puisi itu dibuat bukan sekadar ditulis, tetapi harus dapat dilihat dan didengar langsung peragaannya dalam vocal, gerak tubuh, ritme, dinamik serta warna. Jadi puisi bukan sekadar puisi dalam pengalaman konvensional, tetapi ialah juga teater atau penampilan yang konkrit sehingga unsure-unsur “beyond the word” tadi dapat sekaligus dijamah pancaindera tanpa ditamengkan oleh suatu keadaan yang masih dipertanyakan warna-dinamik-tempo serta jurus asosiasinya. Dari puisi dituntut pertanggungan jawab yang lebih konkrit. Karena kata ternyata belum lengkap ampuhnya menampung serta mengekspresikan hayatan estetik manusia.
Dilihat dari judul dan isi puisi “Luka” tersebut, sangatlah tidak masuk akal dan bertolak belakang. Biasanya orang yang terluka akan merasakan sakit dan yang diucapkanpun bermacam-cacam yang menunjukkan rasa sakitnya itu, misalnya ao, aduh, hiks, sakit. Tapi ini bukan kalimat yang mengaduh tapi malh menunjukkan senang, sebuah ekspresi suka, tawa, haha. Melihat hal tersebut timbullah banyak pemikiran serta persepsi mengenai makana dari puisi tersebut. Mungkin bisa diartikan kalau puisi tersebut melambangkan perasaan seseorang yang sudah kebal dengan penderitaan sehingga ketika dia terluka bukan lagi uangkapan sakit yang dia katakan melainkan tawa. Mungkin juga bisa diartikan bahwa ketika terluka pasti disana terdapat sebuah kegembiraan yang lain, setiap luka pasti ada hikmahnya. Mungkin juga bisa dimaknai dengan ungkapan ejekan kepada uranag lain yang tengah menderita. Disinilah keunggulan puisi agar dapat memberikan banyak arti tersebut didapatkan.
Setelah melihat puisi Sutardji diatas, dapat diketahui bahwa ungkapan-ungkapan Sutardji banyak mengumandangkan hasrat kebebasan. Hal ini identik dengan asas kepenyairannya dan landasan ide puisi-puisinya. Sebagai puisi spiritual, puisi-puisi Sutardji sangat kaya dengan symbol atau lambang. Ditinjau dari jenis dan kronologinya, symbol atau lambang yang terdapat dalam puisi-puisi Sutardji adalah:
1. symbol atau lambang keresahan batin, alam spiritual dan magis
2. symbol atau lambang kreativitas
3. symbol atau lambang maut
Perlu dijelaskan, meskipun kata resah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti gelisah, tidak tenang, gugup, rendah hati, akan tetapi symbol atau lambang keresahan batin puisi-puisi Sutardji tidak melukiskan suasana demikian. Seluruh bentuk keresahan menggambarkan ambisi “pencarian spiritual”, pencarian sesosok makhluk untuk menemukan Khaliknya. Oleh karena itu symbol atau lambang keresahan batin erat sekali hubungannya dengan symbol lambang kreativitas.
Symbol atau lambang magis dalam sajak Sutardji sendiri terdiri dari dua tipe:
1. kata-kata tak bermakana (maksudnya: bunyi-bunyi murni), misalnya pada puisi “luka”.
2. kata atau kalimat yang melukiskan sarana magis, misalnya pada puisi “batu”
Dilihat dari penggunaan gaya bahasa pada puisi-puisi sutardji, dapat dilihat bahwa sutardji adalah seorang penyair kontemporer yang banyak memberi andil kepada perkembangan bahasa Indonesia. Sebagai seorang penyair, ia tidak lagi bertahan pada gaya bahasa personifikasi dalam usahanya untuk emperoleh intensitas pengucapan puitik. Pengalaman puitiknya dibangun dengan gaya parelisme tipe mantera dalam segala variasinya.
Masalah kata dalam puisi sutardji memang unik. Akan tetapi yang harus kita ketahui disini adalah pembebasan kata radi maknanya bukan berarti kata itu dipisahakn dari maknanya. Kalau ia memang sebuah kata, makna dan bentuknya telah senyawa. Lain halnya dengan interjeksi yang memang sekadar bunyi tanpa makna.
D. SINOPSIS PUISI “Kota Ini Milik Kalian”
Dalam kumpulan puisi Wiji Thukul dapat kita lihat Tema secara garis besar dalam kumpulan puisinya yang berjudul “Aku Ingin Jadi Peluru” adalah kritik sosial, hal ini berkenaan dengan sikap pemerintah yang cenderung tidak memihak kepada masyarakat kecil.
Puisi “Kota Ini Milik Kalian” menggambarkan kehidupan yang dialami oleh masyarakat kecil/ miskin di negeri ini. Kemiskinan dan penderitaan menjadi bagian terbesar yang coba disuarakan oleh Wiji Thukul dalam setiap puisi-puisinya. Selain puisi “Kota Ini Milik Kalian”, juga terdapat beberapa puisi kritikan sosial yang ditunjukkan kepada pemerintah dalam kumpulan puisinya Wiji Thukul ini.
Amanat yang terdapat dalam kumpulan puisi Wiji Thukul ini, pembaca dapat memperoleh banyak nilai guna, ketika membacanya. Salah satunya adalah kepekaan sosial terhadap lingkungan yang ada di sekitar kita yang berusaha untuk ditonjolkan dan diajarkan oleh Wiji Thukul. Tidak banyak masyarakat luas yang memiliki kepekaan sosial, memberikan perhatian khusus kepada golongan masyarakat miskin yang sebenarnya masih ada dalam lingkungan sekitar kita.
Selain itu, pesan lain yang ingin disampaikan oleh Wiji Thukul adalah semangat keberanian untuk memperjuangkan sesuatu yang sesungguhnya telah menjadi hak seseorang. Seperti yang terdapat dalam kutipan puisinya “Kota Ini Milik Kalian”. Kutipan tersebut dapat memberikan motivasi dan semangat untuk berani mempertanyakan hak-hak manusia.
Ada bermacam-macam gaya dalam karya sastra, antara lain: gaya bahasa, gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat, dan gaya wacana. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa gaya dalam kumpulan puisi yang berjudul “Aku Ingin Jadi Peluru ” karya Wiji Thukul.
“Kota Ini Milik Kalian”
Di belakang gedung-gedung tinggi
kalian boleh tinggal
kalian bebas tidur di mana-mana kapan saja
kalian bebas bangun sewaktu kalian mau
jika kedinginan karena gerimis atau hujan
kalian bisa mencari hangat
di sana ada restoran
kalian bisa tidur dekat dengan kompor penggorengan
bakmi ayam dan babi denting garpu dan sepatu mengkilat
di samping sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan asli jepang
kalian bisa mandi kapan saja
sungai itu milik kalian
kalian bisa cuci bada dengan limbah-limbah industry
apa belum cukup terang benderang itu lampu merkuri taman
apa belum cukup nyaman tidur di bawah langit kawan
kotaini milik kalian
kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu jangan!
E. Analisis Puisi “Kota Ini Milik Kalian”
Dapat kita lihat dalam puisi “Kota Ini Milik Kalian” karya Wiji Thukul menggunakan permainan kata dan diksi yang sangat halus untuk mengkritik kinerja pemerintahan kita yakni Republik Indonesia.
Di belakanggedung-gedung tinggi
kalian boleh tinggal
Di sini dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang tinggal di belakang gedung-gedung mewah yang ada di kota metropolitan sana. Dan memang kebanyakan adalah para kaum urban ataupun tuna wisma yang merantau ke kota.
kalian bebas tidur di mana-mana kapan saja
kalian bebas bangun sewaktu kalian mau
jika kedinginan karena gerimis atau hujan
kalian bisa mencari hangat
di sana ada restoran
Hanya karena masyrakat miskin tidak mempunyai tempat tinggal mereka harus rela tidur di jalan dan bahkan di restoran mewah hanya untuk sekedar menghangatkan diri apabila musim hujan tiba.
kalian bisa tidur dekat dengan kompor penggorengan
bakmi ayamdan babi denting garpu dan sepatu mengkilat
di samping sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan asli jepang
Kompor penggorengan, bakmi ayam, babi, denting garpu, sepatu, mobil-mobil dan sedan-sedan merupakan penanda asli yang juga merupakan petanda dari barang-barang itu sendiri tidak bermaksud untuk menjadikannya sebagai suatu tanda dan dibawa dalam tataran kedua.
kalian bisa mandi kapan saja
sungai itu milik kalian
kalian bisa cuci badan dengan limbah-limbah industri
Sungai Itu milik kalian ini memperlihatkan betapa penyair jeli dalam melihat permasalahn masyarakat kecil, mereka harus mandi dengan aliran sungai yang sudah kotor dan tercemar oleh limbah-limbah industri yang rawan akan penyakit.
apa belum cukup terang benderang itu lampu merkuri taman
apa belum cukup nyaman tidur di bawah langit kawan
kota ini milik kalian
kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu jangan!
Sesuatu pertentangan yang sangat paradoksal antara realitas dengan seharusnya. apa belum cukup nyaman tidur di bawah langit kawan kota ini milik kalian. Ini mengidentifikasikan bahwa masyarakat miskin hanya bisa menikmati indahnya gedung-gedung yang ada di negaranya sendiri namun, tak akan pernah bisa untuk menikmatinya. Karena bagi mereka hanyalah langit yang akan selalu menemani mereka.
1. Stilistika puisi
A. PENDAHULUAN
1. Mengapa puisi ini dipilih ?
Puisi merupakan teks yang berhubungan dengan teks-teks yang lain dan membutuhkan partisipasi aktif pembaca dalam menginterpretasikannya, sehingga kita mampu berperan aktif dalam mengeksplorasi struktur stilistika dan pola-pola maknanya, serta mengonstruk situasi pragmatiknya. Aspek-aspek yang terpenting dalam menginterpretasikan puisi antara lain adalah :
1. Pembacaan puisi menuntut pengetahuan tentang tradisi generiknya dan sejumlah teks yang terdapat di dalam tradisi tersebut.
2. Harus pula dimiliki beberapa keterampilan untuk memasok unsure-unsur yang menghilang dikarenakan adanya sifat eliptis dari puisi tersebut.
Dengan pusat perhatian kita pada salah satu puisi Perahu Kertas (1983) antara lain yang berjudul “ Bunga 1” oleh Sapardi Djoko Damono membandingkan keterbatasan manusia dengan kesombongan bunga rumput atau kehidupan manusia dengan bunga rumput yang sedang merekah di tepi padang.
Puisi harus merupakan suatu keseluruhan yang otonom karena tidak menjadi bagian dari situasi yang kompleks sebagaimana halnya dengan tindak tutur biasa. Situasi pengucapan sebuah puisi merupakan sebuah konstruk didalam dirinya sendiri yang harus dikembalikan ke dalamny sebagai salah satu dari komponen-komponen puisi. Dalam hal ini, apabila seorang membaca mencari kesatuan ketika menginterpretasikan puisi, setidak-tidaknya dia memerlukan beberapa pengertian mendasar tentang segala sesuatu yang dianggap sebagai kesatuan.
Apabila kita membaca sebuah karya sastra maka kita dituntut untuk merasakan mampu tidaknya seorang pengarang melukiskan ide-ide dalam karangannya. Kemampuan seorang pengarang sangat menentukan keindahan hidup dan berjiwa bagi karangannya. Kemampuan yang dimaksud adalah bagaimana menyatukan kata demi kata, memilih perbandingan yang sesuai untuk membentuk karangannya sehingga orang lain yang membaca karangan tersebut akan memperoleh sesuatu seperti yang diharapkan oleh karangan tersebut.
Dengan memperhatikan apa yang dikatakan Teww maupun faruk, maupun faruk. Terlihat bahwa bunga sebagai sebuah imaji yang merupakan unsure yang signifikan di dalamnya banyak puisi Sutardji Djoko Damono. Sebab puisi Sutardji Djoko Damono ini yang termuat di dalam Perahu Kertas (1983) terutama mengisahkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setangkai bunga rumput, seperti yang yang disaksikan oleh seorang persona puitik (aku – litik ) yang kehadirannya implicit di dalam konstruk fiksional teks puisi.
2. Tentang Penyair Supardi Djoko Damono
Penulis ini lahir di solo tanggal 20 maret 1940. Menyelesaikan pendidikan dijurusan Sastra Inggris FAkultas Sastra UGM (1964) kemudian memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu,AS (1970-1971) dan meraih gelar doctor dari universitas Indonesia (1989).
Balladanya, “ Ballada matinya seorang pemberontak”, mendapat hadiah pertama majalah basis tahun 1963, kumpulan sajaknya, sihir hujan (1984) mendapat hadiah pertama puisi II Malaysia 1983 dan kumpulan sajaknya yang lain adalah perahu kertas (1983) menggondol hadiah sastra DKJ 1983. Karya yang lain adalah dukamu abadi1969, akuarium (1974, Sosiologi Sastra: sebuah pengantar ringkas (1978), novel Indonesia Sebelum perang (1979), kesusasteraan Inonesia Modern, beberapa catatan kumpulan essay 1983, hujan bulan juni (1994), arloji (kumpulan sajak 1999), politik ideology dan sastra hibrida (kumpulan essay 1999) sihir rendra : permainan makna (kumpulan essay 1999), ayat-ayat api (kumpulan sajak 2000) dan Ada kabar apa hari ini, Den Sastro? (2002).
Sapardi juga menulis cerpen. Salah satu buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit adalah Membunuh Orang Gila (2003). Selain itu ia juga menjadi editor buku Tifa Budaya (bersama Kasijanto, 1981). Seni dalam masyarakat Indonesia ( bersama edisediawati, 1983) dan HB Jasin 70 tahun (1987). Sapardi juga banyak menerjemahkan. Terjemahannya : lelaki tua dan laut ( novel hemingway, 1973). Dan banyak lagi karya-karya asing lainnya. Tahun 1986 Sapardi Djoko Damono memperoleh Hadiah Sastra ASEAN dan tahun 1990 menerima hadiah seni dari Pemerintah RI. Dan tahun 2003 memperoleh anugerah “ Achmad Bakrie 2003” dan banyak lagi karya sastra yang telah disumbangkan oleh Sapardi Djoko Damono terhadapa kebudayaan masyarakat modern di Indonesi
BUNGA, 1
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
analisis stilistika
1. Kata dan Pilihan Kata
Penyair hendaknya mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialamai batinnya. Setelah iti harus pula mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu perlulah memilih kata yang tepat atau diksi.
Puisi Bunga1 dimulai dengan sebuah persoalan menyangkut konstruksi kalimat majemuk. Konstruksi ini menjadi masalah bagi pembaca karena sepotong bagiannya terlesap sehingga diawali dengan kata penghubung bahkan. Apabila kata penghubung seperti ini berfungsi untuk menguatkan isi pernyataan yang dinyatakan sebelumnya, maka pernyataan tersebut didapatkan di dalam teks puisi. Oleh karena itu, kesenjangan seperti ini haruslah dijembatani sendiri oleh pembacanya dengan cara melengkapinya. Berdasarkan pada kalimat pertama puisi tersebut, dapat direkonstruksi, setidak-tidaknya dua kemungkinan :
1) Bukan hanya A, bahkan rumput itupun B;
2) Bukan hanya C, bahkan D itupun berdusta.
Dengan menganggap bahwa A sebagai verba yang menyatakan tindakan selain B, dan B adalah berdusta, maka kemungkinan yang pertama dapat dibaca; bukan hanya menyombongkan diri, bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Dengan adanya kemungkinan ini maka terbentuklah suatu ambiguitas ( makna ganda) yang menghasilkan adanya pengandaian yang seolah-olah pembaca telah mengenal sibunga rumput sebelumnya. Telah diketahui bahwa sifat puisi yang berjarak dan impersonal membuatnya terlepas dari sisi komunikasi empiris, maka kata petunjuk itu di dalam puisi “ bunga 1” tidak dapat dikatakan deiksis gestural.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
Pada bait puisi ini seakan-akan adanya psoses kehidupan yang baru dimulai terlihat pada kalimat – bunga rumput yang merekah, lalu cuaca berdenyut- mengisyaratkan dimulainya kehidupan. Hanya saja kehidupan yang baru dimulai ini ternyata bersamaan waktunya dengan kehadiran sekawanan burung gagak terbang berputar-putar diatas padang it. Secara konvensional dengan memilih kata-kata ini tampaklah adanya imaji burung gagak yang biasanya menjadi lambang dari maut atau kematian, sehingga dengan bersamaan dengan dimulainya kehidupan, datang pula maut yang bergerak kemana-mana. Disiang hari kehidupan dan kematian hadir serentak.- cuaca-gagak-kehidupan-kematian-.
Pada kata mendengar sebagaimana dengan verba berdusta hanya dapat didahului oleh subjek yang mengandung semantic / insani/. Dimalam hari, meskipun tidak dapat melihat seperti disiang hari, ia masih dapat mendengar seru serigala. Seperti halnya dengan burung gagak, agaknya imaji serigala pun memiliki kecenderungan metaforis yang mirip yakni pada maut. Atau, setidak-tidaknya suara serigala dimalah hari merupakan sesuatu yang menyeramkan, sebuah horror. Jika pagi hari memperlihatkan tentang kehidupan ( bunga rumput merekah) malam hari menjadi kebalikannya. Malam adalah ketiadaan hidup yang total, kecuali seru serigala yang menyuarakan ketakutan akan maut.
Oposisi ini dapat ditengahi oleh siang hari sebagai mediatornya yang menghadirkan kehidupan dan maut secara bersamaan ( cuaca berdenyut dan burung gagak).
Sibunga rumput ternyata menyangkal kejadian yang mengerikan ini. Konjungsi tapi, yang menyatakan hubungn pertentangan dengan apa yang telah dinyatakan sebelumnya, menandai secar eksplisit.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
Jadi yang disangkalnya memang rasa takut itu. Dilihat sebagai tindak tutur ilokusione ( illoctionari act) ucapan sibunga rumput ini bukanlah sebuah pertanyaan melainkan sebuah pernyataan meskipun inonasinya tetap seperti sebuah pertanyaan. Dia menyatakan ketidaktakutannya terhadap “ pemandangan-pemandangan” sebelumnya yang diselimuti oleh maut. Sebab kata rasa takut hanya milik manusia, demikian menurut pendapat bunga rumput sedangkan dia merupakan pilihan dewata.
Tentu saja pernyataan itu dapat dianggap pula sebagai sebuah dusta yang lain dari si bunga rumput karena sebenarnya dia pun dapat merasa takut dan bukan pula mahluk pilihan dewata. Apabila sibunga rumput dapat mendengar, melihat, atau berbicara, seperti yang digambarkan sebelumnya maka ia pun sesungguhnya tidak berbeda seperti seorang manusia yang dapat merasakan ketakutan akan maut. Dustanya inilah yang akan membatalkan oposisi antara manusia dan pilihan dewata.
Pada bagian kedua dari puisi “ bunga 1” tampak adanya kesejajaran dengan bagian puisi sebelumnya. Pembagian formal menjadi dua bagian puisi yang parallel ini bias menandai suatu kesenjangan ruang, yaitu dua buah latar special ( yang sebelumnya dengan yang sekarang) sehingga perpindahan dengan lokasi kejadiannya ditandai dengan ikonik melalui pembagian tipografi. Lagipula, kesejajaran ini pun Nampak pada si bunga rumput yang belum berubah. Dia masih tetap digambarkan berdusta seperti sebelumnya, meskipun kini ia kembang disela-sela geraham batu-batu tua pada suatu pagi :
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi
Kemudian kalimat terakhir bermakna ambigu . meskipun masih dapat dinaturalisasikan melalui penambahan unsurnya yang hilang diantara kata ia dan kembang, penambahan ini sangat tergantung pada kata kembang yang dianggap sebagai nomina ( kalimat 1) atau verba ( kalimat 2):
1) Ia ( adalah ) kembang disela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi.
2) Ia ( ber) kembang di sela- sela geraham pada batu-batu gua pada suatu pagi.
Kemungkinan yang kedua ini nampaknya lebih dapat diterima mengingat kesejajarannya dengan kalimat kedua dibagian pertama puisi ini yaitu : ia rekah yang dinaturalisasikan menjadi ia (me)rekah. Sementara itu, pelukisan latar tempat terjadinya peristiwa dalam kalimat ini sekarang berubah menjadi figurative.
Kalimat kedua pada bagian ini merupakan kalimat majemuk yang setiap klausanya dihubungkan dengan kata penghubung dan. Berbeda dengan tapi, kata penghubung ini dapat digunakan untuk menyatakan hubungan keberuntungan atau sekuensialitas, yang mengandaikan bahwa peristiwa yang terjadi sebelumnya memiliki hubungan yang beruntun dengan sesudahnya. Maka setelah bunga rumput itu berkembang dipagi hari, ia menyadari bahwa tak Nampak apa pun di dalamgua itu pada malam harinya. Di sini terjadi peloncatan waktu karena siang dilesapkan. Lompatan waktu seperti ini sangat dimungkinkan mengingat lokasi terjadinya peristiwa adalah di dalam gua yang senantiasa gelap, sehingga perbedaan waktu menjadi nisbi atau terbatalkan. Memang,didalam konteks gua, kategori-kategori waktu seperti pagi, siang, ataupun malam tidak lagi signifikan.
Kalimat panjang ini diakhiri dengan sebuah tanda ellipsis
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
(dan setelah api…) dengan kemunculan tanda seperti itu pembaca dibebaskan untuk menentukan kalanjutan peristiwa hutan terbakar yang diangankan oleh sibunga rumput. Dalam hal ini kita tidak akan banyak mengalami kesulitan yang melanjutkannya karena , setidak-tidaknya dia bias membaca tanda ellipsis itu dengan sebuah predikat dan objek ( yang opsional) sejauh tidak merusak kesinambungan maknanya. Misalnya saja, dan setelah api membakar (hutan itu) ia pun…., dan seterusnya.
2. Bahasa kiasan (Bahasa Figuratif)
Kalau dikatakan bahwa bunga rumput itu berdusta maka disini dia telah mengalami proses personifikasi : dikiaskan seakan-akan seorang manusia, sebab verba berdusta mengandaikan subjek yang mengandung cirri semantic /+insani/. Seseorang dikatakan berdusta apabila ia mengatakan sesuatu yang tidak benar atau mengingkari janjinya. Demikian pula sibunga rumput yang mungkin pernah berjanji untuk tidak melakukan sesuatu tetapi janji itu telah diingkarinya. Dia berdusta karena :
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
Pada kalimat kedua menyajikan informasi mengenai latar, tempat dan waktu terjadinya peristiwa. Disini lokasi kejadiannya diungkapkan secara harfiah, berkebalikan dengan latar waktunya yang dilukiskan dengan kiasan metonomia. Suasana pagi (hening) dibayangkan seakan-akan sesuatu yang konkret seperti matahari yang bias terbit. Kemudian suasana malam hari dibayangkan seakan-akan seuatu keadaan sepi yang menyeramkan.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
Setelah sibunga rumput merekah dipagi hari, maka terjadilah peristiwa lain disiang harinya, yaitu cuaca berdenyut. Cuaca perwujudan lain dari waktu, dibayangkan disini seperti jantung dan urat nadi yang dapat berdenyut. Karena jantung dan urat nadi hanya dimiliki oleh mahluk yang bernyawa maka, maka cuaca ( waktu) mengalami pengiasan personifikasi.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
Akhirnya malam harinya pun tiba. Sibunga rumput sekali lagi dikiaskan oleh majas personifikasi yang dapat mendengar. Kemudian adanya hubungan pertentangan dengan apa yang dinyataka sebelumnya.dengan kata-kata yang dikutip secara langsung :
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
Pada kalimat terakhir
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ...
Gua dibayangkan seperti sebuah mulut yang memiliki gigi geraham ( metafora ini mungkin merupakan pengembangan dari mulut gua) dan sibunga rumput tumbuh disela-selanya. Sementara latar waktunyapun, berbeda dengan sebelahnya, berubah menjadi harfiah.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
Dalam potongan puisi yang diatas, adanya kiasan sinestesia yang merancukan persepsi indrawi antara udara dan air. Sehingga udara digambarkan menjadi sangat pekat, proses personifikasi masih terus ditujukan kepada sibunga rumput yang kini mampu menyadari sesuatu, bahkan ia dapat ( tanpa sengaja) mencium bau sisa bangkai dan mendengar suara embik pepatah yang keduanya merupakan imaji-imaji kematian dan maut. Sibunga rumput itu pun mampu berimajinasi dengan membayangkan sesuatu yang tak kalah menakutkan dengan sebelumnya, yakni hutan terbakar, sebuah peristiwa musnahnya kehidupan.
3) Nada dan suasana
Dalam menulis puisi, penyair memiliki sikap tertentu terhadap pembaca, apakah ia ingin bersifat menggurui, menasehati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Ini disebut nada puisi.
Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan terhadap pembaca. Jika kita berbicara tentang sikap penyair, maka kita berbicara tentang nada. Jika kita berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi, maka kita berbicara tentang suasana. Nada duka yang dibentuk oleh penyair dapat menimbulkan nada iba hati pembaca. Nada kritik yang diberikan penyair dapat menimbulkan suasana khusyuk begitu seterusnya.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
Kutipan puisi “ Bunga 1” ini dengan nada menyindir yang bersifat sinis dengan nada kesombongan dan keangkuhan dari sifat si bunga rumput.. Namun nada kesinisan itu tidak dapat kita hayati secara harfiah karena makna yang diucapkan bersifat filosofis yang hanya dapat kita mengerti dari makna yang tersirat. Demikianlah nada puisi yang dapat kita hayati sikap penyair yang tersifat dapat ditangkap oleh pembaca.pembaca menghayati suasana yang timbul dari nada puisi. Sebab itu nada puisi berhubungan erat dengan suasana.
4) Pengimajian (citraan)
Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian : kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Baris atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara (imaji auditif), benda yang namak (imaji visual), atau sesuatu yang dapat kita rasakan, raba atau sentuh (imaji taktil). Jika penyair menginginkan imaji pendengaran (auditif), maka jika kita menghayati puisi, seolah-olah mendengarkan sesuatu. Jika penyair ingin melukiskan imaji penglihatan (visual) maka puisi itu seolah-olah melukiskan sesuatu yang bergerak-gerak, jika imaji taktil yang ingin digambarkan maka pembaca seolah-olah merasakan sentuhan perasaan.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; imaji visual
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!" imaji auditif
5) Versifikasi (Rima, Ritma Metrum)
Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Ritma adalah pengulangan bunyi pada puisi. Digunakan kata rima untuk mengganti istilah persajakan pada system lama karena penempatan bunyi dan pengulangannya bukan hanya pada akhir setiap baris, namun juga untuk keseluruhan baris dan bait.
a) Rima
Pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas puisi atau orchestra. Dengan pengulangan bunyi itu, pusi menjadi merdu dibaca. Rima tidak khusus berarti persamaan bunyi atau dalam istilah tradisional disebut sajak. Rima lebih luas lagi karena menyangkut perpaduan bunyi, konsonan, dan vocal untuk membangun orchestra atau musikalitas.
1. Onomatope
Tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada. Dalam puisi, bunyi-bunyi yang dipilih oeleh penyair diharapkan dapat memberikan gema atau memberikan warna suasana tertentu seperti yang diharapkan penyair.
udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah
2. Intern pola bunyi
Yang termasuk intern adalah aliterasi, asonansi,persamaan akhir, dan persamaan awal sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi atau kata dan sebagainya.
- Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
- Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi
3. Pengulangan kata / ungkapan
Pengulangan bukan hanya terbatas pada bunyi namun pada kat-kata maupun ungkapan. Pengulangan bunyi/kata/frasa memberikan efek intelektual dan efek magis yang sunyi murni.
Dibawah ini kutipan puisi “bunga 1” yang menunjukkan adanya sikap memperjelas efek intelektual:
- "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
- ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
b) Ritma
Ritma sangat berhubungan dengan bunyi, kata, frasa ataupun kalimat. Ritma puisi berbeda dengan metrum (matra). Metrum merupakan pengulangan tekanan kata yang tetap. Metrum sifatnya statis. Dapat kita lihat pada kutipan puisi “Bunga 1” ini :
Bahkan / bunga rumput itu pun / berdusta/
Ia rekah/ di tepi padang/ waktu hening/ pagi terbit;
siangnya/ cuaca berdenyut/ ketikanampak sekawanan gagak/ terbang// berputar-putar/ di atas padang itu/;
6. Hiponim (hubungan atas- bawah)
Hiponim atau hubungan atas-bawah merupakan salah satu aspek leksikalyang berupa satuan bahasa yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Hiponim pada puisi dapat dilihat pada kutipan puisi “bunga 1” berikut ini :
- Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
- Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi
7. Kesimpulan
Sapardi Djoko Damono merupakan seorang tokoh yang telah memberikan sumbangan besar terhadap kebudayaan masyarakat modern di Indonesia. Karyanya membawa keunikan dan kesegaran tersendiri di dalam dunia sastra modern Indonesia.
Puisi (Bunga 1) yang diciptakan oleh Sapardi DJoko Damono ini dibuat dalam kumpulan puisi Perahu Kertas (1983), menceritakan gambaran kesombongan terhadap lingkungan sekitarnya.
Analisis konteks puisi ini mencakup analisis social yang menggunakan perumpamaan Bunga rumput yang memiliki sikap sombong dan angkuh. Juga mencakup konteks situasi yang dilakukan pada konteks fisik yang meliputi 1) Tempat yaitu didalam hutan, 2) waktu yakni pagi yang cerah,hening dan malam hari yang sunyi dan menyeramkan.
Analisis wacana puisi ini mencakup analisis aspek gramatikal wacana dan aspek leksikal wacana. Dalam aspek gramatikal mencakup pengacuan persona, s=demonstrative tempat dan waktu) serta pelepasan atau ellipsis dan perangkaian atau konjungsi.
Analisis aspek leksikalnya meliputi repetisi atau perulangan ( repetisi anaphora, mesodiplosis dan repetisi penuh), antonimi atau lawan kata. Kolokasi atau sanding kata dan hiponimi atau hubungan atas bawah.
Daftar pustaka
Herman j. Waluyo.2002. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Purba Antilan. 2009. Stilistika Sastra Indonesia. Medan : USU press
www. goggle. Kumpulan Puisi Supardi Djoko Damono. Akses 23 november 2009
HIKAYAT LAMONGAN I
-Abad 13 M
Karya : Viddy Ad Daery
Wahai rakyat : kayu bakar di dapur-dapur rumah mewah
Para pejabat !
Mulai hari ini kumpulkan sisa-sisa air matamu
Lalu siramkan di jalan-jalan raya Delangggung
Yang terlalu lama kering dan retak-retak
Kerna pohon-pohon peneduhnya ditetak
Oleh tangan-tangan jahat
Yang dikendalikan oleh pejabat-pejabat setempat
Bumio suburmu ini akan kehilangan pelindungnya
Karena hari ini Baginda Paarameswara yang kecewa
Akan meninggalkan negeri perwaliannya ini
Karena keserakahan para politikus Majapahit
Mengorbankan perang saudara 100 tahun
Menghancurkan negeri yang indah ini
Yang di bangun oleh keringat dan darah maha pahit gagah perkasa
Anak rakyat jelata dari desa mada
Hari senin legi
Kreta Baginda Paraswara beserta rombongan
Pegawai dan para isteri
Telah berangkat dari istana kemlagi
Mungkin telah lewat pamotan, Wateswinangun, Biluluk, dan Lamongrejjo
Rombongan berencana beristirahat di Ngimbang, dekat Mada
Dan berziarah kepusara ibunda Maha patih Gajah mada
Lalu melanjutkan perjalanan ke Babat, turun ke sungai
Naik perahu malam hari, menghanyut ke hilir
Pagisubuh rombongan mendarat di babangan pringgoboyo
Lalu “leren”: beristrirahat di Leren
Menikmati pemandangan Bengawan Solo
Melihat ratusan perahu rakyat menjala ikan
Bagi pesta karnaval Silugangga
Baginda Paraswara akan mengenang
Bagaimana para nelayan berdendang dan menembang
Lalu setelah ada teriakan aba-aba
Serentak para pejala berdiri
Dan dari atas perahu-perahu kecil itu
Ratusan jala dilemparkan, serempak dan bergantian
Seperti tarian wayang orang di sungai Nermada
Setelah sarapan, rombongan terus ke utara
Jalan raya Delangugng akan menembus s hutan
Pada tengah hari akan sampai di Tanggulungan
Disinilah baginda Paraswara mengadakan upacara perpisahan
Ini desa swatantra
Markas tentara majapahit paling utara
Yang sangat lama dibawah perlindungan
Dan pengawasan baginda Parameswara
Semuanya akan di tinggalkan
Karena pahlawan yang kecewa itu akan di tinggalkan
Karena pahlawan yang kecewa itu akan pulang
Ke negeri leluhurnya ke negeri seberang :
Gugusan pulau besar bernama “ Semenanjung Malaya “
Hai rakyat, hujan air mata ini bukan yang pertama dan terakhir
Karma setelah sang Pahlawana dan rombongan inti
Berlayar dari pelabuhan sedayu menuju tanah Melayu
Air matamu akan terus dikuras
Oleh kebejatan para pemimpinmu
Dan tentunya sebab yang paling pasti
Adalah kebodohanmu yang paling kedelai !
Lamongan-Jakarta, Juli 2006
ANALISIS PUISI
“HIKAYAT LAMONGAN I”
Dari puisi di atas, bahasa yang di pakai oleh penulis adalah bahasa kiasan yang bersifat menyindir, atau menyinggung para atasan yang semena-mena atau bertindak semaunya karena jabatan yang disandangnya.
Wahai rakyat : kayu bakar di dapur-dapur rumah mewah
Para pejabat !
Mulai hari ini kumpulkan sisa-sisa air matamu
Lalu siramkan di jalan-jalan raya Delangggung
Yang terlalu lama kering dan retak-retak
Kerna pohon-pohon peneduhnya ditetak
Oleh tangan-tangan jahat
Dari kutipan puisi di atas, dengan jelas penulis menyindir pejabat yang suka korupsi.
Kerna pohon-pohon peneduhnya ditetak
Oleh tangan-tangan jahat
Tangan-tangan jahat maksudnya yaitu orang yang telah merusak atau tidak perduli terhadap dampak penebangan pohon atau kerusakan lingkungan.
Yang di bangun oleh keringat dan darah maha pahit gagah perkasa
Anak rakyat jelata dari desa mada
Dari kutipan baris puisi di atas, yang di maksud oleh penulis yaitu para leluhur yang telah bersusah payah membangun negeri ini , dengan bantuan rakyat yang ada di desa, namun dirusak begitu saja oleh tangan para perusak.
Dalam buku stilistika sastra Indonesia karya Antilan Purba telah dijelaskan tentang unsure kepuitisan. Untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan. Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan puisi akan menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup dan terutama lebih menimbulkan kejelasan gambaran angan.
Dilihat dari bahasa kiasan yang dipakai oleh penulis , bahasa kiasan yang dipakai sudah mendapatkan kepuitisan yang luar biasa, karena penulis puisi hampir memasukkan semua jenis-jenis bahasa kiasan.
Menikmati pemandangan Bengawan Solo
Melihat ratusan perahu rakyat menjala ikan
Bagi pesta karnaval Silugangga
Baginda Paraswara akan mengenang
Bagaimana para nelayan berdendang dan menembang
Lalu setelah ada teriakan aba-aba
Serentak para pejala berdiri
Dan dari atas perahu-perahu kecil itu
Ratusan jala dilemparkan, serempak dan bergantian
Dari kutipan puisi di atas, dilihat dari faktor ketatabahasaannya sudah dapat dikatakan penulis telah menguasai penguasaan bahasa. Apabila melihat dari pencitraannya atau gambaran angan, Puisi ini sudah memberikan gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat gambaran lebih hidup dalam pikiran dan penginderaan serta menarik perhatian.
E. Lampiran puisi
“BERTELUR”
Dengan perjuangan berat, alhamdulillah akhirnya aku
Bias bertelur. Telurku lahir dengan selamat.
Warnanya hitam pekat.
Aku ini seorang peternak, saban hari
Mengembangbikkan kata, dan belum kudapatkan kata
Yang bias mengucapkan kita.
Kata yang kucari, konon, ada dalam telurku ini.
Ku peram telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama
Tak lagi melahirkan kata
Kuerami ia saban malam
Sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan.
Kalau aku lagi asik mengeram, diam-diam telurku
Suka meloncat, memantul-mantul di lantai
Kemudian mengelinding pelan ke toilet
Dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset
Cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang
“mana telurku?” tiba-tiba banyak orang merasa
Kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya
Dari ranjang mereka
Ah, telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga.
Kau mengelembung, memecah, memuncratkan darah
“itu bukan telurku !” mereka berseru.
F. Analisis Puisi
Dalam Puisi ini, Joko Pinorbo bermain-main dengan kata-kata telur dan bertelur. Kata telur mengacu pada buah kretivitas penyair berupa kata-kat atau hasil imajinasinya dari larik aku ini seorang peternak: saban hari ? mengembangbiakkan kta, dan belum kudapatkan kata ? yang belum bias mengucpkan kita. Dari larik ini jelas bahwa telur itu merupakan buah kreativitas penyair berupa kata-kat yang tepat untuk menungkapkan maksud hati dan pikiran. Di dalam telur kreativitas itulah akan didpati kata-kata yng tepat. Namun penyair belum menemukannya, kata yang kucari konon ada dalam telur itu.
Penyair merasa bahwa kretivitasnya seolah-olah berhenti. Hal itu diungkapkan dalm pernyataan kuperam telur di ranjang kata-kata yang sudah lama / tak lagi melahirkan kata / kuerami ia saban hari / sampai tubuhku demam dan mulut ku penuh igauan. Penyair menyatakan bahwa dlam kemandegan kretivitas itu ia merasa tersiksa.
Imajinasinya sering menggoda pemikiran, seolah-olah meloncar kesana kemari. Demikian jug sat ia berak di WC, seolah imajinasinya itu bermain kesana kemari seperti sesuatu yang tidak berharga ketika hamper saja nyamplung ke lubang kloset / cepat-cepat ku tangkap dank u bawa pulang keranjang. Di ranjang itulah digarap imjinasi penyair yang masih kacau untuk menjadi kaya.
Secara tiba-tiba semua orang merasa memiliki telur kata-kata milik penyair. Penemuan terhaap sesuatu merupakan jerih payahnya namun orang-orang tidak mengakui usaha itu sehingga dengan mudah mengklaim hasil kretivitas penyair sebagai milik mereka (mengira aku telah mencurinya dari ranjang mereka).
Hasil imalinasi penyair merupakan telur kata, telur derita / kau mengelembung, memecah, mencuratkan darah, artinya imjinasi yang merupakan bibit kreativitas perlu pengelolaan. Untuk mengelolahnya, perlu bekerja bersusah payah, penderitaan, bermati raga, seolah-olah sampai mencuratkan darah. Sebagai bekal kreativitas telur itu ternyata masih membutuhkan penderitaan untuk memanen hasilnya, maka orang banyak mengingkari telur itu dengan menyatkan itu bukan telurku! Hnya penyair sejati yang mau bersusah payah mengelolah imajinasi dan kreativitas untuk menghasilkan karya seni, sehingga tidak mampu menghasilkan puisi.
Jumat, 18 Desember 2009
Analisis Puisi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar