Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me
C. SINOPSIS NOVEL “Para Priyayi”
Buku ini, meskipun disebut sebagai sebuah novel, dari segi struktural lebih terlihat sebagai sebuah roman. Cerita berawal dari penjelasan tentang Wanagalih dan Wanalawas, latar utama cerita. Kemudian, tokoh Sastrodarsono diperkenalkan. Ia adalah seorang petani kecil yang akhirnya berhasil menjadi seorang priyayi. Ia menikah dengan Siti Aisah dan dikaruniai tiga orang anak: Nugroho, Hardojo, dan Soemini. Sebagai seorang priyayi, ia mempersilakan keponakan-keponakannya untuk tinggal bersamanya. Ia memiliki seorang keponakan yang bertabiat buruk bernama Soenandar, yang memiliki anak di luar nikah dari Ngadiyem. Namun, Soenandar kabur dan menolak untuk bertanggung jawab. Anak tersebut, Lantip, menjadi karakter utama dalam cerita ini.
Lantip diangkat anak oleh Hardojo. Karakter Lantip menggambarkan sosok seorang priyayi ideal menurut Umar Kayam. Di dalam cerita, Lantip menjadi seorang yang memiliki jasa yang sangat besar di dalam keluarga Sastrodarsono. Setiap kali masalah muncul di dalam keluarga Sastrodarsono, Lantip menjadi penasihat dan pencari solusi atas masalah-masalah tersebut. Cerita berakhir pada saat Ndoro Guru Sastrodarsono meninggal. Saat upacara pemakaman Sastrodarsono, Lantip berpidato, yang isinya menjadi intisari sekaligus kesimpulan dari buku Para Priyayi ini.
D. ANALISIS NOVEL “Para Priyayi”
Terjadinya konflik dan ketegangan antar-kelas disebabkan adanya perbedaan ideologi. Ketegangan yang terjadi pada umumnya melibatkan kelas santri dengan kelas priyayi dan abangan. Meskipun di antara abangan dan priyayi juga terjadi banyak konflik, tetapi konflik yang terjadi di antara kedua kelas tersebut dengan para santri terlihat lebih intens.
Para abangan, yang memiliki ideologi bersifat pragmatis tidak dapat menerima ideologi para santri yang mereka anggap mistis. Para santri berpendapat bahwa jika manusia tidak membaca kitab suci dan berdoa kepada Allah, maka kelak manusia tersebut akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan para abangan berpendapat bahwa neraka adalah situasi di dunia ini ketika mereka tidak memiliki makanan atau pada saat emosi negatif bergejolak di hati mereka. Cara untuk menghindari neraka bukanlah dengan berdoa atau membaca kitab suci, tetapi dengan berbuat hal-hal yang baik. Para priyayi mengkritik para santri sebagai orang-orang yang munafik. Mereka pergi naik haji agar dihormati orang. Para priyayi menganggap bahwa pergi ke tanah suci bukanlah alasan yang tepat bagi seseorang untuk dihormati, karena tempat suci yang sebenarnya adalah di dalam hati, bukan di Mekkah atau di tempat duniawi lainnya. Sebaliknya, para santri menuduh para abangan sebagai penyembah berhala, dan menuduh para priyayi menyejajarkan diri mereka dengan Tuhan.
Ketegangan antar kelas priyayi dan abangan disebabkan oleh sikap para abangan, yang ingin menjadi seperti seorang priyayi. Mereka mencoba untuk hidup seperti layaknya seorang priyayi. Karena hal ini, para priyayi mengatakan bahwa para abangan tidak menjalani hidup sesuai dengan kodratnya sebagai proletariat, kelas pekerja. Demikian pula mereka yang “naik kelas” ke jenjang priyayi pada zaman kolonial Belanda. Pada zaman Jepang, para priyayi, sedikit demi sedikit, mulai dapat mentolerir sikap kaum abangan ini.
Umar Kayam di dalam Para Priyayi, menggambarkan kelas-kelas tersebut bukan sebagai suatu hal yang mengikat, bahkan batasan-batasan yang terdapat di antara ketiga kelas sosial tersebut digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat kabur. Karakter Sastrodarsono diceritakan mempunyai latar belakang seorang petani, seorang abangan. Kakeknya, ayahnya, dan saudara-saudaranya hanyalah petani-petani kecil. Sastrodarsono sendiri menjadi priyayi setelah ia menamatkan pendidikannya, dan menjadi guru bantu di sebuah kota kecil. Ia bukanlah keturunan priyayi, dan ia belum memiliki prestasi apapun untuk mendapatkan gelar priyayi, tetapi ia sudah dianggap sebagai seorang priyayi.
Wage, alias Lantip, merupakan seorang tokoh yang paling besar jasanya dalam mengungkapkan pendapat Umar Kayam tentang makna kata priyayi. Lantip adalah sosok Umar Kayam di dalam buku. Tokoh tersebut adalah sebuah sarana bagi Umar Kayam untuk mengekspresikan pendapatnya di dalam buku ini. Ia adalah seorang anak haram dari keponakan jauh Sastrodarsono, tetapi, Umar Kayam menjadikannya seorang pahlawan di dalam Para Priyayi. Lantip adalah gambaran Umar Kayam akan priyayi sejati. Lantip menggambarkan seorang priyayi sebagai seorang yang memiliki semangat “pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih kecuali berhasilnya pengabdian itu sendiri” dan “warna semangat kerakyatan”.
Tokoh Lantip sendiri cukup sulit untuk dikategorikan ke dalam kelas-kelas dalam trikotomi masyarakat Jawa. Ia memiliki pengertian yang sangat baik akan kehidupan priyayi, dan ia bersikap bagaikan seorang priyayi. Apalagi, ia juga berpendidikan. Tetapi, ia bukanlah keturunan priyayi, malahan ia adalah anak haram dari kaum abangan.
Di dalam novel Para Priyayi, beliau menggambarkan hubungan di antara sesama masyarakat Jawa sebagai suatu hubungan yang harmonis. Bukan hanya itu, para priyayi juga memiliki semangat untuk memperjuangkan hak-hak wong cilik, orang-orang kecil.
Umar Kayam menyatakan bahwa tidak ada konflik yang sampai timbul ke permukaan di antara kaum priyayi dengan kelas-kelas lainnya, baik itu konflik ideologi maupun politik. Di dalam Para Priyayi, justru yang terlihat sangat menonjol adalah keakraban kaum priyayi dengan kaum abangan. Ayah dari Sastrodarsono dan Sastrodarsono sendiri diterima dengan baik oleh Ndoro Seten, baik sebelum maupun sesudah Sastrodarsono menjadi seorang priyayi. Ngadiyem, ibu Lantip, diterima dengan baik oleh Sastrodarsono, sang priyayi.
Di dalam Para Priyayi, para priyayi merupakan orang-orang yang mendukung dan memperjuangkan hak-hak wong cilik, orang-orang dari kelas bawah. Hal ini pertama kali ditunjukkan oleh Ndoro Seten, yang membantu Sastrodarsono dalam meraih impiannya menjadi seorang priyayi. Priyayi tidaklah senang akan kaum santri maupun abangan yang ingin menjadi seperti seorang priyayi, melawan kodratnya sebagai kaum pekerja. Ndoro Seten juga mengatakan bahwa dirinya ingin “..membangun barisan priyayi maju, bukan priyayi yang di kemudian hari kepingin jadi raja kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik”. Sastrodarsono pun terlihat mendukung hal ini dengan membangun sebuah sekolah kecil di Wanalawas, sekolah yang diperuntukkan bagi wong cilik.
Harimurti, anak Hardojo, juga bergabung dengan Lekra, sebuah organisasi berideologi komunis, dengan tujuan memperjuangkan hak-hak wong cilik. Bahkan, Lantip, di dalam pidatonya mengajak hadirinnya untuk “menanam semangat priyayi sebagai semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik”. Konflik dengan para santri pun dilengkapi oleh Umar Kayam dengan menciptakan tokoh Sri dan Darmin. Mereka adalah keponakan Sastrodarsono yang datang dari kaum santri. Bila memang terdapat konflik ideologi yang sangat intens di antara para priyayi dan para santri, tampaknya tidak mungkin Sri dan Darmin dititipkan pada sebuah keluarga priyayi.
Gambaran masa kecil Lantip dan Tommi dapat ditemukan di dalam novel Para Priyayi. Lantip, yang sejak kecil adalah anak yatim dari seorang perempuan abangan, pada umur enam tahun pindah ke rumah Sastrodarsono. Di sana, ia belajar mengenai kehidupan para priyayi, dan hal tersebut dimulai dari hal kecil seperti menata rumah priyayi. Karena Lantip merasa bahwa ia hanya tamu di rumah tersebut, ia berusaha untuk menyenangkan hati ndoro-ndoronya. Tommi Nugroho adalah anak dari Nugroho, anak Sastrodarsono. Nugroho sendiri adalah seorang yang cukup sukses. Berbeda dengan Lantip, Tommi dimanja oleh kelonggaran, fasilitas-fasilitas dan kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh orang tuanya. Tommi juga merupakan seorang yang acuh tak acuh sejak ia masih muda. Sebagai bukti, saat Marie hamil di luar nikah, Tommi melepaskan tangannya dari masalah tersebut, dan akhirnya Lantiplah yang harus turun tangan.
B. SINOPSIS NOVEL “ROJAK”
Janice Wong dan Setyo Putro Hadiningrat adalah sepasang suami istri yang berbeda kewarganegaraan dan berbeda latar belakang kebudayaan. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga selam tujuh tahun, dan mereka telah dikaruniai dua orang anak yaitu Bagus Putra Hadiningrat dan Meita Putra Hadiningrat. Janice Wong adalah seorang peranakan Cina.
Ia hidup dan dibesarkan dengan budaya peranakan. Ia fasih berbahasa Inggris, singlish (Singapore English) dan sedikit bahasa Melayu. Sedangkan Setyo Putra Hadiningrat adalah seorang keturunan bangsawan Jawa, yang hidup dan dibesarkan di lingkungan keluarga ningrat yang masih memegang teguh adat istiadat. Perbedaan latar belakang budaya tidak menjadi masalah bagi mereka sampai kehadiran ibu kandung dari Setyo. Janice benar-benar merasakan perbedaan diantara mereka. Perbedaan tersebut mulai menimbulkan konflik-konflik yang mulai menghancurkan rumah tangga mereka.
Ibu mertua Janice selalu mencampuri urusan rumah tangganya. Hal ini membuat Janice merasa tidak nyaman. Di mata Nami ibu mertuanya, apa yang dilakukan atau yang dikerjakannya adalah salah. Janice tidak bisa mengeluh atas sikap mertuanya itu pada suaminya Setyo, karena pastilah Setyo membela ibunya itu. Oleh karena itu Janice selalu bercerita tentang masalahnya pada buku hariannya dan juga pada ibunya sendiri. Perekonomian Singapura mengalami krisis, dan hal ini membuat Setyo merasa stres dengan pekerjaannya. Beban yang dirasa setyo semakin bertambah, ketika ia mengetahui kalau dia mengidap penyakit Gonorrhea.
Penyakit itu sebagai akibat atas perselingkuhan yang dia lakukan pada saat ia dinas keluar kota. Setyo merasa bersalah pada istrinya. Oleh karena itu di dalam rumah Setyo selalu diam. Melihat keadaan Setyo, Nami selalu menyalahkan janice atas apa yang terjadi pada anaknya itu. Untuk membantu Setyo, Janice kembali bekerja. Ia pun mempekerjakan seorang pembantu bernama Suipah. Nami tidak suka dengan pembantu yang ia pilih, karena itu ia selalu mengeluh tentang pekerjaan yang dilakukan Ipah.
Untuk mengatasi kepenatan yang dirasakan Janice melihat ketidakberdayaan Setyo dan keluhan ibu mertuanya, janice mulai mengikuti kegiatan yoga. Dari sinilah ia mulai melakukan perselingkuhan dengan pelatihnya yang bernama Eric Tan. Kian lama perekonomian Singapura kian merosot, melihat hal itu Setyo memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya itu.
Keputusan yang diambil Setyo bagi Janice adalah karma yang harus ia jalani akibat perselingkuhan yang ia lakukan., Janice harus menerima musibah yang sangat besar. Ibunya yang ia panggil ‘Ma’ terkena penyakit SARS dan meninggal. Akibatnya semua
keluarganya dikucilkan oleh semua orang. Apa yang menimpa keluarganya, bagi Janice adalah karma kedua yang harus ia terima.
Keadaan Setyo makin lama makin buruk, ia tidak mempunyai semangat hidup. Melihat hal ini, Nami mengajak Setyo untuk kembali ke Indonesia. Dengan alasan berziarah ke makam ayahnya, Setyo membawa ibu dan kedua anaknya ke Indonesia. Janice tidak bisa meninggalkan pekerjaannya jadi ia tidak bisa ikut.
Janice terkejut, setelah mengetahui tiket yang Ibu mertuanya pesan, ternyata tiket keberangkatan saja bukan tiket pulang-pergi. Janice mulai merasa stres, karena ia merasa ditinggalkan suami dan anak-anaknya. Amarah Janice memuncak, ketika mengetahui Ipah pembantunya ternyata sedang hamil di luar nikah, tidak cuma itu Ipah ternyata mencuri bros warisan Ma. Hal ini membuat Janice kalut dan melakukan tindakan kekerasan yang mengantar Ipah masuk rumah sakit dan mengantar dirinya ke dalam penjara.
C. ANALISIS NOVEL “ROJAK”
Novel Rojak karya Fira Basuki adalah novel yang memuat cerita tentang gambaran kehidupan perkawinan campur antara keturunan Jawa tulen dengan keturunan Cina Singapura. Fira Basuki ingin mengungkapkan sebuah masalah keluarga. Tidak terpikirkan sebelumnya bagaimana jadinya jika rasa manis pernikahan akan berbumbu asin, asam, atau bahkan pahit, pada suatu saat. Bagaimana pernikahan yang indah, bisa menjadi bermasalah atau kandas karena hal-hal yang sepele, atau hadirnya pihak ketiga. Itulah fakta-fakta kehidupan yang dilihat dan didengar pengarang, dan dijadikan ide cerita dari novel Rojak.
Dalam novel Rojak ini, Fira Basuki sebagai pengarang ingin mencoba menjelaskan berbagai konflik yang timbul akibat perkawinan campur. Konflikkonflik itu akan muncul pada saat mereka mulai menjalankan roda kehidupan rumah tangga bersama-sama. Pasangan yang berasal dari satu bangsa saja mempunyai banyak keunikan dan beragam permasalahan apalagi beda bangsa, ditambah lagi hadirnya pihak ketiga yang hadir mencampuri kehidupan rumah tangga mereka. Dalam pembahasan kali ini, penulis ingin mengungkapkan keuntungan dan kerugian kehidupan perkawinan campur bagi tokoh utama yang terdapat dalam novel Rojak karya Fira Basuki dan hubungan cerita dengan realitas kehidupan masyarakat pada masa sekarang.
Janice Wong dan Setyo Putra Hadiningrat adalah sepasang suami istri yang berbeda kewarganegaraan dan berbeda latar belakang kebudayaan. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga selam tujuh tahun, dan mereka telah dikaruniai dua orang anak yaitu Bagus Putra Hadiningrat dan Meita Putra Hadiningrat. Mereka hidup bahagia sampai kehadiran Nami, ibu mertua dari Janice. Janice Wong adalah seorang peranakan cina. Ia hidup dan dibesarkan dengan budaya peranakan. Ia fasih berbahasa Inggris, singlish (Singapore English) dan sedikit bahasa melayu. Hal ini diungkapkan Ma pada Janice mengenai jati dirinya. Kutipannya sebagai berikut.
“Kamu adalah new blood peranakan. Hasil hibrida. Keluarga Pa
datang dari daerah selatan sungai Min di provinsi Fujian, Cina sana. Tapi
Ma peranakan Malaka dan kamu lahir serta dibesarkan di Singapura.
Kamu lancar berbahasa Inggris, apalagi singlish, tapi bisa mengerti
bahasa Melayu dan tidak terlalu mengerti Hokkien. Tidak peduli 12 hari
pesta pernikahan, karena kamu adalah orang modern yang mencari-cari
akar dan jati diri. Tidak heran kamu tertarik pada suamimu yang
tradisional karena dalam hati kamu ingin mengeluarkan
ketradisionalanmu….” (Rojak:30)
Sedangkan Setyo Putra Hadiningrat adalah seorang keturunan bangsawan Jawa, yang hidup dan dibesarkan di lingkungan keluarga ningrat yang masih memegang teguh adat istiadat. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Namaku Raden Mas Setyo Putro Hadiningrat. Anak seorang
Hadiningrat yang ningrat. Yang kata-kata ningrat begitu melekat dan
terdengar lezat di mata Ibu. Dan aku seorang anak, yang berterima kasih
diberi keningratan dan darah yang katanya warnanya biru, bukan merah.
Dibesarkan dengan lingkungan yang menawan dengan segala kesan.
Sebuah kehormatan.” (Rojak:28)
Perbedaan diantara mereka menimbulkan keuntungan dan kerugian dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu penulis akan mencoba memaparkan keuntungan dan kerugian perkawinan campur dalam kehidupan mereka.
Keuntungan perkawinan campur dalam novel Rojak karya Fira Basuki tidak diungkapkan secara jelas maupun tersurat. Keuntungan-keuntungan tersebut diungkapkan oleh pengarang secara tersirat. Penulis akan mencoba menjelaskan berikut ini.
Perbedaan budaya yang dimiliki Janice dan Setyo tidak menjadi kendala, karena Janice sendiri berdarah peranakan. Peranakan adalah keturunan campuran Cina dan penduduk asal dan kemudian lahir di tanah Melayu. Dengan adanya dua budaya yang berbeda bisa terjadi percampuran budaya. Hal ini dilakukan oleh ibu kandung Janice, dimana ia menggabungkan dua kebudayaan yang berbeda. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Sebagai peranakan, Ma merasa ia bisa menggabungkan budaya
Melayu dan Cina. Sedangkan almarhum Pa, lebih ke Cina, tetapi selalu
mendukung Ma. Kecintaan Ma pada darah peranakannya membuatnya
membuka toko peranakan.” (Rojak:29)
Selain itu Ma-nya, selalu menasihati Janice untuk tidak selalu mendidik anak-anaknya dengan budaya yang dimiliki saja, tetapi dia harus bisa memadukan budaya yang dimilikinya dengan budaya suaminya. Dengan adanya perpaduan kedua budaya tersebut bisa menciptakan kebudayaan baru yang tidak bertentangan dengan dua budaya tersebut. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Ma bilang, jangan merusak ‘rasa’ rojak dengan memberi terlalu
bumbu pedas. Kata Ma, sebaiknya aku mencoba menggapai hati Ibu,
daripada menentangnya. Ma menyarankan aku berdendang dan
berpantun di depan anak-anak dengan bahasa Melayu bercampur Cina
atau bahkan Indonesia.” (Rojak:83)
Dari kedua kutipan di atas bisa disimpulkan dengan adanya dua budaya yang berbeda dalam diri Janice maupun Setyo bisa terjadi perpaduan budaya dan menciptakan kebudayaan baru yang tidak bertentangan dengan kebudayaan sebelumnya, yang nantinya diwariskan oleh kedua anak mereka.
Dalam hal ini sangat dirasakan oleh Bagus dan Meita sebagai anak hasil kawin campur. Di mana mereka berdua mendapat didikan budaya yang berbeda, yang bisa memperkaya pengetahuan mereka mengenai kebudayaan tersebut. Bagus dan Meita mendapat pendidikan tersebut dari ibu dan neneknya yang selalu mengajarkan lagu-lagu Jawa dan Cina. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Ma menyinggung soal ini lagi ketika ia bertanya mengapa
wajahku muram. Kukatakan bahwa Ibu di rumah selau mengajari anakanak
menyanyi jawa. Aku bilang, sebagai balasannya aku sering
bernyanyi lagu-lagu Cina yang kukenal ketika taman kanak-kanak dulu.
Ma malah tersenyum dan berkata, “Rojak rasanya bermacam-macam.”
(Rojak:83)
Perhatikan kutipan berikut.
“E, dayohe teka, e beberna klasa, e klasane bedah, e tambalen
jadah, e jadahe mambu, e pakakna asu, e asune mati, e buang neng kali,
e kaline banjir, e buang neng pinggir…”
(E, tamunya datang, e segera beberkan tikar, e tikarnya robek, e
ditambal pake nasi, e nasinya bau, e beri makan anjing, e anjingnya mati,
e buang ke kali, e kalinya banjir, e buang ke pinggir…)”
“Kubiarkan saja perempuan berjarik itu bersenandung bersama
Mei-Mei. Ia selalu saja bebicara dan mengobrol dengan bahasa Jawa,
entah sengaja agar aku tidak mengerti (karena aku mengerti bahasa
Indonesia yang mirip Melayu, berhubung dulu di sekolah aku
mengambil mata pelajaran ini dan ibuku seorang Cina Malaka), entah
ingin agar cucunya lebih Jawa daripada Cina, atau entah ingin agar aku
tersindir.”(Rojak:14).
Kutipan di atas adalah sebuah lagu Jawa yang selalu dinyanyikan oleh orangtua dan diajarkan pada anak-anaknya, dan dalam novel Rojak ini yang melakukannya adalah Nami, ibu kandung dari Setyo yang berasal dari Jawa, ia mengajarkan lagu ini pada cucunya. Melihat hal ini Janice yang berasal dari peranakan Cina, juga mengajarkan anak-anaknya lagu-lagu Cina, agar mereka menyadari, mereka juga dialiri darah Cina. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Mei-mei bei xhe yang wa wa/ zou dao hua yuan lai kan hua/ wa
wa ku le jiao ma ma/ shu shang de xiao niao xiao ha ha…”
(Adik perempuan membawa boneka asing/ ke taman untuk melihat
bunga/boneka menangis mencari ibunya/ di atas pohon, seekor burung
tertawa…)”
“Mei-Mei kuajari lagu-lagu Cina, agar ia menyadari tubuhnya
dialiri darah ini pula. Sering kudengar Ibu menyanyikan dan mengajari
Mei-Mei lagu-lagu Jawa. Aku berusaha mengimbangi aksinya.”
(Rojak:68)
Hal ini dirasakan sendiri oleh Janice, sebagai anak hasil peranakan. Ia menguasai bahasa lebih dari satu. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Kamu adalah new blood peranakan. Hasil hibrida. Keluarga Pa
datang dari daerah selatan sungai Min di provinsi Fujian, Cina sana. Tapi
Ma peranakan Malaka dan kamu lahir serta dibesarkan di Singapura.
Kamu lancar berbahasa Inggris, apalagi singlish, tapi bisa mengerti
bahasa Melayu dan tidak terlalu mengerti Hokkien. Tidak peduli 12 hari
pesta pernikahan, karena kamu adalah orang modern yang mencari-cari
akar dan jati diri. Tidak heran kamu tertarik pada suamimu yang
tradisional karena dalam hati kamu ingin mengeluarkan
ketradisionalanmu….” (Rojak:30)
Perbedaan latar belakang budaya tidak menjadi masalah bagi mereka sampai kehadiran ibu kandung dari Setyo. Janice benar-benar merasakan perbedaan diantara mereka. Perbedaan tersebut mulai menimbulkan konflik. Sebenarnya konflik bukanlah suatu kerugian, jika konflik tersebut bisa diatasi oleh kedua pasangan, namun jika konflik-konflik tersebut tidak bisa diatasi oleh tiap pasangan, maka konflik-konflik tersebut akan menjadi kerugian besar bagi rumah tangga mereka berdua. Konflik-konflik tersebut bisa memicu kehancuran rumah tangga.
Penulis akan mengelompokkan berbagai konflik yang muncul pada kehidupan rumah tangga pasangan Janice dan Setyo yang diceritakan oleh Fira Basuki dalam karyanya yang berjudul Rojak ini. Konflik-konflik yang muncul adalah sebagai berikut.
Konflik ini berupa konflik yang terjadi antara pasangan suami istri dan dalam novel Rojak ini adalah Janice dan Setyo. Dalam kehidupan rumah tangga mereka, Janice tidak pernah merasakan adanya perbedaan antara dia dan suaminya. Tetapi setelah hadirnya ibu mertua Janice yang tak lain ibu kandung dari suaminya yang bernama Nami, Janice mulai merasakan perbedaan di antara mereka. Hal ini tampak pada kutipan sebagai berikut.
“Lihatlah kami. Aku sungguh-sungguh cina Singapura dan ia
sungguh-sungguh Jawa Indonesia, sejawa-jawanya…”(Rojak:11).
Memang sebelum menikah, Janice selalu diberi nasihat oleh ibunya tentang perbedaan latar kebudayaan yang dimiliki oleh dia dan suaminya. Janice sendiri mengerti apa yang dimaksudkan ibunya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“…Hati-hati menikah gaya rojak(menikah campur), salah-salah
nanti bisa benar-benar rojak(hancur)!” (Rojak:18).
Sebagai seorang istri, Janice tidak bisa mengeluh tentang sikap mertuanya pada dirinya. Dia tidak bisa mengatakan pada suaminya, karena ia tahu secara pasti Setyo selalu membela Ibunya. Hal ini tampak pada kutipan sebagai berikut.
“…Mas Set, seperti biasa menghiburku, tapi selalu tampak berat ke
sisi Ibu. Ketika aku terlihat berwajah suram di depan Ma, ia berkata,
“Pasti Ibu mertuamu.” Aku mengangguk. Akhirnya aku mengaku,
sedikit kecewa karena aku merasa sebagai pihak yang kalah, Mas Set
sepertinya tidak pernah membelaku…” (Rojak:55)
Pada saat perekonomian Singapura menurun, pekerjaan Setyo pun mulai terancam dan membuat Setyo menjadi stres, Janice pun merasa mertuanya menyalahkan dirinya dengan apa yang terjadi dengan suaminya. Hal ini diperjelas dengan kutipan sebagai berikut.
“Aku lebih kuatir akan keadaan jiwa Mas set. Kian hari wajahnya
kian muram. Kian hari pula Ibu seperti menyalahkan diriku atas
perubahan wajah anaknya. Sering kudengar ia mengomel-ngomel sendiri
dengan bahasa daerahnya. Aku tahu pasti, dari nadanya ia menyindirku.
“Wong omah-omah kuwi mestine seneng, bahagia. Mestine istri
nyenengna bojo. Iki kok ora. Kowe kok lesu kaya ngono ‘to Le. Ana
apa?” (Orang menikah mestinya senang, bahagia. Mestinya sang istri
menyenangkan suami. Ini kok tidak. Wajahmu kiok lesu seperti itu,
anakku. Ada apa?)” (Rojak:60).
Masalah kian lama kian menjadi rumit, Janice merasa Setyo mulai berubah sikap, semenjak pekerjaannya semakin memburuk. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Mas Set seperti pijar lampu yang meredup, terus meredup. Ia juga
tidak pernah membelaku, tetapi paling tidak sebelum pekerjaannya
memburuk, Mas Set sering menghiburku jika ibunya menyindir. Kini
Mas Set mirip mainan mobil-mobilan Boy yang baterainya soak. Diam
tak mau, tapi bergerak setengah-setengah dan pelan.” (Rojak:61)
Untuk masalah hubungan suami istri pun, Janice merasa tidak perhatikan lagi. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“ Jangan tanya hubungan suami-istri kami. Mas Set tidak pernah
lagi memintaku. Ketika aku coba menggodanya, ia melenguh, berbalik
badan dan memejamkan mata. Aku mencoba berpakaian tidur sutera
seksi berenda, ia pun bergeming.” (Rojak:61)
Janice merasa lelah dengan situasi yang terjadi pada kehidupan rumah tangganya. Ia pun akhirnya sering mencuri waktu untuk menyenangkan dirinya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Capek dengan dengan situasi rumah, aku lalu sering mencuri-curi
waktu untuk diri sendiri. Akhir-akhir ini setiap sore di akhir pekan atau
terkadang pulang kerja, aku memilih untuk joging di Bishan Park, taman
dekat apartemen kami di Ang Mo Kio. Seperti sekarang ini. Berlari,
selain mengolah tubuh, juga sekaligus refleksi diri.”(Rojak:61)
Hubungan Janice dengan Setyo makin lama makin memburuk, dengan tidak adanya saling komunikasi di antara mereka. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“…Aku tidak perlu bertanya-tanya lagi bagaimana kabar Mas Set,
karena sudah berbulan-bulan wajahnya masih suram. Pulang dari
Malaysia, Bintan, dan Thailand, wajahnya tetap suram, katanya di sana
perekonomian juga jelek. Aku ingin menjadi tiang penyangganya, tapi ia
lebih senang berdiri dengan kakinya sendiri. Ketika ku ajak joging, ia
lebih memilih tidur.” (Rojak:62)
Merasa kurang diperhatikan oleh suaminya, Janice menyibukan diri dengan yoga. Dari aktivitas yang dilakukan oleh Janice, yang selalu bertemu dengan pelatih yoga yang bernama Eric Tan. Janice mulai menyukai pelatihnya itu dan dari rasa suka itu berujung dengan perselingkuhan. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Setiap selesai latihan yoga, kami bercinta di lantai kelas yang
keras tapi berubah menjadi kasur berbulu angsa. Membawa kami terbang
menyelusuri semesta dalam satu keterpaduan yin yang.”(Rojak:80).
Selain itu diungkapkan jelas oleh Janice, pengakuan dirinya yang ia tulis di buku hariannya yang ia beri nama Cokelat. Selain itu juga Janice menuliskan rasa penyesalan pada suaminya atas perselingkuhan yang ia lakukan . Di buku hariannya tertulis sebagai berikut.
“Namun ada lagi yang berubah, Cokelat. Hatiku. Pertama, kedua,
dan ketiga masih biasa-biasa saja. Tapi setelah sebulan lebih rutin
bertemu Eric, aku merasakan getar yang luar biasa. Ketika ia
membetulkan asanas atau posisi yogaku dengan menyentuh tangan atau
kakiku, aku seperti kena setrumhingga menggelepar. Jantungku berdetak
keras dan cepat sampai rasanya kehilangan pegangan dan meluncur
keluar. Aku sampai harus berkonsentrasi dobel agar tubuhku tidak
tergoncang setiap melihatnya.
Cokelat, aku tidak tahu kenapa. Aku tidak pernah merasakan ini.
Ketika aku pulang, rasanya aku masih membawa bom di dalam dadaku,
berdetak terus menunggu untuk meledak. Aku tidak bisa tidur, Cokelat,
hati dan pikiranku dibayang-bayangi Eric.
Aku membalik-balikkan badan berulang kali, sementara Mas Set
tidur pulas sambil memeluk guling. Badanku seperti ada yang
menyentak-nyentak, mungkin bom tadi.
Detakan bomku semakin cepat dan kuat sensasinya saat melihat
Eric. Lalu suatu hari, bom itu meletus karena sudah waktunya. Saat
selesai latihan yoga, ketika keluar dari kamar mandi untuk mengganti
baju, aku menabraknya lagi. Kami tertawa, karena teringat saat pertama
bertemu.
Kelas sepi, Cokelat. Ia menciumku begitu saja. Dan aku tidak
menolak. Karena rasanya apa yang berdetak di dada seakan berhenti
sejenak. Rasanya energiku bergelombang mengelilinginya. Dan kami
melakukannya.
Aku seperti orang baru belajar. Tidak tahu caranya. Barangnya
sama, tapi kok rasanya berbeda. Dhimasukkan ke tempat yang sama, tapi
kok rasanya berbeda. Apa karena tempat melakukannya berbeda? Atau
karena gaya-gaya melakukannya berbeda? Atau karena orangnya
berbeda? Atau rasa. Berbeda.
Aku pulang. Berbeda. Masih membawa bom, berdetak tapi tidak
lagi membuatku bergoyang-goyang tidak seimbang. Aku mandi berulang
kali sebelum menyapa Mas Set. Kucium pipi suamiku. Ketika tidur,
kucium pipinya lagi. Aku merasa bersalah. Tapi herannya, tak lama
setelah itu aku tidur pulas. Bahkan bertemu dia di alam mimpi dengan
segala rasa.”(Rojak:78)
Sebenarnya perselingkuhan tersebut tidak hanya dilakukan oleh Janice saja, tetapi setyo pun melakukan hal yang sama, bahkkan ia lakukan sebelum Janice. Setyo pun merasa sangat menyesal. Penyesalan itu tampak pada kutipan sebagai berikut.
“Penisku. Terkadang terkondomi, terkadang tidak. Tapi selalu
menyesal setelah ‘itu’ berdiri untuk perempuan bukan istri. Tapi
mengapa aku melakukannya berkali-kali? Senang di awal, menyesal
kini. Berjuta-juta kali membodohi diri.
Lagi pula siapa perempuan-perempuan itu. Mengapa bisa-bisanya
aku bersama mereka. Terkadang bukan Cuma satu perempuan di kamar,
tapi dua perempuan di kamar dengan satu pria, aku, dan sama-sama main
gila. Nama-nama mereka pun tidak semua kutahu. Rein, Shinta,
Michiya, Asano, Su En, Riana… Kurus, langsing, montok, sipit, lebar,
ramah, agresif…berbagai bentuk, macam, dan rasa. Nama dan wajah dan
rasa tidak menyatu. Anehnya, mengapa ketika melakukannya wajah
perempuan yang satu itu tidak memunculkan diri. Ketika sudah selesai ia
malah melekat di pelupuk mata dan hati. Wajah perempuan yang satu.
Wajah istriku.
Aku mencintainya. Istriku, Jan, tentu saja. Kulihat wajah
eksotiknya. Mata sipit, rambut hitam lurus sebahu, badan langsing
semampai, senyum malu-malu dan gaya gemulai. Perempuan bukan
Jawa, bukan pilihan Ibu, tapi pilihan hatiku. Perempuan yang kusuka
dari pandangan pertama, hingga tahan berlama-lama. Bagaimana bisa
aku melakukan ini padanya?” (Rojak:132)
Perselingkuhan yang dilakukan oleh Janice dan Setyo telah membuahkan hasil yang sangat buruk, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang-orang yang mereka sayangi. Ada sebab ada pula akibat. Mereka harus menanggung semua akibat dari apa yang mereka lakukan. Setyo telah menerima akibat yang harus ia tanggung seumur hidupnya. Ia harus menerima kenyataan kalau dirinya mengidap penyakit kelamin yang disebut dengan Gonorrhea. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Gonorrhea. Dari katanya sudah horor. Histeria. Penis
mengeluarkan cairan, buang air kecil perih, buah zakar sakit dan
bengkak. Muncul karena bakteria, berminggu-minggu atau berbulanbulan
setelah berhubungan seksual dengan orang yang mengidapnya.
Bisa sembuh dengan antibiotik penggunaan secara rutin. Tapi sebaiknya
berhenti berhubungan dulu.” (Rojak:132)
Kutipan di atas diperjelas lagi dengan kutipan berikut.
“Setyo berharap istrinya bisa mengerti, mengapa ia lebih senang
menatap tembok daripada istri sendiri. Habis bagaimana lagi? Pekerjaan
hilang, penis pun malang.” (Rojak:133)
Sebenarnya Setyo ingin menceritakan semua pada Janice istrinya, tetapi ia tidak berani, takut kalau istrinya kecewa pada dirinya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Aku merasa bukan pria. Mondar-mandir di depan dia. Ingin
kukatakan apa yang ada, tapi bagaimana jika ia kecewa? Apalagi
wajahnya, seperti berubah-ubah dan lebih banyak muram saja.
Mengapa?” (Rojak:133)
Di lain pihak Janice pun menerima nasib yang sama, harus menerima akibat dari perselingkuhan yang ia lakukan. Ibu kandungnya yang sering dipanggilnya dengan sebutan Ma terkena SARS. Terlebih lagi keluarga Janice percaya dengan karma. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“ Karma. Susan berbicara seperti Ma. Keluargaku percaya karma,
sebab akibat. Sebagai penganut aliran Taoisme dan segala paham
tradisinal Cina lainnya. Ma percaya jika orang berbuat di luar norma
manusia normal yang terhormat maka bentuk balasan akan berbalik ke
dirinya atau ke keluarganya.” (Rojak:118)
Hal ini dipertegas lagi dalam kutipan berikut.
“Filosofi berbuat baik Cina menyebutkan lima hal terpenting: ren
(suka menolong atau tidak egois), yi (adil), lee (sopan atau tata krama),
hsin (jujur), jir (bijaksana). Sebelum menikah Ma pernah mengatakan,
dalam hubungan suami-istri kelima hal tadi juga penting agar terjadi
harmoni atau keseimbangan. Jika seseorang melanggar salah satu prinsip
itu, apalagi dilakukan secara sadar, maka dirinya atau mungkin
keluarganya yang akan terkena akibatnya.
Aku takut Ma sakit karena perbuatanku. Aku egois dan tidak jujur
pada Mas Set, suamiku. Kakiku rasanya gemetar. Kurasakan bumi
mengguncangku, memberiku karma.” (Rojak:119)
Belum hilang kesedihan, Janice pun harus menerima kenyataan kalau Setyo telah mengundurkan diri dari pekerjaannya di tengah perekonomian Singapura yang memburuk. Hal ini dirasakan Janice sebagai karma yang kedua. Kutipannya tampak sebagai berikut.
“ Aku menghela napas, mengeluarkan apa yang kutahan barusan
ketika Mas Set menyampaikan hal buruk ini. Aku berdiri menuju kamar
mandi, meninggalkan Mas Set yang kini duduk di tempat tidur dengan
tatapan kosong ke arah tembok.
Karma kedua setelah Ma sakit. Alam berbalik membalas padaku.”
(Rojak:122)
Dari konflik yang terjadi di antara Setyo dan Janice, bisa penulis simpulkan bahwa di antara Janice dan Setyo sebagai pasangan suami istri tidak pernah ada waktu untuk berbicara antara yang satu dengan yang lain. Mereka tidak mau saling terbuka untuk membicarakan masalah yang tengah dihadapi. Mereka terlalu sibuk dan larut dengan pikiran dan perasaan masing-masing.
Mereka tidak menyadari dengan sikap tertutup yang mereka miliki telah menghancurkan rumah tangga mereka. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, komunikasi antar pasangan sangat penting. Antar pasangan harus bisa saling berbagi baik suka maupun duka.
Di antara pasangan harus ada kejujuran dan keterbukaan antara pasangan yang satu dengan yang lain. Hal inilah yang yang dilupakan oleh pasangan Janice dan Setyo, yang membuat kehidupan rumah tangga mereka menjadi hancur atau berantakan.
B. ANALISIS NOVEL “BLAKANIS”
BLAKANIS
Arswendo tampaknya saat ini mulai giat kembali menulis novel dan meramaikan khasanah perbukuan Indonesia. Sekian lama Arswendo nyaris sama sekali tidak hadir menyumbangkan karyanya, setelah sempat merajai di sekitar tahun 80-90 an. Karya besarnya yang sampai sekarang masih terus menggema tentu saja adalah "Senopati Pamungkas".
Beberapa bulan lalu baru saja diterbitkan novel terbarunya "Horeluya", tanpa jeda yang terlalu lama muncul pula novel yang satu ini. "Blakanis" judulnya. Tentang orang-orang yang mengedepankan kejujuran dan menjadikannya sebagai ideologi dalam menjalani kehidupan.
Kehadiran Ki Blaka, Penganjur Kejujuran
Nama aslinya Wakiman, usianya menjelang 60 tahun. Pergi meninggalkan anak istrinya dan tinggal di rumah darurat di sebidang tanah tak bertuan seputar daerah Karawang. Orang yang sangat sederhana dan selalu bicara blak-blakan. Satu saat mengajak orang-orang sekitarnya dalam sebuah pembicaraan dimana setiap orang harus bicara jujur apa adanya jika ditanya tentang apa saja. Bicara secara 'blaka'. Perbincangan itu ternyata memberikan suasana baru di antara mereka, suasana keterbukaan tanpa kepura-puraan.
Pertemuan itu lalu diadakan lagi dan lagi dengan peserta yang semakin bertambah jumlahnya. Berita pun tersebar luas, hingga orang-orang dari berbagai kota lain berdatangan ikut bergabung. Wakiman mendapat julukan sebagai 'Ki Blaka', orang yang menganjurkan dan menjunjung tinggi kejujuran. Daerah tempat tinggal Ki Blaka bahkan akhirnya dikenal sebagai kampung Blakan. Dan orang-orang yang sering hadir dalam pertemuan dan mengikuti pandangan hidup Ki Blaka suka menyebut diri mereka sebagai 'Blakanis'. Banyak orang yang terbuka matanya dan segera merubah cara hidupnya setelah mengenal Ki Blaka.
Namun ternyata kejujuran mutlak bukanlah sesuatu yang bisa diterima dengan mudah dimana-mana. Ketika seorang mantan menteri di hadapan Ki Blaka dan seluruh peserta pertemuan mengakui berbagai kecurangannya yang tidak bisa dibuktikan oleh pengadilan, beberapa pihak mulai gelisah. Keberadaan kampung Blakan dengan gerakan kejujurannya terasa mengancam bagi orang-orang licik yang masih ingin melanggengkan kekuasaannya. Ki Blaka dan simpatisannya pun tidak mampu berbuat apa-apa ketika mereka yang memiliki kekuasaan tinggi ingin melenyapkan kampung Blakan dan segala kegiatannya.
Selesai di Bab Pertama
Novel ini ditulis dalam 4 bagian. Bab pertama yang menjadi narator adalah Mareto, mantan intel polisi yang sudah dipecat. Yang punya keyakinan bahwa kematian itu bisa menjadi penyelamat hidup. Mareto adalah salah seorang partisipan aktif di kampung Blakan. Dan ketika perkembangan kampung Blakan mulai tidak bisa dikendalikan, Mareto berniat membunuh Ki Blaka demi kebaikan Ki Blaka sendiri. Pada bab pertama ini sebenarnya sudah mencapai puncak cerita, semua plot cerita sudah dikisahkan. Sudah menjadi sebuah kisah yang utuh. Tapi tentu saja terlalu pendek untuk dijadikan novel.
Pada bab kedua diambil alih oleh Suster Emma, atau Emak. Melalui narasi dan buku catatannya, Emak bercerita lebih detil menurut sudut pandangnya, serta penambahan kisah dari sejumlah orang lain yang hidupnya berubah dengan adanya Ki Blaka dan Kampung Blakan. Di dalamnya juga diuraikan lebih banyak tentang filosofi kejujuran menurut Ki Blaka. Bab ketiga entah siapa naratornya, menguraikan lebih lanjut tentang perkembangan Ki Blaka dan pengikutnya. Dan bab keempat adalah endingnya.
Entah mengapa setelah bab pertama, menurutku, cerita novel ini jadi agak kedodoran. Maksudku, karena jalan cerita sudah ketahuan di bab pertama penambahan detil di bab-bab berikutnya jadi tidak terlalu penting. Menarik sih, tapi terasa seperti tempelan biar novelnya lebih panjang. Apalagi ending di bab 4 yang mungkin maunya dramatis dan kolosal, tapi menurutku kok maksa banget kurang realistis. Satu hal lagi yang membuat novel ini terasa tidak runtut, Mareto yang diposisikan sebagai narator di bab pertama, di bab selanjutnya malah hilang nyaris tidak disebutkan keberadaannya sama sekali kecuali satu dua kali.
Teriakan Arswendo yang Jengah Akan Kepalsuan
Arswendo masih mempertahankan gaya penulisannya yang ringan mengalir. Bahasa deskripsi yang tidak njelimet dan dialog yang bermakna lugas membuat pembaca tidak perlu mengerutkan kening terlalu dalam. Dibumbui dengan sindiran disana sini, celetukan humor cerdas yang segar, hingga sisipan pemikiran filosofis penuh makna, novel ini menjadi bacaan yang enak dinikmati tapi tetap mencerdaskan dan mencerahkan.
Dalam novel ini Arswendo meneriakkan kejengahannya atas segala kepalsuan yang terjadi pada bangsa kita. Ke-tidakjujur-an yang diam-diam menggerogoti pondasi kehidupan bermasyarakat yang seharusnya berdasarkan saling percaya, sehingga kita tidak bisa lagi begitu saja percaya kepada orang lain. Dan saat ke-tidakjujur-an berpadu dengan kekuasaan yang terjadi adalah penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap yang lemah demi melanggengkan kekuasaan.
Munculnya Ki Blaka dan gerakan Blakanis di novel ini mungkin menjadi mimpi Arswendo tentang sebuah kondisi ideal saat semua orang mau berbicara dan bertindak dengan jujur.
Jujur tentang Kejujuran
Arswendo tidak menciptakan satu sosok pahlawan kebajikan berkepribadian hebat dalam novel ini. Ki Blaka sang tokoh sentral disini memang menjadi panutan banyak orang dalam hal kejujuran. Dengan kesehariannya yang amat sangat sederhana tanpa tendensi macam-macam, semua orang percaya bahwa Ki Blaka benar-benar jujur kepada diri sendiri maupun kepada semua orang dan patut menjadi teladan. Namun Arswendo menjadikannya sebagai 'anti-hero' melalui masa lalu Ki Blaka yang cukup kelam.
Dengan sangat cerdas Arswendo juga menyentil fenomena ikatan kelompok yang terlalu kuat yang berlanjut pada pembenaran diri sendiri yang banyak terjadi saat ini. Di antara kaum Blakanis ada ritual yang mereka ciptakan sendiri, seperti melakukan 'Adus Ai', mengenakan selimut lorek, hingga tinggal selama 35 hari di kampung Blakan. Tapi Ki Blaka dengan tegas tidak pernah menyuruh orang-orang untuk melakukan itu. Ia takut jika hal-hal itu akan menimbulkan ikatan yang terlalu kuat, sehingga kemudian akan muncul pembenaran-pembenaran terhadap apa pun yang dilakukan kelompok tersebut.
Arswendo cukup jujur dengan menuturkan bahwa kejujuran mutlak dengan menyampaikan segala sesuatu dengan terbuka apa adanya tidak selalu akan membawa kebaikan. Ada orang-orang yang tidak menyukai orang lain menjadi jujur, apalagi jika kejujuran itu juga mengungkap kebohongan orang lain. Arswendo juga tidak mau mengkultuskan kejujuran sebagai puncak kebaikan. Kejujuran bukan berarti menjadi sakti. Kejujuran tidak bisa menghapus dosa, tapi bisa meringankan beban. Kejujuran juga tidak mendatangkan keuntungan besar, tapi mendatangkan kepercayaan yang terus menerus.
Ki Blaka berkata, "Jujur itu seperti bernapas. Kita tak perlu belajar terlebih dahulu, tak perlu mengatur bagaimana memulainya. Sangat sederhana, semua juga bisa melakukannya." Hmmm...
C. SINOPSIS NOVEL “TIGA ORANG PEREMPUAN”
TIGA ORANG PEREMPUAN
Kota Solo identik dengan budaya dan adat Jawa yang sangat kental. Masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai dan norma-norma sosial yang masih dipengaruhi oleh budaya patriarkat. Salah seorang di antaranya adalah Nenek. Sosok wanita Jawa yang berumur kurang lebih delapan puluh empat tahun, namun masih menampakkan kekuatannya di masa muda. Beliau hidup bahagia dengan keluarganya yaitu Ibu dan Gading. Ibu adalah anak terakhir Nenek. Dia adalah sosok wanita modern berumur kurang lebih lima puluh tahun. Tokoh Gading adalah generasi ketiga, seorang gadis dengan pemikiran kritis dan berwawasan luas.
Ketiga tokoh tersebut terlibat suatu masalah yang rumit. Masalah itu menyangkut kehidupan pribadi Gading yang akan dijodohkan Nenek dengan laki-laki pilihannya. Namun keinginan Nenek tersebut tidak disetujui oleh Ibu. Menurutnya, Gading berhak menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa ada campur tangan dari orang lain. Apalagi di masa sekarang wanita harus mampu untuk hidup mandiri, maju, dan bisa mengembangkan potensi dan bakat yang dimilikinya. Emansipasi adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang wanita agar bisa disejajrkan dengan kaum laki-laki. Pendapat ini dibantah Nenek. Beliau cenderung menentang karena latar belakang keluarganya yang berasal dari keluarga ningrat. Semenjak kecil dia dipingit oleh keluarganya sampai beranjak remaja dan dilamar oleh laki-laki pilihan keluarganya. Berbeda dengan Gading yang sangat mendukung emansipasi seperti Ibunya, namun masih memegang nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat terutama masyarakat Jawa.
Permasalahan semakin rumit ketika Ibu menghadapi kenyataan suaminya sendiri selingkuh dengan wanita lain yang lebih muda usianya. Suaminya melakukan itu dengan alasan Ibu terlalu otoriter dan menganggap rendah suaminya hanya karena ingin menunjukkan dominasi Ibu di mata suaminya dan semua laki-laki di mana pun baik di tempat kerja maupun di lingkungan keluarganya.
Permasalahan itu berakhir setelah adanya campur tangan Gading yang tidak ingin melihat keluarganya hancur. Seiring dengan berjalannya waktu, Nenek pun menyadari bahwa apa yang selama ini diperjuangkan oleh Ibu dan Gading adalah semata-mata untuk membuka hati kaum laki-laki agar tidak memperlakukan kaum perempuan dengan seenaknya. Bukan untuk memberontak dan melanggar nilai-nilai yang sudah diyakini masyarakat sebagai ketetapan Tuhan yang disebut kodrat.
D. ANALISIS NOVEL “Tiga Orang Perempuan”
Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono ini ditinjau dari segi struktural dan teori gender. Dari segi struktural, akan dianalisis tentang tokoh dan penokohan. Kemudian, akan dianalisis juga bagaimana gambaran dan pandangan tiga tokoh utama wanita yang berbeda tentang emansipasi wanita yang terbentur oleh budaya yang diwarnai oleh sistem patriarkat dan bagaimana wujud nyata emansipasi yang mereka sumbangkan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Pandangan tiga tokoh utama wanita tentang emansipasi dalam novel ini mencakup bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga.
1. Tokoh dan Penokohan
Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono menampilkan tiga tokoh utama wanita dari tiga generasi yang berbeda yang terbentur oleh budaya yang dipengaruhi sistem patriarkat. Faktor tersebut mempengaruhi pandangan mereka tentang emansipasi. Ketiga tokoh ini dianggap cukup membawa misi pengarang dalam kaitannya dengan emansipasi wanita. Pembahasan tiga tokoh utama wanita ini akan difokuskan pada bagaimana cara pandang ketiga tokoh yang berbeda generasi tersebut tentang emansipasi yaitu tokoh Nenek, Ibu, dan Gading dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono ini.
Analisis penokohan dalam novel Tiga Orang Perempuan hanya ditekankan pada tokoh dan penokohannya yaitu tokoh utama. Sebab dalam skripsi ini tidak dibahas struktur secara keseluruhan, penelitian ini terfokus pada emansipasi wanita dalam novel dan pandangan ketiga tokoh utama wanita tentang emansipasi. Adapun tokoh utama novel ini adalah Nenek, Ibu, dan Gading. Ketiga tokoh tersebut merupakan tokoh utama karena memiliki ciri-ciri tertentu sebagai tokoh utama yaitu paling banyak diceritakan pengarang, tokoh diceritakan mulai dari awal permasalahan ketika Nenek ingin menjodohkan Gading kemudian ketika konflik antara Ibu dan Bapak sampai akhirnya ketiga tokoh ini mampu menyelesaikan konflik yang mereka alami. Ciri kedua, tokoh selalu berhubungan dengan tokoh lain, dalam setiap konflik tokoh Nenek berhubungan dengan Gading dan Ibu yaitu ketika Nenek ingin menjodohkan Gading dengan Hari, Ibu kurang menyetujuinya.
Ciri ketiga, tokoh selalu menjadi sorotan, berperan penting, dan menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh Nenek, Ibu, dan Gading dalam setiap terjadinya konflik selalu dimunculkan oleh pengarang. Konflik-konflik tersebut diantaranya Nenek yang ingin menjodohkan Gading, perkawinan Ibu dan Bapak yang retak, dan pertemuan Gading dengan mantan kekasihnya yang belum juga mendapat restu dari Nenek. Ketiga tokoh ini sangat menentukan perkembangan plot dari awal munculnya permasalahan, konflik yang memuncak, sampai pada akhirnya konflik tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Ketiga tokoh juga berperan penting dalam setiap peristiwa, karena ketiga tokoh tersebutlah yang menjadi titik fokus pembicaraan dalam novel ini. Ketiga tokoh tersebut selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian atau konflik, yaitu ketika konflik yang terjadi antara Nenek dengan Gading saat beliau menjodohkannya, konflik antara Ibu dengan Nenek mengenai masalah rumah tangga, konflik Gading dengan Hari dan mantan kekasihnya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai ketiga tokoh utama wanita tersebut di atas.
1.1 Nenek
Secara fisik Nenek merupakan sosok wanita yang sudah tua yaitu berumur lebih dari delapan puluh empat tahun namun beliau masih sehat dan bicaranya pun begitu mantap. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Malahan demi meyakinkan alat-alat di dalam telingaku itu kucondongkan tubuhku ke arah suara itu, yang keluar dari mulut seorang perempuan tua berumur lebih dari delapan puluh empat tahun, tapi masih tampak sehat.” (TOP hlm: 7)
Sosok nenek dalam keluarganya dikenal sebagai seorang wanita yang sangat keras pendiriannya, bahkan nyaris keras kepala. Beliau sulit sekali untuk menerima perubahan-perubahan yang banyak sekali terjadi di zaman ini. Seperti saat Gading memberikan argumentasi saat sang nenek membujuknya untuk menikah dengan laki-laki yang dijodohkan nenek untuknya. Dijelaskan dalam kutipan berikut ini.
“Eyang tadi bilang, kamu itu mbok jangan terlalu banyak memilih dan menimbang. memilih, menimbang, dan menimbang, dan memutuskan itu haknya kaum laki-laki. Bukan hak kita. Sebab, kita kaum perempuan ini adalah orang-orang yang berada di tempat yang akan dipilih.” (TOP hlm: 8)
“Eyang masalahnya bukan terletak pada hak untuk memilih dan dipilih, melainkan pada keyakinan mengenai satu hal yang penting. Yaitu, Mas Hari bukanlah laki-laki yang sesuai untuk Gading.” (TOP hlm: 10)
Nenek merupakan seorang sosok wanita Jawa tulen yang selalu memegang teguh adapt istiadat Jawa. Baginya adat istiadat itu sudah mendarah daging dalam didikan keluarganya sampai beliu mempunyai tujuh orang anak bahkan cucu dan cicitnya juga diberikan. Petikan berikut memaparkan pernyataan tersebut.
“Tetapi selain itu, dia bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Hari. Baik wajah, penampilan, sikap, tutur bahasa, dan terutama dalam hal keunggulan keturunan dan asal usulnya. Bibitnya seperti apa, bobotnya bagaimana, dan bebetnya seberapa, kita tidak tahu. Tetapi Hari itu siapa, sudah jelas seperti apa latar belakangnya. Lahir dari keluarga ningrat, sehat, terhormat, dan tanpa cela.” (TOP hlm: 18)
Namun demikian, nenek di satu sisi adalah sosok perempuan yang sangat tabah, lembut, berjiwa seni, dan memperlihatkan segi-segi feminitasnya yang kuat sebagai wanita Jawa dengan sederet tuntutan mengenai keutamaan yang berhasil digapainya. Berikut ini kutipan pernyataan tersebut.
“Berbagi kasih dan perhatian suami dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi. Seperti yang eyangku sering katakana kepadaku bahwa perempuan haruslah rela menerima apa saja perlakuan sang suami,” (TOP hlm: 26)
“Bahkan menurut budeku itu, eyangku pernah mengalami kesulitan melahirkan pada saat suaminya baru saja mengambil selir baru sesudah memulangkan yang lama.” (TOP hlm: 29)
Nenek adalah seorang isteri yang setia, patuh, dan menurut pada suami tidak pernah berbuat yang di luar batas norma dalam perkawinan. Dalam kehidupan perkawinan selalu beliau terapkan filsafat Jawa mengenai bagaimana menjadi isteri yang baik bagi suami dan anak-anaknya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Perempuan juga harus berani memiliki sikap untuk “nrimo ing pandum” dan menerima dengan rela “jatah” yang diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Sebab menurut ajaran yang diterimanya, perempuan sejati atau perempuan utama harus memiliki sikap pasrah dan merentangkan keselarasan baik terhadap Tuhan, terhadap sesama, maupun terhadap diri sendiri.” (TOP hlm: 26)
Meskipun demikian sebagai seorang wanita dan seorang isteri dia tidak pernah mencintai suaminya seratus persen karena baginya itu akan menimbulkan penderitaan batin. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Perempuan renta yang dulu berwajah rupawan itu tak pernah berani mengungkapkan perasaan cintanya kepada seseorang, meskipun orang itu adalah suaminya, ayah ketujuh anaknya sendiri. Sebab baginya, perasaan cinta selalu sejalan dengan persaingan dan kecemburuan yang bisa menyakitkan karena penuh dengan perasaan tidak yakin terhadap masa depan, ketidakpercayaan diri, ketidaktenteraman, kegelisahan, penantian, harapan yang sering tidak terpenuhi, dan terutama ketakutan akan ditinggalkan.” (TOP hlm: 32)
“Cukup dia saja yang mencintaimu. Dan kalau toh nanti muncul juga perasaan cinta karena terbiasa hidup bersama dalam mengarungi suka dan duka, janganlah perasaan itu kauserahkan sepenuhnya kepadanya kalau kau ingin hidup dengan hati yang damai.” (TOP hlm: 32)
Nenek merupakan sosok wanita Jawa yang modern, cukup berwawasan luas dan mementingkan anak-anaknya, terutama dalam hal kebutuhan akan pendidikan. Tekadnya untuk memberi pendidikan setinggi mungkin bagi ketujuh anaknya dan juga pengorbanannya untuk mengabdikan diri kepada keluarganya. Dia ingin membuktikan diri sebagai perempuan yang kuat, perempuan yang tidak hanya bisa menadahkan tangan menunggu pemberian suami saja. Hal itu untuk menunjukkan keberhasilannya sebagai isteri dan ibu melebihi apa yang bisa dilakukan oleh perempuan-perempuan saingannya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Dan menilik jumlah anak yang dilahirkan mencapai tujuh orang, termasuk ibuku sebagai si bungsu, aku mempunyai dugaan bahwa beliau termasuk isteri yang paling disayang. Terlebih dengan bukti bagaimana ketujuh anak itu mendapat pendidikan yang layak dan hidup dalam kecukupan. Apalagi ditambah pendidikan informal yang diajarkan di rumah dengan mendatangkan berbagai guru untuk mereka.” (TOP hlm: 27)
Tekad besar Nenek muncul ketika ia ingin melihat anak-anaknya berhasil dalam bidang studi mereka. Beliau selalu menemani anak-anak belajar sampai malam walaupun dengan terkantuk-kantuk. Apalagi di saat mereka akan menempuh ujian. Begitu juga dengan seluruh kasih dan pengabdiannya, nenek selalu berpuasa setiap kali mengetahui anaknya yang mangalami kesulitan dalam pelajaran di sekolah maupun hal-hal lainnya. Hal tersebut beliau lakukan agar mereka mendapat kemudahan dalam menghadapi kesulitan. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Kalau bukan karena beliau, ibu tidak akan mungkin bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi dosen dan apa artinya dunia pengetahuan bagi kehidupan manusia, “ acap kali ibu berkata seperti itu setiap kali ada di antara anak-anaknya yang tampak agak kendor semangat belajarnya.” (TOP hlm: 80)
Nenek merupakan anak keturunan bangsawan. Ayah beliau adalah seorang bangsawan tinggi keratin Solo, sedangkan ibunya adalah anak saudagar batik yang kaya dari keluarga bukan bangsawan. Meskipun demikian, beliau memperlihatkan arogan, sikap keras yang nyaris seperti tangan besi, dan keberanian melakukan sesuatu yang jarang ditemui pada wanita-wanita seusianya yang lahir di balik tembok keraton yang tingginya dua setengah meter. Beliau meneruskan usaha batik ibunya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Tetapi berbeda dengan perempuan-perempuan bangsawan lain yang nyaris tak pernah terjun dalam urusan bisnis, Eyang Putri justru bergerak secara aktif mengurusi bisnisnya tanpa takut mendapat penilaian negatif. Maklum, pada masa itu perempuan-perempuan bangsawan tinggi jarang yang berkecimpung dalam dunia perdagangan karena takut akan menurunkan derajat mereka. Takut dinilai sebagai “bakul” (penjual). Sebab kebiasaan pada masa itu, hanya perempuan-perempuan kelas bawah sajalah yang ikut aktif di dalam roda ekonomi, bahkan dengan berjualan di pasar ataupun dengan menjajakannya di jalan-jalan.” (TOP hlm: 78)
1.2 Ibu
Ibu adalah sosok wanita yang digambarkan berumur lebih dari lima puluh tahun tapi nada bicaranya masih tampak bersemangat. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Aku tertegun. Kutatap wajah ibuku karena aku mendengar nada-nada yang meletup-letup dalam suaranya. Kulihat, wajah perempuan yang usianya sudah lebih dari lima puluh tahun itu tampak bersemangat ketika berbicara. Pada saat itu, wajahnya terlihat cantik sekali, sebab dengan matanya yang bercahaya ia jadi tampak lebih muda.” (TOP hlm: 120-121)
Sosok ibu sangat perhatian dengan keluarganya, baik suami maupun anak-anaknya. Kasih sayang yang ia berikan ia wujudkan dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan pelayanan yang terkadang bagi anak-anak dan suaminya dianggap terlalu berlebihan, namun mereka tahu bahwa apa yang dilakukan oleh ibu semata-mata karena ia sangat menyayangi keluarganya itu. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Kehujanan lagi, sayang?”Kudengar suara lembut di belakangku.”
“Sudahlah,” katanya kemudian. “Lekaslah ganti bajumu yang basah itu, lalu mandilah dengan air panas. Minta Yu Mi, sana. Ibu akan menyiapkan wedang jahe untukmu. Ibu tidak ingin melihatmu sakit lagi!” (TOP hlm: 114)
Ibu sangat berbeda dengan Nenek yang memiliki hati tegar namun lembut keibuan, hangat dan suka berbicara tetapi keras kepala, Ibu merupakan wanita yang agak dingin, tertutup dan termasuk dominant dalam keluarga inti. Persamaan keduanya adalah sama-sama termasuk wanita mandiri dan keras hati. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Namun entah apa pun alasan maupun kebenarannya, acap kali aku ingin mengangkat topi melihat bagaimana sempurnanya beliau mengatur segala sesuatunya, dari urusan dapur hingga penentuan pakaian yang dikenakan oleh ayahku. Bapak memang tidak terlalu memperdulikan penampilannya. kombinasi antara pantalon, kemeja, dan dasinya suka ngawur. Ibulah yang mengaturkan warna dan kepantasannya sehingga Bapak selalu tampak rapi dan keren. Kemudian ibuku juga mengurus hal-hal lainnya, dari urusan rekening koran, listrik, telepon, dan ini serta itu, sampai pada urusan servis mobil. Kapan mobil tuanya harus diservis, kapan pula mobil Bapak yang juga sudah jauh dari baru itu harus diganti oli gardannya, dan seterusnya lagi.” (TOP hlm: 122-123)
Meskipun demikian antara Nenek dengan Ibu dalam kehidupan yang menyangkut keluarga, mereka senantiasa melancarkan protes apabila terjadi ketidakadilan yang dialami oleh mereka, terutama yang menyangkut masalah budaya patriarkat. Yang berbeda adalah caranya. Eyang Putri melakukan protesnya dengan mengambil alih keterbatasan keuangan Eyang Kakung yang tak sanggup menyejahterakan ketiga isteri dan ketiga belas anaknya itu pada perusahaan batiknya.Ibu melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi dan pada kemampuannya mengatur seluruh urusan rumah tangga. Seolah profesi dosen merupakan cara bagaimana dia memperlihatkan otoritas yang dimilikinya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Ibuku melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi dan pada kemampuannya mengatur seluruh urusan rumah tangga. Seolah profesi dosen merupakan cara bagaimana dia memperlihatkan otoritas yang dimilikinya.” (TOP hlm: 122)
“Sedangkan ibu, karena usianya belum memasuki usia pension, sampai sekarang beliau masih tetap mengajar. Dan semakin senior Ibu, semakin dihargai keberadaannya. Bahkan menurut kabar angina, Ibu termasuk dosen favorit, karena banyak mahasiswa yang memilihnya sebagai dosen pembimbing skripsi. Maka kesibukannya semakin bertambah saja.” (TOP hlm: 122)
Ibu sebagai seorang isteri tidak seperti Eyang Putri yang selalu bersikap sabar, penuh pemaafan dan pemahaman, nrimo, bakti, dan penuh pelayanan terhadap suami. Intinya bagi Eyang Putri sebagai isteri harus ikut kemana pun suaminya pergi. Pandangan Ibu bertolak belakang dengan pandangan Eyang Putri, Ibu tidak setuju dan menganggap pandangan Eyang Putri tersebut sudah tidak sesuai dengan zaman sekarang yang menuntut wanita untuk beremansipasi. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Soalnya ibu teringat pada sikap Eyang. Zaman sudah maju begini, beliau masih saja mempunyai anggapan bahwa perempuan berada pada tataran yang lebih rendah darpada laki-laki karena katanya itu sedah merupakan tatanan dunia. Maka perempuan harus bersikap sabar, penuh pemaafan dan pemahaman, nrimo, bakti, dan penuh pelayanan terhadap suami, seorang isteri harus meletakkan seluruh hidup dan masa depannya, sehingga kemana pun suami pergi, dia harus ikut. Tetapi ibu menunjukkan bahwa anggapan seperti itu sama sekali tidak benar. Perempuan juga seorang manusia, bukan bayang-bayang dan bukan alas kaki suami! (TOP hlm: 124-125)
Ibu adalah sosok wanita yang memiliki sifat keras, tegas, dan sesekali juga meledak-ledak, itu terjadi jika ibu menghadapi masalah, berargumantasi, terutama yang menyangkut masalah emansipasi wanita. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Seperti orang Jawa yang lain, Bapak juga mendapat ajaran kuno namun sangat relevan dengan keadaan sekarang, yaitu sebisanya menghindari konflik terbuka demi keharmonisan relasi antarmanusia. Sementara ibuku termasuk orang yang keras, tegas, dan sesekali juga meledak-ledak. (TOP hlm. )
Sebagai seorang isteri, ibu tidak pernah melayani suaminya seperti halnya Eyang Putri melayani Eyang Kakung dulu. Itu dikarenakan anggapan ibu bahwa mereka juga sama-sama capek selesai bekerja jadi apapun yang bisa dikerjakan oleh suaminya hendaknya dikerjakan sendiri tidak perlu isteri yang mengurusnya. Ibu menginginkan adanya kesetaraan gender dalam rumah tangganya, Tidak ada keharusan bagi ibu untuk melayani keperluan suami untuk hal-hal yang sepele yang bisa dikerjakan sendiri. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Ibu ingin memperlihatkan kepada Bapak bahwa laki-laki dan perempuan itu setara dalam segala hal. Karenanya Ibu menunjukkan kepada Bapak bagaimana Ibu mampu menyelesaikan segala urursan yang ada tanpa harus minta tolong kepadanya. Sebaliknya, Ibu juga menginginkan bapakmu melakukan hal-hal yang bisa dilakukannya sendiri tanpa bantuan isteri, seperti misalnya mengatur dan menyediakan sendiri pakaian dalamnya. Atau mengambil makanannya, atau apa sajalah.” (TOP hlm: 182)
Sikap Ibu yang demikian itu memperlihatkan bahwa beliau dalam hal cinta memiliki prinsip dan pandangan yang berbeda dari Eyang Putri dan kakak-kakak perempuan yang lain. Termasuk dalam hal mencintai suami. Ia melihat bahwa dalam mencintai seseorang kita harus tetap realistis dan rasional. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini. “Cinta itu sangat indah, Sayang. Tetapi jangan pernah tenggelam di dalamnya sehingga kita lupa bahwa kenyataan hidup di dunia ini tidak selalu indah. Bahkan penuh dengan pelabagai macam perjuangan. Maka akhirnya nanti jika mereka yang sedang mabuk cinta itu mulai bersentuhan dengan realitas, keindahan cinta yang semula menggebu dan berkobar-kobar penuh berbunga indah itu akan berubah warna dan kadarnya. Jadi, Sayang, dalam menghadapi cinta itu hendaknya rasio dan perasaan itu selalu berjalan seiring dan setujuan dan selalu pula dalam keadaan seimbang.” ( TOP hlm: 167 )
“Ibu Cuma mau mengatakan bahwa betapapun tenggelamnya hati yang sedang jatuh cinta, kita harus tetap realistis dan rasional.” ( TOP hlm: 168 )
Sikap ibu yang begitu keras, ternyata membawanya ke dalam situasi yang tidak menyenangkan, di mana Bapak ternyata ketahuan berselingkuh dengan wanita lain. Bapak melakukan itu karena beliau tidak pernah mendapatkan kasih saying, perhatian, belaian manja dari isterinya sendiri. Perkawinannya dengan Ibu dirasakan begitu kaku dan dia merasa harga dirinya sebagai kepala rumah tangga tidak ada artinya lagi dihadapan Ibu. Apa yang dilakukan oleh Bapak sebagai suami telah mengahncurkan prinsip Ibu yang telah lama dibangunnya bagai benteng itu. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Bapak mengkhianati Ibu, Nduk. Ada perempuan lain dalam kehidupannya.” Suara Ibu kembali bergetar.” Sakit sekali rasanya.” ( TOP hlm: 176 )
“Namun apa pun itu, kita tidak perlu menengok ke belakang. Sekarang yang penting, Ibu akan memperlihatkan kepada bapakmu bahwa Ibu tetap akan berpegang teguh prinsip hidup Ibu mengenai makna perkawinan.” “ Bapakmu tahu betul, Ibu tidak suka dimadu seperti Eyang.”
“Jadi Ibu akan mengajukan suatu penyelesaian yang jelas dan pasti. Yaitu perceraian!” ( TOP hlm: 182-183 )
“Tetapi air mata yang ditumpahkannya beberapa malam yang lalu, sangat banyak. Waktu Gading melihat tangisnya itu, rasanya seolah Ibu tidak akan berhenti menangis, ” sahutku. “ Bapak tahu apa sebabnya? Itu karena laki-laki yang ia cintai telah mengkhianatinya dan tega merobohkan prinsip hidup yang dibangunnya bagai benteng itu.” ( TOP hlm: 199 )
Permasalahan yang dihadapi oleh Ibu menyebabkan perubahan sikap dari Ibu. Beliau terlihat rapuh, tidak seperti biasa sewaktu ada masalah yang menimpanya itu. Ia sangat tegas berwibawa, kuat, dan tegar. Namun demikian Ibu tetap mencoba untuk kuat menghadapi cobaan dengan bantuan Gading anaknya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Ibu jangan terlalu sedih,” bisikku di sisi telinganya. “ Sekarang masuklah ke kamar dan cobalah untuk tidur. Ibu harus tetap kuat. Gading ingin melihat Ibu seperti biasanya. Kuat, tegar, mandiri, tegas, berwibawa, dan tidak membiarkan emosi mewarnai rasio. Gading juga ingin melihat sisi Ibu yang lain, yang hangat keibuan dan memancarkan rasa percaya dan damai di hati kami semua.” ( TOP hlm: 185)
“ Ibu mencintai bapak dengan caranya sendiri. Tetapi Gading tahu betul, Ibu sangat mencintai Bapak. Tak ada laki-laki lain dalam hidupnya. Meskipun demikian, betapapun besar cinta Ibu kepada Bapak, tetapi dengan kenyataan seorang perempuan lain telah menyela dalam perkawinannya, tidak mengikis kekuatan prinsip hidupnya. Maka meskipun dengan hati hancur, Ibu akan tetap konsisten dan berpegang teguh pada suara hati dan penilaian moral dalam batinnya. Gading yakin sekali, tidaklah mudah bagi Ibu untuk menentukan sikap yang bukan hanya akan melukai dirinya sendiri saja, tetapi juga akan melukai hati kami anak-anaknya. Tetapi kemauan dan tekad Ibu sangat kuat. ” (TOP hlm:200)
Namun pada akhirnya berkat tekad Gading yang ingin menyelamatkan keluarga dari bencana akibat permasalahan yang dihadapi oleh kedua orang tuanya itu, keluarganya berhasil melewati masa-masa kritis dengan baik. Kedua orang tuanya bersatu kembali menjadi keluarga yang lebih berbahagia.
1.3 Gading
Gading adalah seorang gadis dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, baik sebagai seorang anak, cucu, kakak, dan sebagai seorang wanita muda yang memiliki cita-cita yang tinggi untuk bisa mempersembahkan sesuatu yang dapat membanggakan keluarganya dan orang-orang yang dia cintai. Gading adalah sosok wanita yang kritis dengan keadaan di sekitarnya, terutama dengan hal-hal yang dia nilai bertentangan dengan hati nuraninya, seperti yang dapat kita lihat dalam cuplikan berikut.
“ Dan ajaran pengembangan kepribadianku serta dalam proses pencarian diri, ajaran-ajaran keduanya kuolah dalam batinku, menjadi nilai-nilai sendiri yang kuyakini kebenarannya untuk kujadikan pegangan hidup. Aku adalah seorang perempuan yang cukup kritis, sehingga tidak menelan mentah-mentah begitu saja apa pun yang kupelajari. ” ( TOP hlm: 222 )
Seiring dengan tumbuhnya kedewasaan dalam diri Gading tersebut pola piker yang kritis menandainya dalam berbagai pola sikap dan tingkah lakunya, terutama dalam mengambil keputusan mana yang baik dan mana yang tidak baik bagi dirinya maupun orang lain. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Dan meskipun aku tumbuh dewasa di antara dua pola pikir yang berasal dari dua generasi yang berbeda, aku selalu belajar mengolah segala sesuatunya agar pas dengan hati nuraniku yang paling dalam, untuk kemudian menjadi nilai-nilaiku sendiri.” ( TOP hlm: 222 )
Gading sangat dekat dengan nenek dan ibunya sehingga dia selalu terbuka untuk menceritakan segala masalah yang dia hadapi dengan kedua wanita yang sangat dia hormati dan sangat dia cintai itu. Dia selalu meminta nasehat dan masukan yang sangat dia butuhkan dan itu cukup membantu untuk memecahkan segala masalah yang dia hadapi. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Hubunganku dengan orang tuaku amat dekat. Terutama dengan ibuku. Dan karena sebagai anak bungsu ibuku juga dekat dengan Eyang, maka aku pun juga cukup dekat dengan beliau. Apalagi aku termasuk cucu yang tak pernah merasa bosan mengobrol dan bertanya-tanya ini-itu kepadanya. Dengan demikian, dari kedua perempuan terdekatku itulah aku banyak menimba ilmu pengetahuan hidup. ” ( TOP hlm: 221-222)
“ Karena kedekatanku dengan ibu, kuceritakanlah semua hal yang menyangkut hubunganku dengan Mas Yoyok dan bagaimana perasaanku terhadapnya. Demikian juga hal-hal yang menyangkut Mas Hari dan bagaimana pula perasaanku dalam hal ini. ” ( TOP hlm: 222)
Sebagai seorang gadis yang modern, Gading mempunyai profesi yang mendukung yaitu sebagai seorang wartawan. Profesi tersebut sangat cocok dengan kepribadian yang dimiliki olehnya. Seorang Gading yang kritis, supel dan mempunyai pikiran yang modern dan keinginan untuk maju tidak kalah dengan laki-laki, seorang pekerja keras dan professional di bidangnya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Ya doakan saja aku tidak harus ke luar kota lagi pada hari itu. Kau tahu kan, sebagai wartawan pada prinsipnya kami bekerja dua puluh empat jam sehari. Kalau tidak begitu, kami bisa kehilangan berita besar karena keduluan orang!” (TOP hlm: 234)
Gading mempunyai sifat yang kurang tegas dalam mengambil keputusan, sehingga memberikan kesan dia seorang wanita yang tidak mudah mengambil keputusan sendiri untuk kebaikannya maupun orang lain. Kesan tersebut kadang menyebabkan orang lain menjadi salah paham akan sikap dia seolah memberikan harapan terhadap orang lain untuk bisa mendekatinya. Hal itu dikarenakan untuk menjaga perasaan Nenek. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Gading kalau nanti Nak Hari dating ke sini, usahakanlah agar kau bisa bersikap lebih tegas dan tidak memberinya harapan,” katanya kepadaku suatu ketika.” (TOP hlm: 223)
Ketakutan akan teringat kembali pada kenangan saat Gading bersama dengan Yoyok menjadi penghalang untuk kembali menjalin persahabatan dengan Ida adik Yoyok. Bahkan dia segan dating di hari pernikahan Ida gara-gara takut akan kenangan itu sendiri. Hal itu disebabkan Gading masih memendam rasa cinta terhadap Yoyok yang selama ini masih dia simpan. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Namun terlepas dari masalah itu, sebenarnya keenggananku yang paling besar bersumber pada rasa takut. Aku takut luka-luka hatiku akan kambuh kembali. Ada banyak tempat di rumah mereka yang pasti akan mengingatkanku pada laki-laki itu.” (TOP hlm: 234)
Sifat lain yang dimiliki oleh Gading adalah sifat itu akan muncul ketika dia menghadapi orang yang dicintainya yaitu Yoyok. Ketika ia bertemu dengan Yoyok dalam pesta pernikahan adik Yoyok, rasa itu timbul setelah sekian lama dia berpisah dengannya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Ah, alangkah iriku padanya. Kenapa aku tidak bisa bersikap tenang dan santai seperti dia? Mengapa pula lidahku masih saja kelu padahal Mas Yoyok tampak begitu percaya diri? Sungguh, alangkah memalukan diri ini!” (TOP hlm: 248)
Meskipun demikian Gading adalah seorang gadis yang cerdas, pengetahuannya sangat luas dan terkadang karena kecerdasannya itu, dalam berkata-kata sering menggunakan filsafat. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Lho, yang namanya kemungkinan itu kan luas cakupannya, Da. Sebab kata ‘ mungkin ’ dalam hal ini memiliki keterbukaan untuk pelbagai macam hal yang bisa terjadi. Aku kan manusia biasa dengan segala keterbatasan dalam ruang dan waktu. Jadi aku tak bisa menjawab pertanyaanmu tadi secara pasti dan mutlak.”
“ Wah, wah Gading. Malam-malam kok berfilsafat!” Ida tertawa geli.
“ Bukannya berfilsafat.” Aku juga tertawa. “ Aku uma mau mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada suatu kepastian yang mutlak kecuali ketidakpastian itu sendiri!” (TOP hlm: 258)
Gading adalah seorang gadis yang cerewet, suka berbicara tapi tidak untuk hal-hal yang berisi bualan. Berbicara dengan Gading terkadang teresan memperdebatkan sesuatu apalagi menyangkut hal yang berbeda dengan prinsip hidupnya pastilah dia akan segera memprotes atau mengomentari. Namun terkadang hal itu tidak dia lakukan jika dia berbicara dengan Nenek karena ia tidak ingin dianggap cucu yang suka membantah dan untuk menjaga perasaan Neneknya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Tetapi ayo, kita kembalikan pembicaraan pada pokok persoalan. Eyang ingin tahu, apa yang menyebabkanmu tidak seceriwis biasanya. Mana burung prenjak Eyang?” (TOP hlm: 36)
“ Lagi pula, aku tidak ingin berdebat dengannya. Aku juga tidak ingin membuatnya kecewa. Jadi terpaksalah lidahku kudorong dalam-dalam dan kusembunyikan jauh di dalam mulutku. Tetapi tenyata meskipun aku sudah berdiam diri seperti itupun, tetap saja sikapku tidak berkenan di hati nenekku.” (TOP hlm: 9)
Gading sangat mendukung adanya gerakan emansipasi. Segala hal yang menyangkut masalah kesetaraan gender selalu menjadi perhatiannya. Menurut dia kesetaraan itu sangat penting baik bagi kaum wanita maupun kaum pria untuk bisa memahaminya agar kesetaraan itu dapat terwujud meskipun ada pihak-pihak yang pro dan kontra. Dukungan tersebut dia wujudkan dengan menjadi seorang wartawan di sebuah tabloid terkenal. Di sana sia menjadi seorang wanita yang mampu sejajar dengan pria dan dia bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Kau bekerja di mana, Gading?” Mas Yoyok menyela pembicaraan kami. Kusebutkan nama perusahaan yang menerbitkan tabloid tempatku bekerja.
“ Itu perusahaan raksasa, Gading. Kau berbahagia dengan pekerjaanmu sebagai wartawan?” Mas Yoyok bertanya lagi.
“Ya. Di tempat itu ilmu yang kupelajari terpakai. Suasananya juga enak dan aku bisa mengembangkan diri karena kesempatan untuk itu terbuka lebar bagi kami. Para atasan berpikir bahwa perusahaan akan berkembang maju kalau semua orang ikut berpartisipasi dan mendapat kesempatan untuk berkembang pula.” (TOP hlm: 260-261)
Sebagai seorang gadis yang sudah beranjak dewasa, Gading tidak mudah terhanyut oleh rayuan laki-laki, apalagi oleh laki-laki yang tidak dicintainya. Baginya perasaan suka apalagi cinta tidak dapat dipaksakan. Itu merupakan hak asasi setiap individu. Hal ini terjadi ketika laki-laki yang dijodohkan Nenek itu mulai merayu Gading. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Sungguh, Dik Gading? Itu bukan semacam yah…… Sikap jual mahal atau strategi jinak-jinak merpati, begitu? Suara Mas Hari terdengar amat lembut dan mengandung rayuan. Kalau saja suara itu ditujukan kepa perempuan lain, aku yakin orang tiu akan mabuk kepayang dibuatnya. Tetapi aku, bukannya mabuk tetapi malah muak.” (TOP hlm: 210)
Menurut pendapat Gading pernikahan haruslah berdasarkan rasa cinta antara pihak laki-laki dan perempuan. Di samping itu pernikahan membutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang sehingga dapat berjalan dengan lancar. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Tetapi kau harus tahu, Mas, bagiku hubungan seorang laki-laki dan seorang perempuan, apalagi kalau sudah menyangkut pada rencana perkawinan, itu perlu perencanan dan pemikiran yang mendalam. Perkawinan adalah satu wadah yang suci karena sedikitnya menyangkut kebahagiaan sebuah keluarga. Terutama karena menyertakan nama Tuhan di dalamnya. Jadi tidak bisa sembarangan!” (TOP hlm: 266)
2 Emansipasi Tiga Tokoh Utama Wanita dalam Novel Tiga Orang Perempuan
Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. sardjono mengemukakan masalah-masalah ketidakadilan gender serta masalah lain yang menyangkut hal tersebut. Masalah-masalah tersebut saling berhubungan dan apabila dilihat dari kacamata feminisme, masalah ketidakadilan gender mendorong lahirnya emansipasi wanita.
Dalam novel ini dipaparkan tentang emansipasi wanita. Pria dan wanita telah bergandengan tangan hampir di semua bidang kehidupan seperti di bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan di lingkungan keluarga. Emansipasi yang ada dalam novel dipelopori oleh tokoh utama wanitanya yaitu Ibu, dan Gading. Sedangkan tokoh Nenek cenderung menentang emansipasi wanita. Emansipasi tokoh utama wanita dilakukan mencakup lingkungan keluarga, pendidikan, ekonomi, di kantor, dalam bidang politik dan hukum.
Pandangan yang salah tentang emansipasi oleh masyarakat pun turut mendukung adanya perbedaan pandangan. Bahkan terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya mengenai emansipasi oleh masyarakat. Gerakan emansipasi ini oleh masyarakat dianggap melanggar kodrat Tuhan. Kodrat seorang wanita selain mengandung dan menyusui anak, adalah tugas mengurus rumah tangga (mengatur makan, pakaian, dan lain-lain) dan mengasuh (memelihara, membesarkan, dan mendidik) anak. Karena wanita diposisikan pada tugas-tugas domestik, mereka tidak boleh bekerja di luar tugas-tugas domestik. Hal inilah yang menyebabkan sifat superioritas kaum pria terhadap kaum wanita dan mengukir dominasi mereka di masyarakat.
Emansipasi wanita dalam novel ini mencakup bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga. Emansipasi di bidang politik menyoroti masalah subordinasi atau pengambilan keputusan. Emansipasi di bidang hukum membahas mengenai perjodohan dan perkawinan poligami. Emansipasi di bidang ekonomi membahas masalah marginalisasi atau pemiskinan ekonomi terhadap kaum wanita yang menyebabkan ketergantungan kaum wanita terhadap kaum pria. Emansipasi di bidang pendidikan membahas mengenai masalah pentingnya memperoleh pendidikan yang layak untuk kesejahteraan manusia dan wanita berhak untuk mendapatkan pendidikan tersebut. Emansipasi di lingkungan keluarga membahas mengenai masalah kecenderungan wanita yang mendapat ketidakadilan gender di lingkungan keluarga. Semua bidang tersebut akan dibahas lebih lanjut oleh penulis.
D. ANALISIS NOVEL “NYALI”
Dalam novel Nyali karya Putu Wijaya, konflik yang dominan adalah konflik politik. Namun demikian konflik sosial dalam novel tersebut juga dianalisis karena konflik politik dan konflik sosial dalam novel Nyali saling berkaitan. Konflik sosial merupakan akibat dari terjadinya konflik politik dan mempunyai pengaruh terhadap situasi politik.
Jenis konflik yang dapat dikategorikan sebagai konflik sosial antara lain konflik dalam lembaga perkawinan, konflik dalam merebut jabatan, persaingan, permusuhan, dan konflik etnis. Dalam novel ini terdapat konflik yang bisa dikategorikan sebagai konflik sosial, yakni konflik dalam rangka memperebutkan jabatan. Konflik ini tidak murni beraspek sosial akan tetapi mempunyai tendensi politik. Akan tetapi, jenis konflik ini bisa ditinjau dari aspek sosial. Konflik semacam ini seringkali terjadi dalam sebuah organisasi dan biasanya disertai dengan persaingan. Dalam persaingan biasanya disertai dengan pertikaian tidak langsung.
Perebutan jabatan terjadi dalam dinas kemiliteran. Jendral Leonel memiliki kedudukan yang baik dalam dinas kemiliteran. Ia punya wewenang untuk menentukan kebijakan yang menyangkut keamanan negara. Atas dasar kedudukan itu ia memiliki kecenderungan mempertahankan jabatan ini. Segala usaha dilakukan termasuk pembunuhan yang memiliki motif politik. Ia berusaha menghambat saingan-saingannya, termasuk mencurigai bawahannya yang punya reputasi dan karier yang baik.
Dalam novel tersebut diceritakan bahwa kematian ayah Krosy sesungguhnya masih misterius. Kolonel Krosy menduga bahwa kematian ayahnya karena dibunuh oleh Jendral Leonel. Hal ini dilakukan karena ayah Krosy punya peluang yang baik untuk menjadi saingan.
kematian tersebut. Ia curiga kalau itu semua dilakukan oleh Jendral Leonel yang waktu itu masih berpangkat kolonel.
Seluruh reputasi Leonel sangat terpuji, kecuali dalam kasus ayah Krosy. Semua orang menyadari bahwa Leonel berada satu strip di bawahnya. Dan tak seorang pun dapat membayangkan apa yang bisa atau mungkin mendorong Leonel untuk membetot teman seperjuangannya itu ---seandainya memang Leonel yang bertanggung jawab. Krosy sendiri tak bisa memastikan. Ia sempat menyusun beberapa teori. Seandainya saja Leonel yang membunuh ayahnya, pastilah itu ia lakukan dalam keadaan terjepit, atas desakan orang lain. Atau semacam kekhilapan : yang kemudian terus-menerus disesalinya.
Ayah Krosy meninggal sebagai seorang pahlawan. Ia disergap di sebuah bukit dengan tiba-tiba oleh gerombolan Zabaza...Sejak itu Leonel memegang kekuasaan tertinggi di wilayah. (halaman 19-20).
Kematian Kolonel Krosy juga tidak terlepas dari persaingan jabatan ini. Kolonel Krosy punya reputasi yang baik dan menjadi calon untuk menduduki jabatan penting dalam dinas kemiliteran, bahkan mungkin lebih dari itu, yakni peluang untuk mendapatkan kedudukan yang punya wewenang untuk menentukan kebijakan secara luas. Selain peluang, ia juga mempunyai ambisi untuk memperoleh ke- dudukan yang baik tersebut.
Tak pelak lagi, ia menjadi calon yang paling meyakinkan untuk mengganti kedudukan jendral itu, apabila masa pensiunnya tiba. Tapi masih beberapa tahun lagi. Krosy hampir tak sabar. Ia ingin memegang pimpinan dan menentukan garis besar segala kebijaksanaan. Bukan hanya sebagai pelaksana semata-mata. (halaman 19)
Sejak kecil Krosy selalu bercita-cita mencapai puncak dari kekuasaan militer.... (halaman 19)
Kematiannya sesungguhnya bukan karena ditembak oleh Kropos, akan tetapi sengaja dibunuh oleh Jendral Leonel. Sewaktu Kropos menembaknya, Kolonel Krosy tidak mati. Ia sempat di bawa ke rumah sakit. Dokter Combla tidak sanggup untuk mengembalikan Kolonel Krosy seperti semula.
Krosy tidak mati karena tembakan saudara. Ia dibunuh oleh Leonel....(halaman 35)
Konflik politik dalam novel Nyali merupakan konflik yang dominan. Konflik tersebut meliputi hampir keseluruhan cerita. Konflik tercermin dalam tema, alur, penokohan dan latar. Analisis sosiologis terhadap novel Nyali dengan mengambil konflik politik meliputi penyebab terjadinya konflik, tipe konflik, struktur konflik, tujuan konflik, intensitas konflik, pengaturan konflik, serta konflik dan perubahan politik.
Novel Nyali mengisahkan pergolakan politik yang terjadi di sebuah negara. Negara ini senantiasa mengalami konflik yang tajam, pemberontakan dan kekerasan serta fragmentasi dalam tubuh militer. Hal ini disebutkan secara eksplisit oleh pengarangnya:
"....Baginda tahu sendiri selain Zabaza banyak sekali dendam, sengketa, keinginan membunuh yang ada di seluruh kerajaan...." (halaman 42)
Negara ini mengalami dua periode sejarah, yakni masa Orde Lama dan Orde Barusejarah monarkhi dan Orde Baru untuk masa periode sejarah dengan sistem republik.
. Orde Lama ditandai dengan sistem politik otokrasi tradisional atau monarkhi. Kepala negara adalah seorang raja (Baginda Raja). Sedangkan Orde Baru ditandai dengan sistem pemerintahan republik dengan presiden sebagai kepala negara. Konflik politik terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Konflik politik yang terjadi pada masa Orde Baru merupakan akibat dari konflik politik pada masa Orde Lama.
Penyebab Konflik Kondisi yang harus ada bagi timbulnya konflik adalah kemajemukan struktur masyarakat, baik kemajemukan kultural maupun sosial. Kemajemukan sosial dan kultural ini dikategorikan sebagai kemajemukan horisontal (Surbakti, 1992: 151). Selain itu kemajemukan vertikal juga merupakan kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik. Kemajemukan vertikal ditandai dengan struktur masyarakat yang ter- polarisasi menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan tersebut memungkinkan perbedaan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Kemajemukan horisontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing unsur kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lain. Sedangkan kemajemukan horisontal sosial dapat menimbulkan konflik sebab masing-masing kelompok yang mendasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan dan kekuasaan. Namun demikian, perbedaan-perbedaan masyarakat ini akan menimbulkan konflik apabila kelompok-kelompok tersebut memperebutkan sumber-sumber yang sama dan manakala terdapat benturan kepentingan. Taraf kepincangan distribusi yang diungkapkan oleh Jonathan H. Turner (Soerjono Soekanto, 1988: 66) merupakan pendapat yang punya kesejajaran dengan penyebab konflik di atas. Menurut Turner, taraf kepincangan pada distribusi sumber daya akan mempengaruhi keleluasaan bagian-bagian suatu sistem sosial untuk mengungkapkan konflik kepentingan.
Semakin tidak seimbang distribusi sumber daya langka dalam sebuah sistem, konflik kepentingan antara kelompok dominan dan subordinat dalam sebuah sistem semakin meningkat
Demikian pula dengan pendapat Coser yang menitik- beratkan pada sistem distribusi. Coser menyatakan bahwa penyebab terjadinya konflik adalah kondisi-kodisi yang menyebabkan ditariknya legitimasi dari sistem distribusi yang ada dan intensifikasi tekanan terhadap kelompok- kelompok tertentu yang tidak dominan (ibid: 93).
Maurice Duverger (1993) mengajukan penyebab konflik bertolak dari sudut pandang pelaku konflik. Menurut Duverger (1993: 174) penyebab antagonisme politik (konflik politik) meliputi sebab-sebab individual dan sebab- sebab kolektif. Sebab-sebab individual menurut Duverger, karena terdapat perbedaan bakat individual di antara manusia. Ia mendasarkan diri pada konsep-konsep biologi Charles Darwin tentang struggle for life yang menyatakan bahwa setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup dan hanya yang paling mampu akan memenangkannya. Dari kecenderungan ini menjelma menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Dalam arena politik hal ini menjadi perjuangan untuk posisi utama. Selain itu, dalam diri manusia terdapat naluri untuk berkuasa yang dianggap sebagai kecenderungan manusiawi yang fundamental. Ambisi individual ini merupakan faktor primer di dalam konflik politik.
Konflik politik yang disebabkan oleh kolektif bertolak dari kondisi masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial yang mempunyai perbedaan kepentingan. Kontradiksi yang tajam antara kelas sosial yang satu dengan kelas sosial yang lain mengakibatkan perjuangan kelas yang disertai dengan kekerasan. Perjuangan kelas merupakan bentuk konflik politik. Bentuk-bentuk konflik lainnya seperti konflik antara buruh dan pengusaha, petani dengan tuan tanah, konflik kelompok-kelompok ideologis menurut analisis ini adalah pencerminan dari perjuangan kelas.
Konflik politik dalam kerajaan yang diceritakan dalam novel Nyali terpolarisasi dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan-perbedaan peran dan kepentingan. Dengan kata lain kondisi sosial dan kultural serta kondisi politiknya sangat majemuk. Struktur masyarakatnya terpolarisasi menurut kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan. Sistem sosial dan struktur masyarakatnya belum stabil. Hal ini ditandai dengan tiadanya konsensus politik dan ideologis, yakni konsensus yang disepakati bersama dan dilaksanakan untuk kepentingan umum.
Kekuasaan dan wewenang merupakan sumber daya langka yang sering kali menjadi penyebab terjadinya konflik dan perubahan pola-pola yang telah melembaga. Distribusi sumber kekuasaan dalam negara tidak seimbang. Dalam negara dengan sistem politik otokrasi tradisional ke-kuasaan mutlak pada raja. Distribusi kekuasaan pada partai-partai politik tidak ada karena kerajaan tersebut tidak memiliki partai politik atau kelompok-kelompok korporatis yang bisa digunakan sebagai pengendali konflik politik, sehingga kelompok dominan dalam hal ini raja memiliki kekusaan mutlak (absolut). Adanya ketidakseim-bangan distribusi sumber kekuasaan ini merupakan penyebab terjadinya konflik politik.
Dalam negara ini terdapat tiga pihak yang terlibat dalam konflik. Pihak pertama adalah Baginda Raja. Kelompok kedua adalah gerombolan Zabaza. Pihak ketiga yaitu Jendral Leonel yang pada awalnya memanfaatkan kelompok kedua. Ketiga pihak tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda dan masing-masing berusaha mewujudkan kepentingannya sehingga terjadi perbenturan kepentingan.
Baginda Raja mempunyai kepentingan untuk mempertahankan sistem sosial dan struktur masyarakat yang lama, yakni sistem pemerintahan kerajaan dan sistem perekonomian yang mengandalkan agraris. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kerajaan ia memiliki kewenangan yang sah untuk menggunakan paksaan fisik dalam menyelesaikan konflik. Sarana paksaan fisik adalah tentara, intelejen, persenjataan, penjara, kerja paksa, pengadilan dan lain-lain.
Pihak kedua yakni gerombolan yang bernama Zabaza mempunyai tujuan mengadakan revolusi kepribadian, yakni mereka ingin menegakkan moral baru bagi masyarakat. Masyarakat yang dicita-citakan adalah semua orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Setiap orang atau kelompok tidak memiliki ambisi dan kepentingan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Dengan demikian pertentangan-perten- tangan dalam masyarakat bisa dihindarkan.
Gerakan gerombolan ini merupakan satu kelompok yang bersimpati terhadap pandangan sosial atau doktrin tertentu, yang mengaktualisasikan diri dalam konflik dengan bentuk pemberontakan. Gerakan ini memiliki ideologi tertentu yang berfungsi sebagai alat untuk menyatukan komunitas anggotanya dengan cara mendorong setiap anggota untuk menerima kekuasaan yang memerintahnya dan dengan mengembangkan rasa kepatuhan terhadap yang memerintah. Ideologi ini juga berfungsi sebagai tujuan perjuangan. Selain itu, ideologi ini bersifat doktriner yang mampu meningkatkan antusiasme dan komitmen untuk mendukung kegiatan politik. Doktrin ini menjanjikan bentuk alter- natif masyarakat baru yang menjadikan setiap warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik untuk menggantikan bentuk masyarakat lama yang dikendalikan oleh kekuatan fasisme yang hirarkis dan otoriter. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gerakan gerombolan ini adalah revolusioner, karena mempunyai tujuan mengadakan perubahan sosial. Menurut Surbakti (1992:71) sebuah gerakan revolusioner menekankan motivasi dan tindakan merealisasikan ide-ide revolusioner, sedangkan keberhasilan gerakan tersebut menjadi pertimbangan kedua. Motivasi untuk mencapai tujuan sangat kuat, apabila harapan keberhasilan sangat tinggi.
Pihak ketiga, yakni Jendral Leonel memanfaatkan kelompok pertama dan kedua demi meraih tujuan pribadi. Ia mempunyai ambisi untuk merebut kekuasaan dengan cara yang tidak sesuai dengan konsensus kerajaan. Ambisi untuk merebut kekuasaan ini menimbulkan konflik-konflik politik yang mendalam dan luas.
Kemungkinan terjadinya konflik politik semakin lebar jika negara tidak memiliki konsensus berupa konstitusi yang mengatur penyelesaian konflik. Dalam kerajaan ini tidak memiliki konsensus tersebut. Selain itu, cara yang dipergunakan oleh pihak yang bertikai memiliki konsekwensi timbulnya pertentangan yang bersifat kekerasan.
Ketiga pihak yang terlibat dalam konflik politik tersebut sama-sama mempunyai sumber kekuasaan. Baginda Raja mempunyai sumber kekuasaan karena kedudukannya sebagai raja yang memperoleh legitimasi karena tradisi. Kekuasaan dan peralihan kewenangannyayakni dengan diadakannya pemilihan umum.
Berlangsung secara turun temurun. Pemimpin gerombolan Zabaza, yakni Kropos memiliki sumber kekuasaan potensial karena dia memiliki massa yang terorganisasi secara rapi dan berdisiplin tinggi. Ia menggunakan sumber kekuasaan tersebut untuk aktivitas politik berupa gerakan untuk mengadakan revolusi kepribadian dengan menggunakan cara-cara kekerasan seperti teror- isme dan kudeta berdarah. Dengan demikian, sumber kekuasaan tersebut menjadi kekuasaan aktual. Demikian halnya dengan Jendral Leonel. Ia memiliki sumber kekuasaan potensial karena kedudukannya sebagai panglima militer yang punya wewenang untuk mengatur kebijaksaan dalam bidangnya. Sebagai panglima militer berarti ia memiliki massa terorganisasi berupa tentara. Ia juga punya kekuasaan aktual karena dia telah menggunakan sumber-sumber kekuasaan di dalam kegiatan politik secara efektif. Setelah ia berhasil merebut kekuasaan dan menjadi pemimpin negara, ia memiliki kewenangan.
Berdasarkan penyebab konflik yang diajukan oleh Duverger, maka penyebab konflik politik dalam masyarakat yang dikisahkan oleh Nyali hanya memiliki relevansi dengan sebab-sebab individual. Dalam novel tersebut tidak digambarkan adanya kelas-kelas sosial seperti halnya dalam masyarakat industri. Masyarakat dalam kerajaan tesebut masih dalam tahap feodaltradisional sesungguhnya adalah negara yang berada dalam tahap feodalisme.
. Dalam masyarakat feodal tidak terdapat kelas-kelas sosial seperti konsep Marx, yakni kelas kapitalis dan buruh (proletar). Kelas borjuasi (kaum kapitalis) dan kelas proletar (buruh) hanya terdapat dalam masyarakat industri dengan sistem kapitalisme.Sebab-sebab individual tercermin dari ambisi-ambisi pribadi untuk berkuasa. Kolonel Krosy punya ambisi untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Jendral Leonel memiliki ambisi untuk merebut kekuasaan dan menggantikan sistem pemerintahan dan bentuk negara. Kepentingan pribadi ini didukung oleh sumber kekuasaan potensial berupa jabatannya sebagai panglima tertinggi dalam dinas ke- militeran.
STILISTIKA NOVEL
A. Pengertian Stilistika Novel
Stilistika novel ialah kajian penggunaan bahasa dalam novel. Di dalamnya dibahas bagaimana penggunanaan kalimat dalam novel, oleh novelis bagaimana hubungan kalimat dalam novel, bagaimana gambaran budaya dan sosial/masyarakat dalam novel, bagaimana percakapan atau dialog dalam novel.
B. Synopsis harimau-harimau
Harimau! Harimau! merupakan karya mochtar lubis yang cukup banyak digemari dan mendapat tanggapan positif dari pengamat sastra dalam dan luar negeri. Pada tahun 1975, novel ini mendapat hadiah sastra tingkat Nasional dan Yayasan Buku utama Depdikbud. Novel ini diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1975. Sekarang, novel ini diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesi. Harimau! Harimau! Mengisahkan masalah takhayul dan Ilmu kebatinan yang berkembang pada masyarakat Indonesia. Namun, di atas itu semua tetap ada Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya. Latar Cerita ini adalah masyarakat di perbatasan Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang masih mempercayaai takhayul. Tokoh-tokoh novel ini adalah Pak Haji Rahmat; seorang petani damar yang taat pada tuhan yang Maha Kuasa. Dia tidak mempercayai takhayul. Pak haji ini merupakan orang yang sangat baik hati; Wak Katok seorang tua pencari damar. Dia termasuk orang tua yang sangat percaya pada ilmu takhayul dan jimat-jimat. Wak Katok mempunyai sebuah perguruan silat. Dia mempunyai sifat yang buruk.; Buyung seorang anak muda pencari damar. Pemuda yang baik hati ini adala murid Wak Katuk; Sanip sama seperti buyung, dia juga pencari damar, murid Wak Katok; Pak Balam salah seorang pencari damar, murid wak katok,; Talib salah seorang pencari damar, murid Wak Katok.
Pak Haji Rakhmat, Wak Katok, Sutan, Buyung, Pak Balam, dan Sanip mencari damar di hutan. Meskipun Pak Haji Rakhmat paling tua dalam rombongan itu, namun pimpinan rombongannya adalah Wak Katok karena dia memiliki ilmu yang tinggi, pandai bersilat, dan pimpinan perguruan silat di kampungnya. Selain itu, dia banyak memiliki jimat yang membuat dirinya seolah-olah kebal. Buyung, Sanip, Sutan, Talib, dan Pak Balam adalah murid silat wak katok.
Selama dalam hutan, rombongan ini menginap di rumah Wak Hitam. Ketika rombongan pencari damar berada di sana, Wak Hitam sedang bersama istri mudanya yang sangat cantik.
Pada saat rombongan itu berjalan hendak berjalan kedesanya, mereka diincar seekor harimau tua dan ganas. Harimau itu marah karena rusa buruannya mati ditembak buyung. Karena buruannya lolos, harimau itu mengincar apa saja yang bisa diterkamnya untuk menjadi makanannya.
Korban pertama adalah Pak Balam, Pak Balam terluka parah karena serangan harimau itu. Pak Balam mengingatkan kepada rekan-rekannya agar mengaku telah berdosa agar tidak menjadi korban berikutnya. Menurutnya, harimau yang mengincar mereka bukanlah harimau sembarangan, tetapi harimau jadi-jadian yang menyerang orang-orang yang berdosa. Sedangkan orang yang hatinya bersih dan tidak pernah melakukan dosa, maka harimau itu tidak dapat menerkamnya.
Pak Balam mengakui segala kesalahannya. Dia menyesal karena membiarka Wak Katok membunuh salah seorang teman seperjuangan mereka sewaktu melawan Belanda. Dia juga menyesal telah membiarkan Wak Katok membunuh dan memperkosa istri seorang demang dan membawa kabur seluruh harta benda demang tersebut.
Sejak pengakuan Pak Balam, para anggota rombongan merasa ketakutan. Merek pernah melakukan perbuatan tercela. Kalau pikiran Pak Balam benar, mereka akan diserang harimau siluman itu. Mereka mulai tenang kembali, ketika Wak Katok dan Pak Rahmat menjelaskan bahwa harimau itu bukanlah harimau jadi-jadian.
Korban berikutnya adalah Talib.dia diterkam harimau ketika terpencar dari rombongan. Ia sempat berteriak saat diserang harimau itu, sehingga ditolong teman-temannya. Dia mengalami luka parah.
Melihat kejadian itu, Pak Balam memperingatkan teman-temannya untuk mengakui perbuatan dosa yang pernah dilakukan. Kalau tidak demikian, besar kemungkinan akan muncul korban baru. Dia sangat yakin jika harimau yang menyerang itu bukanlah harimau biasa, melainkan harimau jadi-jadian. Talib pun segera mengakui perbuatannya bahwa dia perna mencuri. Setelah pengakuan itu, dia meninggal.
Melihat Talib meninggal karena diterkam harimau, Sanip menjadi takut. Dia hendak mengakui perbuatannya bersama Sutan. Namun, niatnya ditentang oleh Sutan. Karena sangat takut, sanip tidak mempedulikan Sutan. Dia sregera mengakui bahwa dia dan sutan pernah mencuri empat ekor kerbau Pak Haji Serdang. Dia juga mengakui bahwa dia pernah berdusta dan pernah melakukan perbuatan zina. Sutan bersikeras tidak mau mengakuinya sebab keduanya pernah bersumpah tidak akan membocrkan rahasia perbuatan mereka.
Buyung tidak mau terlibat dalam pertenkaran itu. Dia berusaha menyadarkan teman-temannya bahwa yang paling penting mencari harimau itu. Daripada mereka diserang harimau itu lebih dulu, lebih baik mereka mendahului menyerang harimau itu.
Setelah mengubur Talib, rombongan yang terdiri dai Buyung, Wak Katok, dan Sanip segera berangkat untunk memburu harimau itu. Sedangkan Pak Haji rRakhmat dan Sutan bertugas menjaga Pak Balam yang masih terluka parah. Karena bosan, Pak Haji Rakhmat dan Sutan pergi menyusul temannya. Saat mereka lengah, sutan disergap harimau, diseret kedalam hutan dan hilang entah kemana. Keadaan semakin tegang. Talib meninggal dunia, Pak Balam terluka parah, sedangkan Sutan lenyap diseret harimau kedalam hutan. Tidak lama kemudian giliran pak balamyang meninggal dunia karena lukanya sangat parah.
Wak Katok yang terkenal jago silat dan mempunyai banyak jimat kebal, mulai ketakutan. Ketika ia diajak buyung dan pak rakhmat untuk mengejar harimau, dia tidak mau ikut. Dia memutuskan pulang saja. Akan tetapi, karena dipaksa oleh pak rakhmat, akhirnya ia ikut juga. Terbongkarlah rahasia wak katok yang sebenarnya ia pengecut. Jimat-jimat yang menumpuk pada tubuhnya hanyalah temeng belaka untuk menutupi kepengecutannya itu.
Dalam perjalanan memburu harimau dan mencari mayat Sutan, Wak Katok memaksa teman-temannya agar mengakui dosa-dosa mereka. Saran itu ditentang oleh Buyung. Wak Katok yang merasa sebagai guru pemuda itu, merasa tersinggung oleh penolakan Buyung. Dia kececa karena berani membantah gurunya sendiri. Pada saat mereka bertengkar, tiba-tiba harimau tua itu menyerang. Wak Katok yang memegang senapan menjadi gemetar. Beberapa kali ia mengokang senapannya, namun senapan juga tidak meletus. Pada saat keritis itu, Buyung membuat api dan mengusir harimau itu dengan tangannya. Usahanya berhasil, harimau itu lari kedalam hutan. Wak Katok selamat atas pertolongan Buyung.
Sejak peristiwa itu terbukti jika Wak Katokmrupakan lelaki pengecut. Ilmu silat yang digembor-gemborkan hanyalah bohong belaka. Jimat-jimatnya juga bohong. Karena rahasianya terbongkar dan merasa malu., Wak Katok marah dengan taman-temannya dan mengancam akan menembak mereka bila mereka meninggalkannya. Buyung dan Pak Haji Rakhmat langsang pergi. Keduanya mengetahui bahwa ancama itu serius. Namun, mereka kembali lagi beberapa saat kemudian, karena melihat Wak Katok masih memegang senjata, sehingga dengan diam-diam dia bisa menembak mereka dari belakang. Pak Haji Rahmat merebut senjata Wak katok. Mereka berdua berkelahi. Sanip mencoba membantu Pak Rahmat. Sebelum berhasil melumpuhan Wak Katok, senjata wak katok meletus dan pelurunya menembus dada pak rakhnat. Pak Haji Rahmat pun meninggal dunia pada saat itu juga.
Wak Katok yang sudah berdaya dijadikan umpan harimau oleh buyung dan Sanip. Rencana keduanya berhasil, harimau itu langsung menyerang wak katok. Buyung sudah siap meniumpahkan pelurunya dari semak-semak. Bidikannya tepat mengenai kepala harimau tersebu sehingga harimau itu langsung terjerembeb dan wak katok pun selamat. Buyung dan sanip pun membawa wak katok kekampung. Mereka menyerahkan wak kayok ke kantor polisi. Wak katok harus mempertanggung jawabkan perbuatannya selama ini.
C. TENTANG MOCHTAR LUBIS
Ia adalah sastrawan, wartawan, budayawan, pelukis, seniman keramik. Ia lahiar pada tanggal 7 Maret 1922 di Padang. Sejak jaman Jepang, Mochtar Lubis telah aktif di bidang kewartawanan. Pada saat itu, ia bekerja memonitor siaran radio sekutudi luar negeri. Berita yang didengar,kemudian ditulis dan dilaporkan kepada Guenseikanbu, kantor pemerintah Bala Tentara Dai Nippon. Di zaman revolusi ia menghadapi dua pilihan, masuk Tentara atau Wartawan. Ia memilih menjadi wartawan. Setelah Proklamasi, Mochtar Lubisbergabung dengan ANTARA. Ia menjadi penghubung wartawan asing yang meliput revolusi indonesi. Sekitar tahun 1949, bersama Hasyim Masdan ia mendirikan harian Indonesi Raya. Ketika tahun 1950 pecah perang korea,ia berangkat meliput perang itu pada tahun 1951 dan menuangkan laporannya dengan judul Catatan dari Korea(1952). Peritiwa itu juga nemberikannya inspirasi untuk melahirkan beberapa cerita pendek.
Sebagai wartawan, ia tak kenal lelah dan penuh gagasan. Ia mendirikan majalah Masa Indonesi membantu Harian Indonesi Merdeka, menjadi Redaktur luar negeri antara cabang Jakarta memimpin redaksi majalah bulanan Mutiara. Pada tahun 1950, ia bersama adam malik mengadakan perjalanan jurnalistik ke berbagai Negara di asia tenggara, sesuatu yang langkah yang dilakukan wartawan Indonesia saat itu. Pada taahuna 1949, ia bersama teman-temannya mrenerbitkan harian Indonesi Raya yang dalam perkembangannya berkali-kali diberangus oleh pemerintah orde lama. Ketika ia menjadi anggota internasional press institute. Harainnya itu tidak diijinkan terbit. Selang beberapa hari ia dipenjarakan dan baru dibebaskan setelah orde lama tumbang. Menurut rosihan anwar, Mochtar lubis sering memberitakan disurat kabarnya tentang praktek skandal dan korupsi pejabat saat itu. Pada tahun 1967 ia kembali menerbitkan Indonesia raya selain juga mengasuh majalah sastra horrison dan menulis kolom untuk surak kabar kammi pada bulan februari 1976, kami ditutup oleh pemerintah orde baru. Mochtar lubis pun ditahan selama dua setengah bulan. Namun dengan peristiwa penahanan itu, namanya menjadi semakin terkenal dan popular. Ia kemudian menjadi anggota Dewan Pimpinan Internasional Asosiation For Cultural Freedom di Paris. Ia menjadi ketua Press Foundation of Asia.
Sebagai sastrawan, iya melahirkan banyak karya sastra, khususnya dalam bentuk cerita pendek dan novel. Focus Mochtar Lubis yang dituangkan di dalam karya-karyanya adalah persoalan sosial dan kemasyarakatan. Perhatiannya pada persoalan pelanggaran hak asasi,kesewenangan, ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan,korupsi,tercermin tegas di dalam karya-karyanya. Perhatiannya yang besar terhadap hal itu, menyebabkan hampir di setiap kesempatan Mochtar Lubis menyampaikan otokritik terhadap prilaku hidup bangsanya. Obsesinya terlihat secara nyata: perbaikan kualitas bangsa.
Otokritiknya yang sangat terkenal terhadap bangsanya di lakukan pada suatu kesempatan berceramah di Taman Ismail Marzuki(6 April 1977). Ia menulis makalah yang berjudul Manusia Indonesia: Sebuah pertanggung jawaban. Mochtar Lubis mengupas dan membahas serta melakukan kritik yang sangat tajam dan penilaian yang berani terhadap kehidupan bangsanya. Ceramahnya itu menjadi sangat terkenal karena ia mengemukakan 6 ciri manusia Indonesia. Ceramah itu dimulainya dengan pembukaan yang sangat menarik.
Wajah lama sudah tak karuan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapa itu orang atau manusia Indonesia? Apa dia memang ada? Seperti apa gerangan tampangnya? Yang lelaki apa gerangan benar gagah perkasa, satria sejati, tampan dan keren, campuran Arjuna dan Gatotkaca, seorang satria-penderita atau malahan ratu-penderita? Dan manusia yang ceweknya, Srikandikah, dengan kecantikannya yang dilukiskan orang melayu dengan kata-kata…rambutnya seperti mayang terurai, alias matanya bagai lebah beriring, bibirnya mekar delima, betisnya bagai padi bertelur…?
Selanjutnya,ia mengupas 6 ciri khusus manusia Indonesia. Pertama, ciri yang menonjol dari manusia Indonesia adalah munafik, kedua segan atau enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. Ketiga, manusia indonesia berjiwa fodal. Keempat, manusia Indonesia percaya pada takhyuL. Kelima, manusia Indonesia hidup secara naluriah, lebih mengandalkan nalurinya. Keenam Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan dan memperjuangkan keyakinannya. Jika dipaksa dan terpaksa, manusia Indonesia bersedia mengubah keyakinannya. Ciri lainnya manusia Indonesia yang diamati oleh Mochtar lubis adalah pemboros. Ceramahnya itu mendapat banyak tanggapan. Ia beberapa kali menangapinya melalui media cetak, sekedar menjelaskan posisi posisi penilaianya atas manusia Indonesia. Saat ini, ceramah Mochtar lubis dirasakan masih relevan. Beberapa contoh ciri manusia Indonesia yang dikemukakannya sekian puluh tahun lalu itu dapat kita temukan Contohnya pada kehidupan sehari-hari. Penulis ini lahir di padang, tanggal 7 Maret 1992. Berpendidikan SD Padang, Sekolah1 Ekonomi yang didirikan S.M. Latif di Kayutanam, dan selanjutnya Otodidak. Pernah menjadi wartawan LKBN Antara dan Harian Merdeka, kemudian memimpin majalah Masa Indonesia (1947) , majalah Mutiara, dan harian Indonesia Raya (1951-1974) harian ini dilarang terbit selama beberapa tahun pada tahun 50-an dan pada tahun 1974 pernah pula menjadi Presiden Press Foundation of Asia, anggota Dewan Pimpinan International Press Institute, anggota Dewan Pimpinan International Association for Cultural Freedom, dan anggota Fedaration Mondial pour le Etudes sur le fultur. Hingga sekarang, ia menjadi pemimpin umum dan pemimpin perusahaan Horison, Ketua Yayasan Obor dan anggota Akademi Jakarta (sejak1970) untuk seumur hidup . Tahun 1956 ML masuk penjara karena tulisan-tulisannya dalam Indonesia Raya dianggap membahayakan negara dan baru di bebesakan bulan Mei 1966. kesan dan pemikirannya selama di penjara itu, dituliskannya dalam buku Catatan subversif (1980). Sebagai Wartawan, ia pernah mendapat Hadiah Magsaysay Dari Yayasan Magsaysay Filipina (1958 .dan Hadiah Pena Emas dari World Federationo of Editor and Publishers (1967). Novelnya, Jalan Tak Ada Ujung (1952) diinggriskan A.H. Johns menjadi A road with no end, London,1968 ,mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1952 cerpennya Musim Gugur menggondol hadiah majalah Kisah tahun 1953 kumpulan cerpennya perempuan (1956 mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-1956. Novelnya Harimau !Harimau! (1975) meraih hadiah Yayasan BUKU Utama Departemen P dan K tahun 1975; dan novelnya maut dan cinta (1977) meraih hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya tahun 1979. selain itu, Mochtar lubis juga menerima Anugerah Sastra Chairil Anwar (1992).
SINOPSIS NOVEL
Prinsip Hidup Orang Jawa
Masyarakat Jawa memilki prinsip-prinsip dasar tentang sikap batin yang tepat, yaitu terkontrol, tenang, berkepala dingin, sabar, halus, tenggang rasa, bersikap sederhana, jujur, sumarah, halus, dan tidak mengejar kepentingan diri sendiri. Sementara dalam hal tata krama, orang Jawa memiliki prinsip mengambil sikap yang sesuai dengan derajat masing-masing pihak, pendekatan tidak langsung, tidak memberi informasi tentang kenyataan yang sebenarnya, dan mencegah segala ungkapan yang menunjukkan kekacauan batin atau kekurangan kontrol diri (Christina dan Novianto 2004: 2). Dalam praktik sehari-hari, orang Jawa menerapkan tata krama kesopanan Jawa yang terdiri atas empat prinsip utama, yaitu pertama, mengambil sikap yang sesuai dengan derajat masing-masing pihak. Kedua, dengan pendekatan tidak langsung, yaitu seni untuk tidak langsung mengajukan apa yang menjadi maksud pembicaraan, tetapi seakan-akan dengan jalan melingkar mendekatkan diri pada tujuan yang diharapkan; dianggap kurang sopan untuk langsung mengatakan apa yang dikehendaki. Ketiga, dengan disimulasi, yaitu kebiasaan untuk tidak memberikan informasi tentang kenyataan yang sebenarnya pada hal yang tidak penting atau bersifat pribadi sebagaimana tampak dalam kebiasaan ethok-ethok, pura-pura. Keempat, mencegah segala ungkapan yang menunjukkan kekacauan batin atau kekurangan kontrol diri. Kontrol diri yang sempurna berarti menghindari segala bentuk pergaulan yang kasar, misalnya memberi jawaban menolak, memberi perintah langsung, menjadi marah atau gugup, bahkan segala reaksi spontan (Christina dan Novianto 2004: 2).
Menurut Cristiana (2002: 66), masyarakat Jawa mempunyai tiga prinsip hidup yang akan mendukung gerak keseluruhanya secara harmonis dan semakin tampak halus, dalam arti tidak ada kekacauan dan koflik. Ketiga prinsip itu yaitu prinsip kerukunan, hormat, dan toleransi. Sosok pribadi Jawa yang kental kejawaannya akan yakin dan sadar bahwa orang harus hidup seirama dengan kehidupan; tajam pangrasane, halus tutur kata dan perilakunya. Hakikat hidup baginya adalah manunggaling kawula gusti yang hanya bisa dicapai melalui usaha untuk mencapai kesempurnaan, menyelaraskan diri dengan Hyang Agung, dengan daya hidup yang mengalir dalam diri dan memenuhi diri dengan hasrat untuk mencapai asal usul diri, tidak hanya dipimpin oleh inspirasi/ilham yang didapat darinya, tetapi juga berusaha mengealami kesatuan mistis, kesatuan antara abdi dan tuan. Christina dan Novianto juga menjelaskan bahwa tolak ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin.
Bagi orang Jawa, suatu pandangan dunia dapat diterima jika semua unsurnya mewujudkan kesatuan pengalaman yang harmonis, jika unsur-unsurnya cocok satu sama lain, dan kecocokan itu merupakan suatu kategori psikologis yang menyatakan diri dalam tidak adanya ketegangan dan gangguan batin. Semakin unsur-unsur itu harmonis maka akan semakin tampak halus. Ini bermakna realitas yang sesungguhnya telah ditemukan. Dalam lingkungan Kraton, kultur Jawa yang masih menonjol adalah pembagian strata dalam suatu kelompok sosial. Orang dapat menduduki lapisan (kelas) tertentu disebabkan oleh beberapa faktor, seperti misalnya : keturunan, kecakapan, pengaruh, kekuatan, dan lain sebagainya. Selo Sumardajan dan Soelaiman Soemardi (dalam Ahmadi 2003: 204) menyatakan sebagai berikut :
selama di dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai olehnya dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka barang itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat.
Tokoh Utama
Penelitian Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. difokuskan pada tokoh utama yang mendukung berkembangnya cerita. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Untuk mengetahui tokoh utama maka dibuat insiden-insiden yang disingkat I. Insiden-insiden tersebut dapat dilihat pada lampiran I. Tokoh dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem dapat diketahui dengan melihat insiden insiden tersebut. Tokoh-tokoh tersebut adalah Pariyem, nDoro Kanjeng Cokro Sentono, nDoro Ayu Cahya Wulaningsih, nDoro Putri Wiwit Setiowati, Raden Bagus Ario Atmojo, Karso Suwirto, Parjinah, Endang Sri Setianingsih, Painem, Pairi, teman dan tetangga sedusun Pariyem, dan Kang Kliwon. Dari sekian tokoh tersebut, ada yang merupakan tokoh utama. Tokoh utama merupakan tokoh cerita yang paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lain dan paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Dengan begitu, tokoh utama dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem adalah Pariyem. Dari 37 insiden yang diceritakan pengarang, tokoh Pariyem hadir dalam 24 insiden. Selain itu, hampir semua tokoh yang berada dalam prosa lirik ini berhubungan dengan Pariyem.
Penokohan
Pariyem adalah seorang wanita Jawa yang berusia 25 tahun. Ia mempunyai wajah yang menarik dan tubuh seksi. Dalam penggambarannya, pengarang menggunakan teknik analitik. Hal itu dapat dilihat dari ucapan yang dilontarkan nDoro Putri dan Pariyem sendiri. Kutipan berikut menunjukkan perkataan Pariyem.
”Saya pun tambah besar Sampai-sampai anak muda Yogya menggoda dan sering rerasan:
Saya bertubuh sintal saya bertubuh tebal” (hal. 12)
Kutipan berikut menunjukkan perkataan nDoro Putri.
”Dasar, lelaki mata keranjang! Dasar, lelaki hidung belang! Tanpa pandang siapa pun – O, yu Iyem –
asal bathuk klimis dimakan!” (hal. 175)
Wanita yang mempunyai nama pemandian Maria Magdalena Pariyem ini tidak mau dipanggil dengan nama lengkapnya. Ia merasa lebih pantas kalau orang hanya memanggilnya Pariyem. Nama itu dirasanya lebih sesuai dengan derajatnya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
”Apabila suatu hari kita bertemu Jangan panggil saya Maria
jangan panggil saya Magda Tapi panggil saya Pariyem
Jangan panggil saya Riri
jangan panggil saya Yeyem
Tapi pangggillah saya Iyem
lha, orangtua saya memanggil Iyem, kok
cocok benar dengan pangkat saya: babu” (hal. 15)
Jangan panggil saya Riri
jangan panggil saya Yeyem
Tapi pangggillah saya Iyem
lha, orangtua saya memanggil Iyem, kok
cocok benar dengan pangkat saya: babu” (hal. 15)
Pariyem menerima pekerjaannya sebagai babu di rumah nDoro Kanjeng Cokro Sentono dengan ikhlas. Sebagai babu ia bisa mengambil sikap yang sesuai dengan derajat masing-masing pihak. Pekerjaan dari pagi hingga malam ia lakukan dengan tekun, karena menurutnya pekerjaan adalah sebuah ibadah. Tetapi terkadang ia merasakan kesusahanya sebagai babu. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
”O, Allah, Gusti nyuwun ngapura
Saya lebih patut sebagai biyung emban
Saya lebih patut sebagai Limbuk
Begutulah ledekan tukang becak
Yang biasa saya dengar
O, betapa anyel ati saya dibuatnya
Bila sudah begini, saya suka sewot
Meskipun terhadap saya sendiri jua
Tapi bila sudah eling lagi
Saya ketawa cekikikan pula” (hal. 23)
Selain rajin bekerja, Pariyem juga rajin dalam merawat tubuh. Setiap pagi, sebelum bekerja ia mandi terlebih dahulu untuk membersihkan badan. Sedangkan untuk membersihkan kotoran di tenggorokan dan menghilangkan bau keringat ia minum air-sirih sekali dalam seminggu. Hal itu memperkuat pesona keanggunan yang telah dimilikinya, yaitu lirih, laras, dan lurus saat berbicara. Setiap kali ia berbicara tidak pernah berteriak, melainkan lirih dan tidak sumbang sehingga terang kesampaian ke pendengarnya. Perkataan yang diucapkannya selalu jujur dan tidak pernah mencaci orang, kecuali orang itu dianggapnya
keterlaluan. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
”Dan betapa suara saya penuh tenaga
menggetarkan lawan saya bercakap
O, Allah, Gusti nyuwun ngapura
Apabila saya menyapa Den Baguse
bayang matanya penuh alam mimpi
Dia menelan ludah berkali-kali” (hal. 35)
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa interaksi sosial yang terjadi antara Pariyem dan Raden Ario Atmojo dipengaruhi oleh faktor simpati. Dengan pesonanya, Pariyem menyapa Raden Bagus Ario Atmojo. Pesona yang dimilki Pariyem itulah yang mebuat dirinya disetubuhi oleh Raden Bagus Ario Atmojo. Tetapi Pariyem tidak merasa kecewa ataupun marah ketika peristiwa itu terjadi. Seperti tidak mengenal dosa ia malah rela dan bangga dilakukan seperti itu oleh Raden Bagus Atmojo. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
”O, betapa saya bingung
betul-betul bingung!
Tapi terselip rasa bangga
Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem lengkapnya
”Iyem” panggilan sehari-harinya
dari Wonosari Gunung Kidul
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta
Kini memerawani putra sulungnya” (hal. 40)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa perasaan Pariyem tidak sama dengan waktu diperkosa oleh Kang Kliwon, tetangga dusun. Ketika diperkosa oleh Kang Kliwon, ia merasakan beban hidup yang sangat berat. Sedangkan pada saat diperkosa oleh Raden Bagus Ario Atmojo, ia malah senang. Hal itu dikarenakan perbedaan strata antara Pariyem dengan Raden Bagus Ario Atmojo. Dalam kultur Jawa, khususnya di daerah Kraton pembagian strata dalam suatu kelompok masyarakat masih kuat. Oleh karenanya, Pariyem yang berasal
dari kelas bawah akan merasa senang apabila bisa menjadi istri dari kelas atas ( priyayi ). Dengan menjadi istri dari seorang kelas atas, derajatnya akan naik.
Pariyem tidak melaporkan perbuatan tercela yang telah dilakukan Raden Bagus Ario Atmojo terhadap dirinya kepada orang lain. Ia malah berusaha untuk tidak menceritakan kepada orang lain. Hal itu ia lakukan karena tidak mau mempermalukan Raden Bagus Ario Atmojo. Ia tidak ingin hubungannya dengan keluarga nDoro Kanjeng Cokro Sentono menjadi renggang. Dari sinilah Pariyem merasa bahwa menciptakan hubungan dalam cinta lebih mudah daripada memiharanya. ariyem selalu berusaha menjalin kerukunan dengan siapapun yang ikenalnya. Oleh karenanya, ia senang bila diajak nDoro Ayu pergi ke pasar gede Bringharjo. Di sana ia bisa bertemu dengan teman-teman seusia sebaya di desanya. Tegur sapa selalu terjadi bila mereka saling bertemu. Rasa kangen Pariyem pada rumah dapat terobati, karena kabar selamat dari keluarga di desanya dapat diketahui lewat teman-temannya itu. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
”Demikianlah, rasa kangen saya pada rumah
terobati di dalam pasar gede Beringharjo
Berjumpa dengan teman-teman sedusun
pun berjumpa dengan jagad yang rukun
Ya, demikianlah, titik pangkal hidup saya” (hal. 147)
Peristiwa persetubuhannya dengan Raden Bagus Ario Atmojo membuat Pariyem teringat masa lalu. Masa dimana pertama kali ia melakukan persetubuhan dengan seorang laki-laki, kang Kliwon. Pada saat itu ia merasakan beban pikiran yang sangat berat. Tetapi ia dapat memendam perasaan deritanya sendiri. Ia rela menjalani kehidupannya dengan pengalaman yang menyakitkan. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
”O, Allah, Gusti nyuwun ngapura
Berapa lama jalan saya rambah
yang mengocok batin dan perasaan
Berapa lama beban saya tanggung
yang membelit pundak dan punggung
....
O, bapak, O, simbok
anakmu kungkum di sendhang
menanggung beban sendirian” (hal. 86)
Jung (dalam Soemadi 2004: 164) mengatakan hal-hal yang diperoleh
oleh individu selama hidupnya merupakan isi dari ketidaksadaran seorang individu. Ini meliputi hal-hal yang terdesak atau tertekan dan hal-hal yang terlupakan ( bahan-bahan ingatan ) serta hal-hal yang teramati, terpikir, dan terasa di bawah ambang kesadaran. Dari kutipan di atas ketidaksadaran pribadi Pariyem muncul akibat manifestasi symptom dan kompleks. Selain bisa memendam perasaan deritanya, Pariyem juga selalu berusaha untuk tidak menyesali segala kesalahan yang telah diperbuatnya. Ketika mengetahui bahwa dirinya telah mengandung bayi dari hubungannya dengan Raden Bagus Ario Atmojo, ia tidak kecewa atau menyesalinya. Ia juga tidak menuntut Raden Bagus Ario Atmojo untuk bertanggung jawab atas bayi yang dikandungnya. Dalam pikirannya tidak begitu mengharap pernikahan, yang diharapkannya adalah kelahiran anaknya dengan selamat. Apabila nanti diusir pun ia ikhlas menerimanya. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
”O, saya tak menaruh keberatan
Pernikahan bukan dambaan saya
yang saya damba adalah anak” (hal. 181)
” Sebagai babu saya tahu tempatnya
harus minggat atau terus menetap
Tergantung budi baik tuan rumahnya
kepada siapa saya menumpang hidup
O, tak perlu pakai cingcong segala” (hal. 188)
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa dalam diri Pariyem telah tertanam suatu prasangka terhadap keluarga majikannya, nDoro Kanjeng Cokro Sentono bila mengetahui kehamilannya. Sikap tersebut dalam psikologi disebut dengan prejudice. Gulo (1982: 221), menyatakan bahwa prejudice adalah prasangka atau anggapan yang mendahului secara lebih umum, merupakan sikap yang bernada emosional terhadap suatu objek atau orang atau sekelompok orang, secara tipikal merupakan sikap bermusuhan yang menempatkan seseorang atau kelompok orang pada posisi yang merugikan. Pariyem memiliki prasangka seperti itu dikarenakan derajatnya yang rendah daripada majikannya. Tetapi prasangka itu hilang dan berubah menjadi perasaan senang ketika ia mengetahui bahwa dirinya diterima sebagai menantu. Walaupun begitu, Ia tidak menuntut pada nDoro Kanjeng Cokro Sentono untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai babu. Pada saat mitoni nDoro Kanjeng Cokro Sentono dan Raden Bagus Ario Atmojo datang untuk merayakannya dengan membawakan beberapa tembang Jawa. Ketika acara selesai, nDoro Putri tidur sekamar dengan Pariyem. Dengan adanya peristiwa itu, ia merasa senang karena tidak ada perbedaan kelas. Kutipan
berikut menunjukkan hal tersebut.
“BETAPA senangnya hati saya
nDoro Putri tidur seamben dengan saya
Dia betah dan krasan tinggal di desa
dan, O, makan dan jajan apa adanya
Tak pernah mencacat, dia menerima saja
betapa senangnya hati saya.” (hal. 211)
Selain peristiwa-peristiwa di atas, ada peristiwa lain yang membuat Pariyem merasakan kebahagiaan yang sempurna. Ia berhasil melahirkan bayinya dengan selamat. Hanya saja nDoro Kanjeng Cokro Sentono dan suaminya pada saat itu tidak datang. Tetapi hal tersebut tidak membuatnya kecewa. Pariyem sangat menyayangi anaknya, Endang Sri Setianingsih. Setiap kali menggendong ia selalu lantunkan tembang-tembang. Jarak antara Yogya dan Wonosaripun ia tempuh sekali dalam seminggu demi pekerjaannya sebagai babu di rumah nDoro Kanjeng Cokro Sentono dan Ibu dari Endang Sri Setaningsih.
Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Batin saya sudah merasa bahagia
Lha apa ta tujuan orang hidup itu
kalau bukan mencapai kebahagiaan?” (hal. 229)
“O, Allah, jantung hati saya
O, Allah, biji mata saya
O, anak kembang keluarga
O, anak, permata simboknda
Demi anak segala rintangan saya tempuh
mati pisan saya lakoni” (hal. 231)
Pariyem masih menghormati adat yang ada di lingkungannya. Pakaian yang ia pakai adalah kebaya. Ketika sedang mengandung ia lakukan semua upacara adat, seperti Mitoni. Walaupun menggigil kedinginan karena dimandikan oleh dukun dengan air murni dari sendhang, ia tetap melakukannya tanpa beban. Pada saat ia diajak nDoro Putri untuk mengikuti perayaan Sekaten, Pariyem antusias mengikutinya. Upacara Grebeg juga ia ikuti, walaupun berjejalan dan berebutan dengan semua peserta yang ingin mengharap berkah. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“nDoro Ayu dan saya membeli kinang
ngalap berkah dalam keramaian
Membeli telur godhog sunduk
yang diborehi warna abang” (hal. 119)
“Demikianpun kami perempuan bertiga:
nDoro Ayu, nDoro Putri, dan saya
ada dalam uyuk-uyukan berebutan
Rasa malu lebur dalam gelora massa” (hal. 125)
Sebagai orang yang mempunyai cita-cita sebagai sindhen di dalam
dirinya terdapat jiwa seni. Ia suka mendengarkan musik di radio ketika
beristirahat. Ia menyukai alunan suaranya Diana Nasution, tetapi tidak dengan
syairnya. Pariyem merasa bahwa syairnya dibuat hanya karena mengikuti terget
produsen rekaman, bukan daya cipta yang berpribadi.
Perilaku Sosial Tokoh Utama dalam Konteks Budaya Jawa
Bila dilihat dari tipe perilaku inklusi, Pariyem termasuk tokoh yang mempunyai tipe perilaku sosial. Pada masa kecil Pariyem telah mendapatkan kebutuhan inklusi. Hubungan yang positif dengan orang tua membuat dirinya merasa berguna. Ia juga aktif ikut serta dengan teman sebayanya dalam suatu permainan. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Semenjak saya masih bocah
Simbok mengajar saya nembang
simbok mengajar saya Tayuban
Ya, alon-alon diulang-ulang
….
Bila simbok nyindhen di tempat dekat
saya diajaknya, idhep-idhep latihan” (hal. 73)
Perilaku sosial yang terdapat pada diri Pariyem timbul dari interaksi
sosialnya dengan beberapa tokoh. Pariyem tidak jarang diberi nasihat mengenai
conformitas yang berlaku di dalam budaya Jawa. Pada masa kecil orang tua dan
neneknya banyak memberikan ajaran dan nasihat. Setelah dewasa, ia juga banyak diberi ajaran dan nasehat oleh majikannya. Sedangkan untuk menambah pengetahuannya, ia menguping kegiatan belajar para murid nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Kutipan berikut menunjukkan bahwa Pariyem diberi nasehat oleh bapaknya.
“Saya eling pesan bapak, kok
Paugeraning urip iku Sang Murbeng Jagad” (hal. 20)
Kutipan berikut menunjukkan bahwa Pariyem diberi nasehat oleh neneknya.
“Waktu jaman saya masih bocah
saya kelon sama simbah wedok
Dan saya mendapat banyak piwulang
apabila hendak tidur waktu malam
Lha ya, menyangkut banyak hal:
Budi pekerti dan tata krama
unggah-ungguh dan suba sita” (hal. 156)
“Simbah saya pernah berpesan:
Orang berisi itu orang yang
semakin runduk ke bumi
itulah ngelmu padi
Sikap congkak dan sombong diri
tanda orang itu kurang pekerti
Wani ngalah luhur Wekasanipun
itulah wejangannya” (hal. 49)
Kutipan berikut menunjukkan bahwa Pariyem diberi nasehat oleh nDoro Kanjeng.
“Ya, ya, nDoro Kanjeng pernah bilang:
Kita sendiri punya peradaban, Iyem
apabila bukan kita yang menghargai
Malah malu dan meremehkan, itu aib
siapa yang mengangkat martabatnya?” (hal. 66)
Kutipan berikut menunjukkan bahwa Pariyem diberi nasehat oleh nDoro Ayu.
“Dengarkanlah, nDoro Ayu sudah bilang:
Di depan Gusti Allah hak kita sama
harkat kemanusiaan kita tak berbeda
Di sorga Gusti Allah tidak bertanya:
Pangkatmu apa, harta karunmu berapa?
Kowe bangsawan atau kere gelandangan?
Di sorga Gusti Allah hanya bertanya:
Kebajikanmu apa, imanmu bagaimana?
Kowe serakah tamak atau suka berkorban?” (hal. 127)
Pariyem menghormati tokoh-tokoh tersebut, sehingga petuah yang ia terima dari mereka diterima dan dilakukannya. Hal itu membuat perilakunya selalu didasarkan pada norma kesopanan budaya Jawa. Dalam praktik sehari-hari, orang Jawa menerapkan tata krama kesopanan Jawa yang terdiri atas empat prinsip utama, yaitu pertama, mengambil sikap yang sesuai dengan derajat masing-masing pihak. Pariyem sebagai babu di rumah nDoro Kanjeng Cokro Sentono bisa menempatkan posisinya dengan baik. Ia selalu sadar pada batasbatas dan situasi keseluruhan tempat di dalamnya ia bergerak. Bila bekerja, ia tidak menunggu perintah dari sang majikan. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“makan malam telah selesai
Saya pun membersihkan meja makan
Dan mengganti dengan minum kopi
Sementara keluarga duduk santai” (hal. 184)
“Pariyem, duduklah di kursi
Jangan kowe duduk di lantai
Ada yang wigati kita bicarakan” (hal. 185)
Kedua, dengan pendekatan tidak langsung, yaitu seni untuk tidak langsung mengajukan apa yang menjadi maksud pembicaraan, tetapi seakan-akan dengan jalan melingkar mendekatkan diri pada tujuan yang diharapkan; dianggap kurang sopan untuk langsung mengatakan apa yang dikehendaki. Ketika Pariyem diterima sebagai menantu nDoro Kanjeng Cokro Sentono, ia merasa dirinya sebagai putri di rumah nDoro Kanjeng. Akan tetapi, ia tidak mengungkapkan perasaannya dengan pernyataan secara langsung. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“ Ya, ya Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem lengkapnya
Iyem panggilan sehari-harinya
dari Wonosari Gunung Kidul
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta
kini di Wonosari Gunung kidul
dari nDalaem Suryomentaraman Ngayogyakarta
Tapi lahirnya, saya hanya babu
tapi batinnya, saya putri mantu.” (hal. 199)
Ketiga, dengan disimulasi, yaitu kebiasaan untuk tidak memberikan informasi tentang kenyataan yang sebenarnya pada hal yang tidak penting atau bersifat pribadi sebagaimana tampak dalam kebiasaan ethok-ethok, pura-pura. Ketika diajak nDoro Putri belanja, Pariyem pura-pura mau mengikutinya. Padahal dalam dirinya tidak senang bila pergi berbelanja dengan nDoro Putri. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“ Waduh Gusti, mati saya!
Begitu saya sambat dalam hati
Lha, habis bila dia membeli sepatu
Toko sepatu jalan Malioboro
Komplit, semua dijelajahinya.” (hal. 150)
Keempat, mencegah segala ungkapan yang menunjukkan kekacauan batin atau kekurangan kontrol diri. Kontrol diri yang sempurna berarti menghindari segala bentuk pergaulan yang kasar, misalnya memberi jawaban menolak, memberi perintah langsung, menjadi marah atau gugup, bahkan segala reaksi spontan. Pariyem sebagai babu tidak pernah menolak perintah dari majikannya. Meskipun berat, ia tetap berusaha untuk melaksanakannya. Ketika diperintah untuk meninggalkan anaknya di Wonosari bila sudah mulai bekerja, ia menurutinya. Padahal untuk seorang ibu meninggalkan anaknya dalam waktu seharipun terasa berat. Oleh karena itu, setiap seminggu sekali Pariyem pulang ke Wonosari untuk menengok anaknya. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa
hanya selama setahun tinggal di dusun
di Wonosari Gunung Kidul” (hal. 194)
….
Saya pun kini mondar-mandir
mondar-mandirlah saya kini
Antara kota Ngayogya dan Wonosari
antara dusun Wonosari dan kota Ngayogya” (hal. 231 )
Dalam hubungan antar pribadi, Pariyem tidak pernah marah. Setiap permasalahan yang ada ia hadapi dengan sabar. Ketika kang Kliwon memperkosanya, ia menerima dengan ikhlas. Walaupun penderitaan yang dialami itu sangat berat, tetapi ia bisa menanggung nasib buruknya itu. Dengan begitu, Pariyem telah mempunyai sikap khas yang dinilai sebagai tanda kematangan moral. Sikap khas tersebut antara lain sabar, nrima, ikhlas. Sabar merupakan tanda seorang pemimpin yang baik: maju dengan hatihati. Sabar berarti mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib yang baik akan tiba. Seperti Pariyem, ia sabar dalam melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Sebanyak apapun pekerjaannya, ia tetap melaksanakannya tanpa mengeluh. Ia tahu, kapan waktu bekerja dan beristirahat. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Ah, ya, lihatlah hidup saya sekarang:
Sehabis melampaui kesungguhan kerja
Yang ada adalah penjelmaan karsa
Karsa pun tampil dari jagad dalam
Tampillah karya yang saya idamkan” (hal. 32)
Nrima berarti menerima segala apa yang mendatangi kita, tanpa protes dan pemberontakan. Nrima berarti dalam keadaan kecewa dan sulit seseorang tetap bereaksi secara rasional, tidak ambruk, dan tidak menentang secara percuma. Nrima menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Sikap nrima memberi daya tahan untuk menanggung nasib buruk. Pariyem yang tidak tamat sekolah karena keadaan orang tuanya yang miskin tidak membuatnya kecewa. Hal itu ia buktikan dengan nrima pekerjaanya sebagai babu di rumah nDoro Kanjeng Cokro Sentono dengan rela. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“ Ya, ya Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem lengkapnya
Iyem panggilan sehari-harinya
dari Wonosari Gunung Kidul
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta
Saya sudah trima, kok
saya lega lila
Kalau memang sudah nasib saya
sebagai babu, apa ta repotnya?
Gusti Allah Maha Adil, kok
saya nrima ing pandum” (hal. 29)
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Pariyem telah nrima dengan ikhlas pekerjaannya sebagai babu. Ikhlas berarti “bersedia”. Sikap ini memuat kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah ditentukan. Arah yang sama ditunjukkan oleh sikap rila, yaitu kesanggupan untuk melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan, dan hasil-hasil pekerjaan sendiri apabila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab atau wajib. Ikhlas dan nrima merupakan tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan untuk melepaskan dengan penuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif. Kematangan moral Pariyem membuatnya tegar dalam menghadapi nasib buruk. Ketika pertama kali diperkosa oleh seorang laki-laki, ia merasakan penderitaan yang berat. Penderitaan yang dialami oleh seorang wanita yang kehilangan keperawanannya karena diperkosa. Tetapi ia bisa sabar dan nrima dengan ikhlas nasib buruk yang sedang dialaminya itu. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“O, Allah, Gusti nyuwun ngapura
Berapa lama jalan saya rambah
yang mengocok batin dan perasaan
Berapa lama beban saya tanggung
yang membelit pundak dan punggung
Ibarat benang bundhet
walau sukar bisa diurai
Ibarat senar ruwet
walau susah bisa diudhari
Tapi batin dan perasaan manusia
tak ada dukun kampiun
sanggup menyidikara
Tak ada tukang sulap lihay
sanggup menipu daya
Beban saya tuntas sempurna
tuntas dan sempurna juga derita saya
….
O, bapak, O, simbok
anakmu kungkum di sendhang
menanggung beban sendirian” (hal. 86 – 87)
Dengan perilaku sosial, Pariyem bisa bertindak tepat dan selalu merasa senang dalam hubungan emosi yang dekat maupun renggang. Ia tidak mempunyai kecemasan dan yakin bahwa ia adalah orang yang patut untuk dicintai. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Dan betapa suara saya penuh tenaga
menggetarkan lawan saya bercakap
O, Allah, Gusti nyuwun ngapura
Apabila saya menyapa Den Baguse
bayang matanya penuh alam mimpi
Dia menelan ludah berkali-kali
Anunya lalu ngaceng, lho” (hal. 35)
Masyarakat Jawa mempunyai tiga prinsip hidup yang akan mendukung gerak keseluruhanya secara harmonis dan semakin tampak halus, dalam arti tidak ada kekacauan dan koflik. Ketiga prinsip itu yaitu prinsip kerukunan, hormat, dan toleransi. Pariyem sebagai orang Jawa tidak lupa melandaskan ketiga prinsip itu dalam menjalani kehidupannya. Dari kutipan di atas, Pariyem berusaha menjaga keharmonisan hubungannya dengan Raden Bagus Ario Atmojo. Tidak hanya dengan Raden Bagus Ario Atmojo, Pariyem menjaga hubungan yang harmoni. Ia terapkan ketiga prinsip itu untuk hubungannya dengan semua tokoh. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Dan saya memakai nafas perut – lembut –
langsung naik ke batang tenggorokan
Suara yang ke luar terdengar – lunak
orang yang mendengar pun merasa enak
Dan saya langka mencaci orang, lho
Kecuali memang orangnya sontoloyo” (hal. 34)
“Saya tak mau mempermalukan orang
Di hadapan banyak orang
Itu kurang pekerti namanya
Itu tidak baik buntutnya” (hal. 62)
“Berjumpa dengan teman-teman sedusun
Pun berjumpa dengan jagad yang rukun
Ya, demikianlah, titik pangkal hidup saya” (hal. 147)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Pariyem berusaha menjaga kerukunan dengan cara menghormati lawan bicaranya. Sikap toleransi kepada semua tokoh juga ia lakukan untuk menjaga kerukunannya dengan semua tokoh. Pariyem bisa menempatkan diri dalam posisi yang tidak ekstrim, selalu fleksibel mengikuti gerak dan perubahan yang terjadi. Ketika melahirkan, Pariyem memberikan toleransi kepada suami dan mertuanya yang tidak bisa hadir pada saat itu, dikarenakan urusan penting. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“ Waktu Endang Sri Setianingsih lahir
Den Baguse terlambat datang
Sehari kemudian baru nongol
sayang, dia sedang menempuh ujian
Demikianpun nDoro Kanjeng Cokro Sentono
datangnya sepekan kemudian
Sayang, dia sedang ada di manca negara
sehabis menatar para dosen di Bulaksumur
Tapi asal keslamatan melingkupi kami
dan si thuyul tak kurang suatu apa
Bagi saya berkah dan restunya tiba” (hal. 218)
Selain hormat dan toleransi antar sesama, untuk menjaga kerukunan antar sesama Periyem juga selalu berusaha untuk berbicara jujur. Bila berdusta ia merasa tidak nyaman bertemu dengan tokoh lain. Akibatnya, ia tidak bisa berkomunikasi dengan tokoh lain dan merenggangkan hubungan yang harmoni dengan mereka. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Sedangkan saya pantang dusta
Bila saya dusta pada lain orang
orang lain akan dusta sama saya
– saya kuwalat
saya kena hukum karma namanya
Bila saya dusta sama lain orang
saya dikuntit oleh rasa berdusta
Wuah, itu tak baik but hati saya
saya tak ayem tentrem karenanya saya tak krasan ketemu siapa saja” (hal. 60)
Dalam hubungannya dengan tokoh lain, Pariyem menganggap dirinya lebih rendah daripada orang lain. Ia selalu berusaha untuk selalu bersikap sederhana. Kekurangannya tidak pernah ia tutupi. Ia selalu berbicara apa adanya, tidak pernah menambah ataupun mengurangi. Hal itu sama dengan prinsip hidup orang Jawa yang hendaknya selalu bersikap sederhana ( prasaja ) dan bersedia untuk menganggap diri lebih rendah daripada orang lain ( andhap asor ). Kutipan berikut menunjukkan Pariyem bersikap andhap asor.
“Ah, ya, jika saya suka ngomong Bukan maksud saya mulang sampeyan Terang, saya tak punya pendidikan Saya pun tak pantas kasih wulangan Tak sebagaimana kaum priyayi kota
Tak sebagaimana orang muda dusun Keturunan keluarga-keluarga mampu” (hal. 106)
Kutipan berikut menunjukkan Pariyem bersikap prasaja.
“sedang Painem menyiapkan sarapan:
Bukan nasi dang, bukan nasi liwet Beras Delanggu atau beras Cianjur Tetapi sebagaimana makanan pokok kami Ketela jrendal kering digodhog, gathot Ketela jrendal tumbuk diedang, thiwul Itulah makanan pengganjal perut kami Tak ada variasi, tak ada model lain” (hal. 196)
Perilaku Pariyem yang mendasarkan pada prinsip hidup Jawa membuat dirinya bisa merasa senang dalam kedudukan atasan bawahan, tergantung pada situasi dan kondisinya. Dalam ketidaksadarannya, ia merasa mampu dan kemampuannya itu tidak perlu dibuktikan kepada orang lain. Ia selalu berhasil memecahkan berbagai persoalan dan tanpa ragu-ragu mengambil keputusan. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Mas Paiman, saya bilang, ya Jadi orang hidup itu mbok ya
Yang teguh imannya gitu, lho? Hidup yang prasojo saja
Tak usah yang aeng-aeng” (hal. 27)
“O, ini bukan lagi kekhilafan namanya tapi analisa dari ilmu kedokteran bukan jaminan kebenaran tunggal Bila saya tak bertahan, apa jadinya? Perut sobek, sakit terus mangkal Darah keluar banyak, duit pun keluar banyak tapi sakit tetap tak tertambal Dan saya hanya dipijat urut seorang-orang petani di dusun Beberapa minggu berselang – edan! –
penyakit sontoloyo itu pun hilang” (hal. 142)
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sosial Pariyem
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sosial Pariyem adalah faktor personal dan faktor situasional.
Faktor Personal
Faktor personal adalah faktor yang berasal dari diri individu itu sendiri. Faktor-faktor personal dibagi menjadi dua, yaitu faktor biologis dan faktor sosiopsikologis.
Faktor Biologis
Faktor biologis berpengaruh dalam seluruh kegiatan manusia. Perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusia dan bukan pengaruh lingkungan. Ketika Pariyem kangen dengan Raden Bagus Ario Atmojo, ia mengajaknya untuk bercumbu. Ajakan itu merupakan bentuk motif biologis Pariyem untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Begitu juga terhadap kang Kliwon. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Lha, saya tidak diperkosa dia, kok
saya meladeninya dengan suka rela
Rasa tulus ikhlas lambarannya Bahkan kalau saya sudah gatal Den Baguse saya bujuk, saya goda Dia pun menyambut penuh kegairahan
O, Allah, bikin saya ketagihan!” (hal. 181)
Selain mengajak Den Baguse atau kang Kliwon untuk berhubungan seksual, dalam memuaskan kebutuhan seksualnya Pariyem juga terkadang melakukan manstrubasi. Hal itu ia lakukan hanya untuk melepaskan ketegangan. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Saya kucel-kucel penthil saya Sebagaimana Den Baguse mengucel-ngucelnya Saya uyeg-uyeg pinggul saya Sebagaimana Den Baguse menguyeg-uyegnya Dan saya ubeg-ubeg anu saya Sebagaimana Den Baguse mengubeg-ubegnya Merem-meleklah mata saya Mata saya pun merem-melek O, Dewi Ratih, O, Dewa Kama Kursi tempat saya duduk – basah oleh cairan!” (hal. 178)
Motif biologis lainnya adalah Kebutuhan makan dan minum. Ketika Pariyem kehausan setelah diajak jalan-jalan nDoro Putri, ia langsung mengambil gendi dan meminum air di dalamnya. Hal itu merupakan motif biologis Pariyem untuk memenuhi kebutuhan minuman. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Andhong mandheg di plataran depan nDoro Ayu membayar ongkos pak kusir. Saya mengangkut barang belanjaan saya bawa langsung ke dapur . Dan dari gendi yang penuh air-putih saya telan dahaga dengan tegukan” (hal. 152)
Pariyem berangkat dari Wonosari ke Yogya untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Perilaku yang dilakukan Pariyem itu adalah merupakan motif biologisnya untuk memenuhi kebutuhan berlangsungnya hidup. Dengan bekerja ia bisa mempunyai penghasilan dan membantu meringankan beban orang tua. Pariyem merasa bahwa Orang tuanya yang berpenghasilan rendah sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan keluarga. Kebutuhan akan berlangsungnya hidup tidak hanya Pariyem lakukan dengan bekerja. Menghindari rasa sakit dari bahaya juga ia lakukan bila ada sesuatu yang mengancam keselamatannya. Ketika dokter akan mengoperasi usus buntunya, Pariyem menolaknya. Ia malah lebih memilih untuk dipijat oleh seorang petani dusun. Dengan begitu, Pariyem lebih merasa kelangsungan hidupnya bisa terjaga. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut. “dua dokter dari dua rumah sakit besar di Ngayogyakarta Hadiningrat akan mengoperasi usus buntu saya
O, ini bukan lagi kekhilafan namanya tapi analisa dari ilmu kedokteran bukan jaminan kebenaran tunggal Bila saya tak bertahan, apa jadinya? Perut sobek, sakit terus mangkal
Darah keluar banyak, duit pun keluar banyak tapi sakit tetap tak tertambal Dan saya hanya dipijat urut seorang-orang petani di dusun Beberapa minggu berselang – edan! –
penyakit sontoloyo itu pun hilang” (hal. 142)
Pada saat Pariyem melahirkan Endang Sri Setianingsih dengan selamat, ia merasa senang. Faktor biologis yang muncul pada diri Pariyem adalah merawat anaknya dengan baik dan penuh kasih sayang. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Tak siang tak malam tak pagi tak petang
Waktu-waktu hilang untuk merawat bayi
Dan waktu saya meneteki pertama kalinya
O, Allah, gelinya setengah mati, mas” (hal. 219)
Faktor Sosiopsikologis Proses sosial Pariyem mempengaruhi pemerolehan karakternya sehingga berpengaruh pula pada perilakunya. Faktor sosiopsikologis digolongkan menjadi tiga komponen, yaitu: komponen afektif, kognitif, dan komponen konatif.
a. komponen afektif
Salah satu komponen afektif adalah motif sosiogenis. Dari sekian banyak motif sosiogenis, yang banyak berpengaruh terhadap perilaku sosial Pariyem adalah motif cinta. Hal itu dapat terlihat dari pernyataan Pariyem tentang pengakuan. Ia hanya menceritakan tentang semua deritanya kepada orang yang dicintai. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Ya, ya, Pariyem saya Maria Magdalena Pariyem lengkapnya Iyem panggilan sehari-harinya dari Wonosari Gunung Kidul Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta Bila saya mengaku kepada mas Paiman
itu bukti saya tresan sampeyan Bila saya menyimpan segala uneg-uneg itu bukti saya tak tresna sampeyan Antara tresna dan pengakuan hakekatnya satu kebulatan” (hal. 57)
Selain itu, motif cinta yang mempengaruhi perilaku sosial Pariyem dapat terlihat pada pengorbanannya untuk mengasuh anak. Ia harus bolak-balik dari Yogya – Wonosari. Kecintaannya terhadap anaknya telah membuatnya rela berkorban melampaui perjalanan panjang setiap sebulan sekali. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
“Tapi sebulan sepisan saya tengok Endang
melepaskan kangen, melekapkan kasih sayang
....
Demi anak segala rintangan saya tempuh Mati pisan saya lakoni” (hal. 230
Tokoh utama dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. Adalah Pariyem. Ia diceritakan pengarang sebagai gadis desa yang berasal dari desa Wonosari Gunung Kidul. Pada saat berusia 25 tahun, ia bekerja di Yogya, di rumah nDoro Kanjeng Cokro Sentono sebagai pembantu. Ia menerima pekerjaan itu dengan sabar, nrima, dan ikhlas. Selain itu, Pariyem juga memilki prinsip-prinsip dasar tentang sikap batin yang tepat, yaitu terkontrol, tenang, berkepala dingin, sabar, halus, tenggang rasa, bersikap sederhana, jujur, sumarah, halus, dan tidak mengejar kepentingan diri sendiri. Sementara dalam hal tata krama, Pariyem memiliki prinsip mengambil sikap yang sesuai dengan derajat masing-masing pihak, pendekatan tidak langsung, tidak memberi informasi tentang kenyataan yang sebenarnya, dan mencegah segala ungkapan yang menunjukkan kekacauan batin atau kekurangan kontrol diri.
Perilaku sosial Pariyem tidak ada yang menyimpang dari prinsip hidup masyarakatnya. Hal itu, dikarenakan sejak kecil ia sudah mendapatkan kebutuhan inklusi melalui interaksi sosialnya. Dengan perilaku sosial ia bisa mengontrol diri ketika sedang berinteraksi sosial atau menyelesaikan masalah. Sehingga ia merasa bahwa dirinya patut untuk disayangi.
Perilaku sosial Pariyem dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah faktor personal dan situasional. Dari dua faktor itu yang paling banyak pengaruhnya adalah faktor situasional. Dari sembilan jenis faktor situasional, faktor budaya adalah faktor yang paling banyak mempengaruhi perilaku sosial Pariyem
Kesimpulan
Pariyem adalah seorang pembantu rumah tangga keluarga ningrat yang bernama Raden Tumenggung Cokro Sentono. Dalam masa pengabdiannya, ia menjalin hubungan asmara dengan Raden Bagus Ario Atmojo, putra sulung majikannya, hingga membenihkan janin di dalam perutnya. Wiwit Setiowati, adik Ario Atmojo adalah orang pertama yang mengetahui tentang kehamilan Pariyem. Peristiwa itu dilaporkan kepada orang tuanya tanpa sepengetahuan Pariyem, yang tidak ingin meminta pertanggungjawaban dari perbuatan Ario Atmojo. Pada malam hari, setelah selesai makan Pariyem disidang oleh Raden Tumenggung Cokro Sentono. Dalam persidangan itu Pariyem merasa takut dan memunculkan segala prasangka buruk. Ia berpikir bahwa nanti akan diusir majikannya. Ternyata prasangka itu adalah tidak benar. Anak dalam perut Pariyem diakui sebagai cucu dari Raden Tumenggung Cokro Sentono, tetapi dengan berbagai syarat. Syarat itu adalah selama mengandung hingga melahirkan Pariyem harus tinggal di Wonosari Gunung Kidul, rumahnya dan setelah anaknya sudah berusia satu tahun, Pariyem harus meninggalkan anaknya untuk mulai bekerja lagi. Pariyem pun menyanggupinya. Bagi seorang Ibu, meninggalkan anaknya adalah hal yang terberat untuk dilakukan. Oleh karena itu, demi anak semata wayangnya ia rela bolak-balik Wonosari – Yogyakarta setiap bulan atau kadang setiap minggu.
Jumat, 18 Desember 2009
Analisis Novel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar