Subscribe

Kamis, 15 Januari 2009

Kembali Ke Pangkuan Ayah



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : suryahadidi@yahoo.co.id
Friendster : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me





Thema : Kegigihan Seorang Ibu
Diksi : Pemakaian bahasanya adalah bahasa Indonesia yang baku, namun dalam sebagian cerita terdapat teks kata atau kalimat dengan menggunakan bahasa Belanda

Tokoh dan Penokohan
Ibu : Seorang wanita yang tegra dan tabah
Ayah I : Ayah dan suami yang gagah dan harus terpisah dari anak dan istrinya diakibatkan kondisi peperangan saat itu.
Papa/Ayah II : Suami yang selalu merasa hanya membebani Ibu karena dia hanya bisa duduk di kursi roda saja. Namun Ayah ini sangat kuat beribadah.
Hermansyah : Anak angkat yang dianggap anak kandung sendiri, namun tidak tahu membalas jasa dan tega menjadi anak durhaka (Maman).
Darminsyah : Anak dari Ibu dengan Suami pertamanya. Darminsyah (Mimin) adalah anak yang berbakti dan berilmu baik, tabah , ramah, dan sederhana.
Rusmansyah : Anak yang baik ramah dan ceria.
Ruswita : Anak yang cerewet Namun baik dan penyayang.
Ruspini : Sering dipanggil Pini. Dia adalah anak yang manis dan baik, walaupun masih kecil ia sudah dapat mengambil keputusan dewasa yaitu menjual pianonya demi berobat kakaknya.
Rostianidar : Anak angkat sekaligus calon istri dari Darmiansyah.
Lin : Istri dari Hermansyah.

Isi : Buku ini menceritakan tentang kegigihan dan ketabahan seorang wanita sebagai Ibu dan istri yang menjadi tulang punggung keluarganya dalam menghadapi asm-manis kehidupan di dunia.



Pengarang :
Selasih dilahirkan di Talu, Sumatera Barat, 31 Juli 1909, dam meninggal pada usia 86 tahun. Sastrawan yang pernah menjadi Ketua Jong Islamieten Bond Bukittingi (1928-30) dikenal pula sebagai Sariamin atau Seleguri. Karya-karyanya: Kalau Tak Untung (1933), Pengaruh Keadaan (1937), Rangkaian Sastra (1952), Panca Juara (1981), Nakhoda Lancang (1982), Cerita Kak Mursi, Kembali ke Pangkuan Ayah (1986), dan dimuat pula dalam Puisi Baru (1946; Sutan Takdir Alisjahbana [ed.]), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979; Toeti Heraty [ed.]), Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun Rampan [ed.]).



Kembali ke Pangkuan Ayah

Rus lengkapnya Rusmansyah adalah anak yang ceria. Dia hidup ditengah-tengah keluarganya yang sederhana dan saling mencintai serta taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Suatu hari, di hari kamis, Rus pulang dari sekolahnya lebih awal karena guru olahraany aberhalngan hadir dan guru olahraganya itu meminta kepada Pak Direktur agar olahraga dikelasnya itu diganti pada sore hari saja.
Rusmansyah kemudian kembali ke rumah dan berbaring-baring di tempat tidurnya karen audara sangat panas. Dia mendengar pintu kamar papanya dibuka “Tentu itu Ibu” pikirnya. Kebiasaan dirumahnya adalah bila pulang sekolah, dia dan semua saudaranya melapor dahulu kepada kepada papa dan mamanya. Namun karena hari itu kepalanya terasa agak berat dan malas sehingga dia tidak melakukan kebiasaannya itu.
Tiba-tiba dia mendengar percakapan antara papa dan Ibunya. Papa menyarankan Ibunya bersedia menikah lagi dan menerima pinangan Pak Andi seorang duda kaya beranak satu, karena Papanya merasa tidak berguna lagi dikeluarganya dan dia merasa hanya bisa menjadi beban saja dengan keadaannya yang hanya bisa duduk di kursi roda saja tanpa dapat berbuat sesuatu. Namun Ibu Rus marah dan menolaknya. Dia berusaha meyakinkan suaminya bahwa suaminya sangatlah dibutuhkan oleh keluarga itu karena semua keluarga itu masih sangat mencintai dan menyayanginya. Papa pun terharu mendengar kata-kata Ibu. Papa lalu terdiam dan tidak ingin memaksa Ibu lagi. Rus pun keluar jendela dengan menggunakan seragam sekolahnya lagi diam-diam. Setelah itu dia baru saja pulang sekolah dan dia sama sekali tidak mendengar perbincangan Papa dan Ibunya. Ibunya heran mengapa Rus cepat sekali pulang sekolah. Ibunya pun paham setelah Rus memberitahukan bahwa mata pelajatan olahraganya diadakan sore nanti.
Sore harinya sepulang dari berolahraga di sekolahnya, Rus melihat kedua abangnya yaitu Maman dan Mimin. Dia lalu mencoba memberitahu apa yang didengarnya tentang percakapan yang dilakukan oleh Papa dan Ibunya tadi siang. Abangnya mendukung keputusan Papanya. Dia membayangnkan enaknya menjadi orang kaya dan hidup penuh dengan kelimpahan. Namun Rus dan abangnya Mimin tidak setuju dan mereka tetap mendukung keputusan Ibunya “Kami tidak bisa berpisah denga Papa” kata mereka. Dan Mimin mengakhiri perdebatan itu dengan menyatakan keputusan Ibunya yaitu menolaknya.
Rus memiliki seorang sahabat bernama Isram. Sahabatnya ini pintar mengaji dan sering datang ke rumah Rus. Sehinga Isram bukanlah orang asing bagi keluarga Rysmansyah dan Isram sudah tahu betul bagaimana kebiasaan-kebiasaan keluarga Rus tentang kedua abang Rus yang kembar namun sifatnya bertolak belakang. Tentang Wiwi adik Rus yang cerewet dan Pini, si kecil yang amat bijak dan pandai bermain piano.
Walau berlalu tanpa terasa. Dua tahun kemudian, Ibu Rus datang membawa du pucuk surat dari sekolah dan Ibu Rus kemudian menyerahkannya kepada Papanya. Mereka sudah tidak sabar ingin mengetahui isi surat dari kedu abang-abangnya. Rus kemudian membaca surat itu setelah Ayah Rus memberi surat itu kepada Rus untuk dibaca. Rus ingin membuka surat abangnya Mimin namun Ayahnya memerintahkan agar yang dibuka dahulu adalah surat abangnya Maman karena Maman lah yang paling tua. Beginilah bunyi surat itu.

Bandung, ….Juli – 1967
Ayahanda dan Bunda yang terhormat,
Ananda telah selamat sampai Bandung, sudah lulus testing, dan telah diterima mrnjadi mahasiswa ITB. Pemilihan jurusan belum dilakukan, tetapi ananda akan memilih bagian pembangunan gedung-gedung. Bandung sangat dingin, ananda membutuhkan baju dingin untuk pagi dan sore serta selimut tebal untuk malam. Karena Ibu mungkin akan susah mengirimkannya dari Pekanbaru, ananda harap agar Ibu mengirimkan uang saja. Uang yang ada padaku hanya cukup untuk pendaftaran dan uang kuliah saja. Untuk makan dan uang saku belum ada. Bandung sangat dingin Bu, harap Ibu lebihkan juga mengirimnya untuk pembeli rokok; tidak mungkin ananda dapat belajar tanpa merokok. Ananda juga merasa pakaian ananda sangat kurang dan hamper semuanya tipis-tipis, tidak sesuai dengan udara Bandung.
Ananda rasa cukup sekian saja dahulu, salam ananda pada adik-adik.

Wassalam ananda,
(Hermansyah)

Kemudian Rus pun membuka amplop ysng kedua dan membacakan surat abangnya Mimin.

Jakarta, ….Juli 1967
Ayah, Ibu serta Adik-adikku yang tercinta.
Surat Mimin yang menerangkan telah sampai selamat sampai, dan menumpang di rumah Uda Dahlan, tentu telah Ayah dan Ibu terima. Uda Dahlan dan Uni Ani sangat baik pada Miimin, PA, Bu. Walau orang tua tidak dapat diganti, tetapi beliau sudah Mimin anggap sebagai orang tua kedua. Entah kalau beberapa bulan nanti mereka akan merasa bosan.
Mudah-mudahan saja tidak.
Papa,, Ibu, sayang
Berkat doa Papa dan Ibu serta Adik-adik yang tercinta, Mimin lulus dalam testing dan boleh mengambil jurusan Kedokteran. Sesudah Mimin daftarkan nama dan merasa akan menempuh perjuangan hidup sebagai mahasiswa, maka air mata Mimin bercucuran tidak tertahankan. Bermacam-macam pikiran yang mendesak ke otak Mimin.
Betulkah seorang guru SMP akan sanggup menyekolahkan anaknya sampai jadi dokter? Akan sanggupkah anak orang yang serba kekurangan ini berjuang menantang mereka yang serba mewah, hingga ia mendapat title yang begitu tinggi nilainya, dan seterusnya, dan seterusnya …..
Mungkin hanya doa Papa dan Ibu serta Adik-adiklah yang akan bisa menyampaikan cita-citaku yang murni ini.
Selanjutnya terbayang oleh Mimin kesibukan Ibu yang harus bekerja lebih keras, dan Rus yang terpaksa banting tulang bekerja sendiri melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh tiga orang. Dan, tampak-tampak pula Wiwi yang bertambah sibuk menolong Ibu. Demikian juga Pini yang harus lebih giat menolong, ya Dik! Tidak dapat lagi bermanja diri, dan hanya senang-senang main piano …..
Papa tidak perlu beriba hati karena tidak punya tenaga untuk meringankan beban Ibu. Uang yang Mimin bawa masih ada. Sebab Uni Ani mengatakan biar nanti habis bulan saja Mimin memberi uang ala kadarnya. Pertimbangan Papa dan Ibu sangat Mimin harapkan dalam hal ini. Diberi sedikit, kalau-kalau Uni Ani tidak senang, diberi banyak, keuangan kita terbatas.
Uang pendaftaran dan uang kuliah tahun ini agak lebih daripada tahun yang lalu. Tetapi uang Mimin masih cukup untuk makan sebulan. Mimin kira bulan datang tidak perlu Ibu mengirim uang. Nanti kalau penting benar akan Mimin beri kabar. Mimin telah mengunjungi kaum keluarga yang Ibu berikan alamatnya. Mimin tidak perlu membayar apa-apa, karena kebetulan ada teman baru yang mau diajak berjalan kaki sambil melihat-lihat kota Jakarta yang indah. Sekalian Mimin berolah raga. Badan yang telah terbiasa main pingpong, bulutangkis, menimba air, mencuci baju, mencangkul perkarangan rumah dan lain-lain, kan tidak boleh tiba-tiba dimanjakan, biarpun sewa bus hanya dua puluh rupiah. Hanya doa yang Mimin harapkan dari rumah. Semoga Allah memelihara kesehatan Mimin di rantau orang. Bila sakit tentu Mimin akan mengaduh seorang diri. Tidak ada Rus yang memijit kepala dan kaki. Tidak ada Wiwi yang akan selalu bertanya, “Mau apa, Bang Mimin? Minum? Wiwi buatkan sup, mie rebus?” Dan, entah apa lagi.
Sampai sekarang Mimin masih sehat wal’afiat. Mimin doakan agar Papa, Ibu, Rus, Wiwi, dan Pini demikian jugalah hendaknya.
Harap sampaikan salam takzim Mimin kepada Pkma, dan Isram, juga kepada guru-guru Mimin serta tetangga kita semua.

Peluk cium ananda,
Mimin
H.P.
Surat untuk Datuk dan Nenek di kampung, Mimin kirimkan bersama ini.

Rus dan keluarganya sangat terharu membaca surat Mimin “Sungguh beda sekali surat Mimin dengan surat si Maman” gumam Papanya.
Rusmansyah menceritakan tentang surat itu kepada Isram sahabatnya. Isram terdiam dan bergumam yang sama seperti Papanya Rus.
Mengkuliahkan anak adalah bukan hal yang gampang. Ibu Rus mulai berusaha mencari biaya tambahan bagi anak-anaknya semua, bila diharapkan gaji pokoknya saja sebagai seorang guru tentu itu tidaklah cukup. Mereka pun membuat es. Rusmansyah, Lulu dan Pini serta Isra pun turut membantu sedangkan Papa Rus hanya bisa membantu do’a dengan tekun dan dorongan serta masukkan bagi keluarganya.
Dua tahun berikutnya Roswita jatuh sakit. Ibunya sangat cemas dan sedih. Ibu memerintahkan Rus untuk memberitahukan itu kepada Maman dan Mimin. Tetapi Ibunya menegaskan bahwa surat itu hanya merupakan surat pemberitahuan saja dan tidak boleh mengganggu pembelajaran mereka. Dibalasan suratnya si Maman terus mendesak kiriman uang dan hanya sedikit menyinggung Pini. Sedangkan abangnya Mimin terus memberi nasihat dan dorongan bagi Wiwi agar tetap tabah dan tegar menghadapi penyakitnya.
Semakin hari penyakit Roswita semkin parah saja. Ibunya pun semakin sibuk dan uring-uringan tak menentu. Surat dari si Maman yang datang berturut-turut tiap tiga hari sekali yang isinya hany meminta uang saja membuat ibunya semakin kalang kabut. Melihat hal ini Rus pun tidak tega dan sanggup melihat hal itu. Ia lalu memutuskan mengirim abangnya Mimin surat sebagai peluapan perasaannya.
Beberapa hari kemudian setelah surat itu dikirim. Keluarga itu dikejutkan dengan kedatangan Mimin yang tidak disangka-sangka. Mimin datang dengan menggunakan pesawat AURI. Ia langsung menanyakan keadaan Wiwi dan calon dokter ini ingin segera memeriksa keadaan adiknya itu. Dia juga bercerita tentang kunjungannya kerumah Maman dan tentang ia yang memberikan sejumlah uang hasil keahliannya memperbaiki radio dan tape recorder kepada saudaranya itu. Juga tentang pertemuannya dengan pacar Maman seorang anak Cina yang cantik. Serta tentang Maman yang telah jarang sembahyang selama di Bandung. Hal itu sungguh amat menyedihkan keluarga itu.
Untuk mencari uang perobatan Wiwi dan biaya Maman dan Mimin adiknya Pini rela menolong dengan menyerahkan “Surya” piano kesayangannya untuk dijual. Si bungsu yang bijak ini rela melupakan keegoisannya demi keluarganya padahal ia masih kecil.
Pada hari raya akhir tahun 1974. keluarga itu semua berkumpul di rumah pula. Mimin beru datang dari Jakarta, sedangkan Rus dan Wiwi sejak puasa sudah berada di rumah.
Mereka sedang kuliah di Jawa mebicarakan keinginan Pipi.mimin mengajukan agar kaki Pini dioperasi tahun ini juga sebelum ia berumur dua puluh tahun. Menurut Mimin, kalau berumur dua puluh tahun agak lama ia harus tinggal di rumah sakit karena pertumbuhan dagingnya lambat, lagi pula ia ingin berkuliah di Jakarta.
Untuk biaya itu Ibunya meminta agar keluarga itu dapat membantu Mimin membagi seratus dua puluh ribu. Sedangkan Maman yang telah bekerja tidak dapat memberikan banyak. Dia hanya mengeluarkan uang sepuluh ribu dari sakunya dan memberinya kepada. Papanya lalu murka dan membakar uang sepuluh ribu itu. “Biarlah asap uangmu itu menerbangkan air mata Ibumu ke langit, untuk turun kembali menjadi kutuk yang akan menimpa anak durhaka seperti kamu ini” katanya karena murkanya. Maman menjawab dengan jawaban yang membuat semua terkejut. Dia ternyata bukan anak kandung dari Papa dan Ibunya. Maman juga mendurhakai agamanya sendiri. Papanya semakin murka dan mengusir Maman dari rumahnya.
Semua terdiam sesaat setelah Maman pergi. Rus melirik abangnya Mimin. Abang Mimin kemudian bertanya kepada Ibu. Ibu pun lalu menceritakan bagaimana perjalanannya semasa bertemu dengan Papanya. Ternyata Ibunya telah menikah sebelum menikah dengan Papanya Rus. Ibu memiliki seorang suami yaitu ayahnya Mimin. Namun akibat perang mereka pun harus berpisah dan Ibunya tertangkap oaleh tentara Belanda. Ibunya kemudian dijadikan tahanan rumah oleh keluarga yang baik dan di sanalah ia bertemu dengan Papa Rus dan di sana dia boleh merawat anaknya Darmiansyah (Mimin) juga anak saudara Papa yaitu Hermansyah (Maman). Setelah perang selesai Ibu mencari Ayah namun Ayah dinyatakan telah meninggal dunia. Papa Rus pun akhirnya meminang Ibunya dan melihat ketulusan Papa Rus dan ketaatannya beragama Ibu Rus pun akhirnya mau menikah. Hermansyah (Maman) dirawat oleh Ibu sedangkan ayahnya pergi menetap di negeri Belanda.
Beberapa tahun kemudian terdengar kabar bahwa bang Maman dipenjara dan dia dituduh membunuh. Ibu sangat tersentak kaget mendengar kabar itu. Sementara itu Maman telah mempunyai seorang Baby dari pernikahannya dengan Lin. Ibu pun meminta agar bang Mimin ke Jakarta dan meminta Nenek untuk sudi meminjamkan uang untuk biaya pengacara. Belum tuntas kasus Maman sang Ibu pun harus menerima paihitnya hidup lagi, sang Papa suaminya berpulang ke Rahmatullah. Mereka semua menangis tersedu-sedu. Maman diberi izin untuk menghadiri pemakaman Papanya. Dia begitu bersedih dan merasa semua yang terjadi adalah akibat kesalahannya. Namun Ibu dan semua saudaranya berusaha memberinya semangat. Akhirnya waktunya pun habis dia kembali pergi ke tahanan. Sebelum itu ia mencium Lin dan anaknya. Untunglah ada Rostianidar yang menjaga rumah ketika semua ke pemakaman. Rostianidar adalah anak angkat dari Ibu Rus juga.
Beberapa hari kemudian. Rumah Rus kedatangan tamu yang istimewa yang ternyata adalah Ayah dari Mimin. Ibu pun menangis terharu sebab suami yang telah lama hilang dan dipikirnya telah tiada kini ada di hadapannya. Ayahnya berpura-pura tiada agar Belanda tidak mengejar-ngejarnya dan membunuh pasukannya.
Maman pun dijatuhi hukuman enam tahun dia akan dipenjarakan di Muara Padang.
Bang Maman menyuruh agar Lin menikah lagi saja namun Lin histeris dan menangis dan menyatakan bahwa dia akan tinggal di rumah Ibu dan akan menanti sampai Maman keluar dari masa tahanannya.
Saat semua berkumpul Mimin pun memberitakan kabar yang agak mengejutkan yaitu dia ingin meminang Rostianidar. Ibu sangat bahagia mendengarnya. Karena akhirnya semua keluarganya bisa berbahagia walaupun anaknya Maman harus berada di tahanan namun dia yakin semua akan terselesaikan dengan baik.



0 komentar: