Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam periode sejarah perjuangan bangsa Indonesia memang diakui adanya Angkatan ’66 yang lahir setelah meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI. Angkatan ’66 dipelopori oleh mahasiswa, pelajar dan kaum muda lainnya dengan 3 pokok perjuangannya yang disebut Tritura.
Kemudian Parlemen Jelanan mereka berhasil menumbangkan pemerintahan rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno, dan menumbuhkan pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Jendral Soeharto yang sekarang terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan kata lain dalam bidang politik Angkatan ’66 diakui telah berhasil mencabut akar pohon politik Orde Baru, dan menanamkan pohon Orde Baru.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Angkatan ‘66
Secara politis angkatan ‘66 terlahir dari pergolakan politik dalam masyarakat. Kelahirannya adalah suatu peristiwa politik, tetapi disamping ukuran politik, dalam bidang kesusastraan ia mempunyai ukuran nilai, yaitu nilai kesusastraan. Ia anti tirani, ingin menegakkan keadilan dan kebenaran itu dituang dalam bentuk kesusastraan.
Hal ini muncul karena, para seniman ingin sastra Indonesia tidak berubah sebagaimana paham yang dihembuskan LEKRA. Yang mana LEKRA adalah perpanjangan tangan PKI dalam bidang kesusastraan. Sastrawan yang tetap berideologikan Pancasila, tidak mau jika sastra Indonesia terkontaminasipaham LEKRA.
Oleh sebab itu, sastrawan Indonesia menggelar diskusi yag akhirnya melahirkan manifes kebudayaan. Diskusi dilaksanakan pada awal Agustus 1963, hasil diskusi ( yang kemudian dinamakan manifes kebudayaan ) selesai dikerjakan oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963. Setelah selesai dipelajari, akhirnya diterima oleh Gunawan Mohammad dan Bokor Hutasuhut sebagai bahan yang akan diajukan dalam diskusi tanggal 23 Agustus 1963.
Diskusi tanggal 23 Agustus 1963 dihadiri oleh tiga belas orang seniman-budayawan, yaitu Trisno Sumardjo, Zaini, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Bur Rusyanto, A. Bastari Asnin, Ras Siregar, Djufri Tanissan, Soe Hok Djin ( Arif Budiman ), Sjahwil, dan D.S Moeljanto. Pada tanggal 24 Agustus 1963 diadakan siding pengesahan manifes kebudayaan.
Adapun naskah manifes kebudayaan berisi :
- Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan diatas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuan bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
- Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
- Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Para penandatangan manifes kebudayaan itu adalah H.B. Jassin, Trisno Sumarjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohammad, A. Bastari Asnin, Bur. Rasyanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartoyo Andangdjaja, Sjahwil, jufri Tannisan, Binsar Sitompul, Taufik A.G. ISMAIL, Gerson Poyk, M. Saribi Afn, Poernawan Tjondronagoro, Boen S. Oemarjati.
Butir kedua manifes kebudayaan menjelaskan sikap para penandatangan manifes bahwa mereka menolak politik sebagai panglima yang dicanangkan oleh LEKRA. Tetapi istilah Angkatan ’66 pertama kali diperkenalkan oleh H.B. Jassin dalam sebuah karangannya dalam majalah Horison ( Agustus 1966 ) yang bertajuk “ Angkatan 66 : Bangkitnya Satu Generasi “.
B. Karakteristik Angkatan ‘66
Pada masa ini lebih didominasi oleh karya-karya yang beralihan realisme sosial kanan. Termasuk di dalamnya puisi-puisi demonstrasi Taufik Ismail, Mansur Samin, dll. Pada masa ini karya sastra yang lebih dikenal adalah puisi, terutama puisi-puisi demonstrasi atau protes sosial.
a. Ciri-ciri Puisi
Struktur Fisik
- Berbentuk balada
- Menggunakan gaya repetisi
- Menggunakan gaya slogan dan retorik
- Bercorak kedaerahan
- Masalah sosial, kemiskinan, pengangguran, demonstrasi
- Keagamaan
b. Ciri-ciri Prosa dan Drama
Struktur Fisik
Karya prosa fiksi dan drama tahun 60-an masih menunjukkan struktur fisik konvensional. Seperti dikatakan oleh Sumarjo “ Kaidah mimesis dalam sastra masih dipatuhi dalam penulisan sastra drama tahun 1950-an dan 60-an di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa belum terjadi perubahan dalam hal penokohan, alur, dan latar ceritanya. Bahkan berdasarkan catatan Sumarjo “ Dari 55 drama yang ada sebanyak 45 drama memasang tokoh yang jelas sekali nama, usia, watak, dan latar belakang sosiologisnya.
Struktur Tematik
- Perjuangan ( Berlatar revolusi )
- Kehidupan pelacur
- Sosial
- Kejiwaan
- Keagamaan
C. Sastrawan Angkatan 66
1. Taufik Ismail
Taufik Ismail adalah pelopor puisi-puisi demonstrasi. Puisi-puisinya adalah puisi mengungkapkan tuntutan membela kebenaran dan keadilan. Puisi Taufik juga disebut sebagai puisi yang menandakan suatu kebangkitan angkatan 66 dalam perpuisian Indonesia yang selama kurang lebih lima tahun dikuasai oleh pengarang-pengarang Lekra
Taufik Ismail dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 25 Juni 1937. Latar belakang pendidikannya adalah lulusan Fakultas Kedokteran Hewan UI ( Sekarang IPB ) di Bogor.
Kumpulan sajak-sajaknya ialah Tirani (1966), Bentneg (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan langit (1971), Buku Tamu Musium Pejuangan (1969), dan sajak-sajak Ladang Jagung (1973).
Puisi-puisinya kebanyakan bersifat naratif dan prosais. Puisi-puisi demonstrasi kebanyakan sangat prosaiS. Puisi-puisinya tidak semuanya puisi demonstrasi, bahkan lebih banyak puisi yang bukan puisi demonstrasi.
Dibawah ini adalah cuplikan puisi demonstrasi dan puisi keagamaan Taufik Ismail.
Kamis Pagi
Hari ini kita tangkap tangan-tangan kebatilan
Yang selama ini mengenakkan seragam kebenaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatasnamakan
Kawula dukana yang berpuluh juta
Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung ditiang keadilan
Bertahun-tahun lamanya
Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli benda-benda tanpa harga di mancanegara
Dan memperoleh uang emas beratus juta
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negeri
Merekalah penganjur zina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dan ibu kita.
Hari ini kita tangkap tangan-tangan kebatilan
Kebanyakan anak-anak muda berumur belasan
Yang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapan
Telah kita naiki gedung-gedung itu
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya
Seorang ketika digiring, tersedu
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan perlahan dengan lemahnya.
Benteng, 1966
DOA
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam menutupi hati nurani.
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan asma-Mu
Bertahun di negeri ini
Semoga
Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisan-Mu
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
2. Goenawan Mohammad
Salah seorang penandatangan manifes kebudayaan ini pernah menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI pada tahun 1972. Tahun 1981 mendapat hadiah sastra ASEAN. Selain itu karya-karyanya banyak mendapat penghargaan dari Majalah Sastra dan Horison.
Karya-karyanya berupa sajak telah dibukukan dengan judul “Paritkesit” (1971) dan “Interlude” (1973). Sedangkan kumpulan esainya berjudul Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malinkundang (1972), Sex Sastra Kita (1981), Catatan Pinggir 2 (1989).
Selain karirnya di bidang kewartawanan, redaktur, dan penulis, ia juga pernah menjadi anggota MPR (1987). Disini disajikan sebuah puisi karyanya, yang berjudul “Dongeng Sebelum Tidur” yang dipetik dari Interlude.
Dongeng Sebelum Tidur
“ Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita.
Yaitu nonsens.”
Itulah yang dikatakan baginda kepada permaisurinya
pada malam itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh
dan senyap merayap antara sendi dan sprei.
“ Mengapakah tak percaya ? Mimpi akan meyakinkan
seperti mataharipagi.”
Perempuan itu terisak, ketika Angling Darma menutupkan
kembali kain ke dadanya dengan nafas dingin
meskipun ia mengecup rambutnya
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api.
Dan baginda pun mendapatkan akal bagaiman ia harus
melarikan diri dengan pertolongan dewa-dewa, entah dimana – untuk tidak serta
“ Batik Madrim mengapa harus, patihku ?
Mengapa harus seseorang mencintai kesetiaan lebih dari
Kehidupan dan sebagainya dan sebagainya.”
Interlude, 1973
Pengarang Lain
Tidak hanya Taufik Ismail dan Goenawan Mohammad yang terkenal angkatan 66 tetapi masih ada pegarang lain yaiu Mansur Samin dengan karyanya Perlawanan (1966), Tanah Air(1969), Dendang Kabut (1985), dan karya drama Kebinasaan Negeri Senja (1968).
Hartojo Anangdjaja, kumpulan sajaknya simponi puisi ( bersama D.S. Moeljanto, 1954 ), Manifestasi ( bersama Taufik Ismail ). Selain itu ada juga Toeti Heraty, Bur Rasuanto, Sapardi Djoko Darmono, Arifin C. Noer, dll.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara politis angkatan ‘66 terlahir dari pergolakan politik dalam masyarakat. Hal ini muncul karena, para seniman ingin sastra Indonesia tidak berubah sebagaimana paham yang dihembuskan LEKRA. Istilah Angkatan ’66 pertama kali diperkenalkan oleh H.B. Jassin dalam sebuah karangannya dalam majalah Horison ( Agustus 1966 ) yang bertajuk “ Angkatan 66 : Bangkitnya Satu Generasi “.
Dari segi tema angkatan 66 lebih menekankan pada kritikan terhadap pemerintahan orde lama yang gagal dalam mensejahterakan rakyat Indonesia dan gagalnya pemerintahan menciptakan stabilitas keamanan didalam negeri sehingga banyak daerah yang memberontak.
Dalam penggunaan bahasa pada angkatan 66 lebih sopan dan tidak menggunakan bahasa-bahasa yang bersifat sehari-hari (informal).
Daftar Rujukan
Rani, Supratman Abdul. Yani Maryani. 2006. Intisari Sastra Indonesia. Bandung : CV Pustaka Setia
Zadian, Abdul Rozak. Endy Sugono. 2003. Adakah Bangsa Dalam Sastra ? Jakarta : Progres dan Pusat Bahasa
Yandianto.2004. Apresiasi Karya Sastra dan Pujangga Indonesia. Bandung : CV. M2S
Minggu, 19 Juli 2009
Angkatan 60
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar