Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
Facebook : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me
Ungkapan Rasa dan Pikir dalam Pantun Melayu
Abstrak
Pantun sebagai salah satu genre sastra tradisional Melayu sudah berkembang lama sebelum Hindu dan Islam masuk dan menjadi ideologi orang-orang di Nusantara. Pantun adalah wadah yang digunakan oleh orang Melayu untuk mengungkapkan pikiran dan rasa hatinya tentang makna kehidupan, tentang kelakukan manusia dan hubungannya dengan alam sekitar. Hasil perenungan ini lahirlah mutiara hati, rasa jiwa, dan akal, tercurah dalam bentuk puisi yang sangat kreatif dan halus sekali seninya. Pantun merupakan salah satu aspek utama dalam memahami peradaban Melayu karena pantun biasanya memaparkan karakter khas mengenai alam, lingkungan, pemikiran, dan kehalusan rasa yang dimiliki orang Melayu. Selain itu, pantun Melayu di Kalimantan Barat memiliki kepelbagaian dalam aspek linguistik, bunyi pantun daerah yang ada di Kalimantan Barat ini menunjukkan kepelbagaian dalam pengucapannya. Kepelbagaian yang dimaksud ialah adanya keragaman dialek lokal dalam mengucapkan untaian kata-kata oleh seorang pemantun. Hal ini terjadi karena latar belakang bahasa Ibu pemantun. Hal demikian tidaklah mengherankan karena sudah diakui oleh ramai sarjana luar negeri bahwa Kalimantan Barat dikenal memiliki diversitas yang cukup tinggi dalam konteks pemakaian bahasa daerah.
Bagatah si akar tela
Sa ikat si daun gama
Minta tuah ka Jubata
Minta untuk ka Daniak
(Pantun Orang Kanayatn)
Ikan gabus ikan sembilang
Patin besa‘ di teluk melano
Dengan bismilah awal bebilang
Nande ilmu dalam tuah talino
Mukadimah
Pantun sebagai salah satu genre sastra tradisional Melayu sudah berkembang lama sebelum Hindu dan Islam masuk dan menjadi ideologi orang-orang di Nusantara ini (lihat Al-Attas 1972; Piah 1989; Hamid 1990). Memang, tidak diketahui secara pasti, sejak kapan pantun pertama kali mulai diciptakan, karena pantun merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang sudah dituturkan orang-orang Austronesia jauh sebelum mereka mengenal keberaksaraan. Berdasarkan catatan yang ada, pantun pada mulanya adalah senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Abdullah Munsyi dalam Pelayaran ke Kelantan mencatat cara-cara pantun dinyanyikan, misalnya Lagu Dua, Lagu Ketara, Ketapang atau Dendang Sayang, dan lain-lain (Liaw Yock Fang 1993:195).
Menurut pakar perbandingan bahasa-bahasa Polynesia-Austronesia Brandstetter, kata “Pantun” berasal dari akar kata tun yang terdapat juga dalam bahasa-bahasa di Nusantara, misalnya bahasa Pampanga tuntun, yang berarti teratur; dalam bahasa Tagalog tonton, mengucapkan sesuatu dengan susunan yang tertentu; dalam bahasa Jawa Kuno tuntun berarti benang, atuntun, teratur, dan matuntun, berarti memimpin. Dalam bahasa Bisaya, panton bermakna mendidik; bahasa Toba, pantun adalah kesopanan atau kehormatan. Ringkasnya akar kata tun dalam bahasa-bahasa Nusantara merujuk pada sesuatu yang teratur, yang lurus, baik secara konkret atau abstrak (lihat Piah 1989:105—106; Liaw Yock Fang 1993:195).
Banyak pakar juga yang mengaitkan kata tun dengan arti sebagai kiasan atau perumpamaan dengan maksud mengandung unsur-unsur pepatah dan peribahasa. Bahkan dalam Kamus Besar Melayu Nusantara (2003:1981) pengertian yang kedua entri kata pantun adalah sejenis peribahasa yang digunakan sebagai sindiran. Sesungguhnya pengertian pantun sebagai pepatah atau peribahasa ada kaitannya dengan perkataan dan pengertian yang sama dalam bahasa-bahasa Nusantara yang lain. R. Hoesein Djajadiningrat, memetik keterangan Winter dalam Javaansche Zamenspraken bahwa pari yang berarti basa, babasan, yaitu peribahasa atau perbandingan; dan peribahasa itu dipakai bagi orang yang suka membuat perbandingan untuk mengolok-olok. Dalam bahasa Jawa, kata pantun itu adalah bentuk krama dari kata pari, yaitu bentuk pendek dari kata paribahasa atau pribha‘sja‘ dalam bahasa Sanskrit. Artinya, kata pantun berarti juga paribasa atau peribahasa dalam bahasa Melayu. Bahkan dalam bahasa Dayak Suhaid di Kapuas Hulu Kalimantan Barat, ada satu tradisi yang disebut Sandai, yaitu sejenis puisi tradisional yang memiliki bentuk dan struktur yang mirip dengan Pantun Melayu. Sandai ini dalam tradisi lokal Dayak Suhaid disamakan maknanya dengan perumpamaan, kiasan atau peribahasa. Perhatikan contoh berikut.
Abis pehame‘ kami-kami de bahe‘
Baju yang gahe‘ sama-sama sepakai
Lain de lage‘ kami-kami de bahe‘
Daun de munte‘ pakai-pakai belambai
Ante kunyahuk jadi-jadilah sampuk
Udahlah kutebuk de tiang pelempai
Antelah ante setahun lage
Ngante behue betubah jadi huai
Perbincangan mengenai pantun menarik untuk digambarkan apatah lagi tradisi pantun yang berkembang di Kalimantan Barat. Catatan tentang tradisi pantun di Kalimantan Barat masih minim dan memerlukan tinjauan yang lebih mendalam lagi. Tulisan ringkas ini berusaha untuk memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan tradisi pantun yang berkembang di Kalimantan Barat. Perbincangan dalam tulisan ini diantaranya membahas struktur pantun dan kepelbagaian pantun daerah di Kalimantan Barat sebagai sarana untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan si pemilik pantun.
Sekilas Struktur Pantun Melayu Kalimantan Barat
Pada dasarnya Puisi Melayu tradisional tersusun dari baris-baris atau urutan-urutan perkataan yang berulang-ulang dalam kedudukan yang sejajar. Menurut Piah (1989:124) kesejajaran dalam pantun itu lebih jelas terlihat dengan adanya baris-baris yang berpasangan, semukur (symmetrical), yaitu suatu bagian secara fisik mempunyai ciri yang sama dengan yang lain. Sesuai dengan skema rima a-b-a-b dan adakalanya memiliki variasi a-a-a-a, baris pertama berpasangan dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat. Dengan demikian, sebuah pantun yang baik akan mempunyai pasangan-pasangan yang sempurna bukan saja dari segi rima dan jumlah suku katanya, melainkan juga perkataan-perkataan yang mungkin berpasangan. Perhatikan contoh berikut.
Asam pauh asam golna a
Asam bubok mntama luka b
Diam jauh saat mana a
Bekas dudok tid k lupa b
(Pak Bujang, Sekadau)
Kapal dibajak bidar pembajak a
Awak bidar merampas melapah b
Akal bijak berpikir bijak a
Akal akar berpulas tak patah b
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Berangkat pankalan judah a
Sujud samah makaa madinah a
Sudah dialal hatabah nikah a
Dikalo akan dalan kalimah a
(Pak Cel, Sekadau)
Berkumpul kancil dan rusa a
Membuat lebar ayunan kera a
Kerja betul hasilpun ada a
Ingat antar belum kena a
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Berdasarkan pantun di atas, terdapat rima akhir a-b-a-b yang sempurna, yaitu /gelenang-mengenang/ dan /luka‘-lupa‘/ atau /pembajak-bijak/ dan /melapah-patah/. Dan ada juga variasi lain dengan rima akhir a-a-a-a yang juga sempurna /judah-nikah/ dan /m«dinah-k«limah/ atau /rusa-ada/ dan /kera-kena/ Pantun-pantun tersebut juga memperlihatkan adanya hubungan makna antara pasangan pembayang (sampiran) dengan pasangan maksud (isi), yaitu hubungan konkret dan abstrak atau melalui lambang-lambang.
Berdasarkan bentuk dan strukturnya, pantun dapat dikelompokkan atas dasar jumlah baris serangkap, yaitu dengan mengelompokkan pantun menjadi pantun dua baris (pantun kilat), pantun empat baris, enam baris, delapan baris, pantun sepuluh baris, pantun empat belas baris, pantun enam belas baris, dan pantun berkait. Dengan penjenisan tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek bentuk yang terdapat dalam pantun adalah jumlah baris, teknik berkait, dan kelainan rima (lihat Daillie 1988; Piah 1989). Pantun–pantun yang lebih dari empat baris tidak begitu populer, dikarenakan sukar dalam penciptaannya. Hasil kajian menunjukkan bahwa pantun empat baris merupakan satu bentuk pantun yang par excellence atau yang paling baik, mudah, dan paling sesuai untuk dinyanyikan.
Salah satu bentuk pantun yang juga sangat populer dalam masyarakat Melayu adalah pantun berkait. Pantun berkait adalah pantun yang terdiri dari beberapa rangkap yang kait-mengait atau sambung-menyambung, misal baris (larik) kedua dan keempat dalam bait pertama diulang semula pada baris-baris pertama dan ketiga dalam bait yang berikutnya (Daillie 1988:48; KBMN 2003:1981). Dari segi persambungan ide, pantun berkait hampir menyamai syair. Sifat dan ciri pantun berkait pada dasarnya sama dengan pantun empat baris dengan skema rima a-b-a-b. Namun, pemantun harus merangkai pantun menjadi jalinan cerita atau persambungan ide. Perhatikan pantun berkait berikut.
Dari Sibu ke pulau Kelapa
Layang Jinak jatuh tenggelam
Ibu dan bapa sayangkan anak
Jagalah dia siang dan malam
Layang jinak jatuh tenggelam
Singgah sebentar rumah mbok Ijah
Jagalah dia siang dan malam
Jangan sampai terpengaruh ganja
Singgah sebentar rumah mbok Ijah
Taruh besi di atas meja
Kalau sudah terpengaruh ganja
Rosak sudah generasi muda
Taruh besi di atas meja
Dibawa pergi ke desa
Kalau sudah rosak generasi muda
Siapa lagi harapan bangsa
(Abror 2003:121—122).
Kepelbagaian Pantun Melayu di Kalimantan Barat
Pantun Melayu di Kalimantan Barat sudah dikumpulkan oleh beberapa sarjana lokal dan luar negeri, sebut saja misalnya Dedy Ari Asfar (2001, 2002), Abdurahman Abror (2003), Yusuf Olang (2005), dan dari luar seperti Prof. James T. Collins (1996). Harus diakui penelitian pantun ini pun masih terbatas pada pengumpulan data pantun saja. Namun, penelitian pantun Melayu di Pontianak sudah diteliti dengan baik oleh Abror (2003). Penelitian pantun Melayu di Pontianak ini dapat dikatakan sebagai sebuah penelitian yang mengagumkan karena penelitiannya menggambarkan aspek-aspek penting pantun sebagai bagian dari tunjuk ajar kehidupan dan budaya Melayu di Pontianak.
Berdasarkan kajian pantun yang telah dilakukan oleh para sarjana tersebut, bunyi pantun daerah yang ada di Kalimantan Barat ini menunjukkan kepelbagaian dalam pengucapannya. Kepelbagaian yang dimaksud ialah adanya keragaman dialek lokal dalam mengucapkan untaian kata-kata oleh seorang pemantun. Hal ini terjadi karena latar belakang bahasa Ibu si pemantun.
Hal demikian tidaklah mengherankan karena sudah diakui oleh ramai sarjana luar negeri bahwa Kalimantan Barat dikenal memiliki diversitas yang cukup tinggi dalam konteks pemakaian bahasa daerah (lihat Hudson 1970; Collins 1987, 1999; Adelaar 1994; Nothofer, 1996). Bahkan keberagaman tersebut menunjukkan wujudnya suasana multilingualisme dalam masyarakat Kalimantan Barat ini. Keberagaman etnisitas dan bahasa di kawasan ini juga bermakna bahwa dalam menyampaikan atau menuturkan sastra lisan akan digunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa penutur sastra lisan itu—umumnya, jikalau penutur dan masyarakat pendengar tersebut berasal dari Suku Melayu maka penuturan sastra lisan tentunya akan dilantunkan dalam bahasa Melayu.
Kecenderungan untuk menuturkan sastra lisan sesuai dengan bahasa yang dipakai dalam komunitas pemilik teks sastra lisan tersebut berkaitan erat dengan lingkungan pertuturan atau latar belakang pendengar teks lisan tersebut, serta adanya rasa kepemilikan dan identitas etnisitas masyarakat tempat teks lisan itu berkembang dan dituturkan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra lisan secara alami memang dituturkan dalam bahasa daerah tertentu. Namun demikian, penuturan sastra lisan ini tidak selalunya ingin mengidentifikasikan secara mutlak etnisitas tertentu karena dalam sastra yang paling diutamakan adalah seni. Ini bermakna bahwa kalau seni dan estetika menuntut perubahan bahasa maka berubahlah bahasa, walau seloyal apapun penutur tersebut terhadap etnisnya (lihat Dedy Ari Asfar 2005c). Perhatikan pantun-pantun berikut.
Pantun Melayu pada masyarakat Suku Mùayan di kampung Benuis
Kalau nuan jalan dulu
ega ke aku daun kamboja
Kalau nuan mati dulu
Nantikan aku di pintu surga
Ikan gurami nesi aman
Cempaka putih bekebun ditun
Nesi amay nesi aman
Jantuh ati nesi ditun
Pantun Kampung Daup, Sambas, Kalimantan Barat
Kaccik-kaccik kuda gareta
Sudah bassar kuda tunganan
Agi‘ kaccik bermaen mata
Sudah bassar menjadi petunanan
Pantun Melayu di Kampung Cupang Gading, Sekadau
Kapal aji pogi aji
Sidah bertamat pankalan jodah
Menemu jodoh kedlaan jaøi
Sudah dialal hathbah nikah
Anak-anak manis bersabutn
Setengah manis sabun ku hilak
Anak manumpas kekasih emutn
Datak panas emutn melayak
Pantun Melayu di sekitar Sungai Laur bagian hilir, Ketapang
Bunga cina jamban cina
Mari kubunkus dalam kertas
Biarpun tuan di mana-mana
Di pintu hati haram tak lepas
Kaen adon tepian adon
Kaen pelekat di dalam peti
Kenal bolom biasa pun bolom
Sudah terekat di dalam ati
Dalam pantun-pantun tersebut dapat dilihat perbedaan bunyi vokal /e/. Pantun dari kampung Benuis menunjukkan bunyi vokal depan /e/ pada posisi praakhir kata sedangkan pada masayarakat Melayu di Cupang Gading dan Laur bagian hilir memperlihatkan bunyi vokal tengah /«/ pada posisi praakhir sedangkan pada pantun Melayu di Sambas pada posisi praakhir menunjukkan vokal tengah rendah /a/. Ciri-ciri linguistik dalam pantun di atas lebih lengkapnya dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel
Ciri-Ciri Lingusitik dalam Pantun
Nama Daerah Ciri-Ciri Linguistik yang Khas
Suku M:ayan Kampung Benuis 1. Penggunaan bunyi vokal depan /e/ pada posisi praakhir.
2. Penggunaan konsonan geseran lelangit lembut /.
Daup, Sambas 1. Penggunaan bunyi vokal tengah rendah /a/ pada posisi praakhir.
2. Penggunaan konsonan getar /r/.
3. Adanya bentuk geminasi konsonan, misal /bassar/ dan /kaccik/.
Cupang Gading, Sekadau 1. Penggunaan bunyi vokal tengah pada posisi praakhir.
2. Penggunaan konsonan geseran lelangit lembut
3. Adanya penggunaan diftongisasi nasal atau disebut juga dengan istilah preplosif nasal atau homorganics stop atau occlusive nasal cluster, contoh /hilak/, /emutn/.
Laur hilir, Ketapang 1. Penggunaan bunyi vokal tengah pada posisi praakhir.
2. Penggunaan konsonan geseran lelangit lembut
Ungkapan Rasa dan Pikir Melayu dalam Pantun
Pantun merupakan wadah yang digunakan oleh orang Melayu untuk mengungkapkan pikiran dan rasa hatinya tentang makna kehidupan, tentang kelakukan manusia dan hubungannya dengan alam sekitar. Hasil perenungan ini lahirlah mutiara hati, rasa jiwa, dan akal, tercurah dalam bentuk puisi yang sangat kreatif dan halus sekali seninya (lihat Noriah Mohamed 2006:37). Daillie (1988) berpendapat bahwa jikalau ingin mengkaji dunia Melayu maka pantun merupakan salah satu aspek utama dalam memahami peradaban Melayu karena pantun biasanya memaparkan karakter khas mengenai alam, lingkungan, pemikiran, dan kehalusan rasa yang dimiliki orang Melayu.
Pada dasarnya amat banyak unsur alam Melayu tradisional yang digunakan dalam pantun seperti sungai, pukat, tilan, air, burung, sampan, pantai, asam pauh, getah, mengetah, ulu, ilir-mudit, akar, dan punai yang merupakan kosa kata khas Nusantara. Hal tersebut menjadikan pantun sebagai representasi sebuah ilmu lokal yang mengandung pengetahuan persekitaran yang dimiliki oleh orang Melayu. Oleh karena itu, pantun mewakili tamadun dan kosa kata dasar yang khas kehidupan Melayu sehari-hari atau meminjam istilah Noriah Mohamed (2006:40) dapat dikatakan bahwa sebuah pantun Melayu tidak akan tercabut dari akar Melayunya karena pantun adalah “getar rasa dan pikir Melayu”. Perhatikan pantun dari kampung Cupang Gading berikut.
Nanak pukat lawat kuali
Bulih seekor tilan balaban
Sudah diikat dimana lagi
Ibarat air sudah di telan
Muslip bunong di pantay
Saat pengam di pucok pauh
Ayo hai kawan mudit siaimay
Sampan jalan diberil jauh
Mentah ku ulu suday
Ujon dililit akar tegapur
Itu getah lawan ka punay
Badan tak dapat lulur bedebur
Pengetahuan lokal yang tersimpan dalam pantun-pantun di atas banyak memuat pengetahuan mengenai alam sekitar, nama tumbuhan, nama binatang, sistem perairan, dan cara menangkap ikan yang kemudian melahirkan simbolisme makna yang mendalam mengenai kehidupan manusia. Hal tersebut dilakukan secara sengaja oleh si pemantun dalam mengungkapkan rasa dan pikir tentang kekayaan alam Melayu yang memang dimiliki oleh masyarakat sekitar pemantun.
Kenyataan ini menunjukkan sebuah kelaziman dalam tradisi pantun karena pantun Melayu banyak menggunakan nama-nama binatang, ikan sungai, ikan laut, burung, buah-buahan, sayur-sayuran dan tumbuh-tumbuhan dalam menggambarkan ungkapan rasa dan pikir mengenai pengetahuan lokal yang ada di sekitar kehidupan mereka (lihat Daillie 1988:136—137). Selain itu, dalam pantun juga banyak mengandung tunjuk ajar Melayu, sebagai suatu wujud dari pemikiran dan perasaan orang Melayu. Perhatikan contoh berikut.
Pukat bawal dapat tenggiri
Pancing terubuk pancing gelama
Jangan bawa adat sendiri
Asing lubuk asing ikannya
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Berdasarkan pantun di atas, dapat dipahami isi nasehat yang disampaikan bahwa merantau ke tempat lain dan hidup dalam masyarakat yang berbeda adat dan budaya hendaklah tidak mementingkan diri sendiri, yaitu dengan sewenang-wenang menerapkan perilaku dan budaya diri sendiri dalam masyarakat yang memiliki adat budaya tersendiri. Beradaptasilah dengan adat budaya setempat untuk menghindari konflik dan ketakberterimaan yang dapat mengakibatkan permusuhan. Oleh karena itulah, selalu dipesan kepada sesiapa saja yang hendak merantau, agar pandai-pandai membawa diri karena setiap lubuk (daerah) memiliki adat budaya tersendiri yang harus dihormati dan diapresiasi dalam hidup bermasyarakat. Budi bahasa, adab yang baik, dan menghormati adat setempat pasti membawa keuntungan diri, demikian ungkapan rasa dan pikir dalam pantun di atas. Masih banyak lagi ungkapan rasa dan pikir dalam pantun yang dapat dijadikan tunjuk ajar dan renungan dalam kehidupan sehari-hari. Perhatikan pantun-pantun berikut.
Sejak pagi hingga petang
Pergi memancing rencah ilalang
Tamak rakus tabiat orang
Seperti anjing mengunyah tulang
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Sudah lebat taman dahulu
Nampak di hilir lebat buhana
Apay dikenan jaman dahulu
Nesal ini tidak berguna
(Pak Cel, Cupang Gading)
Panjat batang sampai ke dahan
Tupai maling labu air
Akal jahat panjang tangan
Bagai anjing bertemu pasir
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Berkumpul kancil dan rusa
Membuat lebar ayunan kera
Kerja betul hasilpun ada
Ingat antar belum kena
(Pak Sudiadi, Singkawang)
Pantun-pantun di atas memperlihatkan ungkapan rasa dan pikir mengenai manusia, mitos, dan alam yang dimiliki oleh masyarakat Kalimantan Barat. Pantun pertama menggambarkan mengenai orang rakus yang tidak pernah merasa puas dengan yang dimilikinya dengan larik-larik pantun yang mengesankan dengan menggunakan perumpamaan tamak rakus tabiat orang, seperti anjing mengunyah tulang. Pantun kedua mengungkapkan sebuah rasa penyesalan manusia yang selalu datang terlambat atas kesalahan dan kebodohan yang pernah dilakukannya. Pantun ketiga menggambarkan sifat manusia yang selalu ingin mengambil hak milik orang lain walau sedikit, misal dengan melakukan korupsi. Pantun keempat memberi renungan kepada manusia untuk menggunakan akal dan hati dengan benar ketika bertindak atau melakukan sesuatu. Artinya, dalam konteks pantun tersebut, sebelum mengerjakan sesuatu seyogianya direncanakan terlebih dahulu.
Penutup
Pantun Melayu merupakan warisan nenek moyang yang tak lekang oleh panas dan hujan. Pemikiran dan perasaan yang terungkap dalam untaian bait-bait pantun Melayu sangat memikat dan estetis untuk dinikmati dan dihayati. Pantun Melayu tersebut menunjukkan ketinggian akal-budi dan imajinasi pengarangnya dalam mengekspresikan kehidupan sehari-hari orang Melayu dan menjadikan pantun Melayu sebagai milik bersama yang mewariskan pemikiran dan perasaan kolektif orang Melayu.
Daftar Rujukan
Abd. Rachman Abror. 2003. Nilai-Nilai Islam yang Terkandung dalam Pantun Etnik Melayu di Pontianak. Tesis Doktor Falsafah. Kuala Lumpur: Universiti Malaya.
Adelaar, K.A. 1994. The Classification of the Tamanic Languages. In Language Contact and Change in The Austronesian World, T. Dutton and D. Tryon (Eds.), pp.1-41. Berlin, New York: Mouton de Gruyter.
Dedy Ari Asfar. 2001. Sastra Lisan Masyarakat Lembah Sungai Sekadau. Borneo Homeland Data Paper Series, No. 21. Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Dedy Ari Asfar. 2002. Sastera Lisan Melayu Sungai Laur. Borneo Homeland Data Paper Series, No. 25. Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Dedy Ari Asfar. 2005a. Sastera Lisan Iban Sarawak: Ilmu Lokal dan Perkamusan. Makalah yang disampaikan dalam konferensi The Languages and Literatures of Western Borneo: 144 Years of Research, pada 31 Januari s.d. 2 Februari 2005 di Universiti Kebangsaan Malaysia.
Dedy Ari Asfar. 2005b. Identitas Lokal dan “Ilmu Kolonial” di Kalimantan Barat. Dalam Yusriadi, Hermansyah, dan Dedy Ari Asfar. Etnisitas di Kalimantan Barat. STAIN: Pontianak Press.
Dedy Ari Asfar. 2005c. Etnopuitika: Ilmu Linguistik dan Sastra Lisan di Pulau Kalimantan. Makalah yang disampaikan dalam Kongres Linguistik Nasional di Padang, pada 18--21 Juli 2005.
Dedy Ari Asfar. 2005d. Islamic and Pre-Islamic Culture: The Data of Malay Oral Tradition in Cupang Gading, West Kalimantan. Makalah yang disampaikan dalam konferensi Internasional di Imperial Mae Ping Hotel, Chiang Mai, Thailand pada 7—8 Desember 2005.
Atkinson, Paul. 1992. Understanding Ethnographic Texts. Newbury Park, California: Sage Publications.
Bauman, Richard. 1978. Verbal Art as Performance. Rowley, Massachusetts: Newbury House Publishers.
Collins, James T. 1987. Dialek Melayu Sarawak. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Collins, James T. 1999. Keragaman Bahasa di Kalimantan Barat. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Festival Budaya Nusantara Regional Kalimantan. Pontianak, 22 September 1999.
Collins, James T. 2002. Tinjauan Pengkajian Bahasa dan Dialek Melayu se-Nusantara. Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu.
Daillie, Francoise-Rene. 1988. Alam Pantun Melayu: Studies on The Malay Pantun. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Fadzil, Sidek dkk (Ed.). 2001. Persuratan Melayu dari Lontar ke Layar. Bangi: Jabatan Persuratan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Foley, John Miles (Ed.). 1981. Oral Traditional Literature: A Festschrift for Albert Bates Lord. Ohio: Slavica Publishers, Inc.
King, Victor T. 1993. The Peoples of Borneo. Oxford: Blackwell Publishers.
Liaw Yock Fang. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.
Lord, Albert B. 1971. Singer of Tales. Cambridge: Harvard University Press.
Noriah Mohamed. 2006. Sentuhan Rasa dan Fikir dalam Puisi Melayu Tradisional. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Nothofer, Bernd. 1996. Migrasi Orang Melayu Purba: Kajian Awal. Sari 14:33--53.
Yusuf Olang. 2005. “Kajian Struktur dan Fungsi Pantun dalam Masyarakat Desa Benuis Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu.” Skripsi. Pontianak: FKIP Untan.
Ong, Walter J. 1982. Orality and Literacy: The Technologizing of the World. New York: Methuen & Co.Ltd.
Harun Mat Piah. 1989. Puisi Melayu Tradisional: Satu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Skeat, W.W. 1953. Reminiscences of the Expedition. The Cambridge University Expedition to The North-Eastern Malay States and to Upper Perak 1899-1900. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 26 (4):9-147.
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in The Malay World. Berkely: University of California Press.
Minggu, 19 Juli 2009
Ungkapan Rasa dlm Pantun Melayu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar