Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tradisi pola perilaku yang sudah mapan yang diwariskan turun-temurun merupakan bagian penting dari kebudayaan. Kebudayaan kita dan tradisi yang terkait membantu membangun rasa identitas diri dan memenuhi kebutuhan pokok manusia untuk memiliki masa depan yang lebih baik.
Nias, sebuah pulau yang indah dan nyaman dan sejahtera. Jauh dari ibu kota negara. Sekalipun orang berkata Nias itu miskin, namun bagi saya tidak demikian karena Tuhan sudah menetapkan masa depan setiap suku-suku bangsa di dunia.
Sekali lagi, banggalah jika kita berasal dari Nias, dan tunjukkan tata krama Nias yang tinggi karena warisan budaya yang baik dari nenek moyang kita. Kita bukan suku bangsa yang rendah, tetapi terhormat dan memiliki harga diri, artinya tidak berperi laku rendahan seperti orang yang tidak berpendidikan, kita harus mempertahankan budaya leluhur kita karena mereka tidak berlaku tidak senonoh di depan umum. Selayaknya nga’oto mbalugu, sangi’ila huku ba goi-goi hada satulo.
Kalau melihat kehidupan yang sesungguhnya di tengah-tengah masyarakat Nias, ada beberapa tradisi yang mungkin saja sudah dilupakan dan perlu dilestarikan, antara lain:
1. Fame Fegero (Membagi Makanan), arti sesungguhnya adalah membagi makanan sebagai bukti kepedulian dan menyatakan kasih kepada tetangga atau saudara baik yang dekat maupun saudara yang jauh sekalipun. Ketika saya pulang kampung, maka semua sanak saudara berkerumun dan berbondong-bondong menyambut kedatangan saya yang pulang dari rantau, tentu harus membawa buah tangan berupa oleh-oleh. Tentu membagi-bagikannya dengan mereka semua, hal ini biasa terjadi. Namun, Fame Fegero bukan demikian, yaitu ketika ada acara sebuah keluarga dan memotong ayam atau ternak lainnya dalam acara tersebut, maka tradisi membaginya ke tetangga (saudara) sebagai bukti pengikat persaudaraan yang dalam. Sekalipun hanya sedikit sekali bagian yang bisa di bagi, namun tetap harus ada. Suatu waktu kelak keluarga yang lain juga membalasnya sedemikian rupa. Jika tidak, berarti itu tandanya sudah mulai ada keretakan di antara mereka.
2. Lae-lae Balo Mbanua, artinya ketika ada pesta di desa itu maka tentu ada jamuan makan dan memotong ternak untuk merayakannya. Tradisi Nias, semua keluarga wajib membaginya sesuai porsi kedudukan adat secara adil dan tidak boleh ada keluarga yang terlewatkan. Lae-lae Balo Mbanua itu adalah tradisi yang menghargai semua sesama warga sebagai anggota dalam komunitas di desa itu. Jika, Lae-lae balo Mbanua untuk keluarga kami tidak ada, tentu saya akan pertanyakan, jika tidak bisa dipertanggungjawabkan maka akan menjadi sumber perpecahan (Aboto Mbanua haboro Lae-lae Balo Mbanua). Dalam membagi makanan juga harus berurut dan tidak boleh salah panggil nama.
3. Tradisi Seni yang sudah pudar seperti “Tari Maena”, disebabkan oleh kegemaran para pemuda Nias (sejak tahun 2000 an) senang mendengar lagu-lagu irama melayu pesisir timur. Atau alunan lagu yang berirama dangdut. Pesta pernikahan di Nias telah digantikan oleh organ tunggal sehingga tradisi itu akan segera hilang ditengah-tengah masyarakat Nias.
4. Huo-huo hada, tata krama berbicara adat yang sopan santun dan penuh dengan wibawa. Orang Nias sudah meniru gaya pidato dalam menyampaikan sambutannya dalam setiap pesta apapin di Nias. Seharusnya tata caranya dirubah dan tetap mempertahankan gaya HUO HUO HADA NIAS, NIFAEMA-EMA LI. Pantun Nias sangat indah dan mengandung ilmu pengetahuan sosial, budi pekerti yang tinggi, namun tradisi itu akan segera hilang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mite Siraso Dewi Bibit
Banyak cerita tentang Siraso, versinya pun bervariasi. Dari Ama Waögo Waruwu, Ama Zaro Baene, dan Ama Rozaman Mendröfa diketahui Siraso tiba di tiga tempat berbeda di pulau Nias. Fenomena ini menunjukkan bahwa Siraso cukup dikenal masyarakat, terutama masyarakat Nias tempo doeloe, di kawasan yang relatif luas di Tanö Niha.
Menurut Ama Waögo Waruwu dari kecamatan Lölöfitu Moi, Siraso datang dari seberang, terdampar di teluk Nalawö. Dalam perjalanan ke pedalaman dia beristirahat di hulu sungai Nalawö. Persis di tempat itu akhirnya didirikan desa Nalawö (Hämmerle, 2001: 169).
Sedang menurut Cosmas S. Baene (Ama Zaro) dari desa Hililaora-Hilidohöna, kecamatan Lahusa, Siraso mendarat di muara Susua, kemudian menelusuri sungai Susua ke hulu dan tiba muara sungai Gomo. Dari muara itu beliau menelusuri sungai Gomo, akhirnya tiba di Börönadu (Hämmerle, 2001: 59).
Lain lagi cerita versi Sökhiaro Welther Mendröfa (Ama Rozaman), puteri Buruti Siraso diturunkan di bumi Tanö Niha, jatuh di muara sungai Oyo di sebelah Barat Tanö Niha. Setelah mengasoh sebentar di tempat itu, puteri Buruti Siraso meneruskan perjalanan ke hulu sungai Oyo dan tiba di suatu dataran rendah yang kemudian bernama Hiyambanua. Bermukimlah puteri itu di sana (Mendröfa, 1981: 162).
Masing-masing cerita di atas masih berupa sepotong cerita. Belum dapat dinilai apakah ketiga cerita tersebut merupakan mite yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci, meski beberapa kalangan mungkin mengklaimnya sebagai tradisi lisan (oral tradition) tentang Siraso.
Tradisi lisan merupakan salah satu genre (bentuk) dari folklor. Folklor berasal dari kata-majemuk folklore (Inggris: folk dan lore). Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan (misalnya: warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, agama), sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Mereka memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah diwarisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang diakui sebagai milik bersama. Sedang lore adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984: 1-2).
Mengacu Alan Dundes, dalam mengkaji tradisi lisan mite, Victor Zebua menggunakan batasan unsur-unsur pokok mite Nias, khususnya mite asal-usul, yaitu: cerita lisan berbentuk hoho atau prosa tentang asal-usul, dianggap benar-benar terjadi dan suci oleh sekelompok orang Nias, telah diwariskan minimal dua generasi, pewarisan melalui praktek kebudayaan Nias misalnya: fondrakö, acara kelahiran, pesta perkawinan, acara kematian, pesta budaya, pertunjukan budaya, dan lainnya (Zebua, 2006: 76).
Dewi Bibit
Sejauh ini cerita lengkap tentang Siraso ditemukan dalam buku Fondrakö Ono Niha, Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias (1981) karya Sökhiaro Welther Mendröfa (Ama Rozaman). Dalam bab IV buku tersebut diceritakan tentang Atumbukha Ziraha Wangahalö (Lahirnya Dewa Dewi Pertanian) dalam bentuk narasi dan hoho.
Buruti Siraso (Siraso) adalah putri dari Raja Balugu Silaride Ana’a di Teteholi Ana’a. Balugu Silaride Ana’a adalah keturunan lebih dari sepuluh setelah Balugu Luo Mewöna. Siraso memiliki saudara kembar (putra) bernama Silögu Mbanua (Silögu).
Di Teteholi Ana’a, Siraso rajin mendatangi rakyat saat penaburan bibit sehingga tanaman subur dan berbuah lebat. Sedang Silögu gemar mendatangi rakyat saat panen sehingga bulir-bulir panenan banyak dan bernas.
Ketika memilih jodoh, Siraso mengidamkan suami yang mirip kembarannya, demikian pula Silögu ingin beristri seorang wanita persis Siraso. Untuk mencari jodohnya, Silögu pergi berkelana. Sementara Siraso diturunkan ayahnya ke muara sungai Oyo. Anak kembar itu dipisah agar tidak terjadi incest (kawin sumbang). Dari muara sungai Oyo, Siraso meneruskan perjalanan ke hulu, tiba di suatu dataran rendah yang kemudian bernama Hiyambanua, dan bermukim di situ.
Setelah setahun berkelana Silögu pulang. Di rantau dia tidak menemukan idamannya, di Teteholi Ana’a dia juga tidak bertemu kembarannya. Menurut ayahnya, Siraso telah meninggal dunia. Betapa gundah-gulana hati Silögu. Akhirnya, Silögu mohon diturunkan ke bumi. Silögu kebetulan diturunkan di muara sungai Oyo. Dia berjalan ke hulu sungai, dan tiba di Hiyambanua. Di sana dia bertemu seorang wanita yang mirip adik kembarnya. Sang wanita itu juga melihat Silögu mirip abang kembarnya.
Dua insan itu akhirnya kawin. Setelah menjadi pasutri (pasangan suami-istri) barulah Silögu dan wanita itu (yang ternyata adalah Siraso) mengetahui bahwa mereka saudara kembar. Apa boleh buat, Maha Sihai Si Sumber Bayu telah menjodohkan mereka.
Di bumi Nias Siraso dan Silögu tetap gemar mengunjungi para petani. Doa dan berkat mereka dibutuhkan untuk bibit dan untuk panen. Setelah mereka meninggal dunia, orang-orang membuat patung Siraso (Siraha Woriwu) dan patung Silögu (Siraha Wamasi) untuk memanggil arwah mereka pada waktu para petani turun menabur bibit dan panen. Siraso dikenal sebagai Dewi Bibit (Samaehowu Foriwu), Silögu dikenal sebagai Dewa Panen (Samaehowu Famasi).
Pada waktu mulai menabur bibit, masing-masing petani membawa bibit tanaman, diserahkan kepada ere (ulama agama suku) agar bibit tersebut diberkati oleh Dewi Bibit. Upacara pemberkatan ini mengorbankan babi. Ere memimpin doa pemujaan Siraha Woriwu. Syair hoho Memuja Dewi Bibit (Fanumbo Siraha Woriwu) diawali:
He le Siraso samo’ölö, he le Siraso samowua;
soga möi moriwu tanömö, möiga mangayaigö töwua;
mabe’zi sarasara likhe, matanö zi sambuasambua.
(Hai Siraso Sumber hasil, hai Siraso sumber buah.
Kami tiba, menyemai bibit, kami tiba menyemai tampang.
Kami semai tunggal berlidi, kami semai biji satuan.)
Setelah itu syair hoho berisi harapan agar bibit tanaman:
1. diberi akar menembus bumi, diberi batang naik mengatas
2. mayangnya dimatangkan oleh terik, buahnya dimatangkan oleh panas
3. terlindung dari serangan: tikus, walang sangit, celeng, monyet, hama, pipit
4. tidak diganggu arwah orang mati dan tidak dihanyutkan banjir
Selain harapan, syair hoho juga berisi janji (ikrar) yang harus ditepati:
Mabé wabaliwa mbalaki, mabé wabaliwa zemoa;
sumange woriwu tanömö, sumange woriwu töwua.
Andrö faehowu ya mo’ölö, andrö faehowu ya mowua.
(Akan kami bayar emas murni, dan kami membayar emas perada.
Persembahan bagi Dewi Bibit, persembahan bagi Dewi tampang.
Berkatilah agar ganda hasil, berkatilah agar berganda buah.)
Tidak dijelaskan bagaimana janji tersebut dilaksanakan, namun dalam pemujaan Dewa Panen disebutkan bahwa sebagian hasil panen harus dibagikan kepada: kaum miskin atau melarat, janda, anak yatim, dan anak yatim-piatu. Bila dilanggar akan membuat dewa marah dan merusak hasil pertanian.
Demikianlah cerita Dewi Bibit (dan Dewa Panen) dalam buku Ama Rozaman. Kisah Siraso dan Silögu ini pada zamannya merupakan mite. Para ahli menyebutnya mitos teogonis (mite terjadinya dewa-dewi), dianggap benar-benar terjadi, dianggap suci (sakral), dan diwariskan turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Nias tempo doeloe.
Keturunan Siraso
Mitos teogonis dewa-dewi pertanian kini menjelma menjadi legenda (dianggap benar-benar terjadi, tapi tidak sakral). Ketika agama modern datang, terjadi iconoclasm (pemusnahan patung-patung berhala) di Nias. Masyarakat diharamkan menyembah patung (fanömba adu), sehingga mite dewa-dewi pertanian kehilangan sarana pewarisannya. Dewa-dewi pertanian tidak dianggap sakral lagi oleh orang Nias, kini diganti mitos modern bertema teknologi: traktor, pestisida, pupuk, dan bibit unggul.
Bagi folk (orang Nias zaman sekarang) cerita itu bukan lagi sebuah lore (kebudayaan yang diwariskan). Cerita itu hanyalah sebuah mite kuno (mite milik orang Nias kuno, bukan milik orang Nias kini) yang lambat-laun kian dilupakan. Namun keturunan Siraso yang telah tersebar di Tanö Niha tentu tidak mudah dilupakan.
Generasi ketiga dari Siraso-Silögu adalah anak kembar: Silaheche Walaroi dan Silaheche Walatua. Mereka pindah dari Hiyambanua ke Gomo. Hanya Silaheche Walaroi (Falaroi) yang selamat sampai di Börönadu Gomo. Falaroi menetap di sana bersama keturunan Hia Walangi Adu. Dia mendapat gelar Sebua Moroibalangi. Dari nama gelar itulah asal mado Zebua yang dipakai keturunannya (Fries, 1919: 106-8; Zebua, 1996: 6).
Menurut Faondragö Zebua (Ama Yana), anak Falaroi bernama Lari SumölaIagö Tanö mempunyai anak dua: dan Börödanö. Iagö Tanö berputera Ba’usebua. Ba’usebua kawin dengan Buruti Lama, saudari baginda Gea (keturunan Daeli) di Tölamaera, anaknya empat: Lafoyolatio, Lanö, Hinou Manofu, Manofugabua. Keturunan mereka menyebar: Lafoyolatio tinggal di Ononamölö, Lanö kembali ke Hiyambanua dan sebagian keturunannya pergi ke Laraga, Hinou Manofu dan Manofugabua berdomisili di Luaha Moro’ö mendirikan Ononamölö dan Mazingö. Sedang Börödanö menjadi leluhur mado Zebua di Tetehösi Idanögawo (Zebua, 1996: 16-7).
Cerita versi Faogöli Harefa agak berbeda. Cucu Siraso-Silögu yang tinggal di Hiyambanua bernama Lari Sumöla mengembara hingga ke Tölamaera. Di sana dia kawin dengan Buruti Lama, anaknya dua: I’agötanö dan Börönadö. Anak I’agötanö bernama Ba’u Sebua mempunyai anak empat: Lafoyo Latio, Lanö, Manofu Gobua, Hino Manofu. Keturunan mereka menyebar: Lafoyo Latio tinggal di Ononamölö, Lanö pergi ke Oyo, Manofu Gobua pergi ke Luaha Moro’ö, Hino Manofu pergi ke Sowu. Cucu dari Ba’u Sebua menjadi asal-usul mado Zebua (Harefa, 1939: 18).
Dalam kedua cerita tersebut tersimpan sebuah misteri. Suami Buruti Lama menurut Faondragö Zebua (1996) adalah Ba’usebua, sedang Faogöli Harefa (1939) mengatakan Lari Sumöla. Untuk menyingkap misteri tersebut, tampaknya perlu penelusuran yang lebih luas dan teliti terhadap silsilah keluarga (zura nga’ötö) para keturunan Sang Dewi Bibit, meliputi: Zebua, Zega, Zai, Ziliwu, Hawa, dan lainnya.
B. Maena, Tarian Khas Dari Nias
Muda-mudi mari bersukaria, dengan tarian yang kita punya,
Ini tak kalah dengan poco-poco.....
Satu tarian di Tanah Nias,
Mari tari Maena’e…..
Lihat ini bukan gaya sajojo, juga bukan gaya poco-poco,
Tapi tarian asli di Nias.....
Jangan…jangan hilangkan budaya kita…..
Mari lestarikan ini sekarang, datalau famaena zisiga-siga!
Penggalan bait diatas adalah penggalan dalam sebuah lagu berjudul tari maena, yang dinyanyikan oleh Agus Heumasse.
Maena sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara.
Dibandingkan dengan tari moyo, tari baluse/tari perang (masih dari Nias), maena tidak memerlukan keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua orang bisa melakukannya.
Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai dengan event dimana maena itu dilakukan.
Pantun maena (fanutunõ maena) biasanya dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut sebagai sanutunõ maena, sedangkan syair maena (fanehe maena) disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena/ono maena. Syair maena bersifat tetap dan terus diulang-ulang/disuarakan oleh peserta maena setelah selesai dilantunkannya pantun-pantun maena, sampai berakhirnya sebuah tarian maena.
Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertuntun bahasa Nias (amaedola/duma-duma), namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan moderen, pantun-pantun maena yang khas li nono niha sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya, ini bisa kita dengarkan kalau ada acara-acara maena dikota-kota besar.
Maena boleh dibilang sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan goyangan (fataelusa) maenanya.
Maena biasanya dilakukan dalam acara perkawinan (fangowalu), pesta (falõwa/owasa/folau õri), bahkan ada maena Golkar pada pemilu tahun 1971 (niasonline.net), menandakan betapa tari maena sudah membudaya dan fleksibel, bisa diadakan dalam acara-acara apa saja.
Tidak salah lagi maena merupakan tarian khas yang mudah dikenali dan dilakukan oleh ono niha maupun oleh orang diluar Nias yang tiada duanya dengan tarian poco-poco (Sulawesi) atau tarian sajojo (Irian), yang telah memperkaya panggung budaya nasional.
Di Nias maupun di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Bandung, Padang, Sibolga dsb, kita sering menjumpai maena pada acara pernikahan orang-orang Nias, dan kitapun kadangkala ambil bagian didalamnya "tetapi hanya sebatas" sebagai sanehe maena.
Maena, tari moyo, tari baluse, hombo batu, li niha, amaedola adalah merupakan kekayaan budaya ono niha yang seharusnya terus dilestarikan, agar jati diri kita sebagai ono niha tidak menghilang dan ke-Indonesiaan kita tetap terjaga oleh pengaruh budaya dari luar yang semakin kuat menghimpit budaya-budaya lokal.
Maena harus kita gaungkan lebih keras lagi, bila perlu bukan hanya maena Golkar pada tahun 1971. Kita juga seharusnya membuat dan menyiapkan maena-maena yang lain dalam berbagai bidang seperti "Maena Pemekaran", supaya Nias bisa berada di garis depan.
Berikut 2 (dua) contoh maena dalam acara perkawinan (fangowalu), ini hanya beberapa dari kekayaan fanehe ba fanutunõ dalam tarian maena. Apa yang tersajikan semoga bermanfaat untuk kita semua ono niha, dan menjadi semangat dalam penggalian budaya Nias yang bermanfaat bagi banyak orang (sanehe maena). TEHE MAENA !
1. MAENA FANGOWAI
Fanehe maena (syair maena)
He Ama He Ina Tomema Zalua
Dama’owai Ami Fefu Badõi Maena
Fanutunõ maena (pantun maena)
Ira ama ira ina sowatõ sonuza
Taosaraõ dõdõda bawanemaõ ndra tomeda
Ira ama ira ina sowatõ sonuza
Taowai fefu domeda ya’ahowu walukhata
Oi omuso sa dõdõda meno falukha ita
Me’oi ngaõtõ zalawa me’oi ngaõtõ duha
Da ta’andrõ saohagõlõ khõ Lowalangi Ama
Meno itimba de’ala irege no faondra ita
Nadali wa’abõlõda nadali wa’a niha
Lõtola falukha ita bazimaõkhõ da’a
Siofõna mafaolagõ khõu numõnõ solemba
Ba walõ hulõ-hulõu we hulõ-hulõu dema-dema
Batõinia zilõ satua lõmendrua zilõ ama
Bayomo barõ gosali we yomo barõ ledawa
Duhu so yomo ninada inada bõrõ zatua
Si teduhõ-duhõ tõdõ numana wangera-ngera
Duhu so ndra tana nama talifusõ lõbada’a
Bõrõ halõwõ negara walõ a’oi so ira
No faduhu i dõdõda wa faomasi Zoaya
Watola fatalifusõ ita zidombua banua
Heumõnõ hetomema sino alua baolayama
Batema bologõdõdõ melõ sumange-mi khõma
Databato khõda maena tandregegõ ua da’a
Meoya lala halõwõ bazimaõkhõ da’a
2. MAENA FANEMA MBOLA
Fanehe maena
Yae Mbola Numõnõ Simõi Molemba
Sumange Ndra Inada Sumange Zonuza
Oi Nihaogõ Wama’anõ Nõsi mbola Laoda
Tandra Wasi’oroi Dõdõ Mõi Umõnõ Ninada
Fanutunõ maena
Ba databõrõtaigõ khõda dõi maena
Maena fanema mbola nibee zonuza
Hezasa lafa’anõ nafo ndra inada
Ba mbola niohulayo bola niotarawa
Tengasa bawa’aõsõ tenga bawehufa
Wolalau niohulayo bola niotarawa
Halõwõ danga zonekhe uwu duru zodoma
Oi nihaogõ wolalau nihaogõ niera-era
Hadia nõsi mbelu hadia nõsi mbola
Yaia lala zumange afo silima endronga
Ba da tazara-zara nõsi mbola laoda
Ae batenga amaedola nituhoi fangombakha
Ba yaia dawuo sini daõ tawuo lara
Ba yaia gambe nilõwõ gambe bakha ba mbola
Yaia wino mazagi daõ mazaga
Fino nitutuyu fino sandrohu boha
Yaia mbetua uto betua uto ziwae lõnga
Yaia mbago siriri bago sihola
Daõ mbago nikhõ-khõ ba galo kola
Daõ mbago nifoe ba galo manawa
Meno ahori so nafo silima endronga
Daõ zumange mbanua zumange mbõrõ zonuza
Ba no ibee bazuzu wangera-ngera
Mbola sumange nuwu sumange zibaya
Meno serege dõdõmi zumangema
Omuso gõi dõdõma wonganga ya'ia
Tabato khoda maena fanema mbola
Bologõ dõdõ na ambõ tõra wangombakha
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tradisi pola perilaku yang sudah mapan yang diwariskan turun-temurun merupakan bagian penting dari kebudayaan. Kebudayaan kita dan tradisi yang terkait membantu membangun rasa identitas diri dan memenuhi kebutuhan pokok manusia untuk memiliki masa depan yang lebih baik.
Nias, sebuah pulau yang indah dan nyaman dan sejahtera. Jauh dari ibu kota negara. Sekalipun orang berkata Nias itu miskin, namun bagi saya tidak demikian karena Tuhan sudah menetapkan masa depan setiap suku-suku bangsa di dunia.
Sekali lagi, banggalah jika kita berasal dari Nias, dan tunjukkan tata krama Nias yang tinggi karena warisan budaya yang baik dari nenek moyang kita. Kita bukan suku bangsa yang rendah, tetapi terhormat dan memiliki harga diri, artinya tidak berperi laku rendahan seperti orang yang tidak berpendidikan, kita harus mempertahankan budaya leluhur kita karena mereka tidak berlaku tidak senonoh di depan umum. Selayaknya nga’oto mbalugu, sangi’ila huku ba goi-goi hada satulo.
Ya’ahowu Nias yang tercinta
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, J., Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain, Grafiti Press, 1984.
Fries, E., Nias. Amoeata Hoelo Nono Niha, Zendingsdrukkery, 1919.
Hämmerle, J.M., Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi, Yayasan Pusaka Nias, 2001.
Harefa, F., Hikajat dan Tjeritera Bangsa serta Adat Nias, Rapatfonds Residentie Tapanoeli, 1939.
Mendröfa, S.W., Fondrakö Ono Niha, Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias, Inkultra Fondation Inc, 1981.
Zebua, F., Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli, 1996.
Zebua, V., Ho Jendela Nias Kuno – Sebuah Kajian Kritis Mitologis, Pustaka Pelajar, 2006.
http://niasonline.net
http://NiasIsland.Com
Minggu, 19 Juli 2009
Sastra Nias
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Artikel menarik talifuso
Sukses slalu
Ya'ahowu
Posting Komentar