Subscribe

Minggu, 19 Juli 2009

Angkatan Pujangga Baru



Nama : SURYA HADIDI
E-mail : surya_hadidi@yahoo.com
Friendster : uya_so7@ymail.com
NB : Wajib tinggalkan pesan di halaman paling bawah
About Me




BAB I
PENDAHULUAN

Seperti halnya Balai Pustaka, Pujangga Baru pun merupakan sebuah momentum penting dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia. Kata itu dapat diartikan sebagai majalah yang aslinya tertulis Poedjangga Baroe, dan dapat juga diartikan gerakan kebudayaan Pujangga Baru tahun 1930-an yang tidak terpisahkan dari tokoh-tokoh pemuda terpelajar Muhammad Yamin, Rustam Efendi, S. Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, J.E. Tatengkeng, dan Amir Hamzah. Majalah Pujangga Baru terbit pertama kali pada Meitujuan 1933 dengan tujuan menumbuhkan kesustraan baru yang sesuai dengan semangat zamannya dan mempersatukan para sastrawan dalam satu wadah karena sebelumnya boleh dikatakan cerai berai dengan menulis di berbagai majalah.

Sebenarnya usaha menerbitkan suatu majalah kesustraan sudah muncul pada tahun 1921, 1925, 1929, tetapi selalu gagal. Baru pada tahun 1933 atas usaha S. Takdir Alisyabana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane dapat diterbitkan majalah bernama Pujangga Baru. Tujuannya tampak pada keterangan resmi yang berbunyi, “majalah kesustraan dan bahasa serta kebudayaan umum” kemudian berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesustraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”, dan berganti lagi menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”(Rosidi, 1969: 35).

Menurut Mantik (2004: 4) subjudul “Majalah Kesustraan dan Bahasa serta Kebudayaan Umum” berlangsung tahun 1933-1934, kemudian berubah menjadi “Majalah Bulanan Kesustraan dan Bahasa serta Seni dan Kebudayaan” tahun 1934-1935, dan pada tahun 1935-1936 menjadi “Pembawa Semangat Baru dalam Kesustraan, Seni, Kebudayaan, dan Soal Masyarakat Umum”. Pada penerbitan selanjutnya subjudulnya adalah “Majalah Bulanan Pembimbing Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Persatuan Indonesia”. Dengan demikian, tujuan yang semula terbatas kesustraan dan bahasa meluas ke masalah-masalah kebudayaan umum sejalan dengan makin maraknya kesadaran nasional untuk membangun kebudayaan Indonesia baru. Hal itu dapat dipahami karena pada 28 Oktober 1928 telah tercetus Sumpah Pemuda yang merupakan momentum penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Tentu saja pada waktu itu belum terdengar atau tertulis kata-kata Indonesia Raya, apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, semangat mereka masih terbatas pada harapan membangun masyarakat yang makin sadar pada nasionalisme.

Majalah Pujangga Baru mendapat sambutan hangat dari sejumlah terpelajar, seperti: Adinegoro, Ali Hasjmy, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Hadimadja, H.B. Jassin, I Gusti Nyoman Panji Tisna, J.E. Tatengkeng, Karim Halim, L.K. Bohang, Muhammad Dimjati, Poerbatjaraka, Selasih, Sumanang, Sutan Sjahrir, dan W.J.S. Poerwadarminta. Namun, di sisi lain, majalah itu tidak ditanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan bahkan dikritik keras oleh para guru yang setia kepada pemerintahan kolonial Belanda. Kata mereka, majalah tersebut merusak bahasa Melayu karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing.

Majalah itu bertahan terbit hingga tahun 1942, kemudian dilarang oleh pengusaha militer Jepang karena dianggap kebarat-baratan dan progresif. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka dapat diterbitkan lagi pada tahun 1949-1953 di bawah kendali A. Takdir Alisjahbana dengan dukungan tenaga-tenaga baru, seperti Achdiat K. Mihardja S. Hartowardojo, dan Rivai Apin. Tentu saja semangatnya sudah berbeda dengan semangat tahun 1930-an karena kondisi sosial politik pun sudah berubah.

Majalah Pujangga Baru mendapat sambutan hangat dari sejumlah terpelajar, seperti: Adinegoro, Ali Hasjmy, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Hadimadja, H.B. Jassin, I Gusti Nyoman Panji Tisna, J.E. Tatengkeng, Karim Halim, L.K. Bohang, Muhammad Dimjati, Poerbatjaraka, Selasih, Sumanang, Sutan Sjahrir, dan W.J.S. Poerwadarminta. Namun, di sisi lain, majalah itu tidak ditanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan bahkan dikritik keras oleh para guru yang setia kepada pemerintahan kolonial Belanda. Kata mereka, majalah tersebut merusak bahasa Melayu karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing.

Majalah itu bertahan terbit hingga tahun 1942, kemudian dilarang oleh pengusaha militer Jepang karena dianggap kebarat-baratan dan progresif. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka dapat diterbitkan lagi pada tahun 1949-1953 di bawah kendali A. Takdir Alisjahbana dengan dukungan tenaga-tenaga baru, seperti Achdiat K. Mihardja S. Hartowardojo, dan Rivai Apin. Tentu saja semangatnya sudah berbeda dengan semangat tahun 1930-an karena kondisi sosial politik pun sudah berubah.

Menurut Mantik (2004: 4) subjudul “Majalah Kesustraan dan Bahasa serta Kebudayaan Umum” berlangsung tahun 1933-1934, kemudian berubah menjadi “Majalah Bulanan Kesustraan dan Bahasa serta Seni dan Kebudayaan” tahun 1934-1935, dan pada tahun 1935-1936 menjadi “Pembawa Semangat Baru dalam Kesustraan, Seni, Kebudayaan, dan Soal Masyarakat Umum”. Pada penerbitan selanjutnya subjudulnya adalah “Majalah Bulanan Pembimbing Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Persatuan Indonesia”.



Dengan demikian, tujuan yang semula terbatas kesustraan dan bahasa meluas ke masalah-masalah kebudayaan umum sejalan dengan makin maraknya kesadaran nasional untuk membangun kebudayaan Indonesia baru. Hal itu dapat dipahami karena pada 28 Oktober 1928 telah tercetus Sumpah Pemuda yang merupakan momentum penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Tentu saja pada waktu itu belum terdengar atau tertulis kata-kata Indonesia Raya, apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, semangat mereka masih terbatas pada harapan membangun masyarakat yang makin sadar pada nasionalisme.

Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa sumbangan kesejarahan itu sudah ada dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang jalannya sejarah sehingga orang bisa menengok ke belakang sebagai landasan mengatur hari-hari yang akan datang.

Menurut Mantik (2004: 4) subjudul “Majalah Kesustraan dan Bahasa serta Kebudayaan Umum” berlangsung tahun 1933-1934, kemudian berubah menjadi “Majalah Bulanan Kesustraan dan Bahasa serta Seni dan Kebudayaan” tahun 1934-1935, dan pada tahun 1935-1936 menjadi “Pembawa Semangat Baru dalam Kesustraan, Seni, Kebudayaan, dan Soal Masyarakat Umum”. Pada penerbitan selanjutnya subjudulnya adalah “Majalah Bulanan Pembimbing Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Persatuan Indonesia”. Dengan demikian, tujuan yang semula terbatas kesustraan dan bahasa meluas ke masalah-masalah kebudayaan umum sejalan dengan makin maraknya kesadaran nasional untuk membangun kebudayaan Indonesia baru. Hal itu dapat dipahami karena pada 28 Oktober 1928 telah tercetus Sumpah Pemuda yang merupakan momentum penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Tentu saja pada waktu itu belum terdengar atau tertulis kata-kata Indonesia Raya, apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, semangat mereka masih terbatas pada harapan membangun masyarakat yang makin sadar pada nasionalisme.
Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa sumbangan kesejarahan itu sudah ada dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang jalannya sejarah sehingga orang bisa menengok ke belakang sebagai landasan mengatur hari-hari yang akan datang.













BAB II
PEMBAHASAN

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
Angkatan Balai Pustaka Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 - 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka
1. Merari Siregar
- Azab dan Sengsara: kisah kehidoepan seorang gadis (1921)
- Binasa kerna gadis Priangan! (1931)
- Tjinta dan Hawa Nafsu
2. Marah Roesli
- Siti Nurbaya
- La Hami
- Anak dan Kemenakan
3. Nur Sutan Iskandar
- Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan
- Hulubalang Raja (1961)
- Karena Mentua (1978)
-Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
4. Abdul Muis
- Pertemuan Djodoh (1964)
-Salah Asuhan
- Surapati (1950)
5. Tulis Sutan Sati
- Sengsara Membawa Nikmat (1928)
- Tak Disangka
- Tak Membalas Guna
- Memutuskan Pertalian (1978)
6. Aman Datuk Madjoindo
-Menebus Dosa (1964)
- Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934)
- Sampaikan Salamku Kepadanya
7. Suman Hs.
- Kasih Ta’ Terlarai (1961)
- Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
- Pertjobaan Setia (1940)
8. Adinegoro
- Darah Muda
- Asmara Jaya
9. Sutan Takdir Alisjahbana
- Tak Putus Dirundung Malang
- Dian jang Tak Kundjung Padam (1948)
- Anak Perawan Di Sarang Penjamun (1963)
10. Hamka
- Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
- Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)
- Tuan Direktur (1950)
- Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
11. Anak Agung Pandji Tisna
- Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1975)
- Sukreni Gadis Bali (1965)
- I Swasta Setahun di Bedahulu (1966)
12. Said Daeng Muntu
- Pembalasan
- Karena Kerendahan Boedi (1941)
13. Marius Ramis Dayoh
-Pahlawan Minahasa (1957)
-Putra Budiman: Tjeritera Minahasa (1951)

Pada masa itu, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Penulis dan karya sastra Pujangga Baru
1. Sutan Takdir Alisjahbana
a. Layar Terkembang (1948)
b. Tebaran Mega (1963)
2. Armijn Pane
a. Belenggu (1954)
b. Jiwa Berjiwa
c. Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)
d. Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
e. Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)
3. Tengku Amir Hamzah
a. Nyanyi Sunyi (1954)
b. Buah Rindu (1950)
c. Setanggi Timur (1939)
4. Sanusi Pane
a. Pancaran Cinta (1926)
b. Puspa Mega (1971)
c. Madah Kelana (1931/1978)
d. Sandhyakala ning Majapahit (1971)
e. Kertadjaja (1971)
5. Muhammad Yamin
a. Indonesia, Toempah Darahkoe! (1928)
b. Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
c. Ken Arok dan Ken Dedes (1951)
d. Tanah Air


6. Roestam Effendi
a. Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan (1953)
b. Pertjikan Permenungan (1953)
7. Selasih
a. Kalau Ta' Oentoeng (1933)
b. Pengaruh Keadaan (1957)
8. J.E.Tatengkeng
a. Rindoe Dendam (1934)

Sumbangan Pujangga Baru terhadap perkembangan pemikiran kebudayaan Indonesia pantas dihargai tinggi karena memberikan kesempatan para sastrawan dan budayawan untuk menyalurkan pendapat-pendapatnya sehingga berkembang polemik yang semarak sebagaimana tampak pada buku Polemik Kebudayaan susunan Achdiat K. Mihardja (1977). Tokoh-tokoh yang terlibat dalam polemik itu antara lain S. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, R.M. Ng. Poerbatjaraka, Dr. Sutomo, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara. Identitas mereka itu dapat dibaca pada bagian akhir Polemik Kebudayaan, sedangkan kelengkapannya dapat dirunut pada berbagai sumber lain.
1. Adinegoro (lahir di Tawali, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904, meninggal di Jakarta, 8 Januari 1967) keluaran sekolah jurnalistik di Jerman, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Pewarta Deli.
2. Ki Hajar Dewantara (lahir tahun 1889) berpendidikan STOVIA dan mendapat Akte LO di Den Haag. Pernah duduk sebagai pucuk pimpinan Indische Partij, pernah diasingkan ke Belanda tahun 1913,
3. M. Amir adalah tamatan STOVIA tahun 1924 dan tahun 1928 meraih gelar doctor obat-obatan di Eropa,
4. Poerbatjaraka (lahir tahun 1884) tahun 1926 mendapat gelar Doktor Ilmu Bahasa dan Filsafat di Universitas Leiden Belanda.
5. Sanusi Pane (lahir tahun 1905) berpendidikan MULO dan sekolah guru Gunung Sari di Jakarta.
6. S. Takdir Alisjahbana (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908, meninggal di Jakarta 17 Juli 1994) adalah lulusan Sekolah Tinggi Kehakiman Jakarta tahun 1941 dan dikenal luas sebagai pengarang, budayawan, dan pendidik.
7. Dr. Sutomo ikut mendirikan perkumpulan Boedi Oetama tahun 1908.




Dengan pandangan yang segar mereka tampil sebagai pemikir-pemikir kebudayaan Indonesia baru, termasuk kesustraan, sehingga membedakan posisinya dengan para tokoh yang telah lebih dahulu menerbitkan karyanya di Balai Pustaka. Oleh karena itu, wajar apabila kemudian mereka disebut Angkatan Pujangga Baru sebab mereka memiliki kesamaan visi atau pandangan tentang kesustraan yang menawarkan nilai-nilai baru dengan gaya bahasa yang memperlihatkan potensi perseorangan.

Tokoh-tokoh Angkatan Pujangga Baru adalah S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armin Pane, Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Rustam Efendi, J.E. Tatengkeng, Asmara Hadi, dan lain-lain.
1. Amir Hamzah (1911-1946) berpendidikan HIS, MULO Medan, AMS-A Solo, dan sempat masuk Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta. Dia dikenal sebagai penyair religius dengan kumpulan sajak Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941). Telaah H.B. Jassin tentang kepenyairannya telah menghasilkan Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1963).
2. Armijn Pane (1908-1970) berpendidikan HIS, ELS, STOVIA Jakarta (1923). NIAS Surabaya (1927) dan AMS-A Solo (1931). Pernah menjadi wartawan di Surabaya. Dia terkenal dengan roman Belenggu (1940), karyanya yang lain : kumpulan cerpen Kisah antara Manusia (1953), sandiwara Jinak-Jinak Merpati (1954), dan sajak-sajak Jiwa Berjiwa (1939).
3. Asmara Hadi (1914-1976) Berpendidikan MULA Taman Siswa Bandung. Dia terkenal dengan sajak-sajak perjuangan yang penuh keyakinan. Kepenyairannya telah dibahas J.U. Nasution dalam Asmara Hadi Penyair Api Nasionalisme (1965).
4. J.E. Tatengkeng (1970-1968) berpendidikan HIS Manganir, Christelijk Middakweekschool Bandung, dan Christelijk HKS Solo. Dia dikenal dengan kumpulan sajaknya Rindu Dendam (1934).
5. Muhammad Yamin (1903-1962) berpendidikan HIS (1918), Sekolah Pertanian Bogor (1923), AMS Yogyakarta (19672), dan Sekolah Hakim Tinggi (1932). Dia dikenal sebagai perintis puisi Indonesia dengan sajaknya “Tanah Air” (1922), kumpulan sajak Indonesia Tumpah Darahku (1928), drama Ken Arok dan Ken Dedes (1930), dan sejumlah buku sejarah, politik, dan undang-undang.
6. Rusatm Efendi (1903-1979) berpendidikan HIS dan HKS Bandung (1924). Rustam Efendi menghasilkan kumpulan sajak Percikan Permenungan (1925) dan drama bersajak Bebasari (1926).
7. Sanusi Pane (1905-1968) adalah abang Armijn Pane, berpendidikan HIS, ELS, Kweekschool Jakarta (1925). Karyanya yang terkenal prosa liris Pancaran Cinta (1941), kumpulan sajak Puspa Mega (1927), kumpulan sajak Madah Kelana (1931), drama Kertajaya (1932), drama Sandyakala Ning Majapahit (1933), dan drama Manusia Baru (1940).
8. S. Takdir Alisjahbana (1908-1994) adalah sosok pribadi terpelajar yang tinggi semangat intelektualnya sejak masih pelajar HIS di Bengkulu, kemudian HKS di Bandung (1928). Menhasilkan roman Layar Terkembang (1963).

Dari catatan kecil itu saja jelaslah bahwa mereka adalah kaum terpelajar yang sadar terhadap masalah kehidupan bangsa, kemudian mampu menjabarkan pemikiran yang bersungguh-sungguh melalui artikel-artikel yang matang, bahkan dapat mengembangkan polemic yang kontruktif. Sekarang pun sulit dijelaskan pendapat siapakah yang paling benar atau terhebat karena yang dicari bukanlah pendapat-pendapat pribadi, melainkan sumbangan pikiran mereka terhadap pembangunan konsep kebudayaan Indonesia, termasuk kesusastraan.

Menurut Takdir Alisjahbana, istilah Indonesia telah dipergunakan secara luas dengan pengertian yang kabur sehingga tidak secara tegas menunjukkan pada semangat keindonesian yang baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia raya. Keindonesiaan baru itu tumbuh setelah bangsa atau masyarakat nusantara bertemu dengan kebudayaan barat yang ditandai dengan kesadaran kaum intelektual untuk membangun suatu kehidupan baru yang semangatnya berbeda dengan masa lampau sebelum abad ke-19 yangdisebutnya sebagai pra-indonesi, bahkan disebut sebagai zaman jahiliah keindonesiaan yang hanya mengenal sejarah Oost Indische Compagnie, sejarah mataram, sejarah aceh, sejarah banjarmasin, dan lain-lain. Takdir alisjahbana menegaskan bahwa pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas dari zaman pra-Indonesia agar tidak menimbulkan perselisihan tentang landasannya, apakah Melayu, Jawa, dan sebagainya. Semangat keindonesiaan yang baru itu seharusnya berkiblat ke Barat dengan menyerap semangat atau jiwa intelektualnya sehingga wajahnya berbeda dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesia.

Pendapat yang teoritis dan idealis itu dikritik oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa keindonesia itu sebenarnya sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adapt dan seni. Yang belum terbentuk adalah natie atau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya sudah ada walaupun belum terwujud. Sanusi Pane berpendapat bahwa kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektualitas untuk kehidupan jasmani tidak dengan sendirinya istimewa karena terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga orang harus berpikir dan bekerja keras juga. Sementara itu, kebudayaan Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani karena urusan jasmani sudah dimanjakan oleh alam yang serba berlimpah. Tawaran Sanusi Pane adalah mempertemukan semangat intelektual Barat dengan semangat kerohanian Timur seperti mempertemukan Faust dengan Arjuna.

Pendapat tersebut di mata Takdir Alisjahbana masih kabur dalam soal istilah Indonesia karena Sanusi Pane dianggap mencapuradukkan arti Indonesia yang diapakai ahli ilmu bangsa-bangsa (etnologi) dengan konsep yang dipakai kaum politik di awal kebangkitan nasional. Takdir menegaskan bahwa di zaman Majapahit, Diponegoro, Teuku Umar, belum ada keindonesiaan yang disadari oleh masyarakat.








Pada masa itu, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

Penulis dan karya sastra Pujangga Baru
9. Sutan Takdir Alisjahbana
a. Layar Terkembang (1948)
b. Tebaran Mega (1963)
10. Armijn Pane
a. Belenggu (1954)
b. Jiwa Berjiwa
c. Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)
d. Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
e. Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)
11. Tengku Amir Hamzah
a. Nyanyi Sunyi (1954)
b. Buah Rindu (1950)
c. Setanggi Timur (1939)
12. Sanusi Pane
a. Pancaran Cinta (1926)
b. Puspa Mega (1971)
c. Madah Kelana (1931/1978)
d. Sandhyakala ning Majapahit (1971)
e. Kertadjaja (1971)
13. Muhammad Yamin
a. Indonesia, Toempah Darahkoe! (1928)
b. Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
c. Ken Arok dan Ken Dedes (1951)
d. Tanah Air


14. Roestam Effendi
a. Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan (1953)
b. Pertjikan Permenungan (1953)
15. Selasih
a. Kalau Ta' Oentoeng (1933)
b. Pengaruh Keadaan (1957)
16. J.E.Tatengkeng
a. Rindoe Dendam (1934)

Dengan pandangan yang segar mereka tampil sebagai pemikir-pemikir kebudayaan Indonesia baru, termasuk kesustraan, sehingga membedakan posisinya dengan para tokoh yang telah lebih dahulu menerbitkan karyanya di Balai Pustaka. Oleh karena itu, wajar apabila kemudian mereka disebut Angkatan Pujangga Baru sebab mereka memiliki kesamaan visi atau pandangan tentang kesustraan yang menawarkan nilai-nilai baru dengan gaya bahasa yang memperlihatkan potensi perseorangan.
Tokoh-tokoh Angkatan Pujangga Baru adalah S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armin Pane, Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Rustam Efendi, J.E. Tatengkeng, Asmara Hadi, dan lain-lain.
9. Amir Hamzah (1911-1946) berpendidikan HIS, MULO Medan, AMS-A Solo, dan sempat masuk Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta. Dia dikenal sebagai penyair religius dengan kumpulan sajak Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941). Telaah H.B. Jassin tentang kepenyairannya telah menghasilkan Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1963).
10. Armijn Pane (1908-1970) berpendidikan HIS, ELS, STOVIA Jakarta (1923). NIAS Surabaya (1927) dan AMS-A Solo (1931). Pernah menjadi wartawan di Surabaya. Dia terkenal dengan roman Belenggu (1940), karyanya yang lain : kumpulan cerpen Kisah antara Manusia (1953), sandiwara Jinak-Jinak Merpati (1954), dan sajak-sajak Jiwa Berjiwa (1939).
11. Asmara Hadi (1914-1976) Berpendidikan MULA Taman Siswa Bandung. Dia terkenal dengan sajak-sajak perjuangan yang penuh keyakinan. Kepenyairannya telah dibahas J.U. Nasution dalam Asmara Hadi Penyair Api Nasionalisme (1965).
12. J.E. Tatengkeng (1970-1968) berpendidikan HIS Manganir, Christelijk Middakweekschool Bandung, dan Christelijk HKS Solo. Dia dikenal dengan kumpulan sajaknya Rindu Dendam (1934).
13. Muhammad Yamin (1903-1962) berpendidikan HIS (1918), Sekolah Pertanian Bogor (1923), AMS Yogyakarta (19672), dan Sekolah Hakim Tinggi (1932). Dia dikenal sebagai perintis puisi Indonesia dengan sajaknya “Tanah Air” (1922), kumpulan sajak Indonesia Tumpah Darahku (1928), drama Ken Arok dan Ken Dedes (1930), dan sejumlah buku sejarah, politik, dan undang-undang.
14. Rusatm Efendi (1903-1979) berpendidikan HIS dan HKS Bandung (1924). Rustam Efendi menghasilkan kumpulan sajak Percikan Permenungan (1925) dan drama bersajak Bebasari (1926).
15. Sanusi Pane (1905-1968) adalah abang Armijn Pane, berpendidikan HIS, ELS, Kweekschool Jakarta (1925). Karyanya yang terkenal prosa liris Pancaran Cinta (1941), kumpulan sajak Puspa Mega (1927), kumpulan sajak Madah Kelana (1931), drama Kertajaya (1932), drama Sandyakala Ning Majapahit (1933), dan drama Manusia Baru (1940).
16. S. Takdir Alisjahbana (1908-1994) adalah sosok pribadi terpelajar yang tinggi semangat intelektualnya sejak masih pelajar HIS di Bengkulu, kemudian HKS di Bandung (1928). Menhasilkan roman Layar Terkembang (1963).


























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pujangga Baru tahun 1930-an tidak terpisahkan dari tokoh-tokoh pemuda terpelajar Muhammad Yamin, Rustam Efendi, S. Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, J.E. Tatengkeng, dan Amir Hamzah.
Majalah Pujangga Baru mendapat sambutan hangat dari sejumlah terpelajar, seperti: Adinegoro, Ali Hasjmy, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Hadimadja, H.B. Jassin, I Gusti Nyoman Panji Tisna, J.E. Tatengkeng, Karim Halim, L.K. Bohang, Muhammad Dimjati, Poerbatjaraka, Selasih, Sumanang, Sutan Sjahrir, dan W.J.S. Poerwadarminta. Namun, di sisi lain, majalah itu tidak ditanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan bahkan dikritik keras oleh para guru yang setia kepada pemerintahan kolonial Belanda. Kata mereka, majalah tersebut merusak bahasa Melayu karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing.
















Daftar Rujukan

Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo

Dari http://www.google.co.id
Dari http://www.wekipedia.com
Dari http://www.geocities.com/daudp65/




0 komentar: